Catatan :
Artikel ini saya tulis karena ketertarikan saya pada masalah di seputar RUU Pornografi yang menuai pro dan kontra. Referensi yang pertama saya baca adalah majalah Femina Nomor 42 edisi 23-29 Oktober 2008. Ulasan di Femina inilah yang menjadi dasar saya dalam menulis artikel. Namun setelah artikel ini saya posting, dan banyak komentar masuk, saya membaca majalah Madina Nomor 10 terbitan bulan Oktober 2008, yang menganalisis masalah RUU Pornografi dari sisi yang berbeda (dan lebih rinci). Referensi dari majalah Madina inilah yang menambah pemahaman saya tentang RUU Pornografi, dan selanjutnya menjadi referensi saya dalam merespon komentar-komentar yang masuk.
Perbedaan referensi pada saat saya menulis artikel dan pada saat saya merespon komentar barangkali membuat saya kelihatan ‘berubah pandangan’. Untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini menjadi pengalaman bagi saya, bahwa apa yang dimuat di sebuah media tak bisa dilepaskan dari ‘siapa’ yang ada di belakang media tersebut, serta misi yang dibawanya.
KONTROVERSI TIADA HENTI UU PORNOGRAFI
Maraknya pornografi di masyarakat kita sejak beberapa dekade ini memang sangat meresahkan. VCD dan produk-produk bermuatan pornografi beredar dengan begitu bebas, dijajakan di pinggir jalan dan bisa dibeli oleh siapa saja, termasuk anak-anak. Terbitnya majalah Playboy di Indonesia merupakan bukti direstuinya pornografi muncul secara legal di media cetak. Informasi dari internet, yang langsung masuk ke ruang-ruang pribadi pengaksesnya, menjadi pintu masuk serbuan pornografi yang sangat sulit diawasi. Bahkan dijumpai game-game untuk anak dan VCD film kartun yang ternyata disisipi gambar-gambar porno.
Mengapa pornografi demikian marak dan jaringannya sangat sulit diberantas? Karena, pornografi merupakan komoditas yang melibatkan uang dalam jumlah sangat besar. Pelaku bisnis pornografi menangguk keuntungan menggiurkan, sehingga sama seperti perdagangan obat bius, sangat sulit memberantas bisnis ini.
Siapa pun yang masih memiliki hati nurani pasti resah melihat situasi seperti ini. DPR kemudian membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk menyusun RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) pada tahun 2005, yang kemudian diperbarui menjadi RUU Pornografi. Seharusnya, tanggal 23 September 2008 kemarin RUU Pornografi ini disahkan menjadi undang-undang (UU) Pornografi. Tapi, meskipun sudah mengalami 3 kali revisi, RUU ini masih ditentang di berbagai tempat.
Apa sesungguhnya isi RUU Pornografi, sehingga mengundang pro kontra yang demikian keras?
Demo menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di Jakarta
Pertama, dari sisi substansi, RUU ini dianggap memuat kata-kata yang ambigu, bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Seperti kata-kata eksploitasi seksual, kecabulan, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, dan lain-lain.
Kedua, RUU ini dianggap tidak mengakui keragaman masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan agama. Masing-masing suku dan daerah punya cara pandang berbeda mengenai nilai-nilai kesusilaan.
Ketiga, RUU ini dianggap menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum wanitanya yang tidak bertingkah laku sopan, antara lain tidak menutup rapat-rapat tubuhnya.
Dari ketiga poin yang menjadi sumber penolakan di atas, terlihat bahwa merumuskan undang-undang yang bertujuan mulia (mencegah pornografi) ternyata tidak mudah. RUU yang sebenarnya bertujuan melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan wanita, dari kejahatan pornografi ini ternyata bertabrakan dengan berbagai realitas sosial yang ada di masyarakat sendiri.
Rima Melati, salah satu aktris senior, ikut menentang RUU APP
Beberapa pasal yang dianggap ‘berbahaya’ karena menimbulkan multitafsir dan berpotensi memancing benturan di masyarakat antara lain :
Pasal 4:1 : Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat : (a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, (b) kekerasan seksual, (c) masturbasi atau onani, (d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, (d) alat kelamin.
Pasal di atas dikritik oleh Jaringan Kerja Legislasi Nasional Pro-Perempuan dan Federasi LBH APIK : “Mengapa tidak ada poin tentang larangan pornografi anak (tampilan anak atau citra anak sebagai obyek pornorafi)? Kalau RUU ini adalah RUU Pornografi, seharusnya masalah ini menajdi concern-nya. Bukan semata-mata mengatur masalah seksual orang dewasa.”
Pasal 14 : Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai : a. seni dan budaya, b. adat istiadat, dan c. ritual tradisional.
Dewan Kesenian Jakarta mengkritik Pasal 14 ini : “Dengan pengecualian tersebut, RUU ini terbukti tidak mengerti tentang kesenian dan kebudayaan, dan menganggap seni dan budaya sebagai bagian yang sama sekali terpisah dari kehidupan masyarakat sehari-hari”.
Pasal 14 ini juga banyak ditentang karena dianggap menyinggung masyarakat Papua yang memakai koteka, orang Bali yang memakai kemben, termasuk berbagai patung dan relief budaya yang menjelaskan soal seks. Badriyah Fayumi, anggota Panja RUU Pornografi, mengatakan bahwa pihak yang pro RUU ini menginginkan pasal 14 harus dihapus karena akan memberi peluang pornografi dengan mengatasnamakan adat istiadat dan budaya. Tetapi jika pasal ini dihilangkan, dikhawatirkan akan terjadi penangkapan-penangkapan terhadap orang yang sebenarnya hanya melakukan ritual adat.
