GMT, WIB, WKI ….
GMT = Greenwich Mean Time. WIB = Waktu Indonesia Barat. WKI = …. ?? Ooh, Waktu Karet Indonesia. Undangan jam 08.00, tamu datang jam 08.30, acara dimulai jam 09.000 …. Maklum, Indonesia adalah satu negara produsen getah karet dunia.
Tulisan ini bukan soal WKI, tapi soal ‘kebingungan’ waktu internasional. Jika kita berada di Singapura atau Kuala Lumpur, kita akan merasa ‘aneh’ dengan waktu. Waktu di kedua kota itu rasanya terlalu cepat datang. Jam 7 pagi, cuaca terlihat masih seperti jam 6 pagi. Dan memang, ada perbedaan waktu 1 jam antara Singapura dan Kuala Lumpur dengan WIB, dimana kedua kota itu satu jam lebih cepat.
Saya heran dan protes nggak habis-habis. Bagaimana mungkin mereka bisa punya waktu 1 jam lebih cepat dari WIB, padahal kedua kota itu berada pada bujur yang sama dengan WIB?
Bumi berputar pada porosnya dalam waktu 24 jam (sehari semalam). Karena bumi dibagi oleh garis-garis bujur menjadi 360°, maka setiap selisih bujur sebesar 15° akan berakibat selisih waktu sebesar 1 jam. Garis bujur 0° sekaligus dipakai sebagai jam 0 GMT terdapat di Greenwich, London. Wilayah Indonesia Bagian Barat terdapat pada bujur 105°, sehingga selisih waktunya adalah 7 jam dengan GMT (WIB lebih cepat, atau GMT+7). Naaah … silahkan lihat di peta, Kuala Lumpur dan Singapura ada di sekitar bujur 105° juga, sehingga mereka seharusnya memiliki jam yang sama dengan WIB, yaitu GMT+7. Nyatanya, mereka dengan pe-de sekali memakai waktu GMT+8, atau sama dengan WITA (Waktu Indonesia Tengah).
Saya ‘memprotes’ hal ini kepada beberapa orang (sambil nunjukin peta segala), tapi nggak ada yang mau ‘bertanggung jawab’ ….
Bagaimana mungkin Kuala Lumpur dan Singapore lebih cepat 1 jam dari Pekanbaru dan Medan yang memakai WIB?
GMT sudah diterima secara aklamasi sebagai standar waktu internasional. Waktu universal ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1675. Namun, Sir Stanford Fleming (1827-1915) yang berasal dari Kanada adalah orang pertama yang menetapkan pembagian zona waktu dengan mengambil Greenwich sebagai titik 0. Belahan dunia di sebelah barat Greenwich memiliki waktu GMT -1 sampai -12, dan belahan dunia di sebelah timur Greenwich memiliki waktu +1 sampai +12.
Namun, dalam perkembangannya ternyata tidak semua negara patuh pada aturan Fleming. China, yang negaranya terbentang selebar 60 derajad garis bujur, seharusnya memiliki empat pembagian waktu. Faktanya, negeri panda ini sejak tahun 1949 menetapkan satu waktu tunggal untuk seluruh China, yaitu GMT+8. Maka jangan heran, tengah hari (matahari tepat di atas kepala) di China tidak selalu menunjukkan jam 12.00, tapi bisa jam 11.00 atau jam 13.00, tergantung kita berada di kota mana.
Greenwich Clock, yang menjadi acuan waktu di seluruh dunia
Korea Selatan, yang seharusnya berada di zona GMT+8, saat ini memakai GMT+9. Kemudian, seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, Malaysia yang seharusnya berada di zona GMT+7 dan GMT+8 memakai waktu tunggal GMT+8. Dan Singapura yang kudunya ikut GMT+7 nambahin sendiri 1 jam menjadi GMT+8.
