SEPANJANG JALAN KEHIDUPAN
Kali ini saya ingin mengajak teman-teman mengikuti perjalanan keseharian saya dari rumah ke kampus. Setelah sepuluh bulan ngeblog, saya baru sadar bahwa saya belum pernah bercerita tentang kampus tempat saya menjalani kehidupan, menjalin silaturahmi dengan rekan-rekan dosen dan staf administratif, mengajar, dan belajar.
Yuuuk …..
Perjalanan dari rumah saya di Jl. …… (eh, nggak usah saya sebut …. takut para penggemar bakal ngirimin kue dan bunga … huahuahua) ke kampus UII yang berjarak 20 km memakan waktu sekitar 1 jam. Satu jam untuk jarak 20 km? Mobilnya dinaiki atau didorong? Hehehe, dinaiki lah yauw. Butuh waktu satu jam, karena saya harus melewati 9 traffic light, dan jalan-jalan di Yogya meskipun tidak ada yang macet, tapi crowded. Jalannya sempit dan segala macam benda yang pakai roda tumplek blek di jalan, mulai dari sepeda, sepeda motor, becak, andong, gerobak dorong, sampai mobil. Pokoknya adil dan sama rasa, dari penjual es yang mendorong gerobak sampai Bu Walikota (hallo, Bu Dyah …) yang duduk manis di mobil mewah boleh lewat di jalan yang sama.
Oke. Dari rumah, saya melaju ke arah utara. Melewati Jalan Sisingamangaraja, Jalan Tamansiswa, Jalan Dr. Sutomo, lalu sampai di jembatan layang Klitren. Menjelang tiba di puncak jembatan, woooow …. saya dibuat terpesona oleh gunung Merapi yang tiba-tiba muncul dengan indahnya. Pagi itu cuaca sangat cerah, sehingga gunung yang dikuasai Mbah Marijan itu tampak biru mempesona, dengan latar belakang mega putih yang berarak. Pada hari-hari biasa, seringkali gunung api yang terkenal dengan awan panasnya itu tertutup awan atau kabut, sehingga tidak tampak dari kota Yogya.
Saya gurawalan mencari kamera di dalam tas, mengeluarkan dari tempat pengamannya, meng’on’kan, dan langsung membidik. Semuanya saya lakukan sambil terus menyetir, di jembatan sempit yang dilalui kendaraan dua arah. Aaah … saya terlambat beberapa detik! Puncak jembatan, dimana gunung Merapi tampak demikian mempesona, sudah terlewati. Saya tidak mungkin berhenti, karena di belakang saya banyak kendaraan. Apa daya, akhirnya saya hanya berhasil memotret ketika sudah menuruni jembatan layang dan gunung Merapi sudah sedikit terhalang pohon.
Gunung Merapi tampak dari tengah kota Yogya. Beberapa pekerja sedang merapikan taman di tepi jembatan.
Setelah melewati Jalan Prof Herman Yohannes, saya masuk ke kawasan kampus UGM. Sebagian jalan di kawasan kampus UGM ditutup dari lalu lintas umum, untuk mengurangi polusi dan kebisingan. Saya melewati Jalan Prof. Notonagoro yang membujur di sebelah timur kampus. Jalan ini indah dipandang mata karena dipagari dengan barisan cemara tinggi. Di jalan ini terdapat antara lain masjid UGM yang cantik dengan arsitektur modern, gedung olah raga untuk tenis in door, dan danau buatan dengan taman kupu-kupu serta kijang. Di jalan ini juga, setiap hari Minggu pagi ratusan pedagang menggelar jualan di ‘pasar tiban’ (silahkan baca Minggu Pagi di Kampus UGM )
Jajaran cemara yang indah di Jalan Prof. Notonagoro, jalan lingkar timur UGM
Bagi siapa pun yang pernah kuliah di UGM, kawasan di sekitar selokan Mataram pastilah tidak terlupakan. Jaringan irigasi yang menghubungkan dua sungai besar, yaitu sungai Progo dan sungai Opak ini dibangun pada masa penjajahan Jepang atas perintah Sultan HB IX agar rakyat Yogya terbebas dari romusha. Dengan mengerahkan rakyat membangun selokan Mataram, tidak saja rakyat Yogya terbebas dari romusha yang kejam, tetapi sekaligus memperoleh manfaat dengan terairinya sawah-sawah melalui jaringan irigasi.
Dahulu, kawasan di sekitar selokan Mataram ini kumuh dan semrawut oleh pedagang yang berjualan secara sembarangan. Sekarang, jalan di kanan kiri selokan sudah diperlebar, dibangun taman di sepanjang sisinya, dan menjadi sentra bisnis yang tertata apik. Pada malam hari, Jalan Agro yang terdapat di sebelah selatan selokan ini penuh dengan pedagang makanan di tenda-tenda. Di kawasan selokan Mataram ini juga terdapat ‘kampung gudeg’, yaitu kawasan dimana banyak sekali penduduknya membuat dan menjual makanan khas Yogya yang manis-gurih itu. Disini pula lah barangkali Bang Sonny Sis dulu suka nongkrong cari sarapan (sambil cari lirikan ya Bang … heuheu)
Taman yang tertata rapi di sisi Jalan Agro, pinggir selokan Mataram
Saya menyusuri Jalan Agro di pinggir selokan Mataram hingga perempatan Jalan Kaliurang. Perempatan yang selalu puadatt dan masih berada di kawasan kampus UGM ini menjadi tempat pemasangan spanduk paling strategis. Sambil berhenti menunggu lampu merah, kita bisa membaca event apa saja yang akan digelar di Yogya, baik di kawasan kampus maupun di tempat umum. Begitu banyaknya spanduk yang dipasang di keempat sudut perempatan, hingga tampak riuh rendah seperti pasar malam.
Riuh rendah spanduk di perempatan selokan Mataram, berbaur dengan bendera partai. Simbol demokrasi?
Dari perempatan selokan Mataram, jika kita berbelok ke selatan, kita akan sampai ke Balairung UGM yang legendaris, Graha Sabha Permana tempat para lulusan diwisuda (saya dulu diwisuda masih di depan Balairung), dan Mall UGM (yang hingga sekarang belum dibuka konon karena masalah perijinan). Jika kita terus ke barat, kita akan sampai ke MM UGM, Gedung Pasca Sarjana, Fakultas Teknik dan Rumah Sakit Sarjito. Saya berbelok ke utara, masuk ke Jalan Kaliurang. Beughh!! Jalan ini sudah tumbuh menjadi salah satu jalan paling padat di Yogya. Letaknya yang masih di tengah kota dan dekat dengan kampus UGM membuat Jalan Kaliurang menjadi urat nadi perekonomian dengan basis konsumen mahasiswa.
Yang disebut Jalan Kaliurang adalah ruas jalan mulai dari perempatan Sekip hingga Kaliurang, panjangnya sekitar 25 kilometer. Di kilometer 6, jalan ini bertemu dengan jalan lingkar (ring road) utara. Di perempatan besar ini banyak mangkal para penjual koran, pengamen, juga pengemis. Meskipun sudah berlangganan dua koran, saya sering membeli koran dari para pedagang disini (meskipun akhirnya tidak terbaca juga). Yah, sekedar untuk memberi semangat agar mereka terus bekerja, dan tidak jadi kaum yang hanya bisa menadahkan tangan.
Para penjaja koran di perempatan Ring Road utara – Jalan Kaliurang
Sesudah melewati Km 7, barulah lalu lintas agak longgar dan mobil bisa digeber agak laju, sekitar 50-60 km per jam. Tapi sering juga hingga ke UII jalan terus menerus padat. Dan jika kita berada di belakang bis Baker, bis jurusan Yogya – Kaliurang yang selalu berjalan seperti puteri Keraton, alon alon waton kelakon, uhuhu … harap menarik nafas panjang dan mengulur kesabaran hingga ke ujung ubun-ubun. Bis ini telah melayani penumpang sejak dahulu kala, dan masih setia mengabdi hingga kini meskipun telah banyak angkutan lain yang menyaingi.
Kampus UII terdapat di Jalan Kaliurang Km 14,5. Ketika pertama kali pindah ke kampus terpadu ini pada tahun 90-an, hwaduuh …. rasanya jauuuh sekali. Kayak cross country. Tapi sekarang terasa ‘agak’ dekat. Kata orang, ‘alah bisa karena biasa’. Jarak kota – kampus UII yang dulu dipisahkan banyak hamparan sawah nan luas, sekarang sudah hampir menyambung dengan deretan bangunan. Jalan Kaliurang juga sudah semakin ramai …
Meskipun perkembangannya belum sepesat kawasan di sekitar kampus UGM, kawasan di sekitar UII pun sudah tumbuh menjadi kawasan bisnis berbasis mahasiswa. Rumah kost, rumah makan, fotokopi, kafe internet, butik, salon, bank, ATM, dan berbagai fasilitas serta layanan bisnis memenuhi sekitar kampus.
Yeps, kita tiba di gerbang masuk kampus UII …
Gerbang masuk kampus UII dengan bulevar panjang di belakangnya. Bangunan yang tampak di belakang adalah Masjid Ulil Albab
Bangunan pertama yang kita jumpai di kampus UII adalah masjid Ulil Albab dan auditorium Kahar Muzakkir. Lantai bawah bangunan dengan kubah warna emas ini adalah auditorium dengan kapasitas 2.000 orang yang dipergunakan untuk wisuda setiap dua bulan sekali (juga disewakan untuk hajatan manten … ). Masjid terdapat di lantai atas, juga beberapa kantor biro.
