KETIKA EGO DAN CINTA MENJADI KEAJAIBAN DUNIA …
Ketika Arjumand Banu atau Mumtaz Mahal meninggal pada saat melahirkan puteranya yang ke 14, Shah Jahan memerintahkan untuk membangun Taj Mahal di Agra. Mausoleum dengan perpaduan arsitektur Persia, Turki, dan India yang luar biasa indahnya itu dibangun sebagai monumen rasa cinta Shah Jahan kepada istrinya yang ke-5, yang telah dinikahinya selama 18 tahun. Makam yang sekaligus juga masjid ini dibangun dari tahun 1631- 1666 dengan mengerahkan 20.000 tenaga kerja, 1000 gajah, dan puluhan ribu batu berharga dari seluruh penjuru dunia. Istana ini tingginya 57 meter, dan warnanya akan berubah seiring perubahan arah datangnya cahaya matahari. Sesuai dengan namanya, salah satu dari 7 keajaiban dunia ini benar-benar ‘mahal’ …..
Taj Mahal, keindahannya mengagumkan (foto : Wikipedia)
Di Mesir, Raja Khufu membangun pyramida di Giza sebagai tempatnya bersemayam setelah kehidupannya di dunia berakhir. Pyramida ini dibangun selama puluhan tahun, dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga kerja serta 6 juta ton batu. Tinggi pyramida yang dibangun pada tahun 2480 SM ini 146 meter, dan menjadi bangunan tertinggi di dunia, sebelum dikalahkan oleh Menara Eiffel (324 meter) yang dibangun pada tahun 1889 M.
Pyramida Giza, dijaga oleh Sphinx (foto : Wikipedia)
Beberapa waktu yang lalu, jutaan pasang mata di Indonesia terpukau pada kemegahan makam Giribangun yang menjadi tempat peristirahatan terakhir mantan Presiden Soeharto. Di sebuah koran ibukota, terpasang iklan tentang pemakaman elit di Jakarta, yang dilengkapi dengan taman, penginapan, restoran, dan fasilitas premium lainnya untuk memberi kenyamanan pada para peziarah. Harga satu kapling bisa mencapai 40 juta rupiah.
Membangun monumen untuk menandai tersimpannya jasad seseorang adalah naluri setiap manusia sejak zaman batu. Bagi orang besar, tokoh penting, dan para pengubah dunia, makam memang perlu sebagai penanda sejarah. Bagi orang yang berlimpah harta, makam harus dibuat seindah mungkin agar orang tahu betapa banyaknya harta mereka, dan agar anak keturunan mereka bangga, senang, dan bahagia. Adapun bagi sang arwah sendiri, tidak ada bedanya apakah makamnya terbuat dari permata, hanya berupa gundukan tanah dengan dua buah batu nisan, atau bahkan tanpa tanda sama sekali seperti makam di Ma’la (Makkah Al Mukaromah).
Makam hanya penting bagi yang hidup, bukan bagi yang mati. Mengapa orang-orang yang masih hidup membuat makam? Untuk diziarahi, untuk mengenang orang yang jasadnya ditanam di tempat itu. Setelah berpuluh tahun, apakah jasad itu masih ada didalam tanah? Tidak ada lagi. Tanah di lokasi kuburan itu ya tinggal tanah saja, yang strukturnya tidak beda dengan tanah sawah atau halaman rumah kita.
Makam KHA Dahlan di Yogyakarta, Pahlawan Nasional dan pendiri persyarikatan Muhammadiyah, begitu sederhana, mencerminkan jiwa dan cara hidup beliau (foto : Tuti Nonka)
Makam Rasulullah SAW hingga kini terawat dengan sangat baik di Masjid Nabawi, dan diziarahi jutaan umat Islam setiap tahun. Memang harus demikian, karena Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, dan makamnya harus dilestarikan sebagai bukti kebesaran dan kebenaran ajaran Tauhid. Tetapi makam jutaan jamaah haji yang meninggal di Tanah Suci, yang insya Allah wafat dalam keadaan syahid, tidak ditandai dengan apa pun di Ma’la. Bagi mereka tempat yang termulia adalah di sisi Allah Yang Maha Agung.