Mengapa beberapa negara ini ‘mbalelo’ pada aturan Fleming? Tentu mereka punya alasan masing-masing. Dulu, semasa pendudukan Jepang di Indonesia dan Korea, demi efektivitas operasi militer dan juga dalam upaya men-Jepang-kan jajahannya, waktu di wilayah jajahan ini disamakan dengan waktu Tokyo, menjadi GMT+9. Seiring dengan kembalinya Irian Barat ke Indonesia, Presiden RI waktu itu, Ir. Soekarno, menetapkan wilayah waktu di Indonesia dibagi menjadi 3 zona. Nah, Singapura menetapkan waktunya menjadi GMT+8 adalah untuk menyamakan kegiatan pasar uang dan saham dengan pasar Hongkong. Ternyata …. oh ternyata, begitulah ceritanya. Adapun Malaysia menerapkan waktu tunggal GMT+8, mungkin supaya tidak kalah bersaing dengan Singapura ….
Penetapan waktu di suatu negara ternyata tidak hanya didasarkan pada wilayah geografis, tetapi juga pada pertimbangan politis, militeristis, bahkan bisnis. Dalam hal ini Indonesia patuh pada pembagian berdasarkan zona geografis, sehingga negara kita yang terletak di antara 105° Bujur Timur (Sabang) hingga sekitar 145° Bujur Timur (Merauke) menerapkan tiga zona waktu. Tampaknya ini pilihan yang rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.
(Sumber bacaan : Kompas, 17 September 2008. Foto : tutinonka dan Wikipedia)
horeee … kesempatan nomer satu bisa komen tulisan mbak tuti. Benar juga ya mbak … kok selama ini demikian lama gak ada yang protes. Bahkan mungkin banyak orang tidak pernah peduli dengan perbedaan jam ini. Sing hebat itu ya, mbak Tuti, kok ya kepikir sampai hal ini lho. Luar biasa.
Tuti :
Hore juga, dapat kesempatan pertama menjawab komentar Mbak Dyah 😀
Saya ‘terusik’ karena saya dulu kuliah di Teknik Geodesi, yang ilmu dasarnya adalah tentang peta. Ada juga mata kuliah Astronomi (bukan Astrologi lho …. kalau itu bagiannya Mama Lauren … 🙂 ). Konsep tentang “waktu” ini memang menarik. Apalagi kalau sudah belajar tentang teori Relativitasnya Einstein (meskipun saya nggak kunjung mudeng juga, wong rumit banget). Kapan-kapan deh, saya coba tulis tentang Einstein.
Terimakasih Mbak Dyah.
saya ingin tahu perbedaan waktu dunia mbak,,,krn sy sangat awam sekali dg waktu di dunia. sy ingin tanya jika sy lihat pengumuman jam 11 siang di jakarta, apa klau di bali jam 11 sudah ada pengumuman atau di bali diumumkan jam 12 (karena sumber pengumuman dr kanada mana yg lebih cepat pengumuman apa di Jakarta atau di Bali)
Mbak Tuti, kalau ada kesempatan liat juga pembagian waktu di north America (US N CA) aku juga heran, sepertinya tidak berdasarkan aturannya Mas Fleming deh. US dan Canada memiliki time zone yang sama tapi garis dari pembatas waktu tersebut amburadul mlencang mlenceng tidak sesuai dengan garis bujurnya, terutama Canada. Pasti mbak Tuti bakalan protes lebih keras deh….. 😉 Beneran lho mbak, aku juga nggak habis fikir kok bisa begitu? … 😦 terimakasih
Tuti :
Komentar Mbak Yulis membuat saya mencari peta dunia yang ada di rumah. Kebetulan peta tersebut memuat juga tentang pembagian zona waktu di seluruh dunia. Dan ternyata, memang pembagian waktu ini kadang-kadang ‘sak enak
udeleyang makai’. Mlencang-mlenceng seperti yang Mbak katakan.Tapi kalau mau eksak mengikuti garis bujur, prakteknya di lapangan memang sulit, karena bisa saja sebuah garis bujur memotong suatu kota, bahkan rumah kita. Bayangkan kalau bagian depan dan bagian belakang rumah kita berselisih waktu 1 jam, repottss kan? Jadi biasanya, batas waktu ini diambil sesuai dengan batas provinsi atau negara bagian.