Masjid Ulil Albab dan Auditorium Kahar Muzakkir, bangunan terdepan kampus UII
Di depan masjid kita belok ke kiri, melewati jalan rindang di dalam kawasan kampus. Kampus terpadu UII mencakup areal seluas 30 hektar. Di kampus ini terdapat fakultas Kedokteran, Farmasi, Psikologi, MIPA, D3 Ekonomi, Teknik Sipil dan Perencanaan, Teknik Industri, dan Fakultas Ilmu Agama Islam. Juga terdapat gedung Rektorat, Perpustakaan, Asrama Mahasiswa, Gedung Olahraga, Laboratorium Terpadu, dan Gedung kuliah Umum. Fakultas Ekonomi masih menempati kampus lama di Condong Catur, dan Fakultas Hukum masih bertahan di Jalan Tamansiswa. Yang membanggakan, semua gedung-gedung megah itu kami bangun sendiri. Teman-teman dari Arsitektur membuat desainnya, teman-teman dari Teknik Sipil menghitung strukturnya, teman-teman dari Teknik Mesin merencanakan sistem mekanikal dan elektrikalnya. Proses pembangunannya pun dilaksanakan sendiri oleh teman-teman, tanpa melibatkan kontraktor luar.
Jalan rindang di kawasan kampus UII, proyek ‘sengonisasi’ yang sukses
Setelah melewati lapangan tenis, lapangan sepakbola, gedung D3 Ekonomi, Gedung Kuliah Umum, dan gedung fakultas MIPA, sampailah kita di gedung fakultas saya, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Gedung FTSP memiliki halaman depan dan halaman dalam yang asri, tertutup dengan hamparan rumput hijau. Bangunan empat lantai seluas 17.000 meter persegi ini terdiri atas 5 blok, mengelilingi halaman dalam yang cukup luas. Gedung ini selesai dibangun pada tahun 2002 dengan biaya sekitar 18 milyar. Meskipun terdiri atas 4 lantai (bahkan 5 dengan basement), gedung FTSP hanya dilengkapi dengan lift barang, tidak ada lift orang. Semua dipaksa untuk berolahraga dengan naik tangga. Saya pernah mencoba naik langsung dari halaman parkir di basement sampai ke lantai 4 tanpa berhenti, dan ternyata … hosh … hosh … hampir semaput kehabisan napas …. hahaha.
Halaman depan FTSP dengan hamparan rumput hijau yang segar dan pohon-pohon rindang yang menanungi tempat parkir sepeda motor mahasiswa
Gedung FTSP, hasil karya teman-teman dari Arsitektur dan Teknik Sipil
Halaman dalam gedung FTSP. Hm …. melihat rumputnya yang hijau, pengin rasanya berlari-lari dan berguling-guling …
Halaman dalam ini luasnya sekitar 25×25 meter persegi. Di halaman yang ijo royo-royo ini dipelihara banyak kelinci. Sungguh menyenangkan melihat kelinci-kelinci putih dan belang putih-hitam itu berlari-lari di seluruh penjuru halaman. Beberapa mahasiswa suka membawakan sayuran dan memberi makan kelinci-kelinci ini, sehingga binatang lucu bertelinga panjang ini pun akrab dengan mereka. Kalau kepala pusing dan hati sumpek memikirkan ujian yang sulit dan tugas-tugas kuliah yang berat, bermain dengan kelinci di halaman ini sungguh bisa menjernihkan pikiran. Apalagi di sisi barat sekarang ditambahkan air terjun mini, sehingga bunyi gemericik air membuat hati sumpek menjadi tenang dan damai.
Wah …. Mr. Rabbit lagi malas-malasan. Sudah kenyang ya?
Melihat kelinci-kelinci itu, saya selalu tergoda untuk menyanyikan lagu yang saya kenal di masa kanak-kanak dulu (anak-anak sekarang masih kenal lagu ini nggak ya?)
Kelinciku kelinciku kau manis sekali
Melompat kian kemari sepanjang hari
Aku ingin menemani sepulang sekolah
Bersamamu lagi, menari-nari
Beberapa tahun yang lalu, halaman dalam ini pernah dipakai mahasiswa untuk bermain sepak bola. Memang menyenangkan juga melihat aktivitas fisik mahasiswa yang penuh energi. Dan bagi para pemain bola, kesempatan itu dipakai untuk mejeng alias tebar pesona di hadapan cewek-cewek fakultas Teknik yang jumlahnya hanya sekitar 10 persen …. Tapi akibatnya, rumput menjadi rusak dan kelinci-kelinci ngumpet ketakutan. Akhirnya Dekan melarang mahasiswa bersepak bola ria di halaman dalam kampus. Kebetulan Dekan FTSP waktu itu hobinya tenis, bukan sepak bola (kalau dekannya Bang Mikekono, pasti sepak bola dipersilahkan jalan terus, bahkan disuport … hahaha). Lagi pula, kan sudah ada lapangan sepak bola, yang jaraknya cuma 100-an meter dari gedung kuliah. Sono deh, sepak-sepakan di tempat yang sudah disediakan (sayangnya, cewek-cewek nggak bakalan mau repot-repot kesana untuk nonton … )
Di lantai dasar blok E terdapat hall yang cukup luas. Di hall inilah mahasiswa sering mengadakan berbagai kegiatan, termasuk menampilkan karya-karya mereka, terutama mahasiswa Arsitektur. Dibanding mahasiswa Sipil, mahasiswa Arsitektur memang lebih kreatif, lebih komunikatif, dan lebih ‘nyeni’. Saya hampir tidak pernah melihat tulisan tangan mahasiswa Arsitektur yang jelek. Mereka juga piawai menata tampilan jika mengadakan pameran. Betul begitu ya, Japs? (hehe … Japs terlonjak saya sebut namanya).
Gelar karya Tugas Akhir mahasiswa Arsitektur berupa maket bangunan di hall FTSP
Di bawah FTSP terdapat tiga jurusan, yaitu Arsitektur, Teknik Sipil, dan Teknik Lingkungan. Semuanya sudah terakreditasi BAN dengan peringkat A. Jurusan Teknik Sipil baru saja selesai menjalankan program TPSDP yang memperoleh bantuan dana sebesar 11,5 milyar. Persaingan untuk bisa memenangkan TPSDP ini sungguh ketat, dan keberhasilan memperoleh dana ini adalah prestasi yang membanggakan seluruh civitas academika FTSP. Teknik Lingkungan dan Arsitektur pun berkali-kali memenangkan kompetisi hibah dengan nilai sekitar 3-5 milyar.
Selain ketiga jurusan di atas, FTSP juga memiliki program paska sarjana yaitu Magister Teknik Sipil (MTS). MTS memiliki tiga jurusan, Manajemen Konstruksi, Teknik Struktur, serta Teknik Kegempaan. Mahasiswanya berasal dari berbagai pelosok nusantara. Saya kebetulan mengajar di program S1 dan S2, bidang Manajemen Konstruksi.
Lalu, dimana ruang kerja saya? Wah …. dimana ya? Karena status saya saat ini sedang studi lanjut, saya dibebaskan dari segala tugas dan jabatan di fakultas, sekaligus tidak punya ruang kerja (aduuh, kasian nggak sih?). Terakhir, ruang kerja saya adalah di MTS, dan sampai sekarang pun kalau ke kampus saya selalu ber’rumah’ di MTS. Selain suasananya nyaman (semua ruangan berAC dan berkarpet), di MTS juga bisa bersantai karena ada ruang makan tempat saya bisa makan siang dan ngobrol dengan para staf MTS (Mbak Desi, Mbak Dewi, Mas Basori, dan Mas Agus). Ada kulkas dan dispenser sehingga kita bisa membuat minuman sendiri yang kita suka. Ada ruang tamu tempat kita bisa nonton teve. Ada mushola tempat kita boleh tiduran kalau punggung pegal.
Foto kenangan bersama beberapa mahasiswa MTS, jongkok ria nih …
Entah bagaimana dulu direncanakan, tulisan nama gedung FTSP dipasang di tempat yang tinggi, sehingga ketika akan membuat foto kenangan bersama beberapa mahasiswa MTS, kami terpaksa memanjat naik. Sudah begitu, tulisan itu dipasang terlalu rendah, sehingga agar tulisan tidak tertutup, kami terpaksa berjongkok seperti pose pemain sepakbola. Maka, jongkoklah kami rame-rame, termasuk bu gurunya …
Ah, satu lagi yang saya suka di kampus! Ada pohon bogenvil yang tumbuh tinggi, dan pada suatu saat berbunga sangat lebat. Saya suka memarkir mobil di bawah bunga bogenvil itu, sekedar untuk bisa memandanginya sampai puas, dan membiarkan kelopak bunganya bertebaran di kap mobil saya …
Bogenvil merah keunguan yang mempesona hati …
Seorang nenek warga sekitar kampus sedang sibuk mengumpulkan ranting kering dari pohon-pohon besar di tempat parkir. Ah, syukurlah … nenek ini bisa menghemat biaya pembelian minyak tanah yang sekarang harganya lebih mahal dari pertamax …
Bismillah, semoga Pertamax, amien. hehehe…
huwa huwa huwa… saya langsung teringat perjalanan 3 hari saya di jogja kemarin membaca perjalanan pergi ke tempat dinasnya mba tuti. yang paling saya ingat ya jakal itu alias jalan kaliurang, soalnya namanya mirip nama saya : japra, hehehe. selain sering banget disebut2 dan jalannya memang besar dan ramai.
Kalo UGM saya pernah liat dan lewat kayanya. tapi kalo UII belum. Wah seru banget tuh sampe ada kelincinya, Mba, hehehe… bisa dimaenin kalo lagi stress abis asistensi. hehehe…
Betul, saya langsung terlonjak melihat nama saya disebut, hehehe… kayanya karena anak arsi diajari merancang ruangan, dilatih peka terhadap desain ruang, jadi pengalaman ruangnya bisa diterapin saat dia ngedekor. hehehe… tapi kalo saya kok dodol2 aja nih… hehehe….
katanya di bunderan UGM ada angkringan enak ya Mba? trus angkringan itu buka cabang di bandung, deket kator n kampus saya, jalan gelap nyawang. wah… saya sering banget tuh ke angkringan itu. nanti kalo ke jogja main2 ke UGM ah. salam mba…
-japs-
Tuti :
Alhamdulillah … pertamax udah turun harga Japs, sekarang Rp. 6.900 per liter 😀 (waktu harganya mencapai hampir Rp. 11.000, puyeng kepala saya … 😦 ).
