RASA CINTA ITU TERNYATA MASIH ADA
Kerinduan para fiksi-is (maksud saya penulis cerita fiksi) terhadap Anita ternyata masih sedemikian besar. Anita yang memang cantik dan mempesona pernah hadir di hati sekian juta penggemarnya di seluruh Nusantara, khususnya para remaja, lebih khusus lagi, remaja putri. Nostalgia indah dan kerinduan terhadap Anita ini terbukti pada reuni untuk mengenang Anita yang diadakan pada 15 Februari lalu di Jakarta. Undangan yang hanya disebarluaskan lewat sms, email, dan face book ternyata berhasil mengumpulkan lebih dari 100 penulis fiksi dari berbagai kota. Sebagian di antaranya sudah lama tidak lagi menulis fiksi (termasuk saya … hehehe …), tapi toh tetap antusias untuk datang.
Siapakah Anita? Seperti apa sosoknya, sehingga mampu memikat demikian banyak orang? Cantik? Langsing? Gemulai?
Wajah Anita berubah setiap kali ia muncul. Lho?? Ya, wajah Anita berubah setiap kali terbit, karena wajahnya selalu dihiasi ilustrasi cover story, yang biasanya dianggap sebagai cerpen terbaik pada volume tersebut. Setiap kali terbit, Anita biasanya memuat sekitar 13 – 15 cerpen, dan judul cerpen terbaik (menurut redaksi, tentunya) dipakai sebagai judul volume tersebut. Cerpen saya beberapa kali terpilih sebagai cover story (ceileee …Β sombongΒ gue yee …)
Ilustrasi dalam cerpen (kiri) dan ilustrasi cover Anita “Matahari Masih Akan Terbit” dengan model artis remaja Yessy Gusman (kanan)
Ilustrasi dalam cerpen dan ilustrasi cover Anita “Setulus Hati Meli”.
Cover “Dalam Deras Hujan”
Tampilan “Dalam Deras Hujan” di bagian dalam Kumpulan Cerpen Anita. Cerpen ini merupakan Pemenang II LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja)
Tahun berapa siiih cerpen-cerpen tersebut saya tulis? Oh, saya aktif menulis fiksi (cerpen dan novel) hampir 30 tahun yang lalu, sekitar tahun 1977 – 1990. Alamak! Hanya berselang sebentar dengan zaman Majapahit ya … hehehe …
Pada acara reuni pengarang Anita yang diprakarsai oleh Kurnia Effendy dan Ranthi Razalie itu, datang para pengarang senior seperti Yani Wuryandari, Adek Alwi, Kurniawan Junaedi, Addhie Massardi, Sannie B. Kuncoro, Yulie Ikayanti, Yogi Tr, Laily Lanisyi, Agnes Majestika, dan banyak lagi. Sebenarnya pengarang-pengarang ini bukan hanya menulis di Kumpulan Cerpen Anita, tetapi juga di majalah Gadis, Femina, Putri Indonesia (alharhum), Kartini, Hai, dan sebagainya. Kami saling mengenal nama, tetapi banyak yang belum pernah bertemu muka, maka reuni kemarin sekaligus merupakan ‘kopi darat’ (yang sudah terlambat 25 tahun … hehehe).
Beberapa pengarang yang sudah saya kenal sejak dulu adalah Laili Lanisyi dan Agnes Majestika. Laili kebetulan tetangga saya di Yogya, dan kami pernah sama-sama menjadi reporter majalah mahasiswa UGM “Gelanggang”, dan beberapa kali tampil pada acara sastra di TVRI Yogyakarta. Agnes Majestika saya kenal tahun 90-an, ketika ia kuliah S2 di UGM. Laili Lanisyi dan Agnes Majestika ini langganan juara jika ada lomba penulisan cerpen, baik yang diadakan oleh Anita, Gadis, maupun Femina. Saya kadang-kadang terseret ikut mendapatkan penghargaan, tapi tak pernah berada di atas mereka …. hehehe …
Agnes Majestika, saya, dan Laili Lanisyi. Bertemu lagi setelah lebih dari 20 tahun berpisah. Masih tetap merasa muda, meskipun usia hampir setengah baya ….
Banyak yang bertanya, mengapa saya berhenti menulis? Saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, setelah menikah, kemudian bekerja sambil kuliah lagi, saya tidak punya waktu longgar seperti ketika masih gadis. Dulu, kalau mood saya sedang bagus, saya bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu menulis, tidak memikirkan atau mengerjakan apa pun yang lain (kecuali kuliah tentunya). Sesudah menikah, apalagi ketika tak ada asisten di rumah, waktu saya benar-benar tersita untuk mengurus rumah dan pekerjaan. Apalagi ketika saya nyambi kuliah lagi di S1 Teknik Sipil (S1 saya yang pertama adalah dari Teknik Geodesi UGM). Karena kuliah S1 Sipil ini adalah kemauan saya sendiri dan bukan studi lanjut, maka saya tetap dibebani tugas mengajar penuh di UII. Bisa dibayangkan, ngajar 16 SKS dan kuliah di Sipil yang ajubile praktikum serta tugas-tugasnya …. wow, pontang-panting kayak gangsingan ….
Sebab lain (nah, ini yang membuat saya sendiri ‘syok’ … ) saya tidak begitu tertarik lagi menulis cerpen atau novel yang isinya cuma kisah cinta melulu. Penginnya menulis sesuatu yang lebih bermakna, yang memberi manfaat dan pembelajaran, yang menambah wawasan dan menyajikan informasi baru. Tapi untuk menulis yang seperti itu, ternyata saya belum cukup memiliki bekal ilmu maupun pengalaman. Jadinya, ya … nggak kunjung nulis lagi (halah, alasan!! ngaku aja, memang sudah ‘mati ide’ … hehehe … )
Bahkan,Β meneruskan cerber “Diburu Bayang-Bayang” yang saya posting di blog ini pun saya malaaaas bangetts. Lebih menarik menulis topik-topik lain, yang baru, yang lebih menantang, yang menuntut saya untuk banyak belajar dan membaca lagi ….
Ilustrasi Cerber “Diburu Bayang-Bayang” yang menjadi Pemenang III Sayembara Novelet Femina tahun 1984
Tapi saya nggak nyesel kok pernah jadi cerpenis dan novelis. Lagi pula, dari aktivitas menulis itu saya bisa membiayai kuliah, membeli pakaian dan segala perlengkapan pribadi, mengganti perabot rumah, membantu belanja ibu, sampai … membiayai pernikahan saya! Swear. Sebagian biaya pesta pernikahan saya di tahun 1985 adalah dari honorarium cerita bersambung di harian “Sinar Harapan” Jakarta (yang kemudian berganti nama menjadi “Suara Pembaharuan”) dan cerber di harian “Kedaulatan Rakyat” Yogyakarta, tentu dengan bantuan keluarga dan banyak pihak yang lain.
Ngomong-ngomong, berapa sih honor pemuatan sebuah cerpen? Cerpen pertama saya yang dimuat di majalah Gadis pada tahun 1976 diberi honor Rp. 6.000,- . Waah … zaman doeloe, uang segitu cukup gede, karena uang saku saya dari ibu cuma Rp. 10,- per hari. Uang Rp. 6.000 itu sudah bisa dipakai untuk membeli macam-macam, dari baju sampai sepatu.