Dulu sebelum tahun 1980an, Singapura dan Malaysia memakai waktu GMT+7.30. Namun sejak tahun 1980an (lupa persisnya tahun berapa) diajukan menjadi GMT+8. Salah satunya adalah agar sesuai dengan aktivitas bisnis di Hongkong (dan China) serta demi penghematan energi. Karena orang lebih aktif pada saat pulang kantor dibandingkan pada saat bangun tidur. Jadi pada pukul 17.00-19.00, matahari masih bersinar terang (setelah pulang kantor) sehingga dapat menghemat energi dari lampu. Walaupun untuk daerah tropis sebenarnya penghematannya sangat sedikit karena di ‘summer solstice’ pun penghematan energi juga nggak bakalan jauh2 dari 1 jam penghematan saja.
Tapi memang, kalau dari segi geografis, timezone Malaysia dan Singapore itu ngaco…..
Tuti :
Saya baru paham tentang alasan Singapura menerapkan waktu GMT+7 setelah membaca artikel Ninok Leksono di Kompas, 17 September 2008. Artikel itu memang ditulis dalam kaitan penghematan eneri listrik, yang pernah dilakukan antara lain di New Zealand dengan cara mengubah waktu setempat terhadap GMT. Ada usulan agar Indonesia menerapkan satu waktu saja, tapi nampaknya usulan itu masih perlu dikaji lebih jauh untung-ruginya.
Sebetulnya, agar mereka bisa menyesuaikan aktivitasnya, seperti yang dikatakan kang Yari di atas. Semenanjung Malaysia agar sesuai dengan waktu di Sabah (yang mengikuti waktu Indonesia bagian Tengah).
Sedang Singapura mengikuti Hongkong, yang memang sejam lebih cepat dibanding Indonesia. Jadi, ada unsur bisnisnya
Tuti :
Betul, Mbak Enny. Saya jadi sadar, ternyata selama ini cara berpikir saya masih ‘texbook thinking’. Padahal dalam pengaturan negara dan masyarakat, ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan selain alasan ilmiah. Untuk kepentingan bisnis dan perekonomian negara misalnya, seperti tetangga kita Singapura.
jam piro sa iki, mbak ?
di sini baru pukul 13.40 WIB
masih lama bukanya ya ?
ahh….untung mampir di Veranda mbak Tuti
rasanya adem, jadi betah nih
(hehehee….komennya ndak nyambung yo
—buru-buru kabur )
Tuti :
Wah, kalau saat saya menulis ini sudah jam 21.15, jadi buka puasanya sudah lama lewat. Sekarang perut kenyang, dan kantuk rasanya akan mulai datang. Maklum semalaman nggak bisa tidur gara-gara sakit gigi …
Komennya nyambung kok, kan masih ngomongin soal jam (jam buka puasa).
Mbak tut..sing sabar ya…siapa tau sebetulnya sodara kita nyang di malay dan di sing itu di dalam lubuk hatinya protes juga lho…karena tanpa tau sebab musababnya dipaksa untuk lebih tua satu jam dari mbak tut…xixixi…(mbak tuti lebih muda nie..)
Tuti :
Woaa … iya ya. Kalau gitu kita pindah ke Papua aja yuk, biar tambah muda 2 jam. Teka-teki : kalau kita mampu berlari (atau naik kendaran) dalam arah berlawanan dengan arah putaran bumi, dan kecepatannya sama dengan kecepatan rotasi bumi, sehingga waktu menjadi “nol”, umur kita tambah nggak?
Tadinya saya juga sempat berpikir sama mbak. Tapi mikir jarak dari Tokyo ke Jakarta dengan perbandingan 2 jam… ya di tengah-tengahnya Malaysia dan Singapore beda 1 jam kasih aja lah hehhehe.
Tuti :
Lho, saya pikir tamu baru, eh …. ternyata Mbak Imelda to? Fotonya baru ya, namanya juga bukan Ikkyu_San lagi?
Kalau Tokyo mah bener mbak waktunya.
Secara filosofis, “waktu” itu sebenarnya apa sih?
Waktu kuliah tentang pemetaan waktu, aku dapat nilai apa ya ?
Omong omong soal pembagian waktu, aku mau cerita pengalamanku dua kali makan siang dalam satu hari.
Berangkat dari Sydney naik Qantas pk. 11.30:. GMT+11)
Diatas kapal langit itu dapat menu lunch yang cukup mengenyangkan.