Di Bali tidak ada makam, karena jasad orang yang sudah meninggal di’aben’. Orang Bali memberikan penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dengan mengantarkan arwahnya dalam sebuah upacara pembakaran jenazah yang megah. Di Toraja, orang yang sudah meninggal dimakamkan di gunung-gunung dan goa batu yang tinggi, dengan upacara pemakaman yang menghabiskan dana puluhan juta hingga milyaran rupiah.
Jenazah diarak menuju ke tempat pengabenan di Bali (foto : Garuda Magazine)
Makam di bukit batu di Toraja, dengan tau-tau (patung) yang menggambarkan orang yang dimakamkan di tempat tersebut (foto : Tuti Nonka)
Aristoteles, Galileo, Newton, dan pemikir-pemikir besar lainnya yang telah mengubah dunia, mungkin makamnya tidak pernah diketahui. Tetapi nama mereka terus disebut hingga ribuan tahun kemudian, dan pemikiran mereka terus menjadi rujukan kita hingga kini. Mereka tidak memerlukan makam untuk dihormati dan dikenang jasanya.
Mendoakan seseorang yang sudah meninggal bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja (kayak coca-cola …). Mengenang jasa almarhum bisa dilihat dari karya-karya yang dihasilkannya, dari amal baik yang ditinggalkannya.
Jadi, seberapa pentingkah arti sebuah makam? Tergantung siapa kita, dan bagaimana kita memaknai hidup (dan mati … ).
Mumtaz Mahal sebelum meninggal berpesan kepada suaminya, Sang Maharaja Mughal : “Kanda, untuk mengenang Dinda, buatkan Dinda makam yang tak pernah disaksikan dunia sebelumnya.”. Maka Shah Jahan kemudian membangun Taj Mahal yang keindahannya mungkin melampaui bayangan almarhum isteri ke-5 itu.
Taj Mahal di pagi hari, memberikan warna yang berbeda (foto : Wikipedia)
Ego Mumtaz sebagai wanita yang ingin mendapatkan pengakuan cinta dari suaminya (sekaligus pengakuan bahwa ia lebih hebat dari isteri-isteri Shah Jahan lainnya, dan wanita yang makamnya paling elok di dunia), ego Shah Jahan sebagai Maharaja India yang maha kaya dan maha berkuasa, melahirkan Taj Mahal yang maha indah dan maha mahal …
“Makam hanya penting bagi yang hidup, bukan bagi yang mati. Mengapa orang-orang yang masih hidup membuat makam? Untuk diziarahi, untuk mengenang orang yang jasadnya ditanam di tempat itu. Setelah berpuluh tahun, apakah jasad itu masih ada didalam tanah? Tidak ada lagi. Tanah di lokasi kuburan itu ya tinggal tanah saja, yang strukturnya tidak beda dengan tanah sawah atau halaman rumah kita.”
Mmmm aku sependapat ma bu Tuti.
Makanya bu kadang reti mikir, ngapain ya orang-orang itu ngeluarin duit banyak bangun makam yang keliatan mewah eeehhh udahnya ya ga di datengin.
Di sby khan ada makam yang gede banget “kembang kuning” kebetulan ibu dimakamkan di sana. Tiap kesana tuch reti kadang sudah heran aja ma makam2 yang dibangun cukup mewah lah tapi ga pernah dikunjungin.
3 tahun lalu, neneknya reti meninggal di Bali. Jenazah nenek ga dibakar tapi dikubur. Nah, entah itu kebijakan pengelola kuburan/pemerintahannya setiap jenazah yang sudah dikubur selama 5 tahun, makamnya di bongkar dan trus jika masih ada tulangnya ya diambil trus dibakar.
