KOTA TUA YANG PANDAI MENJUAL JASA
Melaka adalah sebuah kota tua di Malaysia, terletak di tepi Selat Malaka. Geografinya berhadapan dengan provinsi Riau, dan berdekatan dengan Sumatera Utara. Meskipun kota tua, Melaka memiliki kelebihan yang jarang dimiliki kota-kota di Indonesia. Apa itu? Menangguk devisa dari orang-orang sakit yang datang berobat.
Selain wisata ‘sakit’, Melaka juga menjual wisata budaya yang cukup menarik. Sebagai kota tua, Melaka memiliki sejarah panjang, dan masih banyak dijumpai artefak-artefak yang bernilai historis. Melaka pernah dikuasai oleh Portugis, Belanda, dan juga Inggris, sebelum akhirnya merdeka dan menjadi bagian dari negara Malaysia.
Dari bandar udara internasional KLIA di Kuala Lumpur, kami bertiga (saya, suami dan seorang staf) langsung meluncur ke Melaka dengan mobil jemputan. Perjalanan dari Kuala Lumpur ke Melaka memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sebelum tiba di Melaka, kami singgah di Negeri Sembilan, sebuah negara bagian Malaysia yang memiliki kemiripan budaya dengan Minangkabau.
Oh ya, sebelumnya mohon dimaafkan, hampir semua foto disini memuat wajah saya. Maklum, pada waktu itu (2005) saya belum tertarik memotret, masih suka dipotret (halah!) dan beranggapan bahwa yang namanya foto ya harus ada orangnya (pendapat yang sungguh naif dan narsis pol … hehehe).
Teratak Perpatih, salah satu bangunan di Negeri Sembilan yang memiliki bentuk serupa bangunan di Minangkabau
Di Melaka terdapat beberapa rumah sakit bagus, salah satunya adalah Mahkota Medical Centre (MMC). MMC memberikan pelayanan kesehatan yang sangat baik. Dan tahukah anda, bahwa sekitar 80% pasien rumah sakit di Melaka adalah warga negara Indonesia yang berasal dari Riau, Medan, Jambi, dan kota-kota di sekitarnya? Dari pada ke Jakarta, mereka lebih memilih berobat ke Melaka. Selain lebih dekat, pelayanannya juga (konon) lebih bagus. Biaya transportasi ke Melaka juga cukup murah, karena pemilik KTP Riau dan Sumatera Utara tidak perlu membayar fiskal untuk masuk ke Malaysia. Perjalanan dari Pekanbaru (Riau) ke Melaka bisa ditempuh dengan pesawat terbang selama 30 menit, atau ferry selama sekitar tiga jam. Bandingkan dengan pergi ke Jakarta, yang dengan pesawat udara membutuhkan waktu 1,5 jam.
Sesungguhnya, kami pergi ke Melaka karena ‘terhasut’ (halah!) untuk melakukan medical check up di MMC. Pada waktu itu kesehatan suami saya sedang kurang bagus, dan kebetulan memang ingin melihat kota yang kaya budaya ini, sehingga pergilah kami ke sana. Reservasi kami lakukan dari Indonesia via internet dan telepon. Kami mengambil paket general check up termasuk menginap dua malam di hotel Mahkota yang dimiliki oleh MMC. Begitu banyaknya pasien dari Indonesia, sehingga MMC membangun hotel di dekat rumah sakit untuk menginapkan keluarga pasien, dan pasien yang tidak perlu opname. Pihak MMC bahkan mengatur penjemputan dari bandara KLIA, dan menyediakan mobil antar jemput gratis dari hotel ke rumah sakit. Sampai segitunya mereka melayani pasien!
Mahkota Medical Centre, rumah sakit dengan fasilitas dan pelayanan yang mengutamakan kepentingan pasien
Kolam renang dan salah satu sisi bangunan hotel Mahkota
Kami tiba di Melaka lewat tengah hari, langsung masuk ke hotel. Hotel Mahkota cukup bagus, setara dengan hotel bintang empat. Karena jadwal check up kami baru keesokan harinya, maka kami menghabiskan setengah hari itu dengan jalan-jalan ke beberapa peninggalan sejarah dan budaya.
Peninggalan tertua yang ada di Melaka adalah Pintu Gerbang Santiago atau Porto de Santiago. Pintu Gerbang Santiago merupakan salah satu dari empat pintu masuk ke kota Melaka. Pintu Gerbang ini dibangun oleh tentara Portugis yang menaklukkan Melaka pada tahun 1511 dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Tentara Portugis membangun benteng dan pintu gerbang untuk melindungi Melaka dari serangan Sultan Mahmud, juga gempuran dari kesultanan Aceh dan Johor. Benteng selebar 3 meter ini dibangun dengan mengerahkan tenaga kerja paksa. Untuk mengawasi musuh yang datang menyerang, dibangun menara pengintai setinggi 40 meter di bagian barat daya benteng.