Penerbangan 4 jam plus singgah di Denpasar/Ngurah Rai setengah jam, maka tiba di Cengkareng pk. 12.00: GMT + 7) alias masih tengah hari.
Begitu ketemu dengan keluarga, aku langsung bilang: Nyari makan yook. Lapar nih. makan siangnya tadi kurang sedap.
Mendengar ocehanku, yang njemput nyeletuk: Kalau udah makan siang, yang ini nanti makan apa namanya ? Soalnya Kami belum makan siang.
Maka hari itu, aku dua kali makan siang,
Tuti :
Aku juga pernah dua kali makan siang bang. Bukan karena perbedaan waktu antara beberapa tempat, tapi karena suka aja …. 😀 Menghadiri resepsi pernikahan di dua tempat dalam waktu berselang satu jam, ya otomatis makan dua kali to …
Btw, aku dan suami sering makan 4 kali sehari lho. Karena biasa tidur malam, ada kalanya jam 23.00 atau 24.00 lapar lagi, jadi makan lagiii …..
waaaah daleeeeem mbak….
sebenarnya waktu itu apa sih?
suatu ukuran yang dibuat oleh manusia saja?
saya sering begini mbak… jika pergi ke tempat yang baru.
pergi serasa jauuuh lama …. tapi pulangnya cepat sekali.
Dan meskipun pergi ke tempat yang sudah diketahuipun begitu ternyata. Mungkin karena “beban” tujuan kita pergi itu sudah tersalurkan ya.
Kita saja mbak yang kenal di internet begini. waktu sudah tidak merupakan kendala kan? Saya bisa bertandang ke verandanya mbak anytime tanpa harus waswas apakah saya mengganggu mbak atau tidak.
waktu dan ruang ….space….
perlu direnungi lagi nih mbak.
(tidak ganti foto mbak…tergantung saya masuknya dari URL saya langsung atau dari wordpress–ada beberapa blog ngga penting gitu)
Tuti :
“Waktu” memang bisa ditinjau dari berbagai aspek.
Bagaimana kalau kita pikirkan, bahwa “waktu” terjadi karena adanya “gerak”? “Waktu” tercipta, jam berjalan, malam berganti siang, karena bumi berputar pada porosnya, sehingga kedudukan suatu titik di permukaan bumi berpindah terhadap matahari. Seandainya kita mampu bergerak berlawanan arah dengan arah putaran bumi, dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan perputaran bumi, maka posisi kita tidak akan berubah terhadap matahari. Artinya, kita akan mengalami siang terus, atau malam terus.
Kurun waktu “satu tahun” tercipta ketika bumi mengelilingi matahari satu lingkaran penuh. Jika kita terbang ke angkasa luar, dan berhenti di suatu titik di angkasa luar yang posisinya tidak berubah terhadap matahari, maka kita tidak akan pernah “menemukan” waktu satu tahun itu.
Jadi, “waktu” tercipta karena adanya “gerak”.
Gitu kaleeee ….. (saya pusing mikirinnya …. 😦 )
wew adakalanya bener juga yak … 🙂
keknya memang negara kita yang paling pas dech … 😀
Tuti :
Kadang-kadang negara kita hebat juga yak?
Mereka lebih tertarik pada bisnis, menggunakan waktu yang sama dengan Hongkong, Taipei misalnya…semuanya karena dagang..kaleee
Tuti :
Betul, Bang. Soalnya Singapore itu memang hidupnya dari bisnis. Beda satu jam ‘so what’ gitu loh …. 😀
Kalau saya sedang mengadakan perjalanan dengan naik kereta api di Pulau Jawa ini–di pagi hari–saya selalu senang melihat kebiasaan para petani kita. Sebelum turun ke sawah mereka berjongkok dulu di pematang sawah tersebut. Mereka minum kopi, merokok dan memandangi sawah yang ada di hadapannya. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi ada kesan bahwa mereka sangat menikmati hidup. Untuk bekerja mereka hanya perduli dengan waktu yang dibuat oleh matahari di ujung sana, dan oleh waktu biologis yang ada di sel-sel tubuh mereka. Mereka tidak perduli dan tidak mau disiksa oleh waktu yang ditetapkan secara politis atau bisnis itu.