Tapi pertamax, keduax, atau ke sekian kalix sama-sama menyenangkan kok baca komentar Japs.
Iya betul, Japs … kelincinya itu lucu-lucu sekali. Saya pengin banget ngejar sampai bisa nangkep, tapi malu nanti ditonton mahasiswa … hehehe 😀 😀
Saya dulu pengin banget masuk jurusan arsitektur, tapi nggak pede waktu ndaftar di UGM 😦 Akhirnya malah belajar di Teknik Geodesi, terus ambil lagi di Sipil. Tapi segala yang berkaitan dengan arsitektur dan interior saya suka, dan punya bukunya cukup banyak juga (halah, pamer … hihihi).
Angkringan di Bunderan UGM? Wah, saya malah nggak tahu, Japs. Apa maksudnya penjual bakso, sup buah, dan ketoprak dalam gerobak-gerobak itu? Kalau itu saya tahu … emang banyak.
Jalan ‘gelap nyawang’? Wah, namanya kok aneh banget. Gelap artinya ya gelap, nyawang artinya melihat (bahasa Jawa). Jadi gelap nyawang artinya …. ?
Ok Japs, kalau ke Yogya lagi mampir ya, sekalian lihat kampus UII. Bagus lho (*promosi.com*) 😀
Jadi inget masa2 kuliah…
dulu saya hampir masuk T. sipil lho bu…tapi nggak jadi begitu tau ternyata nggak ada menggambarnya (maklum minim informasi, coba dulu sdh ada inet..hehe..)
jadi mendadak langsung berubah ke jurusan T. Arsitektur…ternyata syuusah mikir strukturnya…
padahal cuma suka menggambarnya aja…hehe..kayaknya salah masuk jurusan deh…
Tapi nggak nyesel kok…banyak sekali ilmu yang bisa diterapkan …
Tuti :
Iya, Rani bakat dan minatnya memang di bidang lukis ya? Tapi kalau dulu jadi masuk ke Sipil, tambah pusing lho, soalnya hitungan struktur lebih rumit dari pada di Arsitektur. Kayaknya Rani lebih cocok masuk ISI atau ITB jurusan Seni Rupa.
Tapi nggak apa-apa, toh sekarang tetap jadi pelukis kan, biarpun kuliahnya dulu di Arsitektur. Kapan bikin pameran lukisan, Ran?
Wah… kamfusnya sih indah sekali yak? Tafi entah kenyataannya, soalnya kenyataannya bisa lebih jelek ataufun bisa jadi lebih bagus dari fotonya. Tetapi namfaknya arsitektur yang bernuansa Islam di kamfus itu hanya sedikit ya? Tetafi nggak afa2 seh…. yang fenting kamfusnya tetef nyaman…. bukan begitu mbak?
Btw… seharusnya mbak Tuti juga menamfilkan foto2 atau suasana dalam kelas atau minimal interior-interior kamfusnya jadinya refortasenya lebih lengkaf lagi……
**Ini bukan niru2 orang Arab, tetafi karena mulut lagi sariawan jadinya agak susah untuk ngomong huruf
pf! Halaah afa hubungannya wong ngetiknya fakai jari kok bukan fakai mulut…. wakakakak….. 😆 **Tuti :
Dijamin 100%, kenyataannya lebih indah dari aslinya … Arsitektur bernuansa Islam dimunculkan dalam bentuk lengkung menyerupai kubah masjid serta ornamen geometris sebagaimana yang menjadi ciri khas ornamen Islami (tidak ada gambar binatang dan manusia). Bisa dilihat pada facade bagian kanan (mungkin nggak terlalu jelas ya?). Selebihnya memang mengambil style simpel dan modern.
Iya, maunya malah menampilkan semua gedung, tapi nanti fotonya jadi terlalu banyak. Jadi terpaksa dipilih yang ada di FTSP saja. Kalau interior, memang belum sempat dipoto mas … hehehe …
Oh, memang ngetiknya pake jari toh? Saya pikir pake gigi ….
usul dong mbak, selain kelinci akan makin seru kalau ada juga kijang dan harimau…
Tuti :
Hwaduh, ntar kalau harimaunya pengin ikut kuliah, gimana dong? Tapi nggak papa ya, biar nggak bisa ditipu si kancil lagi (kan udah pinter … 😀 )
Nah, kalo kijang udah banyak tuh …. di tempat parkir 😀
Memang Jogya sangat indah, juga sebagai kota sekolah dan pusat Ilmu.
Tuti :
Iya, Bang. Makanya pindah aja ke Yogya ….. 😀
Waahh padahal dulu kalau tugas ke Yogya saya menginap di Sendik yang bersebelahan dengan UII…. dan paginya sempat jalan-jalan ke UII bersama suami (tapi memang saat itu belum ngeblog sih). Andai tahu, kita bisa kontak2an ya mbak Tuti.
Berharap ada tugas ke Yogya… lha ada kondangan ke Yogya aja kok bertepatan saya ada tugas ke Jayapura….
Dulu sering juga makan di Moro Lejar… atau jalan-jalan ke Kaliurang kan tinggal sedikit lagi ke atas.
Tuti :
Kayaknya Mbak Enny memang harus ke Yogya lagi, khusus untuk mengunjungi kampus UII dan menengok saya … 😀 Oh ya, menyambangi Bu Dyah juga, dan bloger-bloger lain di Yogya.
Kampus UII sekarang sudah jauh lebih berkembang dibanding waktu Mbak Enny nginap di Sendik BRI dulu. Yang jelas, gedungnya bertambah banyak, dan sudah hijau rindang. Pohon sengon yang ditanam sudah tinggi-tinggi, seperti yang terlihat di beberapa foto saya.
Nah, mau sekalian makan di Moro Lejar pun oke saja. Sekarang juga sudah banyak tempat-tempat makan lain yang bagus, dengan suasana asri alami. Ayo, kapan ke Yogya?
Mengingatkan masa kuliah, Jogja dah berubah deras ya mBak. Jadi kangen ke Jogja nich … ngantar bunga ke tempat mBak Tuti, sayang ya alamatnya nggak ditulis he he
Tuti :
Betul, Bang EWA. Yogya sudah berkembang cukup pesat. Bang EWA meninggalkan Yogya sudah berapa tahun? Sudah waktunya menengok bekas almamater dulu. Percayalah, pasti mengasyikkan di Yogya. Mungkin agak pangling juga, karena banyak yang sudah berubah.
Eh, kalo mau nganter bunga, sini saya kasih tahu alamat saya …. 😀 😀 (*ngarep.com*)
Ternyata jauh juga perjalanan Mbak Tuti
menuju kampus ya……untungnya sepanjang
jalan kenangan yg dilalui penuh dengan
panorama nan indah-indah
bukan sprt menuju kampus IAIN, USU,
UISU di Medan ; pemandangannya
serba semrawut dan membosankan
hehehe…. Kalau saya jd Dekan FSTP
memang rencananya akan dibentuk
klub sepakbola yang tangguh di UII
sementara Mbak Tuti akan ditunjuk
menjadi PD II (bidang keuangan)…..
biar lancar penyalurannya kpd Dekan 😆
btw, numpang tanya Mbak
berapa jmlah mhs UII skrng dan sdh berapa
bnyk alumni yg dihasilkan ?
….sy doakan semoga suatu saat nanti
Mbak Tuti menjadi Rektor UII, mana
tahu sy bs melamar jd dosen….hehehe 😀
Tuti :
Sebenarnya perjalanan saya dari rumah sampai ke kampus tidak seluruhnya melewati tempat yang indah-indah, yang ruwet dan crowded pun ada. Yang saya tampilkan memang hanya yang indah-indah, soalnya saya nggak pengin membuat teman-teman jadi pusing …. 🙂
Ohya, UII juga sudah punya tim sepak bola yang lumayan bagus lho Bang, tapi saya jarang nonton. Mana ada lah emak-emak nonton sepak bola ke lapangan, iya toh? 😀
UII adalah universitas swasta tertua di Indonesia lho Bang, didirikan 14 Desember 1947 (bahkan lebih dulu dari UGM). Pendiri UII adalah tokoh-tokoh Masjoemi, antara lain Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mr. Mohammad Roem, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Wachid Hasyim.
Jumlah mahasiswa sekarang sekitar 20.000 orang. Alumni? Wah ….. nggak tahu, Bang. Yang jelas sudah buanyaaak sekali. Yang mungkin rada dikenal antara lain Busyro Muqoddas (Ketua Komisi Yudisial) dan Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi).
Wah, saya nggak mau jadi rektor bang. Pusing, bebannya beraat. Ntar saya cepet ubanan … 😀 😀
SALAM KENAL
Mbak Tuti, saya mampir ke blog panjenengan soalnya kok sering posting ke Tridjoko. Tri itu temenku waktu di SMP 2 Madiun. Kebetulan nasibnya sama-sama jeblog. Dia nyungsep jadi dosen, padahal aku tahu cita-citanya dulu bukan itu. Lha saya nyungsep jadi Jurnalis, padahal cita-cita saya dulu jadi pelukis dan ingin kuliah di ASRI Yogya (sekarang STSI).
Membaca dan melihat foto-foto tentang Yogya, aku jadi kangen juga lho. Soalnya dulu sering nongkrong di Malioboro saat aku pernah nyantol tugas di situ 6 bulan di Markas Jawa Pos (sekarang Radar Yogya).