Makanya, suaminya reti pernah bilang jika dia ga ada duluan mintanya dibakar & dilarung ke laut jadi dimanapun saya/anak cucu kami kelak berada tetap bisa menabur bunga dan yang penting khan doanya juga. 😛
Tuti :
Mungkin, orang-orang yang membangun makam orangtua/leluhur mereka dengan mewah tetapi tidak pernah mengunjunginya, itu justru sebagai cara untuk ‘menebus rasa bersalah’ karena tidak bisa sering berziarah. Bisa juga karena kecintaan yang mendalam kepada almarhum, dan uang bagi mereka tidak menjadi persoalan.
Saya baru tahu kalau di Bali ada juga orang yang dimakamkan. Saya kira, semua orang yang beragama Hindu jenazahnya selalu diaben. Kebijakan membongkar makam setelah 5 tahun itu juga mulai diterapkan di berbagai tempat, karena keterbatasan lahan. Luas pemakaman tidak bertambah, sementara orang meninggal selalu terus-menerus. Ketika ibu saya wafat bulan Agustus 2008 lalu, beliau dimakamkan menjadi satu dengan almarhum ayah yang sudah wafat pada tahun 1967.
Tentang keinginan suami Retie untuk dikremasi, tentu saja bergantung kepada keyakinan agama yang dianut.
Salam.
betul, keindahan makam itu
cuma berguna bagi yang tinggal
sebagai simbol status dan gengsi
sementara yang berada di kubur
mungkin tengah tersiksa karena
berselemak dosa saat masih bernyawa
eniwei, apapun motivasinya Shah Jahan
tlah mengabadikan bukti cinta
tulusnya pada Mumtaz Mahal
hingga kini Taj Mahal mungkin
simbol cinta termegah yang prnah ada
di belahan bumi ini
*semoga kelak (maksudnya setelah masuk surga nanti)
Mbak Tuti juga akan dikenang
sebagai penulis yang inspiring
dan istri yang shalihah 😆
Tuti :
Wah, ungkapan Bang Agus membuat saya merinding …. Rasanya saya belum siap menghadap Tuhan. Belum cukup bekal. Selama ini baru menjalankan ibadah yang wajib-wajib saja (itupun belum sempurna). Ibadah-ibadah sunah baru dikerjakan kalau grafik iman pas naik. Belum dosa-dosa yang sengaja atau tidak telah dilakukan …
Ya, betul … Taj Mahal memang sebuah bukti cinta yang sangat besar dari Syah Jahan kepada Mumtaz. Konon, sesudah kematian Mumtaz, Syah Jahan sangat bersedih dan kehilangan semangat hidup. Hanya saja, menghabiskan dana sedemikian besar untuk memuaskan dorongan emosi pribadi, bagi saya kok tetap saja berlebih-lebihan. Mungkin akan lebih bermanfaat kalau Syah Jahan mendirikan rumah sakit untuk menjaga kesehatan ibu-ibu hamil (Mumtaz meninggal karena melahirkan anak yang ke 14). Apalagi di tengah kemiskinan yang masih membelit sebagian besar rakyat India, dan kesehatan wanita yang masih begitu rendah.
Sama seperti ke’tidaksuka’an saya pada masjid di Depok yang dibuat dengan kubah emas. Untuk apa bermegah-megah dengan dana sedemikian besar, sementara tidak jauh dari masjid itu masih banyak warga yang kelaparan? Kalau hanya mengejar unsur keindahan, bukankah keindahan arsitektural bisa dicapai tanpa harus memakai emas murni untuk kubah?
Bang Agus, terimakasih untuk doa dan harapannya. Jadi terharu nih … ihiks ihiks 😥
Sekaligus jadi pendorong bagi saya agar benar-benar bisa menjadi isteri yang sholikhah. Padahal saya masih suka cengengesan lho Bang … qiqiqi … 😀 Tapi cuma di omongan saja kok. Dalam perilaku, insya Allah lurus-lurus saja … amin.