Penghasilan yang lebih ‘mantap’ lagi adalah jika kita memenangkan lomba penulisan cerpen/novel, atau kalau cerber kita dimuat bersambung di majalah atau koran (khususnya majalah dan koran terbutan Jakarta yang berskala nasional).
Menjadi pengarang memang nggak ada sedihnya. Ada kepuasan batin yang tak terkira jika karya kita dimuat di mass media. Honor yang diterima menyenangkan dan membuat kita menjadi mandiri secara ekonomi, dan … ngetop pula (halah, kalau yang ini gaya aja!).
Ayo, siapa mau jadi pengarang?
Hihihihi… blum sempat ngikutin… baru kelas II SD waktu itu.
Jadi malu… π
Tuti :
Baru kelas II SD, tinggal di belantara Kalimantan lagi, ya Mas? Mana ada Anita di sana … π
Bu Tuti, ketika Beatles merelease album kesekian mereka “Sgt Pepper’s Lonely Heart” menampilkan foto upacara pemakaman the Beatles dengan pengiring wajah-wajah personel Beatles yang berwajah dan bersemangat baru. Artinya, Beatles lama yang cinta-cintaan sudah berlalu sekarang Beatles baru muncul dengan tema lagu yang lebih berat terutama dengan kritik sosialnya.
Bu Tuti sudah mengubur tema Tuti yang lama ingin punya tema Tuti yang baru yang lebih dalam. Sayangnya, kok Tuti yang baru nggak bangun-bangun. Saya optimis lho bu, setelah semua keinginan ibu yang macam-macam terpuaskan (fotografi, jalan-jalan, menari, menyanyi, melukis, dan dapat gelar doktor (ups!)) maka ibu sudah punya banyak bahan untuk menulis dengan tema baru.
Ibu akan bangun lagi dengan “Bukan Tuti Nonka” (sorry mas Tukul). Mungkin dengan style yang jauh berbeda dengan Tuti Nonka dan juga tema yang mungkin menyeramkan, menegangkan, komedi, … wah kok saya yang jadi Tuti Nonka.
Tuti :
Waduh, Pak Eko. Tuti Nonka yang baru belum bangun-bangun, soalnya keinginan yang macam-macam itu belum terpuaskan …. hehehe ….
Wah, Pak Eko jangan buka rahasia hidup saya dong π
Tapi sebenarnya saya sudah siuman juga lho Pak. Kan sekarang muncul terus di blog. Tapi tulisan ‘baru’ saya gado-gado campur rujak uleg, kadang diselingi sate Padang π π
waktu aku SD bapakku sering mundutke aku majalah si Kuncung, mbak…pemeran ceritanya ada yang namanya si Kidal dan Tunggadewi..mbak tut tau nggak majalah itu? sudah punah ya sekarang?
Tuti :
Iyaa …. saya dulu juga baca si Kuncung, tapi kayaknya itu waktu saya masih kecil banget, jadi nggak ingat ada tokoh yang bernama si Kidal dan Tunggadewi. Kayaknya majalah itu sudah nggak ada sekarang.
Selain si Kuncung, dulu ada majalah “Gatotkaca”, majalah anak-anak yang diterbitkan kelompok koran “Kedaulatan Rakyat”. Mbak Ernut pernah baca?
Halo Ernut, setahu saya kidal dan tunggadewi pernah muncul di majalah kawanku, bukan kuncung
wah bunda Tuti .. cover majalah Anita jaman itu yaa.. saya rasanya mulai ‘kenal’ majalah Anita versi taun 80-an kali ya.. hehe.. masih keciil. kalo taun 77-an (masa jayanya penulis Tutinonka) yaa saya belum ngeliat dunia .. π
asik ya bu.. jadi cerpenis dan novelis itu.. punya honor sendiri lagi.. π ngetop pulaa… π
ditunggu karya-karya selanjutnya yaa… π
Tuti :
Tahun 77-an Yuyun belum ngeliat dunia ya (jadi yang dilihat akhirat? π )
Memang jadi cerpenis dan novelis itu asyik. Dulu temen-temen saya sering saya jadikan tokoh cerita. Kalau ceritanya bagus, mereka senang, tapi kalau saya buat ceritanya jelek …. wahaha …. saya harus ngumpet kalau ketemu mereka π π
eh iya Bu, boleh dong diposting lagi cerpen2nya…
kita-kita juga kan pingin baca.. hehe.. π
Tuti :
Sudah ada beberapa kok, coba aja buka di category “Buah Pena”. Ntar deh, saya posting lagi yang nggak terlalu ‘memalukan’ … hehehe …
Bu, saya ini sebenarnya merindukan Anita lo. Kalau membanding-bandingkan majalah zaman sekarang, rasanya lebih bagus Anita dan majalah2 sezamannya (dari bahasanya, tema cerita2 yg ditampilkan).
Kapan ya, Anita muncul lagi?
Tuti :
Belum tahu Mbak Kris, apakah Anita bisa muncul lagi. Dari reuni kemarin, kayaknya muncul semangat baru dari teman-teman untuk menerbitkan lagi karya-karya mereka. Mungkin formatnya saja yang masih dipikirkan.
Kita tunggu aja ya Mbak …
Ah, jadi inget lagi, dulu saya termasuk penggemar majalah Anita. Mungkin pintu pertama saya untuk mengenal asyiknya cerita fiksi.
Tuti :
Nah … ini dia salah satu mantan pembaca Anita. Masih suka fiksi sampai sekarang, Dana?
aku termasuk penggemar anita juga mb.. duuuhh jd kangen. skali2 posting cerpennya dong mb, biar keinget masa lalu.. π ditunggu yaa..
Tuti :
Untuk sementara, bisa dibaca cerpen dan cerber yang saya posting dalam category “Buah Pena”. Yang lain menyusul ya …..
Thanks Meidy.
Jaman SD dulu, artinya 80-an, aku kenal Anita Cemerlang, malah baca terus sampai SMP kalo nggak salah. Dari situ belajar nulis cerpen tapi nggak pernah berani kirim ke majalah.. hehehe…
Kalau gitu aku mau ah sekarang kirim-kirim ke majalah, siapa tahu payu.. eh laku… π Lumayan buat biaya kawin, betul ndak, Bunda? π
Tuti :
Ayooo Lala! Penulis sekaliber Lala, harus mencoba mengirimkan cerpennya ke mass media. Ini sebagai uji coba, apakah tulisan kita lolos penilaian dewan redaksi. Tapi sebelum mengirim ke majalah, pelajari dulu karakter majalah itu, seperti apa ‘gaya’ fiksi yang mereka sukai. Soalnya setiap majalah punya ‘style’ masing-masing, dan sekalipun cerpen kita bagus, kalau tidak sesuai dengan ‘style’ mereka, ya susah lolos.
Nggak cuma buat biaya nikah La, sekalian nyari calon pengantinnya (suami saya dulu tertarik kepada saya karena suka membaca cerpen-cerpen saya …. wakakaka …. )
Nah nah nah…selain Anita saya juga pernah baca di Sinar Harapan…. cuma jangan tanya ceritanya ttg apa. Makanya nama Tuti Nonka tidak akan pernah hilang dari ingatan saya.
Eeee ketemunya di BLOG!!!!
Mungkin memang ya mbak, menulis itu kan ada jamannya. Jaman masih muda ya ceritanya cinta-cinta an. Sesudah lebih matang, maunya yang lebih menantang, dan menganggap cinta hanyalah satu segmen kecil dalam kehidupan.