Seneng di Yogya, orangnya pinter-pinter.
Ada pengalaman menarik waktu itu. Kebetulan aku pengin pijat sama mbok-mbok pijat dan tak panggil di hotel aku menginap. Kesepakatan harga Rp 25 ribu. Begitu selesai, tak kasih Rp 30 ribu maksudku yang Rp 5 ribu sebagai tips.
Tapi ternyata masih kurang, dia minta Rp 50 ribu. Aku ya agak mengerenyitkan dahi. Dengan enteng dia bilang ”Lha liyane kangge sing mboncengke kulo den,”’ ha…….ha mbendhol mburi kata orang Surabaya.
Tuti :
Salam kenal juga, Pak (ato Mas?) Totok.
Iya, saya dulu sering banget nulis komentar di blognya Pak Tri. Soalnya kalau ngobrol bisa ger-geran, gitu. Tapi akhir-akhir ini agak jarang (nyesel juga) karena saya sudah habis waktu untuk ‘ngopeni’ blog saya sendiri.
Wah, jadi dosen itu ‘nyungsep’ ya Pak? Jadi jurnalis juga ‘nyungsep’? Padahal jadi dosen dan jadi jurnalis itu cita-cita saya lho (berarti saya memang suka yang nyungsep-nyungsep ya … 😀 ). Kenapa Pak Totok dulu nggak masuk ke ASRI (sekarang ISI)? Saya juga suka lukisan Pak. Pernah mencoba belajar melukis, tapi baru awal-awal terus berhenti karena nggak ada waktu. Pak Tri suka melukis juga to?
Bapak masih di Jawa Pos sekarang? Saya dulu sewaktu masih mahasiswa pernah jadi reporter di majalah Gelanggang, majalah mahasiswa UGM. Kebetulan ketua redaksinya, Darwis Khudori, ketat banget soal penulisan artikel. Bolak-balik tulisan saya disuruh perbaiki melulu …. wah, desperate saya … 😦
Tentang embok-embok tukang pijat, hahaha … itu yang namanya “dikek’i ati ngrogoh rempelo”. Kalo saya jadi Pak Totok, nggak saya kasih rempelo Pak, saya kasih ceker aja ….. qiqiqiqi
Wah…ternyata kampus UII yang di Kaliurang hebat juga ya Bu Tuti. Padahal dulu di tahun 2000 (bulan Februari kalau tidak salah), sebagai Dekan FT UBinus kami yang sedang berkunjung ke kampus UII sehabis outbound di Sarangan hanya sempat mengunjungi kampus yang di Cik Di Tiro (Pak Machfud MD yang waktu itu Purek I ikut hadir, saya sudah Dekan lho Bu). Waktu Pak Machfud MD jadi Menteri Pertahanan, malahan saya tidak tahan jadi Dekan dan akhirnya resign di Sept 2000.
Kami juga sempat mengunjungi kampus FE UII di Jalan Lingkar Luar Yogya. Kampusnya asyik juga walaupun kecil. Nah, acara selanjutnya ya berkunjung ke Kampus Kaliurang itu yang sebenarnya concern saya sebagai Dekan FT mau berkunjung ke Dekan FT UII, tapi urung karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Wah…kalau tahu kampus UII Kaliurang seindah itu, tak bela-belain ngunjungin deh…hehehe…
Tapi ada satu hal positif dari kunjungan ke kampus UII itu, yaitu Binus bisa niru UII dalam hal membuka kelas internasional, makanya Binus punya yang namanya program internasional di kampus Hang Lekir, persis di sebelah Senayan City…di tengah kota Jakarta… Kita menyebutnya “Kampus JWC” (The Joseph Wibowo Center for Advance Learning) atau kampus “Binus International”…
Wah…kalau saya dari rumah di Jakarta menuju kantor atau menuju kampus bisa nggak ya sambil memfoto seperti Ibu? Kalaupun bisa, pasti yang kelihatan cuman pantat mobil lain…hehehe..karena saking macetnya jalan-jalan di Jakarta…
Tuti :
Nah, jadi sama dengan Mbak Enny, Pak Tri harus ke Yogya dan melihat-lihat Kampus UII Terpadu di Jl. Kaliurang. Yang saya tampilkan fotonya hanya dua gedung (Masjid Ulil Albab dan FTSP), padahal masih ada 9 gedung lain yang tak kalah megahnya dengan gedung FTSP. Rencananya, tahun 2009 kami akan membangun gedung perpustakaan yang baru.
Kampus UII mungkin tidak semegah kampus UGM, tapi kami universitas swasta yang mbangunnya pakai duit sendiri, nggak seperti universitas negri yang anggarannya dari negara. Jadi kalau sedikit berbangga hati, ya wajarlah …
Kampus FE yang di Condong Catur (Jalan Lingkar Utara) nantinya akan pindah juga ke Kampus Terpadu. Ya, international program FE UII memang menjadi salah satu andalan dan kebanggaan FE UII. Sekarang di FTI UII juga sudah ada international program. Bahkan UGM pun meniru membikin International Program. Dan karena sudah ‘payung’ gede, ya laku keraslah program itu di UGM. Padahal SPPnya cukup mahal.
Hehe … kamera saya kamera digital kecil saja kok Pak, jadi bisa dioperasikan dengan satu tangan. Kalau pakai kamera SLR yang gede, ya nggak mungkin bisa motret sambil nyetir. Berdasarkan pengalaman, saya beberapa kali berhasil memotret obyek justru ketika sambil nyetir, jika obyek itu letaknya sedemikian rupa sehingga sulit dipotret dari pinggir jalan (akan terhalang oleh kendaraan yang lalu-lalang).
Terimakasih sudah berkunjung, Pak Tri.
wah ibu dosen,,,,
perkenalkan ini obet mahasiswa semester 1,
tapi bukan di uii,,,,
wah,,, baca blognya ibu obet jadi inget perjalanan obet daptar di UGM,
tapi gagal….
padahal dah pengen banget jadi mahasiswa Psikologi UGM, tapi mungkin jadi mahasiswa sastra di Unsoed udah jadi jalan hidup,,,,
tapi hidup di Jogja,
pindah siaran dari Yasika FM Purwokerto ke Yasika FM Jogja mungkin jadi salah satu cita – cita yang belum tercapai,,,, mungkin belum jadi yang terbaik….
salam kenal ibu dosen,
sering2 nge post tentang jogja yah bu, 🙂
Tuti :
Wah, coba dulu ndaftar di Psikologi UII, mungkin diterima …
Tapi nggak apa-apa, sekarang toh sudah kuliah di Sastra Unsoed. Owbert penyiar radio Yasika FM Purwokerto ya? Dengar-dengar, Mayang Sari membangun imperium bisnis di sana, termasuk membuat stasiun setevisi swasta. Apa benar ? Kalau memang benar, semoga ada manfaatnya bagi masyarakat sekitar, bukan justru mematikan pengusaha-pengusaha lain yang sudah ada terlebih dahulu.
Kalau Owbert suka baca postingan tentang Yogya, coba buka category “Jalan Jalan Yuuk ..” ada beberapa tulisan tentang Yogya disana.
Terimakasih sudah berkunjung, salam kenal juga
Mulai penggal kedua cerita posting ini, aku mulai nggak bisa ngikutin. Dimana jalan Prof Yohannes, dimana Jl Prof Notonagoro, apa lewat kuburan dekat Syantikara dulu ya…. atau lewat perempatan Sekip (Gedung BPA) dekat Fak. Pertanian dulu ya ? (Itu tu…. yang ada jualan bakmi kalo malam-malam), ….tapi cerita selanjutnya… baru terasa lagi ketika cerita selokan Mataram, apalagi mengenai perapatannya yang banyak spanduk itu… emang disitu dari dulu juga sudah banyak jualan makanan terutama gudeg Bu Amat.. yang waktu dulu masih warung kecil. Ya, tempat nongkrong kami memang, karena jaraknya kan hanya dua puluh meter ke fakultas (pengajaran) dan seratus meter ke Balairung (ruang kuliah). Mulai dari sini aku mulai hapal sampai Kenthungan, karena aku dulu tinggal di Km 5 belok kanan, namanya daerah Tawang Sari. Dari rumah kost ku kalau langsung ke selatan tembus persis Fakultas Kehutanan.
Tentang UII aku tahunya yang di Cik Di Tiro itu. Bahwa setelah tiga puluh tahun kemudian sudah ada kampus yang megah di lereng Gunung Merapi, ya salut deh. Tapi ya sudah sewajarnya Perguruan Tinggi pertama di Yogya ini menjadi lembaga pendidikan yang mumpuni. Dan aku berfikir, orang-orang yang pada dasarnya mempunyai kelebihan seperti Tuti (orang sudah terkenal sebelum jadi dosen).. merupakan asset yang berharga bagi Universitas.
Tentang arsitektur bangunannya, aku yakin pasti ngejogja banget, karena Yogya itu kota seni dan kota budaya yang kental.
Omong-omong soal jarak tempuh, kamu masih mendingan Tut. Aku berangkat dari Kota Medan yang namanya daerah Padang Bulan, melalui Medan Ring Road menuju Jl Gatot Subroto, menembus Terminal Terpadu Pinang Baris, dan Pasar Tradisional Kampung Lalang (kawasan termacet di planet ini) menembus perbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, trus memasuki Wilayah Kota Binjai, keluar dari Wilayah Kota Binjai masuk lagi ke Wilayah Kabupaten Deli Serdang, mencapai daerah Tandam Hilir (Daerah Perkebunan Tebu Kuala Bingai PTPN-II, dengan Pabrik Gulanya bernama Kwala Madu), baru memasuki Wilayah Kabupaten Langkat, memasuki Ibu Kota Kabupaten Langkat, Stabat trus ke Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten, dan disanalah kantorku menumpang (kukatakan menumpang karena kami kan bukan perangkat Otonomi).