Terimakasih Bang.
Dan yang pasti.. Berziarah juga mengingatkan pada ‘yang hidup’, bahwa suatu saat pasti juga mati.. Entah kapan…
Tuti :
Betul, Dep. Melihat ‘bukti langsung’ akan adanya kematian memang membuat kesadaran kita lebih terbuka …
fotonya bagus2 mbak Tuti 🙂 apalagi yg Taj Mahal itu woww ….
terakhir ke makam hari rabu lalu sama mama, sebelum masuk winter.
btw, titip salam buat bu Dyah mbak, aku sudah beberapa kali mencoba masuk ke blog beliau tapi sulit terbuka semua, kalaupun terbuka satu postingan nggak bisa semuanya dan tentu saja nggak bisa berkomentar
barusan aku coba lagi buka blog beliau, tak tunggu sampai sekarang telah 28 menit berlalu hanya postingan “Toga” yg keluar itupun hanya sampai gambar yg ke tiga yg cuma terlihat bingkainya saja, nggak semua terlihat dan tentu saja aku nggak bisa berkomentar 😦
maaf ya mbak aku titip pesan di sini, maturnuwun sanget .
Tuti :
Foto-foto Taj Mahal dan Pyramida itu saya ambil dari internet, Mbak Ely. Maaf belum saya cantumkan sumbernya, karena pada waktu menemukan foto itu lupa nggak dicatat. Nanti deh saya lacak lagi.
Makam yang di Jerman itu makam siapa, Mbak? Pastinya keluarga suami ya? Atau ada keluarga Mbak Ely yang dimakamkan di sana?
Tentang pesan untuk Mbak Dyah, nanti saya sampaikan (meskipun disini juga sudah muncul, tetapi kan belum tentu Mbak Dyah membacanya).
Saya dan kakak saya juga sudah patungan beli rumah masa depan Mba Tuti, maksudnya sih biar nanti kalau waktunya pulang tidak menyulitkan yang hidup buat nyari-nyariin perumnas buat kita hehehe. kebetulan ada tanah wakaf tempat dimana ibunda, kakek, om, dan sepupu yang pulang terlebih dahulu dikebumikan jasadnya.
sebelum lebaran kemarin saya sempat ditanya. “kamu gak nyekar japs?” maksudnya ke makam kedua orang tua saya, dengan polosnya saya jawab : “buat apa?”. yang dibalas dengan mulut menganga, karena kalau untuk mendoakan, setiap waktu saya selalu mendoakan kedua almarhum dari manapun. tidak perlu harus didepan makam mereka. karena merekapun sudah tidak ada di makam itu lagi. yang disana hanya jasadnya saja, pikir saya.
namun budaya nyekar sudah menjadi budaya yang kental bagi masyarakat kita, jadi nyekar itu menjadi wajib hukumnya. bagi saya sendiri (yang akhirnya nyekar juga beberapa hari setelah lebaran) nyekar bermanfaat untuk lebih mengingatkan lagi untuk terus mendoakan mereka, karena dengan berusaha lebih (berjalan menuju makam) lebih terasa niat kita untuk mendoakan. Selain juga mengingatkan bahwa suatu hari jasad kitapun akan kembali kesana. Sementara doa kita, dari manapun tempatnya sama saja, yang membedakan tentu diri kita masing-masing.
waduh jadi rada ngelantur, mba tuti. maafkan. kalo gitu, rumahnya udah ada, sekarang nabung buat bekal hidup disananya deh…. hehehe…
salam
-japs-
Tuti :
Ya ampun … Japs, umurmu berapa sih, kok udah nyiapin ‘rumah masa depan’? Saya aja, yang mungkin pantes jadi ibu Japs (haduh, apa iya? 😀 ) belum nyiapin kapling 2×1 meter itu lho.