Pasal 21 : Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap perbuatan, peyebarluasan, dan penggunaan pornografi
Pasal 21 ini mendapat tentangan yang sangat keras. Jaringan Kerja Legislasi Nasional Pro-Perempuan dan Federasi LBH APIK mengatakan, “Melalui pasal ini, kelompokkelompok tertentu akan makin mendapat legitimasi untuk menjadi polisi moral, bukan tidak mungkin jalan yang ditempuh anarkhis.” Sedangkan Dewan Kesenian Jakarta mengatakan, “Pasal tersebut paling berbahaya dan paling mendukung sikap intoleran dan antikeragaman, serta membuka jalan untuk kekerasan”.
Untuk sebuah tujuan kebaikan, ternyata jalannya tak selalu mudah. Bagaimana dengan anda? Setuju atau menolak RUU Pornografi?
(Sumber bacaan : Femina, 23-29 Oktober 2008. Foto: dok. Femina)
Catatan tambahan :
Setelah artikel ini saya upload, WordPress memunculkan beberapa artikel yang mungkin berkaitan dengan artikel saya. Saya membaca semuanya, dan ada satu artikel yang menurut saya sangat bagus dan sangat perlu dibaca juga, agar kita memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan ‘adil’. Artikel yang saya maksud adalah “10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi” (tulisan Ade Armando). Tulisan ini mudah dicari melalui Google, atau dibaca selengkapnya di majalah Madina Nomor 10 Oktober 2008.
Wah… rumit juga ya mbak, setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Hhmmm … barusan blogwalking dan baca tentang efek negative dari tayangan pornografi terhadap anak-anak. Serba salah dan susah juga, ternyata niat baik tidak selamanya mulus. Semoga suatu saat ketemu jalan tengah yang diterima semua fihak. Thanks
Tuti :
Memang pornografi sangat berbahaya bagi masyarakat, terlebih bagi anak-anak. Bagaimana pengaruh buruk pornografi terhadap anak-anak, yang baru saja Mbak Yulis baca? Tentu akan sangat bagus jika ditulis di blog Mbak Yulis, untuk share bagi para pembaca.
RUU anti Pornografi dan Pornoaksi yang pertama diluncurkan memang bermasalah, tetapi RUU Pornografi yang sudah disempurnakan ini sesungguhnya sangat berbeda. Sepertinya, banyak pemrotes yang sesungguhnya belum membaca dengan cermat draf baru yang sudah disempurnakan ini. Perlu sosialisasi yang lebih luas agar masyarakat paham apa sesungguhnya isi RUU ini.
Saya kira kita harus melihat esensi dari disusunnya RUU ini. Yaitu untuk mencegah pornografi supaya tidak semakin marak sehingga menurunkan KUALITAS ANAK BANGSA. Dari hal itu sebenarnya telah ada peraturan2 lain yang memiliki fungsi hampir sama dengan RUU ini seperti dalam KUHP. Hanya saja peraturan (ex. KUHP) tersebut memerlukan pelaksanaan yang sungguh-sungguh dilapangan, kita lihat saja bagaimana bisa di Glodok msh ada penjual DVD bajakan yang jelas-jelas berbau pornografi namun tetap ada.
Selain itu, jika kita berbicara tentang PENINGKATAN KUALITAS ANAK BANGSA, bukankah itu sebagian besar menjadi tanggung jawab sistem pendidikan kita (selain orang tua). Lihat lah di Amerika atau Jepang yang melegalkan pornografi (tentu dengan batasan-batasan), tapi kualitas manusianya secara fisik tidak diragukan lagi.
Jadi sebaiknya RUU ini tidak usah diadakan, karena hanya akan menimbulkan pertentangan antara pihak yang pro dan kontra. Dan ketakutan saya jika RUU ini disahkan adalah benar seperti kata pihak kontra, terjadinya perbedaan tafsiran UU ini, yang lagi-lagi bisa dijadikan dasar suatu pihak menindas pihak lain. Dan bisa menimbulkan konflik dimana-mana antara pihak-pihak pro dan kontra. Dan itu tidak membuat keadaan lebih baik. Dan untuk pihak yang kontra RUU ini yang beralasan krn akan membatasi kreatifitas, ya ciptakanlah sesuatu yang kreatif yang tidak perlu melibatkan “kesetengah telanjangan”. Karena sering para seniman ini menunjukkan kreatifitas mereka pada penonoton yang salah yang seharusnya hanya dimengerti oleh segelintir orang.
Tuti :
Memang benar, tujuan dari dibuatnya UU ini adalah untuk mencegah penurunan kualitas anak bangsa sebagaimana yang ditulis Feri. Dan memang benar sudah ada KUHP yang mengatur masalah pornografi, hanya saja pasal-pasal di dalam KUHP tersebut menyamaratakan berbagai jenis pornografi. Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan”, maka benda itu harus dienyahkan. KUHP tidak membedakan antara sebuah novel yang didalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam pol-polan mengeksploitir masalah seks. Di dalam RUU Pornografi, media yang menyajikan adegan pornografi kelas berat memang dilarang, tetapi untuk yang menyajikan dalam kadar ringan akan diatur distribusinya (artinya tidak diperjual belikan secara bebas).