Tapi kalau memang sudah penulis, ya apapun yang ditulis pasti menarik. Kalau saya mah penikmat tulisan saja sudah cukup, termasuk penikmat tulisannya mbak Tuti.
EM
Tuti :
Betul, Mbak Imel. Tulisan saya berkembang seiring dengan usia. Waktu remaja, tulisannya yang remaja, dimuatnya di Anita, Gadis, dll. Tambah usia, tulisan bergeser ke Femina, Kartini, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, dll.
Sebenarnya, sepanjang hidup manusia, cinta tetap saja menjadi bagian penting. Hanya saja pemaknaannya sudah beda dengan ketika masih remaja. Ya iyalah, masak usia remaja dan setengah baya cara memikirkan cinta masih sama, malah aneh kan? Sama saja, cinta pada pernikahan umur lima tahun pasti beda dengan cinta pada pernikahan yang sudah berlangsung selama 30 tahun.
Saya juga pengagum tulisan Mbak Imel. Selalu ada hal baru yang saya peroleh setiap kali membaca postingan Mbak. Memang pengetahuan dan pengalaman batin itu nggak ada batasnya ya Mbak, makanya betul sekali pepatah yang mengatakan “belajarlah mulai dari ayunan sampai ke liang lahat”.
Wah hebat-hebat ternyata mbak Tuti dulu penulis terkenal ya??… sayang saya dulu baca majalah tersebut hanya pinjam dan ga rutin karena ga ada uang untuk berlangganan.. π Btw masih mengunggu cerita diburu bayang-bayangnya mbak Tuti. Semoga suatu saat nanti ada kesempatan dan bisa diposting lagi di Blog. Thanks
Tuti :
Ah … nggak kok Mbak, saya mah penulis yang cuma kadang-kadang aja muncul, sama sekali bukan penulis terkenal.
Tentang cerber “Diburu Bayang-Bayang”, tunggu giliran diposting yaMbak (tapi mungkin agak lama … π )
Terimakasih Mbak Yulis
Mba apa kabar nya bahagian nya bisa reounian ya mba para penulis majalah remaja anita luar biasa.. Saya juga pengemar nya majalah anita dan saya pernah mengisi ilustrasi nya mba.. Wah seandai nya di terbitkan lagi wah saya sangat senang bisa mengisi ilustrasi nya dari para penulis penulis hebat.. God luck and sukses..
waaaaah….asyiknya……
Seandainya…seandainya…saya bisa nulis….
Hebat banget mbak dirimu….itu lho…”dengan menulis saya bisa membayar kuliah, beli baju…. membiayai pernikahan…..”Waaah….seneng banget ya…
Kebahagiaan yang luar biasa…. masih ada buku2 itu …mau dong beli….
Tuti :
Iseng saja kok Mbak, menyalurkan ekspresi jiwa (halah!).
Tapi memang seneng, karena selain mendapatkan kepuasan batin, juga bisa dapat uang saku … hehehe …
Buku-bukunya? Wah, sudah nggak ada. Dulu pernah beberapa diterbitkan, tapi sekarang sudah habis, tinggal satu judul itu, “Kemarau”. Apa Mbak Dyah belum pernah saya ‘caosi’? Wah, kalau gitu besok deh ….
dulu saya memang sering melihat majalah itu, karena adik bungsu bapak saya (tante) selalu mengoleksinya, tapi sayangnya saya tidak tertarik, kan ada bobo, si kuncung, dll, hehehe…
kayaknya boleh tu bu, cerpen2 itu di upload lagi di sini, pengen tau nih, cerpen2 hebat yg berhasil membiayai pernikahan ibu… π
Tuti :
Uda Vizon penggemar Bobo si keluarga kelinci ya? Bobo itu adanya sudah zaman keponakan-keponakan saya …
Hahaha … cerpen saya zaman dulu itu memalukan. Tapi kalau mau baca, ada yang sudah saya posting di category “Buah Pena”. Kalau yang ‘menghantarkan’ saya ke pelaminan, itu novel yang cukup panjang. Wah, bakal berpuluh-puluh bahkan beratus episode kalau saya posting di blog …
saya beruntung nih berkenalan dengan penulis top. Saya pingin belajar nulis cerpen tapi lagi-lagi jadinya puisi. Era Mbak Tuti jadi penulis saya masih remaja, bahkan anak-anak. tahun 90 baru masuk SMA
Tuti :
Hahaha …. bukan penulis top kok Mas, cuma penulis iseng saja.
Sebaliknya Mas, saya tidak bisa menulis puisi. Bagi saya, puisi kurang bisa menyampaikan ide/pemikiran yang utuh, gamblang, dan mudah dicerna pembaca (lebih bersifat personal). Ini terlihat dari sangat jarangnya sebuah puisi bisa menjadi bahan perbincangan dan dibaca secara luas oleh masyarakat seperti halnya novel.
Sekarang, melalui fiksi pun saya merasa pemikiran kurang bisa maksimal diungkapkan. Jadinya saya lebih suka menulis artikel saja, lebih ringkas dan padat.
Baca postingan ini membuat saya menadahkan tangan tanda bersyukur untuk sebuah kehormatan telah mengenal Mbak Tuti Nonka sebagai seorang penulis … tenan iki Mbak …
Ayo dong Mbak, nulis lagi, bikin buku lagi ….. saya tunggu ya Mbak karyanya …
BTW, dulu waktu SD-SMP saya suka curi2 baca cerpen di Femina dan Anita, padahal teman saya Ernut masih suka baca si Kuncung dan Kawanku…qiqiqi….
Cuba Mbak, salah satu cerpen atau cerbernya dibikin skenario/skript sinetron, tawarkan pada produser (mungkin Bunda Dyah berminat ?), sapa tahu ada casting sebagai PRT buat saya….qiqiqi….
Tuti :
Wahaha …. kehormatan bagi saya mendapatkan kehormatan dari Mbak Ayik. Lha mbok Mbak Ayik nyoba nulis juga, saya lihat punya bakat besar lho untuk jadi pengarang. Mumpung Karin dan Ais sudah besar, sudah nggak repot lagi ngurus ompol mereka (halah!). Ayo dong Mbak, saya yakin Mbak Ayik bisa!
Bikin skenario? Wah, lha cerpen dan novel saya ndak cocok untuk dibikin sinetron je, ceritanya bukan tentang orang-orang kaya raya yang rumahnya segede istana, tokohnya kayak bidadari, dst dst … seperti biasa dibikin Raam Punjabi itu …
Aku dulu juga sering baca “Anita Cemerlang” lho….Cerpennya bagus-bagus….
Mbak Tuti, nulis lagi dong…ya nggak usah cinta-cintaan….bisa seperti tulisan “Dan Brown” atau “John Grisham” atau “Sidney Sheldon”. Tapi kisah cinta tetap ada, hanya sebagai bumbu…..
Tuti :
Hehe … iya, Mbak. Penginnya nulis kayak John Grisham atau Sidney Sheldon, tapi ‘modal’ kemampuannya nggak cukup … π
Ntar deh, kalau sudah lebih pinter …
Mba apa kabar nya bahagian nya bisa reounian ya mba para penulis majalah remaja anita luar biasa.. Saya juga pengemar nya majalah anita dan saya pernah mengisi ilustrasi nya mba.. Wah seandai nya di terbitkan lagi wah saya sangat senang bisa mengisi ilustrasi nya dari para penulis penulis hebat.. God luck and sukses..