Mungkin karena ayahanda dan ibunda sudah tiada pada usia Japs yang masih sangat muda, sehingga Japs merasakan ‘kedekatan’ dengan rumah masa depan ini ya. Saya jadi terharu Japs. Semoga ayahanda dan ibunda memperoleh tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah ya. Amin.
Makam ayah dan ibu saya tidak jauh dari rumah, hanya sekitar 200 meter, tapi saya juga tidak sering mengunjunginya. Kebetulan dalam keluarga besar kami tradisi ziarah ke makam memang tidak begitu dipentingkan. Apalagi pergi ke makam-makam keramat, untuk minta ini-itu. Wah, syirik itu, dosa besar …
Tapi saya selalu mendoakan ayah dan ibu setiap habis sholat. Biasanya saya ke makam setiap menjelang puasa, ya itu tadi, ‘nyekar’. Memang betul Japs, dengan melangkahkan kaki, niat mendoakan itu jadi terasa lebih kuat.
Ya Japs, selamat menabung untuk bekal tinggal di ‘rumah masa depan’ kelak. Pilih ‘bank’ yang terpercaya ya Japs …
temanku pernah bilang begini padaku :
“kalau aku mati, tanam melati dipusaraku”
kl kubilang sih serem sekali ….
Tuti :
Wah, temen Lisa kok udah mikirin mati ya? Memangnya sudah puas hidup?
Tapi menanam melati di pusara kedengarannya romantis juga ya (meskipun bagi Lisa ceyeem … )
Kadang cara orang merefleksikan ungkapan perasaannya sangat extreem, seperti Taj Mahal itu…
Tuti :
Betul Bang Michael, apalagi Syah Jahan punya kekuasaan dan harta berlimpah. Tapi sebenarnya kekuasaan dan harta berlimpah itu kan seharusnya untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan untuk memuja-muja isterinya ya …
Mbak,
seringkali ‘penampilan’ sebuah makam menjadi indikator bagaimana keluarga almarhum memperlakukan nya…misalnya , saya sendiri pernah mbatin ketika melihat makam didekat makam Bapak saya keliatan njembrung tak terurus…dalam batin saya begini…” ini anaknya jadi orang sukses semua kok ya makam ortunya dibiarkan jembrung…”…
Mungkin si anak berpikir, doa bisa dikirim dari mana saja, tak harus dengan umik2 didepan makamnya…iya toh ? iya juga…tapi kalau melihat sebuah rumah masa depan orang yang kita cintai semasa hidupnya kelihatan tak terurus saya kok nelangsa juga ya,Mbak…
Duh, semoga ahliwaris saya kelak tak melupakan untuk sesekali bersih2 rumah masa depan saya ya…
(lhoo…Mbak Tuti, aku wediii…..)
Tuti :
Iya, Mbak Ayik. Kalau makam dibiarkan kotor, jembrung, ditumbuhi rumput liar sampai setinggi leher, apalagi sampai menjadi sarang ular, memang mengenaskan. Dan seharusnya nggak perlu sampai terjadi, sebab kalaupun anak-anaknya jauh dan nggak sempat datang, kan bisa ‘dititipkan’ pada juru kunci atau seseorang untuk dibersihkan secara berkala.
Makam memang sebaiknya bersih, tetapi tidak perlu mewah. Seperti makam KHA Dahlan yang ada di foto itu. Kebetulan makam ayah dan ibu saya terletak tidak jauh dari makam KHA Dahlan, dan dibuat sama seperti itu. Di pemakaman Karangkajen itu memang ada peraturan, makam tidak boleh diberi kijing atau cungkup. Semua hanya diberi batas dari semen, ditanami rumput atau ditutup kerikil. Jadinya malah kelihatan bersih dan nggak seram.
Lho, kok wedi …. takut apa, Mbak Ayik? Takut mati atau takut makam Mbak Ayik nggak terawat?
rumah masa depan…saya jd takut Mbak…belum siap pulang ke sana…thanks atas tulisannya…buat sy menyadari byk hal….