Pendidikan memang menjadi dasar moral, tetapi jika pornografi disodorkan di depan mata, di majalah dan VCD yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan, di internet, bahkan di ponsel, sanggupkan anak-anak kita, apalagi remaja yang sedang mengalami masa pubertas, menghadapinya? Bukankah lebih baik melindungi anak-anak yang masih hijau ini dari racun buruk pornografi?
Bahkan di negara-negara maju dan demokratis, majalah dewasa hanya dijual di tempat-tempat khusus, tidak dijajakan di pinggir jalan seperti di Indonesia. Untuk menghindari multitafsir, memang pasal-pasal harus disusun secara hati-hati.
Yang mengerikan dari RUU ini adalah keambiguan dan memberikan legalisasi kepada masyarakat umum untuk menjadi polisi moral.
Tuti :
Setelah kita baca lebih lanjut di pasal berikutnya, ternyata ‘peran masyarakat’ yang dimaksud di dalam RUU itu hanya terbatas pada melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Jadi bukan menjadi ‘polisi’ yang bisa bertindak sendiri.
saya pusing…
Tuti :
Minum **** mex Mbak, atau **** dol, atau **** gin (wah … tambah pusing ya, disuruh nebak-nebak nama obat … 😀 )
kl tujuannya melindungi anak bangsa
dari ancaman dampak negatif
maraknya pornografi…sy setuju
tapi pemberantasan pornografi
sy kira tak perlu ada UU baru,
cukup memakai KUHAP dan polisi turun tangan
bekerja maksimal memeranginya
btw, RUU pornografi itu masih debatable
dan sangat bnyk kelemahannya….
jd lbh baik ditunda dl pengesahannya,
semua pihak baik pro maupun kontra
harus duduk bersama membahasnya
demi mencari solusi paling pas dan bs
diterima semua kalangan di negeri nan heterogen ini
Tuti :
RUU yang pertama, “RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi” (RUU APP) memang sangat banyak kelemahannya. Setelah dibahas selama dua tahun, RUU ini diperbaiki menjadi “RUU Pornografi” (RUU P) yang isinya jauh berbeda. Pada RUU APP ada 93 pasal, pada RUU P (yang baru) hanya ada 44 pasal. Pasal-pasal tentang ‘pornoaksi’ yang menjadi ‘sumber sengketa’ sudah dihilangkan semuanya.
Memang betul, sebaiknya RUU yang baru ini dicermati secara bersama-sama, kemudian didiskusikan mana yang masih menjadi keberatan para pihak yang kontra.
Mengenai KUHP, memang tidak cukup lengkap mengatur tentang pornografi. KUHP menyamaratakan semua bentuk pornografi, sedangkan dalam RUU P dibedakan pornografi berat, pornografi ringan, dan pornografi anak. KUHP juga sudah ‘ketinggalan zaman’, karena hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal RP. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Di dalam RUU Pornografi, pemodal, produser, pembuat, penjual, pembeli, pengkoleksi sampai dengan mereka yang secara suka rela berperan sebagai model pornografi diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun dan denda minimal 500 juta dan maksimal 5 milyar rupiah.
saya juga pusying….
(sambil pegang mbun2an)
(pandang2 an sama ernut malah dipendeliki, trus mbalik…:HUH!’)
Tuti :
Waduh … DuoKribo kok kompak ‘pusing.com’ nih …
Pasal 21 itu lho…..yang paling mengacaukan.
Kadang saya berpikir apakah nggak ada pekerjaan yang lebih prioritas, yang lebih bisa meningkatkan kinerja legislatif…yang mendorong pengurangan kemiskinan atau yang langsung riel hasilnya ya….
Tuti :
Mbak Enny, maaf kalau di tulisan saya belum lengkap penjelasan mengenai Pasal 21. Ternyata (setelah saya memperoleh informasi dari sumber bacaan lain), pasal berikutnya menjelaskan bahwa ‘peran serta’ masyarakat itu hanya terbatas pada : melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Jadi bukan menjadi ‘polisi moral’ seperti yang dilakukan sebuah organisasi masyarakat yang akhir-akhir ini beritanya marak di media.
Akhirnya lumayan jelas penerangannya
Pada saat UU ini di angkat Yessi mikirnya cuma gini..ouww niatnya bagus kok..kenapa mesti takut..ini kan buat mengamankan anak anak kita juga..
Tapi
Ketika begitu banyak yang protes..dan rata rata orang seni..berarti ada pembatasan pembatasan yang ekstrem disitu.
Yessy rasa, pemerintah tidak bisa melarang hak hak individu masing masing warga negaranya.
bukan cuma sekedar baju seksi
bukan cuma sekedar baju terbuka
tapi lebihhh dari itu
dan pemerintah harus gamblanggg menjelaskannya…
Tuti :
Yessy, tentang peraturan memakai baju itu, memang ada dalam RUU yang lama, tetapi sudah tidak ada di RUU yang baru. Pasal-pasal mengenai itu sudah dihilangkan sama sekali.
Tentang ekspresi seni juga sudah diberikan ‘ruang kebebasan’ tersendiri. Jadi sebenarnya dunia seni, budaya, dan tradisi diberi ruang yang merdeka.