Kebiasaan yang sama juga dimiliki oleh saudara-saudara saya para petani di Tanah Batak sana. Untuk mengeluarkan getahnya pohon karet, kemenyan atau enau itu memiliki ritme dan siklusnya sendiri. Karena itu pekerjaan menderes tidak tergantung kepada jam di bursa New York, London atau Tokyo. Lalu, untuk apa terburu-buru dan tergopoh-gopoh?Mari kita bersantai sedikit: merokok, minum kopi dan berpikir-pikir.
Para petani kita itu pasti akan terheran-heran melihat lobi kantor bank yang dindingnya dipenuhi oleh banyak jam yang menunjukkan waktu di berbagai tempat “penting” di dunia. Para petani kita itu juga pasti akan terheran-heran melihat orang-orang di New York, London, Tokyo atau Singapura berjalan seperti dikejar anjing dan memakan sarapannya cepat-cepat (sambil membaca koran cepat-cepat pula) di atas subway. Bagi para petani kita waktu tidaklah terlalu penting untuk di-“njelimet”-kan. Sebuah janji cukuplah disepakati dalam ukuran “panen berikut”, “pekan depan” atau “nanti siang”.
Saya rasa inilah hidup yang sehat dan bebas dari darah tinggi dan sakit lambung.
Dan olok-olok tentang waktu ini jadi mengingatkan saya akan sebuah lukisan surealis Salvador Dali: Lempengan-lempengan jam (yang masih mempunyai angka tapi tidak mempunyai jarum penunjuk itu) dibetot-betot dan dijemur-jemur.
Dalam urusan mensikapi waktu, saya lebih berpihak kepada para petani Indonesia, ketimbang kepada pekerja “white collar” yang ada di Singapura itu. Saking “stress”-nya orang-orang Singapura itu, beberapa tahun yang lalu pemerintahnya pernah mengkampanyekan agar mereka belajar untuk tersenyum, dan jangan terus-menerus memasang muka masam.
Haiyaaaa. Singapo is no goodlah…… 🙂
Tuti :
Untuk masyarakat agraris, waktu memang sangat longgar. Ukurannya seperti yang Pak Mula tulis, ‘panen berikut’, ‘dua purnama lagi’, dan seterusnya. Ya, karena tumbuhnya padi kan tidak dalam hitungan menit apalagi detik. Sedangkan untuk masyarakat industri, apalagi masyarakat bisnis internasional, waktu berlari dalam hitungan sepersekian detik. Terlambat memutuskan deal foreign exchange dalam sekian detik, bisa-bisa perusahaan rugi jutaan dolar.
Tapi memang betul, orang Singapura disuruh pemerintahnya untuk belajar tersenyum. Termasuk juga belajar pacaran, sebab saking sibuk dan stressnya, banyak Singaporean tidak sempat menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Haiyya …. Singapo is very-very not good laaa …. 😀
kayaknya aturan Fleming itu cuma sebagai pedoman saja sementara penentuan waktu setempat lebih pada kesepakatan atau ketentuan masing2. Dulu Bali masuk WIB karena dianggap secara administratif se-nafas dan se-waktu dengan Jakarta, namun kemudian diubah menjadi WITa.
BTW ada yg nanya bahasa inggrisnya jam karet apa? jawabnya: Indonesian Time …
Tuti :
Betul, Pak. Penentuan waktu di suatu negara memang berdasarkan ‘kesenangan’ dan ‘kepentingan’ negara tersebut. Kalau melihat posisi geografisnya, Bali sebenarnya masuk WIB, tapi mungkin supaya ‘ng-Internasional’, sama dengan Singapura dan Hongkong, lalu diubah ke WITa. Biar turis manca negara nggak repot, gitu lho …
Jam Karet = Indonesian Time? Hehehe …. 😀 Masih mending Pak, daripada Jam Mati = Indonesian Time.
Omong2 soal waktu, saya jadi ingat pernah menulis tentang ‘dilatasi waktu’ berdasarkan khayalan saya sewaktu kecil dulu di sini.