Tuti :
Hehehe … maksudnya bukan mau menakut-nakuti, Mbak Dona. Tulisan ini saya buat, karena beberapa teman dosen usul agar UII membuat makam untuk warga UII. Saya terheran-heran, institusi pendidikan tinggi kok bikin makam, kan lebih tepat bikin laboratorium atau fasilitas untuk mahasiswa. Itu membuat saya merenung, apa sih sebenarnya arti sebuah makam?
bagaimanapun cinta lebih bermakna saat diungkapkan dikala yang kita cinta masih hidup, kaluk sudah almarhum..susah nyari caranya!
namun untuk doa…kapanpun, dimanapun…wajib ‘ain itu!!
btw, usul UII lutu deh..
Tuti :
Setujuu … !! Oleh sebab itu, kalo Mbak Ernut mau mengungkapkan rasa cinta kepada saya (holoh … holoh …) cepetaaan mumpung saya masih idup 😀
Memang, usul teman-teman UII itu lutu …. abis, lawakan di teve udah nggak lucu lagi ‘kali …
Salam ….
Saya sangat setuju sekali dengan pendapat abang Mikekono
makam, nisan yang kita elus dan kita banggakan mungkinkah sesuai dengan amalan orang yang berada di dalamnya ?
Tuti :
Betul, Pak Doel. Yang tahu bagaimana amalan orang tersebut adalah orang-orang terdekatnya, dan lebih-lebih lagi, diri orang itu sendiri. Sebab nilai amalan bukan hanya dari apa yang terlihat, tetapi lebih pada NIAT dari amalan tersebut. Dan niat hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan.
Saya setuju…yang “sederhana, bersih, simpel”…karena hakekatnya hanya sebagai tanda jasad kita ada disitu dan harapannya orang orang terkasih bisa mengenangnya, mendoakan, setiap saat.
Kalo rumit rumit…biaya perawatan mahal, olehe ngresiki angel…nanti merepotkan anak cucu….he..he…
Tuti :
Saya jadi berpikir, kayaknya dikremasi, kemudian abunya disimpan dalam guci dan ditaruh di lemari adalah cara yang paling simpel ya … nggak repot bersihin, nggak makan tempat, bisa dibawa kemana saja, anak cucu nggak repot kalau ingin lihat …
Tapi setiap agama memiliki ajaran yang berbeda, dan kita tentu harus mengikuti keyakinan kita masing-masing. Hidup — khususnya hubungan manusia dengan Tuhan — kan tidak sekedar masalah ‘praktis’ atau ‘ribet’.
Ohya, Mbak Dyah, ada pesan dari Mbak Ely (Elys Welt), silahkan dibaca pada komentar Mbak Ely di atas …
Saya belum memikirkan rumah masa depan sih. Tapi ibu mertua saya pernah bilang, bahwa dia mau dikremasikan dan abunya dibuang ke laut saja (padahal dia sudah pasti ada kapling kuburannya di sebuah kuil Buddha untuk turun temurun). Dan saya pikir, kalau sudah mati toh tidak tahu apa-apa, saya ikut cara ibu mertua saya saja deh, dikremasi dan dibuang ke laut. Daripada ngerepotin yang masih hidup. Ibu mertua saya sampai sekarang memakai kalung dengan leontin yang berisi sedikit abu ibunya. Ngeri juga ya heheheh.
EM
Tuti :
Saya juga belum memikirkan makam saya, Mbak Imel. Saya bahkan akan kaget kalau tiba-tiba mati (eh, orang mati masih sempat kaget nggak ya … 😀 ). Tulisan ini saya buat karena saya tergelitik oleh keinginan beberapa teman agar universitas kami membangun makam.