Jarak dari rumah sampai Kantor di Jl Imam Bonjol Stabat adalah 46 km, setiap hari kutempuh selama 2 jam. (Kecuali kalau subuh, bisa kutempuh dalam waktu 50 menit). Jalan ini adalah jalur lintas Sumatera, padat, panas dan sangat ganas. Hampir tiap hari ada insiden, ya tabrakan ya srempetan dan kita sudah menjalaninya dengan biasa saja.
Barangkali karena aku suka kerja lapangan berkunjung dari satu desa ke desa lain, maka jarak jauh itu sudah biasa bagiku. Bahkan tiga tahun yang lalu ketika aku masih menjabat di Kabupaten Karo, jarak Medan Kabanjahe (78 km) juga kutempuh bolak balik tiap hari, dan waktu tempuhnya juga hanya dua jam, karena tidak pakai macet.
Cerita Yogya kok membuat otakku jadi cerdas lagi ya…???
Tuti :
Jl. Prof Herman Yohannes itu jalan ‘baru’ Bang (entah Bang Sis masih di Yogya nggak ya, waktu jalan itu dibuat?). Jalan itu ‘memotong’ hunian di samping bioskop Rahayu zaman doeloe (sekarang biskopnya sudah nggak ada), di depan RS Bethesda. Dulu disitu ada pertigaan dengan Jl. Solo, nah sekarang jadi perempatan dengan adanya Jl. Prof Yohannes.
Nah, Jl. Prof Notonagoro adalah kelanjutan dari Jl. Prof Yohannes, dari asrama Syantikara ke arah utara. Kuburan di sebelah barat Syantikara itu sudah tidak ada lagi Bang, sudah jadi pom bensin. Gudeg Bu Amat masih ada, sekarang sudah menjadi rumah makan yang cukup laris. Jalan di depannya sudah diperlebar, dibuat satu arah. Sudah rapi disitu sekarang, Bang.
Arsitektur gedung-gedung di Kampus Terpadu UII sama sekali nggak berbau Yogya, Bang. Seperti bisa dilihat di foto yang saya muat, gedung FTSP dan Masjid Ulil Albaab memiliki arsitektur yang modern banget malah. Ada sentuhan unsur Islam, yaitu pada bentuk lengkung menyerupai kubah dan ornamen-ornamen geometris. Teman-teman dari arsitektur ini masih muda-muda, kosmopolit, jadi desain bangunannya semua bergaya modern.
Wah …. perjalanan Bang Sis ke tempat kerja setiap hari jauh sangat ya. Dua jam pergi pulang berarti empat jam setiap hari. Tapi pakai driver kan Bang? Kalau nggak, apa nggak capek banget tuh?
Cerita tentang Yogya bikin otak Bang Sis jadi cerdas lagi? Emang selama meninggalkan Yogya kecerdasannya kemana Bang? 😀 😀
Hebat. Tulisan ibu ini lengkap mendeskripsikan hampir separo Sleman, he he he..
Kalo rute saya paling-paling hanya 1 per 5 perjalan ibu ke kampus, kurang malah 😀
Tuti :
Hehehe … ini kisah perjalanan melintasi kota Yogya. Dari rumah saya di ujung selatan Yogya, nyeberang kota, terus sampai ke Sleman. Rute saya adalah rute terpendek yang bisa saya tempuh. Lisa sendiri kos di sekitar kampus UGM ya?
Subhanallah… kangen je, pengen liburan ke Jogja!
Tuti :
Memang Yogya selalu bikin kangen. Kapan mau liburan kesini?
Ternyata perjalanan mbak Tuti setiap hari jika diceritakan di dalam sebuah blog menarik juga mbak. Jalan di kampus UGM sangat hijau dan menarik. Gedung di UII megah-megah. FYI UII sangat terkenal di daerah saya, kebanyakan dari teman dan tetangga juga bersekolah kesana. Tetapi tidak semua bisa karena termasuk mahal menurut ukuran kami.. 😦 Tapi jika fasilitasnya seperti itu wajar saja biayanya mahal.
Salut mbak Tuti, pembangunan dilakukan oleh orang UII sendiri. Dan hasilnya juga indah dan megah. Sukses selalu untuk UII dan mbak Tuti khususnya. Thanks
Tuti :
Betul Mbak Yulis, saya selalu seneeeng kalau lewat Jl. Notonagoro yang dipagari cemara tinggi itu. Tanpa bermaksud sombong, menurut saya gedung-gedung di UII memang megah. Masih ada sekitar 10 gedung lain yang fotonya tidak saya posting. Dan memang yang membuat bangga, gedung-gedung itu kami buat sendiri. Ini sekaligus bukti bagi mahasiswa maupun masyarakat, bahwa dosen-dosen Arsitektur dan Sipil UII tidak hanya tahu teori, tapi juga bisa mewujudkannya menjadi bangunan riil. Ohya, thesis saya di S2 juga mengambil bahan kajian gedung FTSP (soalnya datanya gampang dikumpulkan, wong pelaksana proyeknya semua teman-teman sendiri …. hehehe).
Senang sekali mengetahui bahwa UII sangat populer di tempat Mbak Yulis. Tapi bahwa biaya kuliah di UII mahal, sebenarnya itu hanya anggapan masyarakat saja. Sekarang ini, kalau dibandingkan dengan PTS-PTS lain di Yogya, biaya kuliah di UII sama saja kok, bahkan relatif murah. Apalagi UGM sekarang sudah menjadi BHMN, uang kuliahnya mahal. Jadi jangan takut kuliah di UII (promosi nih … hehehe )
Terimakasih.
horok to’, ada kelinci di kampus Mbak tuti (-)k, asal jangan ada yang kepikiran untuk buka warung dengan menu sate kelinci di dekat parkiran kampus ya Mbak… bisa habis dibedhog itu sang Mr Rabbit…
Tuti :
Hiyaa …. mosok ada yang tega nyembelih Mr. Rabbit yang lucu itu untuk dibikin sate ya? Wah, nggak berperikehewanan betul tuh penjual dan pemakan sate kelinci. Emang nggak ada makanan yang lain po yo? Menungso kok nggragas banget … 😦
Ibu saya dulu kuliah di UII, tapi sayangnya saya kok belum pernah nengok kampus tersebut ya? hehe..
Itu bougenville nya memikat hati, warnanya nan cuantik. Asri juga ya tamannya. Tks Bu liputannya.
Tuti :
Ibu Buthe dulu kuliah di UII ya? Fakultas apa Buth? Ajak dong nengok almamater, pasti bangga dan bahagia melihat Kampus Terpadu UII di Jl. Kaliurang. Ibu Buthe lulusnya sudah lama kan, pasti dulu kuliahnya belum di kampus baru ini.
Ohya, kemajuan UII bukan hanya di gedung-gedungnya lho, tapi juga mutu dan sistem pendidikannya sekarang sudah jauh lebih maju.
Wah…saya kebangeten mbak, belum pernah masuk kampus UII Jakal sampai ke masing masing fakultas, cuma melewati main gate, trus ke gedung pertemuan (yang sering disewa untuk pesta nikah). Ternyata…. indah sekali didalamnya. Besok kalau mau kesana dengan ibu-ibu … ijin dulu ke bu Tuti ya…biar kami mantap kalau mempromosikan pendidikan di Jogja kepada tamu tamu luar Jawa, selain UGM…juga UII…he..he…
Tuti :
Betul, Bu Dyah. Perlu sekali lho, ibu-ibu PKK diajak tour ke kampus UII, supaya bisa memberi wawasan dan pengarahan kepada putera-puteri, keponakan-keponakan, tetangga, teman dan saudara, ketika memilih perguruan tinggi. Bukan cuma kampusnya yang indah dan megah, sistem pendidikannya pun sudah sangat maju. Sebagian besar sudah terakreditasi A (*promo mode on*)
Tapi ijinnya bukan ke saya, wong saya bukan kepala satpam di UII … 😀 😀 Kalau menjadi gaet alias pemandu tour, oke … siap sedia setiap saat (dijamin gratis … tiss … )
serasa jalan bareng ama mbak..hihi…
“sehingga gunung yang dikuasai Mbah Marijan itu tampak biru mempesona”
bukannya Gusti Allah nyang kuasai??
btw, kalo alamatnya ada, kan bisa kirim foto daku kesana..hehe
Tuti :
Hehehe …. Uda Alex, kalimat “dikuasai Mbah Marijan” itu kata ‘dikuasai’nya dalam tanpa petik. Jangan dibaca serius, ntar stres. Itu kan lelucon bin sindiran aza …
Wahahaha, serius nih? Mau kirim foto? Iya deh, ntar saya kasih tahu alamat rumah saya. Potonya yang guede ya, 50R gitu (emang ada ya poto 50R?)
Bah…. tulisan yang menarik sekali…. jadi ingat waktu ke Jogja bersama sahabatku Anggi…. kota yang nyaman dan masyarakatnya ramah tamah… (jujur lho Bu Wali…). Sangat kagum saya pada inisiatif pembuatan gedung gedung yang serba Swadaya… Ide yang cemerlang, berhemat dan sekalian melatih kreativitas. Ini pantas ditiru oleh Pemerintah Indonesia…. jangan sedikit sedikit mendatangkan Tenaga Ahli dari Luar Negeri… yang keAhliannya tidak jelas… tetapi harus di bayar mahal sekali.
BTW Blog nya saya Link ya……
Tuti :
Wah, kenangan sama Anggi pasti manis sekali ya (jadi terharu … ).