Sisa-sisa Pintu Gerbang Santiago, saat ini dijadikan cagar budaya yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun manca negara
Di sebelah kanan (kalau kita menghadap Pintu Gerbang Santiago) terdapat gedung bersejarah tempat dideklarasikannya kemerdekaan Melaka, disebut Memorial Pengisytiharan Kemerdekaan atau Proclamatic of Independence Memorial. Gedung ini masih terawat dengan baik, tampak megah dengan jajaran bendera negara-negara bagian Malaysia.
Memorial Pengisytiharan Kemerdekaan, terletak di samping Pintu Gerbang Santiago
Di belakang Pintu Gerbang Santiago terdapat Istana Kesultanan Melaka yang juga sudah dijadikan cagar budaya. Dahulu istana ini terdapat di dalam benteng, tetapi dinding benteng dihancurkan oleh tentara Inggris pimpinan William Farquhar pada tahun 1807. Sir Stamford Raffles dan Lord Minto berusaha mencegah penghancuran ini, tetapi yang berhasil diselamatkan hanya Pintu Gerbang Santiago. Sayang pada saat itu istana ditutup karena hari sudah sore, sehingga kami tidak bisa masuk untuk melihat isinya.
Pintu pagar Istana Kesultanan Melaka tertutup rapat, sehingga kami tidak bisa masuk dan melihat isinya
Jika kita masuk melalui Pintu Gerbang Santiago, kita bisa naik ke bukit St Paul. Di puncak bukit ini terdapat gereja kuno dan patung orang suci St Paul. Saya menemani Evi, staf kami yang beragama Katholik, naik hingga ke gereja di puncak bukit. Gereja ini sudah sangat tua, dan sudah tidak dipergunakan lagi. Meskipun jalan naik sudah dibuat dengan tangga keramik yang rapi, mendaki bukit kecil itu cukup membuat napas kami kembang kempis … hosh … hosh … Saya sungguh iri melihat seekor kucing yang berlari-lari dengan santai menaiki tangga bersama kami (ya iyalah, dia kan kucing … )
Di kawasan Pintu Gerbang Santiago juga terdapat Muzium Kecantikan, yang sayang seribu sayang, juga sudah tutup. Bangunan museum ini, seperti juga bangunan-bangunan lain disitu, dicat dengan warna merah bata yang menyolok. Di pelataran konblok yang menghubungkan Memorial Pengisytiharan Kemerdekaan, Pintu Gerbang Santiago, Muzium Kecantikan, dan bangunan-bangunan lain disitu, becak-becak Melaka melaju dengan leluasa. Becak-becak ini sangat meriah karena dihias dengan bunga plastik warna-warni di sekujur badannya. Lagu-lagu diputar melalui tape recorder becak yang disetel keras-keras. Wah, kalau penumpang mau ngobrol, mereka mesti bersaing keras melawan suara musik dan lagu dari tape recorder becak!
Becak Melaka yang penuh bunga aneka warna
Muzium Kecantikan, Museum of Enduring Beauty. Apa gerangan isinya?
Melaka adalah kota museum. Tidak jauh dari Muzium Kecantikan, terdapat Muzium Kapal. Bangunan ini berupa kapal asli, yang sudah dimodifikasi sehingga pengunjung bisa masuk ke dalamnya, serupa dengan Monkasel (Monumen Kapal Selam) yang ada di Surabaya. Bedanya, yang terdapat di Melaka ini adalah kapal terapung, sedangkan yang ada di Surabaya adalah kapal selam Pasopati yang pernah dipakai TNI AL dalam menjaga kedaulatan negara.
Dalam keremangan senja, Muzium Kapal ini tampak seram seperti kapal hantu …
Esoknya, saya dan suami menjalani medical check up di MMC. Selain pelayanannya yang cekatan dan profesional, sebenarnya peralatan yang dimiliki rumah sakit ini tidak terlalu berbeda dengan rumah sakit di Indonesia. Kebetulan beberapa minggu sebelumnya suami saya melakukan general check up di sebuah rumah sakit swasta terbesar di Yogya, sehingga saya bisa membandingkan fasilitas medis yang dimiliki kedua rumah sakit ini. Check up di MMC ini diinginkan suami saya sebagai pembanding check up di Yogya, dan hasilnya ternyata tidak terlalu jauh berbeda. Oleh sebab itu, bagi yang belum ‘terlanjur’, nggak usahlah jauh-jauh pergi ke Melaka!