Pembatasan pornografi memang penting untuk melindungi anak-anak yang masih rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan.
aduhh pusing ya, kalo tdk peduli dianggap tdk ikut memikirkan nasib bangsa ini.. dipikir2 ko malah rumit dan complicated 😀
sy sih pengennya pemerintah menambah subsidi biaya pendidikan dan kesehatan, spy pendidikan di indo murah jd banyak yg sekolah, dan kesehatan murah spy semua bangsa ini bs sehat.. masa depan cerah.. itu dl aja dehh
Tuti :
Mbak Sofi adalah ‘korban’ pusing yang ketiga setelah Mbak Ernut dan Mbak Ayik … 😀
Memang betul, kalau pornografi ini akan bisa merusak moral anak-anak kita, remaja, dan juga masyarakat luas, pasti kita harus ikut memikirkannya, bukan?
Tentang subsidi bagi pendidikan dan kesehatan, saya setujuuu …
Pro atau Kontra ?
Bagi saya,
Saya punya mata, punya telinga yang harus dipertanggungjawabkan nantinya.
Saya punya keluarga yang harus saya bina.
Saya punya sanak saudara, tetangga, masyarakat yang harus saya jaga.
Sehingga apapapun yang diributkan tentang RUU Pornografi, saya tidak peduli. Yang saya peduli hanya bagaimana mata saya ini tak lagi bebas memandang yang merangsang, bagaimana telinga ini tidak lagi bebas mendengar desahan panjang,
bagaimana keluarga saya, sanak saudara saya, tetangga saya, masyarakat saya, semuanya beraktifitas dan beribadah dengan tenang.
Kenapa kita mesti menutup mata karena undang-undang ? Kenapa kita menutup aurat karena undang-undang ? Kenapa kita tidak pernah menutup mata karena Tuhan. Kenapa kita tidak pernah menutup aurat karena Tuhan. Ternyata kita malah lebih men-Tuhankan Rancangan Undang-Undang dari orang dari pada Undang-Undang dari Tuhan.
Tuti :
Bang Surya, tentu lebih mudah menjaga sanak-saudara, tetangga, dan masyarakat jika ada aturan yang berlaku dari negara, bukan? Tentu lebih mudah menjaga mata dari pandangan yang merangsang, menutup telinga dari desahan panjang, jika tontonan yang merangsang dan desahan panjang itu tidak disodorkan di depan mata dan berseliweran di telinga kita, bukan?
Kalau semua orang sudah menTuhankan Tuhan, memang tidak perlu undang-undang. Sayangnya, banyak orang yang melupakan Tuhan, dan justru menggoda orang-orang yang berTuhan. Untuk orang-orang inilah undang-undang itu dibuat.
Saya sependapat dengan Suryamaira. Dalam agama pun sudah ada kan. Hendaknya Tuhan dinomorsatukan.
tabik
EM
Tuti :
Memang aturan Tuhan harus menjadi nomor satu. Sayangnya, orang-orang yang bergerak di bisnis pornografi ini sudah menjadikan Tuhan nomor ke sekian, sehingga mengganggu orang-orang yang menomorsatukan Tuhan. Nah, pengganggu-pengganggu inilah yang akan diatur dengan UU.
Terimakasih Mbak Emiko.
Ehmm…bola bali jadi ribut ya….
Pro kontra gak habis habis.., itu pekerjaan bapak dan ibu legislatip.
Mari kita selamatkan keluarga kita masing masing, keluarga orang orang terdekat kita …
Tuti :
Betul sekali Mbak Dyah. Mari kita selamatkan keluarga kita masing-masing : suami, anak-anak dan cucu-cucu kita. Juga keponakan, tetangga, anak-anak tetangga. Caranya ? Dengan mencegah mereka diserbu tontonan, bacaan, dan hal-hal yang bermuatan pornografi. Nah, komoditi pornografi itu harus diberantas bukan? Pemberantasannya bersandar pada undang-undang yang memiliki kekuatan yuridis.
PR buat bos2 yang di atas. lain kali kalau mau bikin aturan atau apapun, disiapkan yang muateng…dibolak-balik…digenahke sing tenanan, biar nggak menimbulkan masalah2 lain di kemudian hari. Nah, kalo sudah sip, sudah clear, sudah mateng tenan. sajikan ! kalau ada yang suka dan nggak suka, pro dan kontra…ah…biasa….
toh, tidak mungkin menghendaki suara rakyat secara 100 persen menerimanya.
oh iya, komen saya ini nggak cuma buat UU-pornografi saja lho. buat UU-UU yang lain juga. jangan sampai endonesa bangetzz gitu loch…hehe…
Tuti :
Setuju. Kalau mau bikin peraturan, disiapkan dulu yang muateeng. Nah, RUU yang pertama memang kurang mateng, makanya menerima penolakan yang begitu hebat. RUU yang kedua sudah diperbaiki, tapi masih menghadapi penolakan juga. Mungkin orang sudah terlanjur apriori, atau belum mencermati RUU yang baru, sehingga penolakan-penolakan itu masih mengacu pada RUU yang pertama.
Mengerjakan hal yang musykil menjadi niscaya… memang sulit. Kata kakek saya (mendiang) ibarat mengikat beberapa potong tanduk kerbau dalam satu ikatan yang padu. Kendatipun diikat kuat-kuat (kencang-kencang), bergerak sedikit saja, ikatannya kembali longgar. (Klo blum percaya, ambil enam potong tanduk kerbau utuh, ikatlah menjadi satu kencang-kencang, kemudian goncangkan, pasti longgar).