Memang betul Bang Michael, pembangunan gedung secara swa-kelola itu sangat menghemat anggaran, karena kami tidak perlu mengeluarkan dana untuk membayar jasa kontraktor dan konsultan perencana, yang besarnya bisa sekitar 10% – 15% dari harga bangunan. Kalau bangunan itu nilainya 18 milyar, kan berarti UII bisa menghemat sekitar 2 milyar. Tentu saja teman-teman yang mengerjakan gedung itu mendapatkan fee, tetapi UII tidak perlu memberi profit seperti yang diambil oleh perusahaan kontraktor dan konsultan.
Silahkan me-link blog saya jika berkenan. Saya juga akan me-link blog Bang Michael.
Dari selatan ke arah utara melewati kota memang terkesan sumpek karena selain jalanannya sempit juga kendaraan tumplek semua di situ. Banyak persimpangannya lagi. Dulu Jl. Taman Siswa masih lumayan tak sampai terjadi keruwetan seperti di seputar Gondomanan, tapi ternyata keadaannya sekarang tak jauh beda. Mau melingkar lewat pinggiran terlalu jauh. Sepertinya Jl. Taman Siswa ini banyak dipilih sebagai akses warga Yogya Selatan untuk menuju arah utara.
Tuti :
Betul, Mas Mufti. Mau lewat lingkar barat ataupun lingkar timur, saya tetap harus ‘mengarungi’ lalu lintas yang padat menuju ke kampus. Rute yang saya lewati kayaknya adalah yang tersingkat. Apa boleh buat, memang harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mencapai kampus.
Kemarin waktu harga pertamax hampir mencapai Rp. 11.000,- per liter, saya sempat pusing, karena biaya transport menjadi mahal sekali. Sebulan saya menghabiskan sekitar 1,7 juta rupiah hanya untuk beli pertamax … huwa huwa … Mobil saya 2500cc, dan kecepatan rendah membuat pemakaian bahan bakar boros.
Syukurlah sekarang pertamax sudah turun menjadi Rp. 6.900,- per liter. Mudah-mudahan jangan naik lagi deh …
iya, saya kos di Gandok, catur tunggal. Ya lumayan deket ke kampus. sampe bosen lewat jalannya itu itu aja, jadi seringnya pulang pergi lewat jalan yang berbeda 😀 he he ..
Tuti :
Pasti asyik dan nggak bosen kalau ke kampus UGM lewat UII Jl. Kaliurang, Lisa (heuheuheu …. itu mah judulnya ‘jelajah dunia’ ya …)
Wah, serasa ikut berkendara dari Jl… (uups.. nggak boleh ditulis ya? rasanya saya tahu didaerah mana rumah Mbak Tuti) menuju ke kampus UII, mbak Tuti emang paling jago menulis dan mendeskripsikan sesuatu… membuat saya rindu untuk pulang. Meskipun sudah lama meninggalkan Jogja tapi kota dimana saya lahir dan dibesarkan ini tetap home sweet home buat saya.
Hampir tiap bulan saya mudik mbak, dan setiap kali pulang itu saya selalu ‘surprised’ lihat perkembangan di sekitar Jl. Kaliurang yang semakin padat itu, ada saja bangunan baru, toko baru, tempat makan baru, lalulintasnya juga alamak… padat sekali, mau nyebrang aja susah! Beda sekali dengan waktu kami pertama pindah kesana hampir 30 tahun yang lalu, nggak heran kalau pak Sony tidak mengenali lagi tempat-tempat itu.
Saya cuma pernah lihat kampus UII yang megah itu, tapi belum pernah masuk, ternyata didalamnya memang asri sekali yaa… Nanti kalau saya pas mudik pengin deh main kesana, eh barengan sama Ibu Dyah kali, kita “Tour de UII”…hehehe. Dan, kelinci itu… aduh lucunya… Siapa yang punya ide untuk memelihara kelinci Mbak? Ada alasan khusus kok kelinci yang dipilih, bukan hewan yang lainnya? Kalau di Lembah UGM kan ada rusa, biar nggak sama ya? Kan nggak mungkin juga piara macan ya.. haauuumm…. hehehe…
Tuti :
Hehehe …. sebenarnya alamat rumah saya nggak rahasia kok, Mbak Tanti. Cuma ngomongnya harus bisik-bisik, mouth to ear … 😀 Haduh, parno banget ya saya? Emang siapa sih saya? Emang ada yang berminat tahu rumah saya?
Betul, Yogya memang berkembang cukup pesat, terutama sejak Pak Hery Zudianto dan Bunda Dyah Suminar memimpin Yogya, penataan kota jauh lebih baik. Banyak taman dibangun, kawasan Shopping Centre yang dulu semrawut, sekarang tertata rapi, demikian juga kawasan Kewek – Pasar Kembang.
Wah, seneng sekali kalau Mbak Tanti, Bu Dyah, dan teman-teman yang lain mau beranjangsana ke UII. Ntar tak jamoni deh (eh, maksudnya dijamu, gitu …). Ya, kelincinya memang lutu-lutu … entah siapa dulu yang punya prakarsa untuk memelihara kelinci di halaman dalam itu. Tapi waktu kelinci itu beranak banyak, sempat anak-anaknya yang masih kuecil-kuecil itu dimakan kucing … huhuhu.
Kenapa kelinci yang dipilih? Kenapa nggak gajah, yang merupakan lambang kepandaian? Atau macan, yang merupakan raja hutan? Lha kalau yang dipelihara gajah atau macan, nanti lulusan UII jadi pemain sirkus semua … hehehe
”Nyungsep” itu istilah saya mbak, kalau antara cita-cita dan kenyataan beda. Tapi ternyata nyungsep di dosen dan nyungsep di dunia jurnalis, termasuk nyungsep yang asyik.
Andaikan saya bener-bener jadi pelukis paling juga nggak bisa ngalahin Afandi he…..he.
Jadi jurnalis di zaman saya tahun 78 (saya lulus SMA tahun 75 sama-sama TRI trus nyungsep ke Akademi Wartawan Surabaya) , masih dianggap bukan pekerjaan. Jadi kalau saya nggak dapat istri cantik, karena dulu yang dianggap pekerjaan yang bisa ”ngayani” keluarga ya PNS. Jadi istriku kali aja ya nyungsep ketemu saya.
Sekarang saya sudah pangsiun dari Jawa Pos, maklum kalau tentara gitu pangkat kopral jadi usia masih layak jadi perjaka sudah ”dirumahkan”. Sekarang saya bikin media kecil-kecilan, namanya KORAN PENDIDIKAN DIMENSI” di Madiun. Untuk hobi sekaligus memanjangin usia.
Dan sekarang tambah 1 hobi lagi, ngunjungi blog agar punya teman banyak. Termasuk mbak Tuti, siapa tahu kalau saya lagi keleleran di Malioboro ada yang ngampirno, lumayan gak usah mampir di ayam goreng lesehan yang ternyata untuk ukuran saya sekarang ”nyekik leher” he…he.
Ternyata asyik juga nyambangi blog, ceritanya asyik-asyik, lucu-lucu. Dan yang lebih penting lagi bisa kasih komentar sak kecekele.
Untuk di wordpress saya baru nyoba bikin namanya Madiunhai.wordpress, tapi belum sempat ngisi, soalnya baru kemarin. Yang lama nggak pernah tak update, bisa disinggahi di Dimensi-Madiun.Blogspot.
Matur suwun sanget mbak Tuti, panjenengan kerso nampi salam perkenalan saking kulo.
Tuti :
Iya Pak, zaman dulu yang namanya wartawan dan seniman itu dianggap bukan pekerjaan. Padahal jadi wartawan itu kerjanya mati-matian, harus ngejar sumber berita, dikejar dead line. Lagi pula zaman dulu media informasi belum memiliki peran yang cukup berarti di bidang ekonomi global. Lha kalo sekarang kan memang sudah eranya informasi dan IT. Siapa yang menguasai informasi, mereka akan memenangkan kompetisi.
Koran Pendidikan Dimensi itu koran berita umum atau punya kekhususan di bidang pendidikan, Pak? Wah, mengelola koran kalau modalnya nggak gede, berat ya Pak. Di Yogya ini pangsa pasar sudah dikuasai koran KR, sulit bagi koran-koran lain untuk berkembang. Tapi semoga Radar Yogya bisa merebut sebagian pangsa pembaca koran KR ya.
Nah, kalau ngeblog memang asyik Pak. Tapi kalau sudah kecanduan, bisa menyita waktu dan membuat terlantar pekerjaan-pekerjaan lain. Semoga blog Pak Totok bisa segera diaktifkan. Pakai yang wordpress aja Pak, lebih nyaman. Kalau di blogspot, saya sering susah meninggalkan komentar.
Kalau mampir ke Yogya, silahkan kontak saya Pak. Nanti tak jajakke gudeg sak tuwuke … 😀
Mbak…mbak…..
saya boleh Tour de UII ngga nih? (BTW email saya keterima ngga ya? saya kirim ke almat yahoo tuh) Beneran nih mbak…. (eh tapi kalau ngga boleh ya gpp juga sih).
Rencananya tgl 7-8-9 Maret nih mbak, saya bawa rombongan hehehe. Seneng deh kalau bisa dijamu mbak Tuti (tapi jangan khawatir loh mbak, kami ngga suka minta gratisan kok)…. Bisa ngga mbak?
Dan saya janji deh ngga akan nangkepin Mr Rabbit nya…soalnya saya mau nangkepin Miss Bunny aja hehhehe
EM
Tuti :
Wah, pasti boleh sekaliii ….. (serius nih?). Tapi karena UII adalah institusi resmi, tentu bukan saya yang berwenang untuk menerima tamu, melainkan bagian humas/rektorat. Itu kalau Mbak Imel menginginkan penyambutan resmi, dimana nanti bisa diberikan penjelasan tentang ABCD nya UII. Tapi kalau cuma ingin keliling kampus, nggak sampai bertamu ke rektor atau dekan, yuuuk marii ….. saya siap jadi pemandu.