Mbak.
Yessy mesti jujur, bahwa yessy baru menemukan nama Tuti Nonka di blog ini. Dan yessy berkomentar dengen bodohnya ke Lala…
“La …Tutinonka itu gaya nulisnya deskriptif banget ya? kenapa gak jadi penulis aja ya La?”
“Yes…Tuti Nonka itu ..PENULISS KALLLEEEEEEE!!!”
OOuuppssss!
hihih..No wonder….malu maluin emang Yessy ini! hehehe
Mbak…Tobe honest…pertama kali ngeblog, Yessy malah punya PD dua Milyard …dan berpikir bahwa Yessy bisa jadi penulis!…
Tapi makin kesini…kok yaaaaa makin gak PD..yang tulisannya keren keren bangat aja gak berani jadi penulis..halahhh…sudahlah Yess..jadi blogger aja!….gak usah kebanyakan mau deh …hehehe
Tuti :
Iya lah Yes …. wong waktu cerpen pertamaku muncul di Gadis tahun 76, Mama-Papa Yessy kan nikah aja belum … trus tahun 80-an waktu cerpenku banyak lahir, Yessy juga baru lahir. Mana ada bayi masih oek-oek sudah baca cerpen … hihihi …
Tapi soal keinginan jadi penulis, PE-DE ajaYess!! Sumpe! Yessy punya bakat besar kok, tinggal diasah aja biar lebih tajam (pedang kaleee … ). Cita-cita tuh memang harus tinggi, harus sesuatu yang membtuhkan kerja keras untuk bisa meraihnya. Kalau cita-citanya cuma jadi nenek-nenek …. yaaah, nggak ngapa-ngapain juga bakal tercapai. Tapi apa iya sih kita cuma hidup untuk menunggu jadi tua?
Btw, kapan album rekaman lagu-lagu Yessy di-launching?
Salut buat Ibu, saya gak nyangka sewaktu saya masih balita sudah ada cerpen-cerpen yang bagus, sekarang seusia kami malas baca, nonton sinetron doang π
Tapi ketika mampir di blog ibu, ternyata cerpen lama bisa saya baca dan tulisan ibu sangat bagus. Saya pikir ibu pasti orang yang sangat romantis, hangat. Dari tulisan ibu sangat menyentuh pastilah ditulis oleh seseorang yang berkepribadian hangat dan romantis, mau donk belajar nulis yang romantis buat pacar ha ha.
Bahkan Ibu bisa membiayai pernikahan dari menulis, wach hebat!!! masih harus lagi kuliah, urus rumah tangga, waduh saya gak kuat bu.. seusia kami kuliah ya belajar sambil senang2 ha ha.
Pengalaman ibu bisa jadi contoh buat seusia kami dan juga jadi berminat untuk jadi pengarang karena lumayan bisa bantu orang tua.
Tuti :
Halo Saskia …
Memang remaja zaman sekarang terlalu dimabukkan oleh sinetron dan tontonan televisi. Padahal tontonan di teve banyak yang kurang mendidik, lagi pula nonton teve membuat kita hanya menjadi penonton pasif. Anak muda kan seharusnya kreatif, menjadi pelaku dan pencipta, bukan menjadi konsumen yang pasif.
Ayo dong, coba jelajahi dunia baru yang penuh kreativitas. Banyak sekali bidang yang bisa dimasuki, yang menarik dan menantang. Jangan menghabiskan waktu hanya dengan nongkrong di depan teve! Saskia akan mendapatkan kepuasan batin yang tak terkira ketika berhasil mencapai sesuatu, di bidang apa pun itu.
Ahh….jadi inget masa ABG nih. Saya dulu juga baca Anita Cemerlang tapi gak begitu maniak lah. Tapi lucunya cerpen saya pernah dimuat sekali di majalah itu saat saya kelas 2 SMA. Saya sendiri masih punya copy-nya. Kalau dibaca lagi, maluuuuu banget π . Saya masih inget judulnya “Rahasia si Boy”. Isinya cerita cinta SMA gitu. Hihihi…saya sendiri heran kok saya bisa nulis kayak gitu ya :-))
Tuti :
Waah … ternyata Bundit adalah pengarang juga toh? Kenapa tidak ngirim tulisan ke majalah lagi? Cerpen yang di Anita itu, coba dong diposting di blog Bundit, supaya bisa dibaca lagi …
Duh, aku baru mbrojol tuh Mbak tahun segitu…
Pengen sih Mbak jadi pengarang kayak Mbak, tapi nggak pede…
Tuti :
Iya Dewi … emang udah luamaaa banget tuh. Ketahuan deh, saya ini termasuk jenis manusia purba π
Coba dong, kirim tulisan ke majalah atau koran. Itu salah satu cara untuk mengetahui apakah tulisan kita ‘lolos uji’ redaksi.
Wah-wah, nggak pernah nyangka lho mbak tuti, akhirnya sekarang malah ketemu di blog lengkap dgn foto-fotonya lagi.
Dulu waktu masih di SMA majalah ini nggak asing buat saya. Saya sempat jadi penikmat majalah ini, tapi sayangnya saya nggak sampai ngafalin nama-nama pengarangnya. Ei…ei, ternyata mbak Tuti salah satu pengarang rutin tuk majalah Anita toch, wah-wah sungguh saya surprise banget lho mbak Tuti.
Nah, sayangnya setelah saya kuliah di +/- th ’91 keatas, saya mulai kesulitan mendapatkan majalah ini. (Apa memang sudah nggak terbit majalahnya yach mbak, pas tahun segituan, saya agak lupa soalnya).
Akhirnya pas nyambi kesibukan kuliah (tingkat 3 an), saya jadi terinspirasi utk membuat cerita tentang kehidupan teman-teman yang kemudian saya angkat jadi cerita untuk dibacakan di radio di kota kelahiran saya.
Mirip-mirip versi Anita cemerlang dech, hanya ceritanya dibacain & diselingin dgn lagu-lagu yang temanya senada dgn alur cerita yg dibacakan.
Hem…(sambil ngayal dikit….nich) mungkin kalau saya kenal sama mbak Tuti dari dulu-dulu, saya akan berguru sama mbak Tuti tuk jadi seorg penulis prof. kayak mbak Tuti yach, terus nggak jadi Engineer ME seperti sekarang kali yach, hehehe….(dasar ngelantur yach mbak…..)
Ok, mbak Tuti, sekian dulu ngobrol-ngobrolnya, lain kali kita sambung lagi. Oyach mbak Tuti, lanjutan “diburu bayang-bayang bag.10 s/d tamatnya” mana ?. Udah nggak sabar nich nungguinnya, hihihi π π π
best regard,
Bintang
Tuti :
Hallo Mbak Elinda …
Puncak aktivitas saya menulis adalah tahun 78 – 88. Sesudah itu saya tak lagi menulis. Tahun 90-an mungkin Anita memang sudah tidak terbit lagi, saya sendiri nggak ngikutin perkembangannya.
Nah, ini yang saya nggak punya pengalaman : jadi penyiar radio. Beruntung sekali Mbak Elinda sempat eksis di radio, membawakan cerita fiksi pula. Berarti kan dua aspek terpegang : jadi penyiar dan nulis fiksi juga.