Tuti :
Saya percaya kata-kata kakek (almarhum) Bang Sis, tapi mau buktiin juga. Cuma, nyari tanduk kerbaunya susah bang (harus enam lagi, kan berarti 3 ekor kerbau tuh …). Cari di rumah potong hewan ‘kali ya …
yah gimana yah
menurut saya RUU pornogarfi ada bagus dan ada tidak nya
kalo ruu ini gak di buat akan jadi apa penerus bangsa kita.
apa seperti thailan yang masih sama kulit dengan kita yang sekarang aja dah banyak beredar video video forno profesional. apa seperti philipina negara yang paling banyak melakukan aborsi di kawasan asia tenggara
apa seperti amerika yang menghalalkan seks bebas
yah setidaknya kalo ruu itu disahkan menjadi seperti malaysia saja kita sudah bagus
mereka melarang pacaran di tempat umum
mereka sangat sekali melarang ekspos pornografi di negaranya
Tuti :
Untuk menjadi seperti Thailand dan Filipina, jelas kita tidak ingin. Seperti negara-negara barat yang menghalalkan seks bebas, juga tidak setuju. Tapi untuk menjadi seperti Malaysia, rasanya masih agak jauh. Sangat sulit mencegah orang pacaran di tempat umum, kecuali kalau sudah benar-benar masuk dalam kategori a-susila.
Yang jadi masalah besar dari RUU pornografi ialah: TIDAK BISA MEMILAH YANG MANA (INDUSTRI) PORNOGRAFI DAN YANG MANA SEKSUALITAS SESEORANG! Semuanya digeneralisasi, ASAL TELANJANG ITU PASTI PORNOGRAFI! Tidak percaya? Coba tengok pasal-pasalnya, maka terbacalah berkali-kali “SETIAP ORANG DILARANG UNTUK………!” Semua itu tanpa membedakan apakah telanjang kaki, telanjang dada misalnya, pokoknya telanjang atau mengesankan ketelanjangan! juga tidak peduli NENEK-NENEK, ANAK-ANAK, pokoknya “SETIAP ORANG……”!
Selama definisi-definisinya masih ngaco begini, RUU Pornografi tetap akan menuai kecaman dan kritik, kecuali kalau bangsa ini memang BEGO, IDIOT DAN DUNGU!
Masalahnya adalah INDUSTRI PORNOGRAFI, tapi justru industri ini yang “lolos” dari UU ini, malah kemudian menyasar ke ruang-ruang privat!
Di AS misalnya, majalah Playboy dijual di tempat khusus, yang mau beli harus menunjukkan KTP! Kalau dijual sembarangan, langsung ditangkap sama polisi! jadi, hukum ditegakkan dengan konsekuen dan konsekuen, TIDAK SETIAP KALI BIKIN UU, APALAGI YANG NGACO, NGAWUR DAN IDIOT SEPERTI RUU PORNOGRAFI!
Tuti :
Sebenarnya, industri pornografi justru menjadi sasaran utama dalam RUU ini. Ancaman hukumannya sangat keras, jauh lebih keras dari KUHP. Pemodal, produser, pembuat, penjual, pembeli, pengkoleksi, sampai mereka yang dengan suka rela berperan sebagai model pornografi diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara, dengan denda minimal 500 juta dan maksimal 5 miliar rupiah.
Untuk pornografi anak, hukumannya lebih berat lagi. Ancaman bagi mereka yang melibatkan anak dalam pornografi adalah lebih besar 1/3 dari maksimum ancaman pidana pornografi biasa. Mereka yang mengajak, membujuk, memaksa anak untuk terlibat dalam produk pornografi diancam dengan denda maksimal 30 milyar.
Di RUU yang baru juga dibedakan antara telanjang yang pornografi dan telanjang yang berada dalam wilayah seni, budaya, dan adat (pasal 14). Memang dalam membaca sebuah pasal, kita tidak bisa membaca pasal tersebut sebagai pasal yang berdiri sendiri, melainkan harus mengkaitkannya dengan pasal-pasal lain yang berhubungan.
Wah, repot kalau gini. Mau membela siapa ya?
Bingung….!
Tuti :
Supaya tidak bingung, silahkan membaca referensi yang bisa dipercaya, Pak Edi. Saya merekomendasikan untuk membaca majalah Madina No 10 yang terbit bulan Oktober 2008.
Kalau UU ini dah jadi apa iya tempat2 lokalisasi PSK itu bakal ditutup atau malah dibiin legal seperti diskotik dan semacamnya. Sejak dulu tempat2 terebut juga masih menimbulkan kontroversi.
Tuti :
Wah, terus terang saya tidak tahu, Mas Mufti. Saya belum membaca seluruh pasal dalam RUU ini. Tapi nampaknya RUU ini lebih ditujukan pada pengaturan pornografi melalui media dan pertunjukan di muka umum.
ORANG CERDAS, WARAS DAN BERADAB PASTI ANTI PORNOGRAFI! Tapi ya itu tadi, BISAKAH KITA MEMBEDAKAN ANTARA TUBUH/SEKSUALITAS DENGAN PORNOGRAFI? APAKAH SETIAP TELANJANG ATAU KETELANJANGAN ITU ADALAH PORNOGRAFI? DISITU MASALAHNYA!
Kalau di Glodok (atau di mana saja!) VCD atau film porno dijual secara terbuka, ITU KARENA APARAT YANG SEHARUSNYA MENANGKAP PELAKUNYA TERNYATA BISA DISOGOK, BUKAN KARENA TIDAK ADA PERATURANNYA, kan? Jadi masalahnya adalah BANGSA INI TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN PERATURAN SECARA KONSISTEN DAN KONSEKUEN, itu masalahnya!
Kalau demikian, MENGAPA BIKIN ATURAN/UU BARU LAGI? NGACO, NGAWUR DAN NGELANTUS LAGI! Kenapa kita tidak memberdayakan aparat agar melaksanakan UU/Peraturan secara konsisten dan konsekuen? Kenapa justru masyarakat yang diberi kewenangan untuk bertindak seperti aparat (pasal 21 RUU Pornografi)?
Tuti :
Telanjang di dalam kamar atau ruang tertutup tentu saja bukan pornografi. Juga gambar bagian tubuh di dalam buku pelajaran biologi dan anatomi. Tapi kalau telanjang itu ditampilkan di majalah atau di atas panggung, itu adalah pornografi. RUU mengatur tentang hal ini. Bahkan ketelanjangan atau seksualitas yang terdapat di candi-candi, tidak dimasukkan dalam pornografi, karena itu mengandung muatan budaya. Demikian juga telanjang yang berkaitan dengan adat dan ritual tradisional.
Penertiban di Glodok memang harus ditegakkan, dan betul kuncinya adalah ketegasan aparat. Masalahnya, pornografi tidak hanya disebarkan melalui VCD di Glodok, tetapi juga di internet, di ponsel, di komik, di majalah, di film, di tempat-tempat hiburan malam, yang belum semuanya memiliki UU untuk dibawa ke pengadilan. Lagipula, kalau menurut KHUP, dendanya cuma Rp. 4.500,- Siapa takut dengan denda segitu? Di RUU ini dendanya minimal 500 juta, maksimal 5 miliar rupiah/
Tentang pasal 21, silahkan membaca jawaban saya untuk Bu Edratna.
HHmmm …
Saya Pribadi memilih untuk no comment untuk masalah ini Bu …
Memang pelik sekali …
Bagi saya yang namanya pornografi adalah apapun yang bisa menimbulkan syahwat …
Dan celakanya “knob” untuk menimbulkan syahwat itu berlainan kadarnya antara yang satu dengan yang lainnya …
Belum lagi kalau dihubungkan dengan Kesenian dan Kebudayaan … (jaipong, yapong, gandrung, cokek, ledek, joged bali … dsb …)
So once again … aku no comments … karena memang aku tidak mengerti …
Tuti :
Semula saya juga tidak tahu sama sekali tentang masalah RUU ini Pak. Tapi saya merasa ini penting, karena mengancam moral generasi muda (juga generasi tua). Saya kira ini tanggung jawab kita bersama. Saya juga penasaran, kenapa penolakan dari sebagian masyarakat begitu keras?
Jika ingin mendapat gambaran yang cukup jelas, selain majalah Femina yang menjadi sumber bacaan saya dalam menulis artikel ini, silakan Bapak membaca majalah Madina No 10, Oktober 2008.
masalah moral..masalah akhlak..biar kami urus sendiri…
urus saja moralmu..urus saja akhlakmu..
Tuti :
Industri pornografi yang berkembang pesat mendorong perilaku seks bebas, yang berimplikasi lebih lanjut pada : kehamilan remaja, penyakit menular, kekerasan seksual, aborsi, perkosaan perempuan, dsb.
Di Amerika Serikat, sebuah negara yang demokratis, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam pornografi cabul (obscene). Begitu sebuah materi pornografis dianggap cabul, akan langsung dinilai melanggar hukum.
Jadi, negara memang berhak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan moral.
wow…berat amat topiknya..saya gak mudeng sama sekali mbak…
Tuti :
Hehehe … kalau berat ditaruh aja, ntar pegel lho …
Silahkan baca postingan saya yang lain, banyak juga kok yang ringan dan cuma lucu-lucuan … (*promosi mode on*)
Bu Tuti, soal berubahnya hati tidak ada yang bisa membatasi. Kalau sekarang panjenengan berubah dibanding awal nulisnya, menurut saya bukan berarti bu Tuti mencla-mencle tapi berusaha mencari pencerahan yang benar.
Soal masih kontroversinya RUU ini meskipun sudah diperbaiki, saya pikir bukan masalah isinya namun komunikasinya. Menurut saya, dari fenomena yang ada harusnya disadari bahwa RUU ini bisa memecahkan bangsa kita. Soal ini saya tidak sependapat dengan Ade Armando. Dia hanya berargumentasi berdasarkan isi RUU. Dari sisi komunikasi RUU ini membawa image Islamisasi RI karena awalnya dibawa oleh kalangan wni muslim yang dianggap garis keras. Jadi setiap ada pembicaraan RUU ini yang sudah direvisi tiga kali maka bagi yang dulunya menentang tetap saja menentang. Kalau hati sudah benci apapun bisa diargumentasikan, apalagi jika mereka adalah orang-orang yang pandai tapi gelap hati yang bisa berargumentasi apa saja.
Dengan kondisi ini maka jika RUU tetap dipaksakan untuk disahkan, kok saya khawatir ini menjadi bahan mengagitasi rakyat Indonesia yang non muslim untuk berfikir berpisah dengan negara kesatuan kita. Siapa yang senang? dugaan saya Australia. Oleh sebab itu, sungguh bijaksana kalau RUU ini ditunda dulu pengesahannya sambil melakukan sosialisasi yang progresif. Gunakan semua akal untuk melakukan pengkomunikasian kepada masyarakat sehingga mayoritas memahami apa isi RUU ini yang sebenarnya.
Kuncinya sabar bu. Kalau nggak salah, KUHP produk Belanda, dulunya proses pembuatannya sampai pengesahannya butuh sampai 15 tahun karena saat itu isunya memang penuh kontroversi. Karena sekarang zaman modern maka alat-alat komunikasi sudah sangat maju dibanding dahulu sehingga jika memang ingin disahkan tanpa adanya gejolak ya butuh waktu tapi mungkin gak sampai 15 tahun seperti KUHP. Terlepas dari isinya yang katanya sudah jauh lebih moderate daripada yang awal seiring berjalannya waktu untuk pengesahan yang disadari akan panjang mungkin perlu perbaikan yang isi pasal-pasalnya “ngambang”.
Sekali lagi bu, bukan isinya yang jadi masalah namun komunikasinya.
Tuti :
Saya setuju pendapat Pak Eko, memang yang menjadi masalah dalam RUU ini adalah komunikasi dan sosialisasi yang belum cukup, sehingga masih terjadi ‘kesalahpahaman’ oleh banyak pihak. Saya sendiri belum membaca naskah RUU ini, dan hanya mencoba memahaminya dari ulasan di berbagai media.
Memang sudah lama saya tertarik dan ingin mengetahui isi RUU (sejak masih draf awal/RUU APP). Tapi karena merasa belum cukup memiliki referensi, saya tidak berani menulis. Nah, waktu membaca Femina, saya pikir saya sudah memperoleh informasi yang memadai, sehingga saya beranikan diri untuk menulis. Eh, ternyata ada ulasan lain di majalah Madina, yang membuat pandangan saya berubah. Jangan-jangan besok ada tulisan lain lagi, yang membuat saya berubah pikiran lagi (waduuh …. bingung saya).
Begitulah rupanya. Saya yang sudah membaca beberapa ulasan saja (maaf, sama sekali bukan bermaksud menyombongkan diri), ternyata masih belum memiliki pemahaman yang benar-benar mendalam, apalagi masyarakat yang sama sekali belum pernah mengikuti diskusi tentang RUU ini, dan hanya mendengar/membaca sepotong-sepotong. Kemungkinan terjadinya salah pemahaman pastilah sangat besar. Nah, kalau pemahaman yang tidak tepat itu lalu menimbulkan disintegrasi, memang berbahaya.
Mudah-mudahan ada kearifan dari semua pihak untuk menyelesaikan kontroversi RUU ini dengan sebaik-baiknya.
porno atau tidak porno adalah bagaimana kita memaknai dan memikirkannya.
Candi Cetho di Karanganyar Jawa tENGAH adalah sebuah Candi dengan relief yang menggambarkan proses pertemuan “Lingga” (alat kelamin laki2) dan “Yoni” (kelamin perempuan).
Jika kita melihatnya dan memaknainya sebagai porno ya jadinya porno, tapi jika memaknainya sebagai sebuah hakekat kehidupan yang bisa dikatakan selalu dimulai dengan pertemuan “Lingga” dan “Yoni” maka hal tsb adalah pelajaran hidup.
Lha kalau terus RUU APP disahkan, apakah candi tsb akan dibongkar? Jika iya, maka hilanglah satu sumber pengetahuan tentang kehidupan…
Tuti :
Sebenarnya, pengertian pornografi sudah dirumuskan dalam RUU ini, yaitu : “Materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.
Pengertian yang sama dengan definisi di atas bisa kita jumpai pada Ensiklopedi Encarta 2008 dan English Learner’s Dictionary (1986-2008).
Mengenai hal-hal yang mengandung atau menampilkan muatan seksualitas, namun berada pada wilayah seni, budaya, dan adat/ritual tradisional, tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang dalam RUU ini (Pasal 14). Jadi jangan khawatir, simbol yoni-lingga di banyak candi, juga relief-relief di candi Sukuh, tidak akan dibongkar.
semoga ruh dari RUU Pornografi ini bisa mengubah Indonesia menjadi negara dengan masyarakat yang santun dan damai..
dengan atau tanpa UU tetap menolak pornografi…
Tuti :
Setujuu! Pornografi itu merusak … sak … sak … sak! Memicu seks bebas, aborsi, perkosaan, kekerasan seksual, dan yang jelas : sumber dosa. Tapi bisnis pornografi ini memberikan keuntungan yang sangat besar, dan melibatkan jaringan seperti mafia, sehingga sangat sulit memberantasnya.
dengan atau tanpa adanya RUU ini saya harap Indonesia dibebaskan dr org2 yg berusaha menghancurkan kualitas anak bangsa. Memang kenyataan ga semudah harapan krn hukum disini msh mencla mencle dan media televisi sbg media komunikasi terfavorit warga Indonesia menjadi salah satu penyokong hancurnya kualitas anak bangsa. Gimana ga hancur, semalem saya liat sendiri di salah satu stasiun tipi yg ngakunya Makin Indonesia… anak yg msh kecil, jgn2 msh TK, menggunakan rok yg sangat pendek berjoget, meliuk2an suara dan tubuhnya layaknya penyanyi dangdut profesional… jelas2 ini ga bener dan saya yakin banyak rakyat yg protes tp apa tindakan pemerintah kita? NOTHING!
saya harap jika RUU ini jd disahkan bangsa ini akan lebih baik, tidak tambah carut marut seperti skrg.
Tuti :
Anak kecil dengan rok mini yang berlenggak lenggok itu belum apa-apa, Mbak Ida. Banyak VCD yang covernya film kartun, ternyata di dalamnya berisi ‘adegan kelas berat’ untuk orang dewasa. Anak teman saya yang menonton video ini menjerit ketakutan, dan mengalami trauma psikis.
Juga, sangat banyak kejahatan perkosaan yang dipicu oleh VCD porno. Pelakunya mulai dari anak SD sampai kakek-kakek. Korbannya bukan hanya wanita dewasa yang berpakaian seksi, tapi anak-anak kecil yang tidak punya kemampuan melawan.
Memang pengaruh pornografi ini sangat buruk, sehingga pembatasan media dan pertunjukan yang bermuatan pornografi sangat diperlukan.
Entah di komentar post ini ataupun di tempat lain, saya melihat banyak sekali orang2 yg pesimis dg UU antipornografi hampir selalu karena hal ini rawan menimbulkan konflik dan pertentangan. Saya kira sebelum UU antipornografi disosialisasikan, pemahaman tentang dampak negatif pornografi juga perlu digencarkan. Dari situlah kemudian kita akan jadi lebih nyadar, “Oiya ya, ternyata negara emg harus turun tangan sampe segitu. Soalnya aku ndak bisa berprasangka baik semua keluarga akan baik2 saja spt keluargaku”, misal. Bahkan negara juga berhak membuat definisi dan cakupan tentang pornografi jika maksudnya memang untuk melindungi.
Posting dan tanggapan komen yg bagus sekali, Mbak 🙂
Tuti :
Wah, komentar yang bagus, mas Guntar.
Betul, seharusnya edukasi mengenai bahaya pornografi dan fenomena maraknya pornografi sekarang ini disosialisasikan juga, agar masyarakat ‘ngeh’. Lalu isi UU Pornografi juga disosialisasikan, agar orang tahu bahwa UU Pornografi ini jauh berbeda dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (yang memang bermasalah).
Btw, RUU Pornografi sudah disyahkan menjadi UU kemarin, tanggal 30 Oktober 2008. Semoga saja segera diikuti sosialisasi yang benar-benar sampai ke masyarakat, sehingga Provinsi Bali dan Maluku Utara yang masih menolak kemudian bisa menerima. Jika memang perlu aturan tambahan untuk memperjelas pasal-pasal yang dianggap masih multitafsir, ya segara saja dibuat.
Respons2 Mbak Tuti terhadap tanggapan di posting ini malah lebih bagus daripada postingnya sendiri 🙂 Postingnya cenderung “main aman”, sehingga malah ngambang: sebenarnya menurut Mbak Tuti sendiri bagaimana ;)?
Saya setuju pada pernyataan Mbak Tuti (dalam respons) bahwa mereka yang menolak UUP umumnya terlihat kurang teliti membaca draft-nya 🙂 Pokoknya menentang dulu, nggak perlu baca 🙂
Padahal, perombakannya sudah total. Sudah jauh lebih baik daripada RUU APP.
Lama2 saya pun melihat bahwa akhirnya ini masalah menang-kalah aja 🙂 Keburu melihat UUP sebagai simbol, makanya pengesahannya dilihat sebagai “kekalahan” atau “kemenangan” pihak tertentu saja.
Kalau sudah dilihat sebagai simbol belaka, mau diperbaiki sebaik apa pun ya tetap ada penolakan 🙂
Tuti :
Terimakasih, May …
Sebagaimana saya tuliskan pada ‘catatan pengantar’, artikel ini saya tulis ketika saya baru membaca majalah Femina. Sesudah banyak komentar masuk, saya membaca majalah Madina, yang ternyata memberikan wawasan lebih luas dan lebih komplit. Saya tetap membiarkan artikel saya seperti apa adanya, sebab kalau saya menggantinya dengan wawasan saya yang baru, saya merasa seolah-olah ‘mengkhianati’ pembaca yang sudah memberikan komentar berdasarkan tulisan saya yang lama. Nah, wawasan baru yang sya peroleh dari majalah Madina saya pakai sebagai referensi untuk menjawab komentar yang masuk.
Saya berharap pengunjung blog membaca artikel maupun komentar dan jawaban-jawaban saya untuk komentar, meskipun pada kenyataannya sebagian pembaca hanya membaca artikel saja dan langsung menuliskan komentar mereka. Jadinya, beberapa hal yang sudah saya sampaikan pada komentator sebelumnya tidak diketahui oleh komentator berikutnya.
Saya setuju pendapat May, bahwa banyak pihak yang menentang UU ini karena sudah terlanjur apriori. Mereka masih terpancang pada RUU APP. Padahal UU P sudah banyak diperbaiki, tapi mungkin mereka sudah tidak mau melihat lagi.
Kirain dah damai..tahunya masih ribut aja ya..
Yg bikin RUU pelanggarnya jangan jangan.
Aku sangat setuju RUU ini..
Tuti :
Memang masih ada perbedaan pendapat. Semoga segera tercapai kesepahaman di antara kita semua.
semoga negeri nie bbs dri para koruptor………amien!!!!!!!!!!!!!!!!!
wahh gitu aja kok repot…
heheheeeee……..
kan sudah cukup tersirat dan tersurat /…
heheheee……….
Tuti :
Tersirat dan tersurat di surat yang mana? 😀
bisa jelaskan apa itu tersurat dan tersirat???????????
kita harus tuntas kan masalah yg ada di negeri tercnta ini…………wh parah ug