Jangan khawatir, UII memang nggak punya resto, tapi di Jl. Kaliurang banyak resto-resto dengan suasana alam. Pokoknya mak nyuss … (kata Bondan Winarno).
Eh, saya sudah cek ke email Yahoo, kok nggak ada email dari Mbak Imelda ya? Saya cek di spam (siapa tahu dianggap virus oleh Yahoo) juga nggak ada tuh …. ? Kenapa ya, kok nggak masuk?
Indah dan nyaman sekali ya UII itu. Weh, kebayang betapa menyenangkan sekali belajar di kampus seperti itu.
Eh, jarang lho Bu ada kampus yang nyaman begitu. Kalau tidak terlalu gersang, pasti terlalu elit. UII tampak manis.
Tuti :
Ya, kampus UII memang lumayan nyaman. Di dalam kampus suasanannya cukup tenang, karena tidak dilewati lalu lintas umum. Waktu pertama pindah dulu masih sangat gersang, tapi sekarang sudah teduh karena pohon-pohon yang ditanam sudah tumbuh tinggi. Ya maklumlah, karena UII memiliki jurusan Teknik Lingkungan, jadi kalau kampusnya gersang kan memalukan … hehehe
Kalau pas ke Yogya, silahkan berkunjung ke UII, Mas Daniel.
Nah, itu dia, semua orang pasti mengira kalau punya koran itu konglomerat alias punya modal gede. Padahal saya ini termasuk konglomelarat, panjenengan kira-kira nggak percaya kalau saya bilang modal saya cuma 1 komputer, 1 printer, 1 kamera digi dan 4 wartawan. Plus Skill.
Lho kok??????
Ya begitulah mbak, koran saya 2 mingguan. Jadi nggak perlu modal gede. Pokoknya sudah laku cukup untuk cetak, langsung gooooooo…….
Namanya juga koran pendidikan, jadi ya khusus tentang pendidikan, terutama mengangkat prestasi siswa, guru dan sekolah termasuk PT-nya.
Soalnya selama ini kan ndak ada koran yang mau mengekspos prestasi pendidikan kalau bukan prestasi tingkat nasional. Padahal prestasi lokal pun kalau kita kasih penghargaan lewat pemberitaan, menjadi kebanggaan bagi yang bersangkutan. Harapannya, setelah bangga, terus prestasi semakin ditingkatkan. Gitu lo mbak idealismenya.
Mbak Tutik sebagai dosen pasti mahfum.
Tapi paling tidak, apa yang saya lakukan ”BAGAIKAN SEBUTIR PASIR DI PANTAI NAN LUAS, TAPI TETAP BERGUNA MEMBANTU PEMERINTAH MENGANGKAT TENAGA KERJA” he…he. Sombong nih yeee…..
Makasih banget tawarannya gudeg yogya. Saya kalau mampir ke teman-teman Radar Yogya diblebeg gudeg. Kalau kebetulan ketemu teman dari Radar–terutama yang lama–salam saya. Bilang aja dari Bondet, pasti mereka tahu. Soalnya rubrik saya dulu OPO MANEH dengan tokoh sentral Bondet, amat sangat tercemar, he….he.
Tuti :
Wah, hebat banget tuh, Pak Totok. Cuma bermodal satu komputer, satu printer, dan satu kamera digi, sudah bisa nerbitin koran. Memang, yang penting adalah skill (bukan sikil ya Pak …. hehehe ).
Yang lebih hebat lagi adalah idealisme Pak Totok. Jarang lho sekarang ini ada orang mau bersusah payah memperjuangkan idealisme. Tapi memang benar, sekolah-sekolah itu kalau diekspose prestasinya pasti akan senang dan semakin memacu semangat mereka untuk meningkatkan prestasi. Berarti yang langganan koran Pak Totok sekolah-sekolah ya Pak.
Wah … saya nggak punya kenalan wartawan Radar Yogya je Pak … maklum, saya bukan wartawan atau selebriti … hehehe. Nah, karena Pak Totok sudah sering diblebeg gudeg oleh teman-teman wartawan, besok saya blebegke (tenggelamkan) ke kali Progo aja po? hehehe (bercanda, Pak)
🙂 Jadi inget dulu pernah diajak umi jalan-jalan ke UII, trus pulangnya dari UII mampir beli bika ambon yang tokonya deket pintu gerbang UII 🙂
Tuti :
Wah, Retie sudah pernah ke kamps UII ya? Bagus kan? (halah!).
Iya, itu toko kue bika Ambon memang enak. Lucu ya, makanan dari Medan, kok namanya Ambon. Kenapa bukan Bika Medan?
Halo mbak dah lama gak mampir nich.
Tentang UII, fasilitas sudah sangat bagus, dosen sangat kualified, riset sedang berjalan (iya khan?) tinggal mengamalkan tridarma yang ke tiga, community service. Soalnya agak jomplang sih saya lihat dengan kampus UII yang begitu megah dan seorang nenek2 pembawa kayu bakar, rasanya gimana gitu… bisa di jelaskan mbak apa yg telah UII lakukan untuk masyarakat sekitar.
Tuti :
Wah, selamat datang, Mas Ario. Iya nih, lamaaaaa sekali nggak muncul. Bagaimana studinya di Jerman? Semoga lancar dan sukses ya.
Alhamdulillah, UII memang sudah memiliki fasilitas yang cukup memadai. Mengenai program yang sudah dilakukan UII untuk masyarakat, sebenarnya sudah cukup banyak. Di UII ada Lazis (Lembaga Amil Zakat Islam) yang menghimpun zakat dari para sivitas akademika UII maupun masyarakat umum. Lazis menyalurkan zakat yang terkumpul untuk memberi beasiswa kepada anak-anak sekolah, bantuan modal kerja pada rakyat binaan, dan sebagainya. Juga ada Lembaga Pengabdian Masyarakat, yang memiliki banyak program untuk membantu masyarakat (tidak selalu berupa bantuan uang).
Mengenai nenek-nenek yang mencari kayu bakar di kampus UII, bagi saya malah menyenangkan, karena berarti ada sesuatu dari UII yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Bahwa masih ada orang miskin di sekitar kampus UII, tentu saja tak bisa dihindari. Masyarakat Indonesia memang masih sangat banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan UII sendirian tentu tak bisa mengentaskan seluruh kemiskinan itu.
Wah, Dapat sanjungan mbak Tuti, rasanya saja jadi ”gede ndase” he…hee.
Kalau menurut saya, itu bukan idealisme mbak, tapi sekadar hobi yang harus tersalur agar otak ini nggak mandeg. Soalnya gawat mbak, kalau otak mandeg, salah-salah semuanya juga mandeg. Banyak contoh orang pensiun langsung struk, karena otaknya mandeg. Kalau toh jalan hanya untuk romantisme masa lalu saat masih menjabat, banyak yang kasih tabik. Saat semuanya sudah nggak ada, ganti penyakit yang kasih tabik alias menyapa.
Selain hobi, paling tidak ilmu jurnalistik terapan yang saya explorers selama puluhan tahun bisa saya turunkan kepada generasi muda yang ingin belajar. Lumayan lho mbak, aku punya 4 murid. Tapi yang aku pikir, kalau setiap mantan wartawan punya murid kayak saya, jangan-jangan publisistik nggak kebagian mahasiswa ha….ha.
Tapi betul kok mbak, prestasi anak-anak kita memang harus dipacu. Mungkin saya hanya bisa memacu (kalau boleh pakai istilah itu) lewat berita yang tak tulis, ada kebanggaan bagi mereka. Tak peduli prestasi tingkat kecamatan, meski untuk itu saya sering diolok-olok teman bahwa beritanya nggak ada news value-nya.
Kenyataannya, sekolah-sekolah jadi pelanggan setia, hingga setiap cetak sudah nggak pontang-panting lagi. Padahal awal-awal kalau mau cetak harus ke ”SEKOLAHAN” yang punya motto ”mengatasi masalah tanpa masalah”.
Dan alhamdulillah, mulai awal Januari nanti koranku mampu terbit mingguan. Kasih dong alamat, ntar tak kirim gratis setiap terbit. Syukur-syukur ntar ada mahasiswa mbak Tuti yang bantu berita dari Yogya, khususnya info kampus. Soalnya banyak lho mbak anak Madiun yang kuliah di Yogya, yang saya rasa perlu info sejak awal.
Dan lebih bersyukur lagi kalau ntar masanya PMB, UII juga pasang iklan ha….ha…ha. Karena semua SMA di Kota dan Kabupaten Madiun udah kenal koran kita. Insya Allah, tahun depan akan merambah karesidenan Madiun yang meliputi Madiun Kota/Kab, Ponorogo, Ngawi, Magetan Pacitan, Promosi nih yeee….
Makasih atas tawaran mblebegke di Kali Progo, jujur saja dulu saya suka mandi di Kali Madiun. Sekarang, siapa takut, asal setelah itu langsung ke mbok Berek he….he…
Tuti :
Pak Totok nggak cuma idealis, tapi juga jeli melihat pasar. Nah, ini yang tidak dipunyai banyak orang. Ini kan ‘sense of management’ yang hebat dari seorang marketer. Bisa melihat kebutuhan pasar yang belum dirambah orang lain. Selama ini yang menggarap berita tentang pendidikan dan sekolah kan belum banyak, padahal pasarnya sangat luas. Pilihan yang tepat, Pak.