Tuti :
Wah, terimakasih Mas Yari. Memang saya lagi kepengin baca tentang ‘teori waktu’nya Einstein itu. Saya akan baca. Thanks!
Jam berapa sekarang? sekarang jam 02.26 Waktu Malaysia, lagi di LCC Terminal menunggu pagi untuk ngantri ticket naek skybridge di Twin Tower…
Tuti :
Wait a minute! Saya kok binung nih : jam 02.26 dini hari, di LCC Terminal, ngantri tiket naik ke skybridge? Sampe segitunya untuk naik ke skybridge?
Saya (th 2006) kebetulan dicarikan tiket oleh seorang teman, sehingga nggak perlu antri untuk dapet tiket naik ke Twin Tower, cuma antri masuk lift saja. Tapi rasanya nggak imbang deh, mati-matian antri sama apa yang kita nikmati. Wong di atas kita cuma 5 menit aja foto-foto di jembatan antar dua gedung kembar itu. Tadinya saya pikir kita bisa baik sampai ke puncak, dan film yang diputar adalah tentang proses pembangunan gedung itu. Ternyata filmnya (waktu itu) sangat jelek mutunya : out of focus, dan sangat sedikit informasi yang diberikan.
Wah, nyesel deh. Semoga sekarang sudah lebih baik …
ini dia.. barusan bulan kemaren sempet adu argumen sama sodara dari singapura yang lg maen ke indonesia. Saya begitu ngototnya njelasain ke dia sambil mbentang peta dan globe. Dia nya sih cuek saja dan bilang “lha kenyataanya gitu, kok dirimu ngeyel…”. dan memang saya yang salah.
Tuti :
Hehehe … saya juga tadinya pengin baget meyakinkan orang Singapore dan Malaysia kalau waktu mereka salah, tapi setelah membaca berbagai referensi, baru saya paham mengapa pemerintah mereka memutuskan waktu menurut ‘keinginan’ mereka sendiri …
sekarang jam berapa ya
Tuti :
Coba tengok jam dinding … 🙂
bersyukur dapet tulisan ini!^^
makasih referensinya…
di sini masih jam 15:29 kalo di jam saya! 🙂
lho, jadi harusnya di Korea itu nggak +8?
wahh, ternyata manusia selalu ngotot sama keinginan, ya!
lha, berarti di Korea matahari terbenam jam berapa, dong?
Tuti :
Senang sekali kalau ternyata tulisan ini bermanfaat 🙂
Waduh … saya belum pernah ke Korea, jadi belum pernah lihat matahari terbenam di sana pada jam berapa … 😀
Assalamu’alaikum.. Salim penuh hormat takdzim kpd yg punya blog Ibu Tuti. Salam penuh persaudaraan kpd Semua Pembaca.
Menarik menyimak tulisan Ibu Tuti ini. Jadi lbh merasakan kebesaran Allah dlm penciptaan waktu. Subhanallah..
Tuti :
Wa’alaikumsalam …
Alhamdulillah jika tulisan ini bermanfaat. Salam hormat dan takzim juga untuk Gus Itsna …
menarik sekali tulisannya dapat bahan referensi satu lagi makasih…
alhamdulillah yah ? 🙂
Assalamu’alaikum, saya warga Malaysia, ketika waktu Malaysia mahu diubah pada era Mahatahir saya masih dibangku sekolah iaitu sekitar akhir 1981. Mahathir menemui Lee Kuan Yue akhirnya Malaysia dan Singapore bersetuju untuk mempercepatkan 1/2 jam dari waktu asal. Alasannya supaya Semenanjung Malaysia mempunyai waktu yang sama dengan Sabah dan Sarawak dan beberapa kebaikan2 yang lain.
Assallamu’alaikum Mabk
Dear Mbak Tuti
Warmest Greeting From Medan
Awalnya si cuman mw balas BBM ke temen tp gak tau jam berapa di medan
waktu tanyak sama mbah google eh ternyata masuk ke blognya mbak tuti
ternyata seru juga membaca komennya temen-temen mbak tuti dan sangat berguna sekali mbak
matur sembh nuhon nggih mbak tuti
Lha terus gmna ma jdwal solat? Pa ikut ngaco?
Pa cara sunah, berdasarkan matahari?
mbak tuti yg baik hati, tdk sombong dan suka menolong…
Maaf sebetulnya uneg2 sy sdh lama ingin kusampaikan dan Alhamdulillah skrg tersalurkan ke panjenengan…mtrnuwun sebelumnya.
ya sy jd paham sekarang dg penjelasan mbak ttg pembagian oleh mas stanford flemming_kanada, Namun sjjurnya sy msh gemes aj dg pembagian wkt tsb, krn sptnya CKP LEBAY dg selisih masing2 waktu yang 1 jam di pembagian wilayah kita. Terlepas itu SECARA TEORI tersmpaikan (15 drajat = 1 jam, dll..dll) dg benar tp saat sy cek waku sholat ketika sy di balikpapan dg wkt2 sholat di bbrapa kota di jatim…TERNYATA HANYA SELISIH “MENITAN” gak nyampai sejam. Mgkanya…dg sikon riil spt ini, sy jd sangat setuju klo waktu indonesia di bagi seragam aja ikut wib ato wita dll…ato +7.30 GMT dll…monggo alias terserah, tp yg penting “SE INDONESIA SERAGAM”.
Wassalam.
Seingat saya masa saya kecik dulu diawal tahun 1960 an tinggal di Tanjungpinang Riau, dimasa itu kalau dengar radio Malaysia ataupun Singapura, menyatakan waktunya begini, …. pukul tiga petang waktu jawa, inilah radio Malaysia dipancarkan dari Kualalumpur…dan sesterusnya, begitu pula , … pukul lima suku petang waktu jawa, inilah radio Singapura..dst..dst.
Naaaah ..gimana tuhhhh ?????
seingat saya RTM/Radio Malaysia atau Radio Singapura tidak pernh kata waktu Jawa, tetapi seperti ini, Inilah radio Malaysia, waktu sekarang pukul 3.00 petang waktu semenanjung , pukul 3.30 petang waktu di Sabah dan Sarawak…tiada sebut waktu jawa
apa benar bu di korea selatan itu lebih cepat 1 tahun di banding indonesia
Saya akan jelaskan waktu di Malaysia. sebelum tahun 1982, waktu Malaysia terbahagi dua iaiati Waktu semenanjung (Malaysia Barat) GMT +7.5 manakala Sabah dan Sarawak (Malaysia Timur) GMT +8. Singapura mengikut waktu Malaysia Barat (GMT +7.5). Apabila Mahathir menjabat sebaagai Perdana Menteri Malaysia, belio mengarahkan waktu Malaysia Barat harus disamakan dengan Waktu Malaysia Timur. Mahathir telah maklumkan kepada Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yu. Hubungan Bisnis antara Singapura dan Malaysia sangat berkait rapat pada waktu itu, memaksa PM Lee Kwan Yu Singapura, menuruti kehendak Malaysia. Bukan kerana ingin mengikut bisnis di Hong Kong. Bermula 1 Januari 1982 waktu Malaysia Barat dan singapura disamakan dengan waktu di Malaysia Timur. Bagi rakyat Malaysia Barat dan Singapura pada waktu waktu permulaan agak terasa kelainan tetapi setelah beberapa bulan sudah menjadi biasa.
pembagian waktu di indonesia juga masih kurang cocok dirasakan
aceh dan jakarta jaraknya cukup jauh, namun tetap dalam WIB
jika ingin menstandarkan waktu, harus mengacu pada lokasi geografis yang tepat, sehingga persoalan waktu benar2 menjadi acuan yang bisa diikuti sesuai kaidah geografis daerah
Untuk mengetahui, boleh dicoba timeanddate.com
[…] Jam Berapa Sekarang? | Tuti Nonka’s Veranda – jam piro sa iki, mbak ? di sini baru pukul 13.40 WIB masih lama bukanya ya ? ahh….untung mampir di Veranda mbak Tuti rasanya adem, jadi betah nih… […]
[…] Jam Berapa Sekarang? | Tuti Nonka’s Veranda – jam piro sa iki, mbak ? di sini baru pukul 13.40 WIB masih lama bukanya ya ? ahh….untung mampir di Veranda mbak Tuti rasanya adem, jadi betah nih… […]