Nggak usah menyesal sekarang jadi engineer ME mbak, sebab untuk menjadi penulis yang baik tidak harus kuliah di Fakultas Sastra atau menjadi sastrawan seratus persen kok. Banyak penulis-penulis hebat yang latar belakangnya bukan dari dunia penulisan. Contohnya adalah saya ….. eh eh, ngawur! π π contohnya John Grisham, adalah seorang pengacara. Marga T adalah seorang dokter. Dan banyak lagi yang lain.
So, mulailah menulis dari sekarang (selain di blog tentunya).
Good luck!
salam hangat,
Hah …
Tiga penulis terkenal bertemu …
Ah serasa SMA lagi aku …
Aku secara pribadi kenal dengan Ibu Laily lanisi …
Dan beliau kaget … Ketika aku bilang …
“Bu Laily … aku sering baca tulisan ibu lho dulu …”
(aku baca di majalah adikku …)
Salam saya Bu …
(Kalau ada Leila S Chudori … akan lebih lengkap lagi kali tu Bu …)
(eh betul nggak ya ? atau Leila S chudori itu setelah era ibu kali ya …)
Tuti :
Om, penulis terkenalnya cuma dua : Majestika dan Laili Lanisy. Nah, yang satu (saya) cuma nebeng foto aja … hehehe …
Ya, Lilik (panggilan Laili Lanisy) memang sukses berkarier di Jakarta. Terakhir dia di Sampoerna, sebelum akjhirnya mendirikan perusahaan sendiri. Adapun Majestika adalah dokter hewan yang sekarang menjadi dosen di Universitas Bengkulu.
Leila S Chudori ‘adik’ saya sedikit Om, tapi masih era-nya masih sempat ketemu juga. Kalau dia mah konsisten di dunia penulisan dan jurnalistik, dan menjadi wartawan profesional.
saya jadi teringat waktu di Indonesia kemarin…. sewaktu saya mencari bukunya Lala di Gramedia…. saya ingat katanya Mbak Tutinonka juga penulis… tetapi saya nggak tau judulnya… jadi nggak ketemu…
Mungkin perlu menulis lagi ya… dengan topik dan suasana yang lain…. tentang liku liku seorang PANGLATU yang nggak laku-laku misalnya …?! he.. he.. he..
Salam dari jauh……
Tuti :
Buku saya nggak bakalan ada di toko-toko, Bang Michael. Soalnya sudah lama banget terbitnya, sudah nggak ada stok lagi.
Nah, kalau cerita tentang lika-liku Panglatu, kayaknya Bang Michael lebih pandai menulisnya … hehehe ….
Btw, bagaimana kabar Siti, perawat yang cantik itu? Ehm …
Saya doeloe juga suka
baca cerpen di Anita…..
baru sekarang tau
salah seorang cerpenisnya,
Tutinonka, kini jadi sobat
kental saya (hihihi….sok akrab nih) π¦
saat masih mahasiswa dulu
saya juga sering nulis di
Harian Analisa dan Waspada Medan
memang honornya tak segede
yang didapat cerpenis dan novelis ngetop
sekaliber Tutinonka,
tapi saat nerima
honor itu terasa sangat nikmat
btw, kalau lagi lapang……tak ada
salahnya Mbak Tuti kembali
menulis cerpen baru yang
dipublish di veranda……monggo
matur nuwun sanget π
Tuti :
Iya, saya sudah menduga Bang Mike adalah penulis kawakan. Terlihat dari struktur tulisan Abang yang runtut, bahasa yang rapi, dan ritme yang terjaga.
Tapi saya nggak nyangka kalau Abang suka baca Anita juga, soalnya yang suka cerpen-cerpen di Anita biasanya gadis-gadis remaja … hehehe … Pengarang Anita juga kebanyakan perempuan. Mungkin karena perempuan lebih peka dan lebih kuat emosinya, sehingga lebih tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Lha kalau laki-laki, biasanya kan suka jotos-jotosan, atau sepak-sepakan … π
Nulis cerpen baru? Waduh, kayaknya nggak sempat deh Bang … atau Abang mau jadi salah satu tokohnya? π
Oh ya! Tentu saja saya juga merasa menjadi sahabat dekat abang, meskipun belum pernah jumpa, bahkan nomor hp Abang pun tak punya … Itulah makanya saya suka ngerjain Abang di blog, soalnya saya tahu Bang Mike nggak bakalan marah … hehehe ….
justru dalam usia Mbak Tuti
sekarang (41), menarik untuk
ditunggu cerpen atau novel
bertema cinta……
artinya makna cinta dalam
perspektif wanita yang sudah
establish di segala bidang
serta cukup amalannya,
baik di dunia & akhirat
*tulisan atau cerpen yang
mengulas cinta wanita setengah baya
pasti akan menarik dibaca
hmmmmmmm π
Tuti :
Menurut Bang Mike, usia saya 41 ya? Bukannya 14 Bang? π π
Salaaah! Usia saya 49 besok bulan Mei 2009 ini. Nah loo …. setelah tahu ternyata saya sudah sedemikian tua renta, masih maukah Bang Mike bersahabat dengan saya (kalau nggak mau, saya ceburin ke laut Bang …. diving maksunyeee …. π )
Kisah cinta wanita setengah baya (aduuh, jangan dibilang setengah baya dong Bang ….. runtuh semangat saya … qiqiqiqi ) memang tak kalah menarik dari cinta gadis remaja. Kisah cinta saya sendiri lebih seru dari sinetron dan film Hollywood (makanya kalau baca novel atau nonton film, saya suka mbatin ‘ah, cuma gitu aja, gue lebih dahsyat’ ….. wakakaka!! ). Tapi kalau saya ditulis, wadoow … ntar orang-orang yang bersangkutan pada kelimpungan …. π π
Waaaah, seneng banget aku bisa masuk ke Blog Mbak Tuti. Terus terang dulu waktu remaja aku sering baca novel mbak dan tulisan mbak di Minggu Pagi, atau mungkin juga di majalah Gadis. Wah seneng banget. Sekarang aku tinggal di Blora, tapi aku tidak pernah lupa dengan mbak Tuti yang hebat.
Tuti :
Terimakasih, terimakasih ….
(saya harus ngirim apa nih ke Blora? Gudeg, batik, atau transfer rekening saja? Wakakaka …. π π )
Bu Tuti berhenti menulis fiksi 1990. Mungkin setelah menikah menjadi sibuk dengan waktu berdua. Maksudnya, ketika masih sendiri bebas menentukan waktu kapan mau belajar, bersosialisasi, dan menulis. Bahkan dapat mendesakkan waktu lainnya untuk menulis cerita ketika mendapat inspirasi. Setelah menikah, itu menjadi sulit dilakukan. Apakah ini benar?
Bu Tuti, pelukis Lini dari Surabaya dikenal sebagai pelukis ajaib karena sejak kecil mampu melukis dengan komposisi sangat memukau. Namun ketika menikah dan punya anak semua keajaibannya hilang. Dia beralasan tak ada waktu lagi untuk menuangkan inspirasinya karena waktu tersita untuk keluarga. Ketika ada waktu luang untuk melukis tak ada inspirasi yang datang. Jadi semua menjadi tidak tepat.
Apakah pengalaman yang dialami Lini juga dialami bu Tuti?
Yang mungkin harusnya kita terima adalah, masa itu sudah lewat. Masa berikutnya adalah hal lain yang mungkin lebih berkualitas.
Tuti :
Betul sekali, Pak Eko.
Pola perkawinan dalam budaya timur, dimana seluruh urusan rumahtangga menjadi tanggungjawab wanita/isteri, dan isteri harus melayani suami dalam segala hal, ada kalanya perkawinan memang membuat wanita kehilangan kesempatan untuk mengekpresikan diri serta menggali potensinya. Bagaimana mungkin saya duduk mengetik dengan konsentrasi penuh dan mood terjaga, kalau lantai kotor, cucian menumpuk, dan suami memanggil minta disediakan makan? Belum lagi kalau anak menangis atau saling berkelahi. Masih ditambah jika isteri tersebut bekerja, yang juga menyita waktu dan perhatian.
Betul, Pak … yang harus diterima adalah, bahwa masa itu sudah lewat. Untuk memperoleh kualitas hidup, dan membuat hidup menjadi bermakna, memang tidak selalu dengan melakukan hal-hal yang sama, bukan?
Meskipun novel saya tidak pernah menjadi best seller, belum pernah difilmkan, dan belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, saya sudah cukup puas kok melewati masa-masa berkecimpung di dunia kepengarangan dulu. Demikian juga, meskipun saya belum doktor, belum pernah menjadi Dekan apalagi Rektor, saya merasa sudah cukup kok menjadi dosen (lho, lho … arahnya kemana nih? π ).
Sekarang ingin mencoba sesuatu yang lain (ah, Pak Eko sudah tahu itu … )
Tentang Mood menulis:
Aku pernah tulis surat untuk Tuti (1984) bahwa anak buahku ketakutan di belantara Hutan Pulau Rimau Palembang karena seorang perintisnya menemukan anak harimau. Lalu enam bulan kemudian di rumah orang tua Tuti di Timuran, Yogya Selatan, dia bercerita sudah menjadi wartawan/redakturnya bapak M. Wonohito .. dan mana cerita petualangan di hutan itu? Aku bersemangat mau menulisnya, tapi rupanya boss-ku mengirimkanku ke Kalimantan Selatan, maka cerita petualangan di Sumatera Selatan itu nggak pernah kutulis. (Dan rupanya Tuti pun setelah itu meninggalkan KR dan menjadi dosen di UII).
Tentang jasa honor menulis:
Awal tahun 1987 di Kompas dimuat tulisanku mengenai usia efisien waduk Gajah Mungkur, yang honornya (dua kali termuat karena tanggapan bapak Dr Sudarmadji MEngSc) sebanyak Rp. 500.000,- dapat menebus anak pertamaku yang lahir di RS Yos Soedarso, Padang.
Tentang otak mulai buntu:
Aku paling malas menulis hal-hal yang serius, dan merasa berat mencari bahan-bahan. Makanya lebih suka berdongeng dan berkisah.
Tentang Tuti Nonka:
Dalam tulisannya kadang kadang dia menjadi gadis yang lembut, kadang kadang juga bisa menjadi wanita yang keras seperti batu karangnya Pantai Kukup di Kecamatan Tepus, bahkan sekeras baja produksi Cilegon itu.
Tapi, dia memang wanita cerdas, otak kiri dan otak kanannya seimbang, matematika dan ilmu sosialnya sama bagusnya. (Habis baca koment ini, dia langsung ke Bantul beli geplak dan mengirimkannya untukku di Medan).
Tuti :
Bang Sis, yang saya kagumi dari Abang tuh adalah daya ingat Abang yang luar biasa kuat. Kok masih ingat sih, kisah-kisah zaman doeloe itu?
Tapi tentang cerita bahwa aku sudah menjadi wartawan/redakturnya M Wonohito, apa benar aku pernah cerita begitu? Kalau benar iya, wah …. pasti ada kesalahan Bang, entah di aku atau di Abang, soalnya aku nggak pernah jadi wartawan/redaktur KR. Di KR beberapa kali novelku dimuat sebagai cerber, waktu itu redakturnya masih Ahmad Munif, tapi aku tidak menjadi wartawan KR. Yang betul, aku menjadi wartawan/reporter majalah “Gelanggang”, bulettin mahasiswa UGM sekitar tahun 80-an.
Lalu komentar Abang tentang Tuti Nonka … uhuk-uhuk (*tersedak dan tiba-tiba pening kepala*) …
Alamat Bang Sis di Medan dimana sih? Biar bisa ngirim geplaknya, gitu lhooo …. π π
Tut..tolong diralat tuh, anakku yang nomor satu lahirnya tahun 1987 ya….diedit ya.
Tuti :
Iya Bang, sudah kuedit tuh …
Eh, gimana kabar kuliah putera Abang? Sudah hampir lulus kan? Undang-undang syukurannya ya …
Malah tambah suka bu. Tapi saya menanti ada juga majalah yang seperti anita itu, majalah yang khusus memuat cerpen-cerpen. Yah, tapi versi yang lebih dewasa tentunya, bukan remaja lagi.
Tuti :
Iya ya … sekarang kok nggak ada kumpulan cerpen lagi ya. Padahal dulu itu banyak lho, selain Anita ada juga kumpulan cerpen yang diterbitkan majalah Gadis, Pesona, Kartini, dsb. Mungkin eranya sudah beda ya. Ohya, kalau kumpulan cerpen Kompas Minggu ada lho, bentunya buku. Saya punya beberapa edisi.
Wah. Gak usah bawa oleh2 mbak, cukup bawa novel. Sekali tempo kalau mbak Tuti mampir di rumahku, tak traktir sate Blora, atau soto Blora, atau tahu lontong, atau kerajinan kayu jati. Kalau mau tak antar melihat sumur minyak tua, atau pohon jati terbesar di dunia.
Tuti :
Beneran nih? Waduh, tapi kapan ya ke Blora? Iya, mau sekali ditraktir macem-macem, lihat pohon jati terbesar, dan nonton ronggeng (eh, Blora kan terkenal ronggengnya ya?)
Bu, cerpenku yang dimuat di Anita itu dulu ngetiknya pakai mesin ketik manual hehehe *maklum saat itu belum punya kompi*. Jadi ya kalau “dibangunkan” lagi harus diketik ulang nih……… *kebayang ngakak deh kalau baca cerpen itu lagi* π . Dulu nyalurin hobi nulis nya gak total sih π¦ . Jadi ya gak berprestasi kayak ibu gitu…
Tuti:
Jaman saya dulu juga masih pakai mesin ketik manual, belum ada fotokopi lagi, jadi ngetiknya dirangkap pakai karbon … hehehe …
Ngetik ulang ya nggak papa to, sekalian diedit kembali …
Nah, kalau dulu hobi nulisnya belum disalurkan secara total, sekarang kan bisa …
salam kenal bunda tuti,
wahh senang ya bisa menulis seperti bunda! saya kalau menulis lamaaaaa sekali…makanya kalau mau menulis blog, benar – benar harus punya waktu cukup. selalu tidak percaya diri dengan tulisan sendiri, apalagi kalau moodnya belum pol benar untuk menulis..makin menjadi jadi lamanya…edit sana, edit sini…hi……
menulis komentar saja lama, sampai sering ditertawakan oleh suami…hi….mungkin karena banyak takutnya ya bunda, takut salah mengkomunikasikan pikiran, takut menyinggung perasaan orang…wah, pokoknya ga mimpi deh jadi penulis cerpen apalagi novel…..!!! he….
Tuti :
Salam kenal juga, Nadin. Saya sudah sering lihat foto Nadin dan baca komentar Nadin di blog teman-teman. Terimakasih Nadin mau berkunjung di blog saya.
Wah, komentar Nadin bagus kok. Kalimatnya runtut, nggak ada salah tata bahasa atau salah ejaan. Pede aja lagi, Din. Hanya pemakaian huruf besar dan huruf kecil saja yang kelihatannya belum benar … hehe … koreksi boleh kan?
Saya nulis juga masih pakai diedit kok, Din. Kadang-kadang tulisan sudah saya posting, masih saya edit lagi. Nggak apa-apa, boleh saja kok. Itulah enaknya nulis di blog, bisa diedit setiap waktu. Kalau naskah dimuat di media cetak kan sekali dimuat nggak bisa lagi diedit.
salam
Ronggeng? Yayaya, tapi di Blora namanya Ledhek, atau Tayub, atau Joged. Biasanya main pas ada sedekah desa, atau istilah lainnya gas desa. Biasanya juga dimainkan pada saat orang kerja. Dulu, sebelum minuman keras dilarang, sambil nonton tayub ini minumannya arak tradisional. Ada yang minum sekedar biar berani joged kalau dapat sampur, tapi ada juga yang sampai mabok.
Di sekitar kota Blora penari laki2 tidak boleh menari kurang dari satu meter untuk menjaga kesopanan, tapi di daerah berbatasan dengan Tuban penari pria sehabis menerima minuman dari ledhek langsung memberikan sawer yang dimasukkan di kemben. Edan nggak mbak.
Sebenarnya banyak hal yang menarik di sana termasuk sumpah Janjang yang dilakukan setiap tahun, wayang krucil dan lain-lain. Dulu Amrih Widodo ambil desertasi doktor tentang tayub dan saminisme. Mas Landung juga pingin ke Blora, tapi belum jadi. Mbak Tuti ingat kan Pak Pramudya juga orang Blora lo!
Tuti :
Sebenarnya saya mengenal tayub dari novel-novel karya Ahmad Tohari, “Ronggeng Dukuh Paruk” dan novel-novel lanjutannya. Saya lupa, apakah seting novel itu di Blora atau bukan? Tapi pernah juga baca dimana gitu, bahwa Blora termasuk salah satu daerah yang memiliki budaya Tayuban.
Iya, tayub itu adalah budaya yang melecehkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai obyek hiburan dan pemuasan nafsu laki-laki. Penyelipan uang ke dalam kemben itu benar-benar pelecehan terhadap harkat perempuan. Saya tak habis pikir, katanya kita ini bangsa Timur yang berbudaya adiluhung, tapi banyak bentuk-bentuk budaya kita yang justru berlawanan dengan jargon itu.
Wah, saya baru tahu kalau Pram itu dari Blora … Saya suka baca novel-novelnya, mulai dari “Bumi Manusia”, “Rumah Kaca”, “Anak Semua Bangsa”, dll …
Ternyata Agnes Majestika itu tanteku. Kami baru benar-benar bertemu muka November 2008 yang lalu. Karyanya sendiri pernah saya baca di Tabloid Nova.
Ternyata tanteku itu seorang penulis, kirain dokter hewan saja.
Salam kenal Bunda Tuti.
Tuti :
Looh … jadi selama ini Pagit belum tahu kalau punya tante yang cuantiik dan heibaaat itu? Tapi pasti Pagit sendiri nggak kalah hebat dari Tante Majestika kan?
Salam kenal juga, Pagit π
Maaf, mau numpang tanya.
Pada waktu SMA (atau SMP, lupa?) di Bogor th 1976an, saya punya teman sekolah yg namanya “Majestika” & suka menulis. Apakah ybs adalah tantenya p49it (drh di Bengkulu)? Bagaimana menghubunginya? Thanks.
Tuti :
Saya punya nomor hp Agnes Majestika, tapi tentu tidak berhak untuk mengumumkannya di sini tanpa seijin yang punya, karena nomor hp adalah wilayah pribadi …
Sepertinya memang orang yang sama. Tante Yesti (panggilan saya) sekolah di SMA 1 Bogor. Om Doddy (boleh saya panggil begitu?) bisa menemukannya di Facebook, lho, di bawah nama Agnes Majestika.
Tuti :
Ya, Agnes Majestika memang ada di facebook juga …
wah jadi ini pengarang yang bikin saya ngga bisa tidur waktu smp itu yaa.
Dulu saya juga suka baca cerpen anita (hihihi cowok melo yaa heheh)
tapi ngga pernah bisa bikin cerpen meski tahu honornya oke hehehe
Tuti :
Bikin nggak bisa tidur? Wahaha …. kayak nyamuk dong π π
Cowok yang gemar membaca cerpen-cerpen di Anita berarti cowok yang romantis dan gentleman, Mas …
saya masih sempat ngerasain jamannya Anita lho, Bu! dan sempat nekat mengirim cerpen ke sana walaupun ditolak dengan beberapa kritikan yang membangun. cerpennya saya perbaiki tapi ga berani dikirim lagi π
salam kenal, Bu!!
saya dengar cerita ttg Ibu dari Bu Edratna
Tuti :
Wah … kenapa cerpennya nggak dikirim lagi? Coba dikirim, siapa tahu lalu bisa dimuat, kan seneng …
Salam kenal juga, Utami. Wah, Mbak Enny cerita apa tentang saya? Semoga yang baik-baik saja ya … hehehe …
Bu..saLam kenaL..
saya penggemar majalah anita…waktu saya SMP saya seriingbeLi anita bekas karena cerita dan ilustrasinya yang baguuuss…
saya kebetuLAn senang dengan Ilustrasi August tentunya juga ceritanya juga seruuu…and bagusss banget…
kakak saya yang awalnya suka majalah itu..waktu saya masih keciL…dan saya sering ikutan baca…kebetulan kakak seriiing kirim cerpen tapii…ditoLak muLuuu…heheheh
Tuti :
Salam kenal juga, anita …
Wah, kok namanya sama dengan nama majalah yang digemari π atau suka majalah ini karena namanya yang sama? π
Memang cerpen di majalah Anita bagus-bagus. Tapi sebetulnya kakakmu tidak boleh putus asa. Dengan belajar dari cerpen-cerpen yang dimuat, pasti cerpen kakakmu akhirnya bisa lolos …
Bu Lik Tuti yang baik, Taufiq Ismail menulis di Tempo (1980-an): ‘Mengapa karya kesenian (termasuk sastra) kita bermutu rendah? Misalnya, kita tidak mampu melahirkan sastrawan sebesar Boris Pasternak?’ Penyair itu menjawab (dengan nada berkelakar), ‘Mungkin karena penindasan di Indonesia kurang brutal, maka seniman kita pun kurang radikal dalam merenung, maka karya mereka pun bermutu rendah’. (Saya tulis kembali berdasar arti.)
Memang benar, kita tidak mampu melahirkan sastrawan sebesar Boris Pasternak. Tetapi, benarkah itu disebabkan oleh penindasan di Indonesia kurang brutal? Pramudya Ananta Toer misalnya, mengalami penindasan sangat brutal di Pulau Buru, tetapi Roman Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) ternyata bermutu lebih rendah jika dibanding dengan roman yang ia tulis di zaman Revolusi (Keluarga Gerilya).