Memacu preatas aak-anak sekolah sebenarnya sama saja dengan memacu prestasi anak-anak kita sendiri, atau karyawan-karyawan kita sendiri. Beri pujian dan penghargaan atas prestasi mereka sekecil apa pun, pasti mereka akan semakin bersemangat untuk melakukan yang terbaik. Rumusnya gampang saja kok. Manusia mana sih yang nggak seneng dipuji? Sebaliknya, jika dikecam, orang akan jatuh mental, rendah diri, atau malah dendam. Ini cara paling buruk untuk meningkatkan prestasi (halah, sok teu ya saya …. 😀 )
Untuk iklan UII, silahkan menghubungi bagian promosi UII Pak. Dulu saya pernah memegang bagian itu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Saya kira cukup menarik (asal jangan mahal-mahal …. hehehe ). Tentang alamat saya, nanti saya kirim via e-mail ya Pak. Terimakasih sebelumnya.
Mandi di kali, siapa takut? Saya juga nggak takut kok Pak, asal kalinya bersih, dan nggak banjir, misalnya Kaliurang ….. hehehe …
Wah, soal pasar jelas bukan karena saya marketer yang baik yang jeli melihat peluang. Tapi sederhana saja, kalau saya masuk ke daerah yang dikuasai Jawa Pos Group, sama dengan bunuh diri. Sederhana kan mbak.
Saya gak pernah mikir yang muluk-muluk apalagi pakai analisa SWOT segala. Yang penting mana yang tidak digarap orang, itulah yang saya masuki. Jadi, pujian itu waowww sangat besar ukuran buat saya, apalagi pakai istilah sense of management, malah blas ndak nyampe he…he.
Tapi betul mbak, prestasi meski sekecil apa pun perlu mendapat penghargaan untuk lebih memacu. Aku pernah merasakan, pas tengah malam waktunya dead line. Tiba-tiba pak Dahlan Iskan, big boss Jawa Pos menugasi saya untuk wawancara dengan seseorang. Tahu nggak mbak, hujan deras waktu itu. Padahal antara kantor dengan rumah orang itu jaraknya sekitar 30 km (Surabaya utara ke Surabaya Selatan).
Waktu itu hujan deras, telepon di perumahan itu belum ada, apalagi HP, belum musim. Waktu itu saya tanya ”Beritanya apa harus turun sekarang????.
Jawab pak Dahlan enteng sambil berlalu ”Anda wartawan apa bukan?
Jawaban itu memacu saya, sepeda motor butut Honda Astra tahun 70 tak pacu, sebab deadline tinggal 1 jam. Singkat cerita, 5 menit jelang tutup berita, saya sudah bisa menyetorkan berita dimaksud. Waktu itu pak Dahlan cuma menepuk pundak saya sambil bilang ”Anda ternyata seorang watawan.”
Duh mbak, tepukan di pundak tahun 1985 itu masih terasa sampai sekarang. Penghargaan ternyata tak hanya berupa reward berbentuk materi saja, tepukan di pundak ternyata mampu memacu semangat saya, bahkan sampai sekarang.
Jadi, kalau sekarang saya membuat koran pendidikan yang isinya cuma mengangkat prestasi siswa, guru dan sekolah, jujur itu terinspirasi dari pengalaman tepukan di pundak tadi.
Siapa tahu, dengan tulisan sederhana melalui koran kecil ini, mampu menjadi pemicu semangat mereka untuk lebih berprestasi.
Holoh…holoh (pinjam istilah panjenengan), aku sok idealis ya mbak ha…haa. Tapi ini sekadar sharing, siapa tahu berguna juga untuk para pendidik yang kebetulan ”nderek langkung” di blog-nya mbak Tuti. Biar guru yang biasa melakukan kekerasan terhadap anak didik (mengacu di berita TV) bisa mawas diri, bahwa pukulan, tabokan etc, tak banyak gunanya. Malah sekarang bisa urusan dengan polisi.
Wah, kalau iklan (media kecil) mana bisa mahal. Tapi dijamin tepat sasaran (promosi nih ye…)
Silahkan email ke sts_bondet@yahoo.com ntar tak kirim mbak, tapi ojo diisin-isin lho yo korane. Soalnya jauh dari kualitas media yang panjenengan baca.
Tuti :
Ya itu yang namanya manajer alam, Pak. Cara berpikir manajerial itu sudah terinternalized dalam diri Pak Totok, jadi ndak usah pake mikir ini pakai teori A atau B, tapi sudah langsung menerapkannya dalam praktek.
Memang pujian itu sangat besar artinya ya Pak, apalagi dari atasan yang kita hormati dan kita jadikan panutan. Lha wong dipuji anak kecil saya kita sok-sok sudah gede kepala je … hehehe …
Saya nonton Pak Dahlan waktu diwawancara Kick Andy di Metroteve. Memang beliau seorang yang gigih dan keras kemauan ya. Dan akhirnya berhasil menjadi orang sukses. Saya pengin baca bukunya, “Ganti Hati”, tapi belum sempat beli.
Iya, Pak Totok. Nanti saya kirim alamat saya ke email panjenengan. Maturnuwun sebelumnya. Walaah, saya yo ndak bakal ngisin-isin to Pak, wong saya sendiri nggak bisa bikin koran je …
jadi kangen banget sama Jogja… dulu jalan-jalan yang ibu sebutkan itu adalah jalan2 yg biasa saya lewati. dulu sih berasa biasa saja, tapi setelah di jakarta, kok saya jadi kangen ya lewat jalan itu?
Tuti :
Kalau gitu, liburan dong ke Yogya! Sudah berapa lama Mbak Kris meninggalkan Yogya? Sudah waktunya bernostalgia dan reuni dengan teman-teman di Yogya dulu kan?
Yogya memang ngangeni … 😀 😀
Ibu dosenku rupanya,,
Menurutku memang yang diceritain ama ibu tuti memang ga dilebih2kan, kampus UII memang indah, bagus di bangunan fisiknya jg bagus di akademiknya.
Aku cukup bangga kuliah di UII.
Aku mahasiswa T.Sipil angkatan 2003 bu, sekarang lagi ambil TA sama pak kadir. Aku asal dari Blang pidie, Aceh Barat Daya, NAD. Dulu bapak saya kuliah di teknik sipil UII, ya sekitar tahun 1970an akhir.
Kapan pulang bu, dan bisa ngajar lg.
Tuti :
Waaah …. ada mahasiswaku di UII rupanya 😀
Ya, kampus UII memang indah dan bermutu. Saya juga bangga kok menjadi dosen UII.
Arief lagi TA ya … selamat belajar deh, semoga cepat lulus dengan hasil maksimal. Salam untuk Pak Kadir ya. Beliau dosen yang pintar, pasti dengan bimbingan beliau Arif akan bisa menyelesaikan TA dengan lancar.
Doakan saya bisa segera ngajar lagi. Sudah kangen juga balik ke kampus …
Insya Allah saya sampaikan salam ibu ama pak kadir, pak kadir tuh memang salah satu dosen cerdas di sipil UII, pertama-tama kenal beliau kesannya nyeremin dan agak sangar tapi lama-lama orangnya baek dan baek banget malah trus sering ngelucu juga, he he hilang deh sangarnya.
Iya kami kangen juga ama ibu, masa yang ngajar dosen cowok semua, serem-serem lagi. dah mahasiswanya 8:1 ama mahasiswi, untung anak arsitek banyak yang cewek he he.
Sukses ya bu, dan bisa cepet ngajar lagi di kampus tercinta.
Tuti :
Begitulah, seperti kata pepatah “Don’t judge the book from the cover”, jangan nilai seseorang dari tampilan luarnya. Kelihatannya serem, galak, judes, padahal sebenarnya hatinya lembut dan jujur.
Hehehe … tapi jangan sampai ibu-ibu dosen ini cuma dipelototin saja ya kalau lagi ngajar. Dengerin tuh, apa yang mereka sampaikan, catat dan masukin ke pikiran, supaya kalau ujian jawabannya nggak ngarang sendiri …
Ya, untung ya banyak mahasiswi arsitektur yang gaul dan cantik-cantik ….
Terimakasih doanya, semoga saya bisa cepat kembali ke kampus.
wew, makasih foto2 uiinya, numpang nyedot,hhe
Tuti :
Nyedot? Softdrink ‘kaleee ….
ya saya merasa bangga jadi alumni UII dengan melihat kemajuan yang begitu pesat dari lembaga UII sampai saat sekarang ini , mengingat waktu itu saya kuliah masih di jl. cikditiro dengan kondisi yang cukup memprihatinkan …….selamat lembaga UII maju terus ……….
Tuti :
Ya, kemajuan UII memang sangat pesat. Bukan hanya fisik kampus, tetapi proses pembelajaran dan mutu akademiknya pun terus ditingkatkan. Saat ini UII sudah memiliki banyak program pascasarjana level S2 dn S3. Dukungan dari alumni tentu sangat diharapkan, khususnya dalam membangun networking.
Kuliah Mas Taufik masih di Cik Di Tiro? Waduh, tahun berapa tuh …. ?
saya calon mahasiswa ftsp uii bu’..
smoga saya bisa sukses sperti bu’ tuti slama saya d uii..
amiin.
Tuti :
Oh, calon mahasiswa FTSP UII? Selamat datang di UII …. semoga sukses. Besok kita ketemu di kampus ya 🙂
Saya rara bu 🙂 dari kalsel, tepatnya sih di banjarbaru hehee (tau??)
Saya mau kuliah di fakultas psikologi di UII bu 😀 (insya allah jadi maba 2014) AMIN O:)
Saya bangga kalo bisa jadi mahasiswi uii. Semoga saya bisa masuk uii (AMIN)
Bismillah, assalamu’alaikum bu, bagaimana kabar ibu sekeluarga? semoga sehat2 semua ya,,,
Senin, 3 Oktober 2022, tidak terasa 14 tahun sejak postingan ini dibuat, saya meninggalkan FTSP.
foto2nya exactly seperti ketika saya tinggali dulu, penuh kenangan, kelinci2nya sering dikasih makan sama pak Munichy, dosen favorit saya.
Salam dari saya mahasiswa arsitektur 2005 bu :salim: