RENUNGAN UNTUK SAHABAT
Suatu hari, seorang sahabat saya muncul ke rumah dengan mata sembab dan wajah pias (setelah menelpon dengan suara panik, mengatakan ia sangat ingin bertemu saya) . Wajahnya yang ayu alami tampak sangat bingung dan sedih.
“Suamiku … minta ijin … untuk menikah lagi. Ia … ingin punya anak. Katanya, setelah perempuan itu punya anak … ia akan menceraikannya … ia hanya ingin anaknya … ia masih mencintai aku, tapi ia ingin punya anak …. bagaimana menurutmu? Aku harus mengijinkan tidak?” ia berkata terbata-bata.
Saya begitu tercekat sehingga sejenak tidak sanggup berkata apa-apa. Pantaslah ia mendesak untuk bertemu dengan saya, minta pendapat saya. Karena kami sama-sama tidak punya anak, ia merasa saya akan bisa memahami permasalahan yang dihadapinya, memahami kegalauan hatinya.
“Kamu ingin pendapatku?” saya bertanya sambil memandangnya lekat-lekat. Sahabat saya mengangguk dengan mata mulai berlinangan.
“No way!” jawab saya tanpa ragu sedikit pun.
Ia terkejut melihat ketegasan sikap saya, dan tampak limbung oleh kebimbangan.
“Suamiku bilang … ia berhak untuk memiliki anak. Wajar dong, sebagai laki-laki ia menginginkan keturunan untuk melanjutkan sejarah kehidupannya di dunia, untuk mewarisi semua hasil kerja kerasnya. Ia sangat mencintai aku, ia ingin aku selalu berada di sampingnya, karena itu ia tak mau menceraikan aku. Ia hanya ingin punya anak, itu saja. Kalau aku tidak mengijinkan, katanya aku egois. Jika aku benar-benar mencintai dia, bukankah aku harus mau berkorban apa pun untuknya? Lagi pula, aku tidak bisa memberinya anak, jadi aku harus tahu diri … “
Astaghfirullah …. Saya mengucapkan istighfar, berusaha meredakan emosi yang bergejolak. Setelah berhasil menenangkan diri, saya genggam tangan sahabat saya. Saya bicara perlahan, agar ia (juga saya sendiri) tetap bisa berpikir dengan jernih, tetap bisa melihat permasalahan ini dengan adil. Adil bagi siapa? Tentu saja bagi semua pihak.