Yang sering kali menggelikan selama berada di Melaka, adalah perbedaan bahasa Malaysia dengan bahasa Indonesia. Pada saat difoto rontgen, petugas foto meminjami saya karet gelang untuk mengikat rambut, agar tidak mengganggu pemotretan. Ketika selesai, saya langsung keluar ruangan, lupa tidak mengembalikan karet pengikat rambut. Eh, siapa sangka petugas itu berteriak-teriak “Getah, getah!” sambil menunjuk ke kepala saya. Saya kebingungan, nggak ‘ngeh’ apa maksudnya. Baru setelah ia memegang-megang rambutnya, saya ‘mudheng’ bahwa yang dimaksud ‘getah’ itu adalah karet gelang yang dipinjamkannya. Whoalaaah …. cuma karet gelang saja kok ya diminta kembali lho. Di rumah saya punya sebakul, Encik!
Ah, Melaka kota tua, Melaka yang pandai menjual wisata lara …
Pemandangan sebagian kota Melaka dari kamar hotel Mahkota
Kesimpulan, cukup periksa di ‘JIH’ aja ya bu. Pelayanan en fasilitas hampir sama?
petugas rontgen RS MMC itu amanah berarti. Meskipun cuma ‘getah’, tetap itu aset RS. *beuh…aset??*
Tuti :
Betul, Yod. Cukup periksa di Yogya saja. Cuma, waktu itu Jogja International Hospital (JIH) memang belum ada. Eh, sekedar informasi, JIH ini milik UII lho (sebagai ‘orang’ UII, boleh dong saya bangga … π ).
Aset getah? Haha. Kenapa nggak disediain saja sekotak getah, jadi petugas nggak usah sibuk berteriak meminta getahnya dikembalikan … π
yuhui verandanya guanti…ada yang ayu di situ..
btw kaluk mbak tut malangkirik di Jakarta pasti ada yang nyeletuk :”maaf, Jakarta udah sempit, bung!” qiqiqi…
(memang malangkirik agak menghabiskan tempat)
muaah!
Tuti :
Yuhui … iyaa … Sekarang sudah agak pe-de, berani pasang poto di image header π
Haa? Malangkirik? Malangkerik kaleee …. (kalau ‘kirik’, itu guk-guk cilik yang kalau digusah lari njranthal sambil kaing-kaing … ). Nah, kalau ‘mbalang kirik’ , itu baru bener … π
Di Yogya masih longgar Mbak, jadi kalau ada orang malangkerik, bukan diomeli, tapi malah digandeng (orang menyelipkan tangannya ke sela-sela pinggang dan lengan kita …. qiqiqi …). Tahu nggak, dimana lokasi saya cari gandengan … eh, malangkerik itu? Kalau tebakannya benar, ada hadiah uapiiik untuk Mbak Ernut. Muaaah …!
Waaah…tampilan verandanya ganti….elook… Btw…itu depan kantor pos ya ?? Ok lah, promosikan Jogja… Kok kalo di foto bagus banget ya…opo pancen bagus… Aku isin kok ngalem awake dewe…(pak wali dan saya ….)
Tentang Melaka, saya sudah kesana beberapa tahun lalu, memang ada rumah sakit yang perlu saya datangi untuk cari info, ketika ibu mau berobat… jadi ceritanya survey rumah sakit… Jadi, nggak mikir foto2. Cuma yang terasa kok seperti ada kesamaan yang lumayan banyak dengan rumah rumah di Sumatra … Itu saja…
Tuti :
Hehehe …. iya, habis sudah luamaaa pakai image header taman rumah Jl. Kaliurang, kepengin ganti wajah biar nggak bosen. Betul sekali, foto itu saya ambil di depan Kantor Pos Besar, bulan Mei 2008 yang lalu, sekitar jam 10.00 pagi. Waktu itu saya sedang hunting foto Kantor Pos Besar, Gedung BI, BNI, Gedung Agung, Monumen 1 Maret, Benteng Vredeburg dan Kraton. Gedung-gedung itu difoto bagus sekali lho. Tamannya juga kelihatan bagus ya. Yang jelek cuma satu, model yang pakai baju hitam dan berkacak pinggang itu … π
Ya, kami mendapat referensi tentang rumah sakit di Melaka dari teman-teman di Riau. Hampir semua pejabat Riau kalau sakit perginya ke MMC, nggak ke Jakarta. Memang RS di Singapura lebih dikenal bagus reputasinya, tapi biayanya kan sangat muuaahal. Nampaknya pemerintah Melaka memang sedang bergiat mempromosikan jasa medis di Melaka untuk merebut sebagian pasar Singapura.