Kalau saya meninggal kelak, silahkan saja saya mau dimakamkan dimana. Pokoknya yang semudah-mudahnya, jangan ngerepotin keluarga yang masih hidup. Kalau sesudah sekian tahun makam saya mau dipakai orang lain, ya silahkan saja. Bumi ini kan milik Tuhan, jadi dipakai rame-rame ya nggak papa (malah seru, siapa tahu saya semakam dengan Richard Gere, iya toh …. 😀 ).
Tentang ibu mertua Mbak Imel yang mengenakan leontin berisi sebagian abu jenazah ibunya, mungkin itu memberikan ketenangan batin bagi beliau. Bagi saya nggak ngeri sih. Kalau leontin itu berisi tulang belulang, nah … baru sereeem …
Pernah mendengar cerita bahwa Syah Jahan memotong tangan para pekerja yang membangun Taj Mahal sehingga tidak ada yang bisa membangun bangunan yang sama.. 😦 entah benar atau tidak cerita itu karena saya dengar dari salah satu Assistant Manager di Toronto yang berasal dari India. Jika benar ironis sekali.
Karena keluarga kami adalah muslim jawa, maka kami membangun makam selayaknya dalam artian tidak terlalu mewah dan juga tidak menelantarkannya. Karena bagaimanapun juga orang terkasih yang berada di dalamnya jadi perasaan untuk membangun makam yang layak selalu menjadi prioritas penting walaupun kami mengetahui bahwa doa’alah yang lebih penting daripada membangun makan dengan megah. Terimakasih
Tuti :
Weeew …. cerita tentang Syah Jahan yang memotong tangan para pekerja pembangun Taj Mahal itu benar-benar membuat saya terkejut dan ngeri. Kalau cerita itu benar, sungguh Syah Jahan seorang yang sangat egois, sombong, tamak, dan keji. Wah, nggak mau deh saya ke Taj Mahal. Biarpun bangunan itu sangat indah, tapi keindahan yang menyimpan kekejaman dan egoisme tiada tara. No way. Itu keindahan yang palsu.
Tentu saja menyiapkan makam yang layak bagi keluarga adalah sesuatu yang baik. Yang tidak ‘pantas’ adalah membuat makam dengan bermewah-mewah dan berlebih-lebihan. Makam yang bersih, tenang, dan adem, akan membuat keluarga dan keturunan yang masih hidup pun merasa tenteram.
Wah mbak……. katanya…… di masa depan….. rumah masa depan seseorang yang telah meninggal adalah ruang angkasa. Mungkin karena lahan nantinya akan sempit, maka seseorang yang telah meninggal akan diistirahatkan di ruang angkasa. Atau bisa jadi juga dikubur di bawah tanah, hanya saja mungkin tanahnya di Planet Mars sana.
Wah…wah… wah…. gimana tuh ya mbak? 😀
Tuti :
Wahaha … kalau saya mah kepenginnya ke luar angkasa selagi masih hidup, Mas Yari. Kalau sudah meninggal baru dibawa ke luar angkasa, sayang ongkosnya kan? Lagi pula, keluarga susah untuk berziarah dan membersihkannya.
Lebih dari itu, para pembuat film horor bakal kesulitan cari lokasi syuting kalau di bumi nggak ada kuburan lagi … hehehe 😀
Wow, postingan kali ini foto-fotonya keren-keren. Untuk bentuk makam & lain-lainnya, menurut saya tergantung kepada pribadi dan individu masing2. Saya sendiri lebih menyukai yang sederhana namun cukup terawat juga, terutama utk orang2 yg kita cintai untuk urusan yang satu ini.
Tapi bagi saya sendiri do’an lebih penting dari semuanya. Nah, sekarang gimana caranya selama hidup saya bisa menabung utk bekal masa depan di dunia & akherat. Sekian dulu mbak Tuti ngobrol2nya. Kapan2 kita ngobrol2 lagi. Sukses terus buat mbak Tuti 🙂 🙂 🙂
Best Regard,
Bintang
http://elindasari.wordpress.com
Tuti :
Foto-foto yang keren-keren itu saya ambil dari berbagai sumber, Mbak Elinda. Foto hasil jepretan saya sendiri adalah dua yang terjelek (ihiks 😦 ), yaitu foto makam KHA Dahlan dan foto kuburan di Toraja.
Betul, yang penting sekarang bagaimana caranya mengumpulkan bekal agar kelak di akherat kita selamat dan berbahagia. Sebenarnya bekal itu nggak sulit dicari, cuma kadang-kadang kita yang malas dan nggak nyadar aja … 😦
Terimakasih sudah mampir untuk ngobrol-ngobrol. Senang sekali ketamuan bidadari cantik seperti Mbak Elinda 🙂
sebagai adik dan saudaranya Mbak Tuti
saya juga tak ingin Mbak segera menghadap,
soalnya saya kan masih butuh
bimbingan dan taushiyah kakanda
agar bisa pula menapaktilasi
perjalanan sukses Mbak dlm
dunia tulis-menulis, mendidik generasi bangsa,
serta sukses berada di jalan yg benar….
hu….hui……
Tuti :
Bang Agus kayaknya salah deh menilai saya. Saya belum apa-apa kok di dunia tulis-menulis. Belum pernah punya buku yang best seller, belum pernah dapat award Pulitzer, Nobel, atau Adinegoro. Apalagi mendidik generasi bangsa …. wadoow … berat mak!
Saya cuma perempuan biasa yang suka mengintip dunia, membuat catatan-catatan kecil, dan membaginya kepada teman-teman yang mau-maunya membaca coretan sederhana saya …
Tulisan Bang Agus malahan lebih bagus. Selalu up to date dan mengundang perenungan.
Salam.
Walahh ngomong – ngomong soal rumah masa depan aku jadi pengen kirim pusi tentang perjalanan ke masa depan mbak,Nyuwun sewu Mbak alias permisi numpang ninmbrung yooo..
KETIKA AKU DIMAKAMKAN DIHARI INI
Perlahan, tubuhku ditutupi tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah
terbayang,
sendiri, menunggu keputusan…Saudara, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga
tinggal,
Apalah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan
bisnis, atau orang-orang lain,
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.Saudaraku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Keluargaku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri,
disini, menunggu perhitungan …
Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma’af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri…
Yaa.. Rabb-ku (entah dari mana kekuatan itu datang,
setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja…
Aku akan berkeliling, memohon ma’af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku,
yang selama ini telah aku sakiti hatinya
yang selama ini telah aku bohongi
Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yg sering ku
umbar dulu.
Dan Yaa Rabbil Izzati,
beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,
teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan
hati mereka,
maafkan aku ayah dan ibu,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu …
beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan saudara dan kerabatku,
untuk sungguh-sungguh beramal soleh,
Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu,
bersama mereka …
begitu sesal diri ini,
karena hari-hari telah berlalu tanpa makna penuh
kesia-siaan,
kesenangan yang pernah kuraih dulu,
tak ada artinya sama sekali …
mengapa ku sia-siakan saja,
waktu hidup yang hanya sekali itu,
andai ku bisa putar ulang waktu itu …
Aku dimakamkan hari ini,
dan semua menjadi tak terma’afkan,
dan semua menjadi terlambat,
dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan …
Kalau ada waktu mohon nyempetin buat nengok Blog punya saya.alamatnya ada di
http://www.andreanelfachri.wordpress.com
Matur sembah Nuwun
Tuti :
Terimakasih banyak mas Andre. Puisi sekaligus doa yang bagus sekali, membuat saya semakin menyadari betapa belum siapnya saya untuk ‘kembali’.
… BAGI YANG SUNGGUH BERTAQWA , MAKA AKAN MENJALANKAN PERINTAH ALLAH SEBAGAIMANA YG TERSURAT DALAM AL’QURAN DAN TERSIRAT DALAM AL HADIST !… lakum dinukum waliadin! wassllm