Kalau ke Melaka tidak mengunjungi obyek-obyek budayanya …. wah, rugi Mbak. Di sekitar Pintu Gerbang Santiago itu sangat banyak obyek yang menarik. Banyak rumah-rumah di Melaka yang mirip rumah-rumah di Sumatera, karena menurut sejarahnya, Melaka memang memiliki hubungan yang sangat erat dengan Sumatera (khususnya Riau). Laksamana Hang Tuah, tokoh legendaris Melayu itu, hidup di antara dua tempat itulah, Riau dan Melaka.
Salam …
walah kerent habis pokoknya
salam kenal
Tuti :
Salam juga Pak Doel …
Terimakasih habis pokoknya … π
Saya sering dengar Melaka memang kota tua yang menarik di Malaysia Mba Tuti, karena konon masuk ke dalam list wisata lonely planet di Malaysia. Hm.. tapi saya baru tahu kalau ternyata dia juga sering dikunjungi untuk wisata kesembuhan. Hehehe… thanks buat ceritanya Mba, jadi pengen ke Melaka, tapi gak mau sakit dulu. hehehe… Apa kabarnya Mba? dah lama tak jumpa. salam -japs-
Tuti :
Hallo Japs ….. wah, lama sekali menghilang, kemana aja?
Iya Japs, Melaka memang kota yang cantik. Bangunan-bangunan tuanya masih terpelihara dengan baik, tapi di sebagian kota yang lain sudah tumbuh menjadi kota modern. Wah, apa itu maksudnya ‘wisata lonely planet’? Baru dengar nih.
Memang perlu ke Melaka, Japs (tentu saja nggak usah sakit dulu …. π ). Kalau mau rada bergaya ‘backpacker’, bisa ambil jalur Batam – nyebrang ke Singapura pakai ferry – dari Singapura naik bus sampai perbatasan Malaysia – ganti bus menuju ke Melaka (lewat Johor). Bisa sambil motret sepanjang perjalanan … murah dan asyik!
Alhamdulillah saya baik-baik saja Japs, posting juga terus (kayaknya cukup banyak postingan saya yang terlewat oleh Japs … hehehe).
Keep blogging, Japs. Take care …
He..he.. jauh-jauh dari Yk ke Melake… nak cari ubat.
Kami pun gitu, ya ke Ipoh ya ke Penang.
Rabu nanti kami juga ke Adventist Hospital Penang, melakukan General Chuck-up, dan rencananya Minggu baru baleeek ke Medan (ijin tidak masuk kerja 3 hari).
Kenapa mesti nyeberang, karena mereka cepat mengambil kesimpulan dan cepat mengambil tindakan.
Dan kita belajar juga dari pengalaman sih.
Tuti :
Iya Bang, saya ke MMC gara-gara termakan ‘hasutan’ … π
Tapi kayaknya nggak lagi lah, soalnya mahal di transportasinya. Fiskal saja sudah 1 juta, pesawat Yogya – Jakarta – Kuala Lumpur (pp) dengan Garuda sekarang juga muahalll. Apalagi kalau cuma untuk check up. Bisa-bisa habis check up malah sakit …. mikirin kantong yang jebol …. wakakaka π
Memang ada Air Asia yang berangkat dari Solo langsung KL, tapi … ooh no! Cerita adik saya yang naik Air Asia sungguh terlunta-lunta, dan bikin orang naik darah karena manajemen yang aneh bin ajaib.
Saya belum pernah ke Ipoh dan Penang, dan baru tahu sekarang kalau ‘bisnis sakit’ Malaysia nggak cuma di Melaka. Wah, gimana nih negara kita? Mosok gak bisa bikin rumah sakit yang bagus ya? π¦
Mbak Tuti & mbak Dyah,
Saya 12-14 Nop 2008 ke Malaka untuk acara rundingan bilateral dengan “rakan’rakan” kita dari Malaysia. Kamisnya saya cek kesehatan di RS Putera tapi dengan dokter langganan saya yang sudah pindah dari MMC.
Seperti yang mbak rasakan, pelayanan disana memang prima dan full ramah tamah dan senyum sehingga sebagian rasa sehat sudah bersemayam dalam diri pasien. Yogya yang orangnya tidak kalah santun, ramah, dan sopan mestinya bisa juga punya RS unggulan dalam arti bisa lebih murah dan berkualitas karena banyak F-Dok, khususnya UGM disana. Kali nanti orang bisa ke Yogya tidak hanya untuk lihat anaknya sekolah dan jalan-jalan tapi sekalian berobat atau check-up dengan memuaskan.
Kembali ke Malaka tadi, alhamdulillah hasil checkup saya baik dan pengalaman saya kateter jantung saya tulis di blog saya. Salam dari Pekanbaru.
Tuti :
Pak Feizal, ide yang bagus sekali untuk membuat rumah sakit unggulan di Yogya, apalagi Fakultas Kedokteran di Yogya bukan cuma di UGM Pak, tapi ada juga di UII (Universitas Islam Indonesia) dan UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). UII malah sudah punya rumah sakit sendiri yang besar dan bagus, yaitu JIH (Jogja International Hospital) di Jalan Lingkar Utara.
Hanya saja, soal profesionalisme dan keramahan pelayanan, kita memang masih harus banyak belajar. Saya tidak tahu, ini soal mental atau soal manajemen (dua-duanya ‘kali ya?). Benar sekali Pak, orang Yogya yang santun dan ramah (*ge-er.com* π ) mestinya bisa melayani pasien tidak kalah dengan keramahan orang Malaysia.
Hallo Mbak Dyah, bagaimana ini? Moga-moga sesudah jabatan Walikota berakhir, Pak Hery jadi Gubernur ya, supaya bisa membangun wisata medis di Yogya. Mosok kalah sama Melaka, iya toh?
Elok lho, kalau Yogya bisa menjadi kota pendidikan, kota budaya, sekaligus kota sakit …. (lho, kok sakit? penyembuh sakit maksudnya ….. π )
Tulisan yang menarik mbak Tuti, Bangunan di Negeri Sembilan mirip sekali dengan rumah gadang.
Hmm… mungkin karena kepiawaian para marketernya sehingga semua pada pergi kesana mbak Tuti ya. Oh mereka menyebut “karet gelang” dengan “getah”? Ada teman Malaysia di Canada dulu, biasanya kita bercakap dengan bahasa melayu. Walaupun berbeda tetapi masih bisa dimengerti dengan baik.. π thanks
Tuti :
Memang asal-muasal penduduk di Negeri Sembilan adalah dari Bukittinggi, sehingga budaya mereka memang sama.
Betul Mbak Yulis, selain karena promosi dan pemasaran yang bagus, pelayanan mereka juga sangat baik. Ketika saya ulang tahun, MMC mengirimkan kartu ucapan selamat (tanggal lahir saya kan ada di data base mereka). Mereka juga mengingatkan ketika tiba waktunya untuk melakukan check up ulang. Rumah sakit di Indonesia mana ada yang mau repot-repot seperti itu (entahlah kalau sudah ada rumah sakit bagus yang melakukannya).
Di telinga kita, bahasa Malaysia memang terdengar lucu, Mbak. Misalnya, ‘tandas’ itu berarti ‘buang air’. Memang konotasinya hampir sama sih : membuang isi perut sampai habis tandas …. hehehe …
nice info..bu..
salam kenal..
Tuti :
Terimakasih Emma, salam kenal juga
Emang betul Mbak, kebudayaannya Negeri Sembilan rada mirip dengan Minangkabau, makanya kota Seremban (Negeri Sembilan) dengan Bukittinggi dibilang Kota Kembar. Tapi Mbak, saya pernah baca diinternet, katanya orang Malaysia perlakuannya nggak begitu bagus sama orang Indonesia. Pernah baca diinternet, kalo ketemu orang Indonesia mereka suka teriak gini: “Bunuh saja itu Indon”. Bahkan pernah dengar ada istri pejabat kedutaan yang diperlakukan kasar, atau cerita tentang wasit karate yang dikeroyok? Apa sekarang mereka sudah berubah? Syukurlah kalo iya….. Kan kita sodaraan ya Mbak ya….?
Tuti :
Ya, betul, saya baca di sejarah Negeri Sembilan, memang dulu-dulunya penduduk Negeri Sembilan berasal dari Sumatera Barat.
Tentang sikap dan perlakuan tidak baik orang Malaysia terhadap orang Indonesia (khususnya TKW dan TKI), memang pernah heboh beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya yang ‘jahat’ adalah policy (kebijakan) pemerintah Malaysia, bukan masyarakat Malaysia pada umumnya. Di Malaysia ada polisi swasta yang akan dibayar 100 ringgit jika bisa menangkap TKI/TKW gelap. Polisi bayaran ini (saya lupa namanya) juga diperlengkapi dengan senjata, dan boleh menangkap tanpa surat perintah.
Memang banyak tenaga kerja Indonesia yang masuk secara illegal ke Malaysia, tetapi Pemerintah Malaysia juga tidak boleh sewenang-wenang memperlakukan TKI. Mereka harus ingat, 80% tenaga kerja yang membangun Malaysia, khususnya di bidang konstruksi, adalah orang-orang Indonesia, mulai dari insinyurnya sampai tukangnya. Putrajaya, pusat pemerintahan yang mereka bangga-banggakan itu, sebagian besar tenaga kerja pembangunnya adalah TKI. Perkebunan-perkebunan sawit Malaysia juga tidak akan jalan tanpa TKI.
Apakah mereka sudah berubah? Saya tidak tahu. Tapi akhir-akhir ini memang jarang terdengar berita penganiayaan TKI oleh polisi Malaysia.
Kayaknya yang mengangggap saudara itu hanya kita Dwi, mereka tidak. Mentang-mentang mereka lebih kaya, mereka memandang rendah kepada kita.
Sekedar info, mass media di Malaysia sangat dikontrol oleh pemerintah. Perlakuan buruk polisi Malaysia terhadap TKI tidak pernah muncul dalam berita di koran-koran dan TV Malaysia, sehingga rakyat Malaysia sendiri tidak tahu perilaku polisi dan pemerintah mereka yang brutal.
mbak Tut,
saya juga pernah mencuba foto di lokasi yang sama di header itu ( bukan di melaka…), tapi berhubung lagi jam padat orang lewat maka fotonya kok gak bagus jadinya. Abis mau dijepret…ada yang permisi numpang lewat. Baru mau ngaksi…ada orang lewat yang gundulnya ikut kejepret…
setelah tak amati fotonya, saya jadi berpikir, yang bikin fotonya gak bagus bukan orang2 yang wira-wiri itu,tapi yang dipotretnya inihh…..(menungsa foto modele ini…) qiqiqi
Tuti :
Lhooh, waktu saya potrek itu, lokasi memang disterilkan (halah!) oleh satu batalyon Brimob, Mbak Ayik. Polisi yang sangar-sangar itu, dengan bersenjata senapan laras panjang membuat pagar betis, mengusir semua orang yang mau lewat supaya saya tidak terganggu berpotrek-ria. Lha itu, satu orang yang nekat menerobos pakai sepeda motor itu (tampak di sebelah kanan foto), ditangkep dan sekarang masuk penjara ….. *nglindur.com* Wakakaka …. π π
Seperti biasa …
Ibu Tuti (-)K selalu bisa menghadirkan laporan pandangan mata yang sangat komprehensif …
Membuat saya kepingin bertandang kesana …
Dan yaa … saya juga penasaran apa sih isi musium kecantikan itu … π
Salam saya ibu
NH
Tuti :
Seperti biasa juga, terimakasih Om Trainer …
Kayaknya kalo saya bikin biro promosi pariwisata bakal sukses ya Om?
Btw, sekali-sekali panggil saya ‘mbak’ atau ‘dik’ napa, Om? Lha kalo orang setua Om saja (*digampar Om Naher*) panggil saya ‘ibu’, ntar yang muda-muda panggil saya ‘nek’ dong ….. ihiks … π¦
Lihat poto saya di image header, masih kayak umur 17 kan *sinting.com*
eiiiittt…., Bude Tuti melancong lagi, kali ini ke negeri jiran Malaysia yaa. Iri Opa Bude Tuti, dulu Opa berharap bisa ke Malaysia pada acara wisuda MSc-nya Mami di Universiti Putera Malaysia di Selangor… Tapi dengan banyak pertimbangan tak sampailah niat Opaku itu, tapi tak apalah ya Bude, Bude Tuti sudah mewakilkan hehe… π
Rumah sakit kat malaysie tu orangnya betul-betul baik sangatlah. Mami pernah dirawat di Rumah Sakit Kajang karena cedera musibah jalan raya, hari ketiga Mami diantar pake ambulance ke Melaka untuk diterbangkan ke Pekanbaru (kalau lewat KLIA terlalu besar bandarnya, mami tak boleh banyak gerak). Ambulancenya mewah sangat, supir dan perawatnya tak mau terima apa-apa. Mereka baru tinggalkan bandara setelah Mami terbang. π Mami tak bawa duit, untung semua biaya ditanggung Universiti. Kata Mami disana banyak dokter orang Indonesia lah, gaji nya besoooo…. hehe.. sayang nggak sebeso gaji Opa yaaa…
Tuti :
Bude melancongnya sudah lama kok Daffa, tahun 2005. Tapi baru diceritakan sekarang, soalnya Bude punya blog kan baru mulai Februari 2008, terus kisah perjalanan yang ditulis juga antri.
Insya Allah suatu saat Opa pasti akan sampai juga ke Malaysia, sekalian dengan Daffa. Mungkin Opa nunggu sampai Daffa besar dulu, jadi bisa mengerti apa yang dikunjungi.
Wah, Mami beruntung ya, musibahnya terjadi di Malaysia. Lho, kena musibah kok beruntung, Bude gimana sih? Maksud Bude, kalau kena musibahnya di Jakarta, mungkin bukannya dibawa ke rumah sakit, malah ditinggal lari penabraknya.
Memang betul, gaji dokter, juga dosen di Malaysia jauh lebih besar dari gaji dokter dan dosen di Indonesia. Sayangnya nggak ada yang nawarin Bude jadi dosen di Malaysia, padahal Bude ini pinter lho … qiqiqiqi *mengigau.com*. Syukurlah gaji Opa lebih besoo dari gaji orang Malaysia, jadi tak perlu lah pindah ke negeri jiran itu (bagi-bagi dong, Opa …)
sebenarnya cek kesehatan ataukah berwisata? ha ha ha.. sekalian ya bu π
Tuti :
Sebenarnya sih, lagi dikontrak jadi fotomodel ….. π π
Melaka kota tua yang pandai menjual
wisata lara……hmmm ungkapan pas dan jitu
memang tak jarang yg tua
jstru lbh menarik dibanding
yg muda…..heheee (*gak nyambung.com*)
Mngkn itulah kelebihan negeri jiran
Malaysia dibanding Indonesia
sy jg prnh ke Penang (cuma 45
menit via pesawat dari Medan)
kotanya kecil tapi tertib, bersih
dan lumayan indah
sementara kota Medan, luas, padat,
jorok, kumuh, sumuk dan macet
btw, betul kata temen2
header veranda skrng lbh kereeen
Tuti :
‘Yang tua justru lebih menarik dibanding yang muda’ …. maksudnya saya nih, Bang? *berkhayal.com* π π
Mudah-mudahan besok kalau Bang Agus jadi anggota legislatif, bisa bikin perda yang mengatur dan menertibkan tata kota Medan ya Bang. Masak Medan mau kalah sama Penang.
Ohya, tahu nggak Bang, orang-orangan sawah berbaju hitam di image header itu berkacak pinggang menantang orang Medan. Berani lawan nggak Bang? Hayo …. majuuu!
wah foto2nya bagus2 sekali, yg jd fotomodelnya apalagi π
btw tahun 2005 med check up disana total biayanya brp mbak?
Tuti :
Ya iyalah … itu fotomodel kan gurunya Cindy Crawford ….. qiqiqiqi
Biaya medical check up? Haduh, agak lupa nih. Sekitar 900 ringgit kalau nggak salah … (kalau salah dimaapin ya, nggak usah nunggu lebaran, kelamaan … )
Wah bagus banget,bu.
Ke Malaka khan tujuannya cek kesehatannya ya,bu.
Tapi kayaknya lebih tepatnya wisata sambil cek kesehatan kali ya π
Tuti :
Ini belum yang terbagus, Retie. Coba baca laporan perjalanan saya yang lain, lebih bagus lagi … *ditendang Retie*
Betul Retie, wisata, wisata, dan rumah sakit (wisata 2 kali lipat dari cek kesehatan … )
Melaka memang indah, dan sarat bangunan lama….juga ada kapalnya Vasco de Gama mendarat pertama kali di Melaka. Cuma panas banget ya cuacanya…dan kalau malam Minggu ada satu jalan tempat orang berjualan, dan banyak wisatawan yang hilir mudik melihat dan membeli barang khas Melaka. Saya kesana sudah agak lama, pas ada seminar di Bangi, dan menginap di wisma nya Bank Pertanian Malaysia.
Jika dari KL ke Melaka, melewati kota Seremban (saya pernah mengunjungi suatu industri di kota ini)….yang penduduknya 90% asal usulnya dari Minangkabau dan Riau…jadi disana malah pake bahasa Melayu-Indonesia (ini menurut penuturan teman Malaysia yang asli Seremban, dan keluarganya masih di Minang).
Terus perkembangan kesehatan suami mbak Tuti bagaimana? semoga baik-baik saja….
Tuti :
Apakah kapal Vasco de Gama itu yang sekarang dijadikan Muzium Kapal ya? Kebetulan waktu ke Muzium Kapal, hari sudah maghrib, museum sudah tutup, jadi saya tidak sempat memperoleh informasi apa-apa mengenai museum itu.
Tentang asal-usul penduduk kota Seremban (ibukota negara bagian Negeri Sembilan), memang benar sebagian besar berasal dari Minangkabau. Oleh karena itu budaya dan adat istiadat disana mirip dengan Minangkabau.
Alhamdulillah suami saya baik-baik saja. Waktu itu gulanya agak tinggi, tapi sekarang sudah under control. Terimakasih Mbak Enny.
Hehehe, mbak Tuti ini namanya sekali dayung dua pulau terlampaui. Sekalian check up sekalian pelesir, jadi asyik khan hehehe…
Jadi pengin pulang kampung nich mbak (ke Sumatera), karena jadi kangen dengan nuansa yang lumayan kental dgn nuansa Melayunya, terutama makanannya, hem enak, nyam-nyam, hehehe π π π
Best regard,
Bintang
http://elindasari.wordpress.com
Tuti :
Ya, memang asyik, pelesir sekalian cari sehat …
Kampung halaman Mbak Elinda dimana? Riau? Atau Sumatera Barat? Apakah sudah pernah Mbak tulis di blog?
Sebenarnya banyak sarana dan facilitas yang kita miliki tidak kalah dengan di Luar negeri…hanya saja kurang promosi dan dukungan dari Pemerintah, juga dukungan dari kita semua Masyarakat Indonesia yang masih mengaku mencintai Indonesia ……. kalau kita sendiri kurang menghargai fasilitas yang ada di negeri ini, bagaimana mungkin kita mengharap orang lain akan menghargai kita…..?!
Salam dari Amerika.
Tuti :
Soal fasilitas, terutama di rumah sakit – rumah sakit besar di Jakarta, kita memang cukup bagus. Kita juga punya banyak dokter-dokter ahli. Yang mungkin kurang memuaskan dari rumah sakit – rumah sakit kita adalah pada pelayanannya, yang seringkali kurang membuat pasien merasa nyaman.
Tetapi untuk beberapa metoda pengobatan tertentu, memang ada beberapa rumah sakit di luar negeri yang lebih baik. Tentu saja, karena mereka memiliki teknologi yang lebih maju.
Salam buat Amerika.
reply komennya bikin
aku senyam-senyum sendiri
orang Medan tak berani
berhadapan dengan Mbak Tuti
qiqiqiqiiii…….ngeri kali ah
*langsung kabuuuuuur
ampuuuuuun…..
Tuti :
Lho, lho ….. kok kabur sih? *bengong.com*
Yo wis, aku kejar ajaaa ….. hayo, mau kemana? Zzzzzpp, ketangkep deh!!
wow … bangunan teratak perpatih nya cantik banget mbak π
Tuti :
Wah, kalau Mbak Ely melihat bangunan-bangunan ‘kembaran’nya di Sumatera Barat, jauuuh lebih indah. Silahkan buka ‘Ranah Minang, Indah Nian”
aduh aku ketawa baca komentarnya mbak Tuti di komentarnya mas Nh18. Masak saya akan panggil nek sih… Abis mbak Tuti juga panggil Om… Soal panggilan memang sulit ya mbak. Kalau saya terbiasa dipanggil nama saja no problem at all.
Mbak aku mau dong baca bukunya mbak….. gimana caranya nih…. aku email ya.
sorry komentarnya OOT… soal Melaka? Belum tahu kapan bisa ke sana, jadi saya berwisata di verandanya mbak Tuti aja heheheh
EM
Tuti :
Iya, tadinya aku panggil Pak Nh, lalu karena Lala dan Yessy panggil Om, aku ikut-ikutan panggil Om Trainer (biar berasa muda kayak dua gadis centil itu … π π )
Novelku? Waduh, asli aku maluuu …. habis sudah ada bukunya Lala yang hebring itu, novelku kan jadi keliatan bulukan banget (padahal aslinya memang kusem … hehehe). Ntar deh, kalau Mbak Imel ke Yogya. Katanya akhir Februari/Maret?
[…] berwisata budaya diΒ Β Melaka , kami melanjutkan perjalanan ke ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Driver mobil sewaan kami […]
Wah , Mbak informasi di blog ini amat rinci ,
gambarannya seolah-olah kita sedang berada langsung di Malacca .
Oh ya di kota-kota lain di Indonesia sudah ada
kantor representatif Rumah Sakit Mahkota (MMC) ,
jadi bisa atur persiapan dulu sebelumnya .
Sekedar sharing informasi ,
Kalau di Makassar kantor MMC ini akan berada di
Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 15A .
Wassalam .
Blog yang penuh tulisan menarik .
cpd
NANTI SENANG DATANG KE MELAKA LAGI YA.. π