Saya mendiagnose, para sastrawan kita, umumnya, kurang mendalami ide-ide besar, maka kecerdasannya kurang berkembang. Akibatnya, mereka kurang mampu merenungi realitas, maka kurang mampu menemukan hakikat (esensi) dari realitas keseharian hidupnya. Maka, mereka terjebak dalam dunia kata. Akibatnya, karya sastra mereka hanya karya Pop, yang hanya merupakan potret permukaan dari realitas, secara prosais (dangkal dan dekaden), atau hanya untaian kata-kata indah yang kosong. Semoga surat ini mampu memicu Bu Lik Tuti dkk, untuk merenungi realitas secara makin radikal dari momen ke momen. Nuwun, 22.16, 01/04/09, Rabu
Tuti :
Menurut saya, setiap karya sastra memiliki tempatnya sendiri, dan layak untuk dihargai, apakah itu sastra pop atau pun sastra ‘berat’. Sastra pop pun (yag menurut penilaian Mas Ruwi mungkin tidak bermutu) memiliki andil dalam kehidupan masyarakat. Tidak semua orang paham dan suka sastra berat, dan setiap orang punya hak untuk menentukan pilihannya.
Saya sudah baca semua karya Pram, dari Bumi Manusia sampai Rumah Kaca, dan menurut saya, itu karya-karya yang bagus serta mampu menggugah kesadaran baru akan nilai-nilai kemanusiaan.
weh………. cow,leh kenalan g y???????
marga purba y??????? dmn hutanya bot????????
Tanggung Jawab sebagai Penulis Kreatif
Bu Lik Tuti yang baik, assalamualaikuna, setiap posisi mengandung tanggung jawab, konsekuensi, dan risiko. Makin tinggi posisi itu, makin besar tanggung jawab, konsekuensi dan risiko yang dikandungnya. Juga posisi sebagai penulis kreatif (sajak, cerpen, roman, skenario film, musik, dll), mengandung tanggung jawab, konsekuensi, dan risiko itu. Artinya, dalam konteks itu, penulis kreatif hendaknya mampu terus meningkatkan mutu, dan tidak boleh melayani selera rendah, hanya supaya laku dijual di masyarakat. Terlebih, masyarakat kita masih relatif ‘terbelakang’ dalam konteks estetika, dan pemikiran spekulatif dan positif. Dalam Simfoni (kumpulan sajak Subagyo Sastrowardoyo) ada kata-kata Beethoven yang menggugah, ‘Saya tidak bermain untuk babi-babi’. Itu artinya, Beethoven mencipta dan bermain musik bukan untuk melayani selera rendah (‘babi-babi’), tetapi untuk ‘berdialog’ dengan nilai-nilai universal kemanusiaan dan keabadian, lewat musik. Sebagai penulis kreatif, Bu Lik Tuti dituntut untuk terus meningkatkan mutu, sehingga karya yang Bu Lik lahirkan makin mampu berdialog dengan nilai-nilai universal kemanusiaan dan keabadian. Artinya, Bu Lik tidak boleh melayani selera rendah, hanya supaya dapat laku dijual di masyarakat. Tanpa mengurangi hormat saya, Rendra sebagai Penyair telah mati, dengan sajaknya yang berjudul Paman Doblang (1980-an). Sajak Paman Doblang itu adalah monumen bagi kematian Rendra sebagai Penyair. Seharusnya, sejak itu, ia bergeser menjadi filsuf yang merenungi filsafat estetika. Dalam konteks penciptaan karya kreatif itu, saya pernah memberi saran ke Sdri AA Mayestika (1980-an), ‘Bertransformasilah menjadi penulis kreatif yang serius’. Tetapi ia tetap saja menulis cerita kreatif Pop. Itu hanya membuang-buang waktu dan enersi. Dalam konteks karya kreatif Pop itu, Arief Budiman membela (1980-an), ‘Sastra Pop punya hak untuk hidup’. Tentu saja, tidak ada yang melarang itu, tetapi, untuk apa seorang AA Mayestika terus berkutat di dunia Pop? Ia seharusnya tahu dan ikut menyadari, bahwa Mishima memilih melakukan harakiri, saat menemukan dirinya sebagai pemikir dan penulis kreatif telah macet-total. Harakiri bagi Mishima itu, adalah tanggung jawab ia sebagai pemikir dan penulis kreatif. Artinya, untuk apa seorang Mishima terus hidup, jika tidak lagi mampu berpikir dan menulis secara makin bermutu? Semoga surat ini mampu memberi masukan ke Bu Lik dkk, bahwa setiap posisi mengandung tanggung jawab, konsekuensi, dan risiko. Nuwun, 3.48, 31/10/09, for the sake of my responsibility, ttd Ruwihadi, Majasanga, Indonesia, Revolution V
wow, saya suka ini bahasannya…jadi kenangan juga, saya google yessi gusman dan dapat situs ini..
ma kasih
Tuti :
Terimakasih π
Salam untuk Yessy juga … π
wah aku teringat masa masa di sma karena aku dulu penggemar berat majalah anita bahkan sangking senengnya pernah uang spp aku pinjam dulu untuk beli majalah anita(karena takut kalau kehabisan) sehingga setiap hari aku harus rela tidak jajan karena untuk mengganti uang spp ha ha ha ha…….
Tuti :
Waduh …. sampai nilep uang SPP buat beli majalah Anita? π Hebat banget ya majalah itu? Nah, selama nggak jajan itu banyak teman yang mentraktir kan? π π
Wah, seneng juga bisa lihat, meski cuma foto Mbak Tuti Nonka, Mbak Agnes Mayestica, Mbak Laily Lanissy… ini to pengarang-pengarang yang dulu sering saya baca tulisan-tuisannya? Kenapa nggak menulis lagi? Betul karena sibukkah atau karena malu hati sudah menikah kok nulis cerita remaja? Ini penyakit penulis Indonesia yang besar saat remaja, ya Mbak? Begitu nikah langsung nggak bisa nulis lagi. Apakah takut dimarahi istri/suami kalau nulis cinta-cintaan? Khawatir ada prahara di keluarga? Padahal kalau Mbak-mbak ini nulis cerpen cinta lagi pasti lebih matang ketimbang dulu. kalau mikir mau nulis yang lebih berbobot, ya, cerita cinta itu juga berbobot. Bisa bikin terharu, nangis, mikir, jadi nambah semangat lagi… apakah bukan itu tujuan tulisan yang baik? Kalau bikin tulisan yang rumit, orang pusing baca dan akhirnya ditumpuk saja, apa gunanya? Padahal Mbak2 ini matangnya di tulisan cinta, kalau banting setir nulis yang lain, itu ladang orang lain, mbak. Dosa makan punya orang lain to Mbak? Jadi? Nulis lagi dong Mbak! Salam buat Mbak-mbak… Ayolah, nulis lagi
Tuti :
Terimakasih atas supportnya, Mas Ris π
Saya nggak nulis lagi bukan karena kalau nulis tentang cinta takut dimarahi suami atau apa, tapi karena ketertarikan saya memang sudah berubah. Kalau saya terus-terusan nulis cinta remaja, berarti saya tidak berkembang dong π
Sebenarnya tulisan-tulisan saya sekitar tahun 85 – 90 sudah lebih dewasa, karena dimuat di Femina, Kartini, dan koran lokal/nasional. Tulisan-tulisan remaja adalah awal-awal saya menulis, tahun 80-an.
Nantilah, kalau saya nemu topik yang cocok untuk dibuat novel. Tapi sejujurnya, saya sekarang merasa ‘kurang sabar’ bermain dengan kalimat-kalimat panjang yang sebenarnya ‘tidak bicara apa-apa’. Dalam bentuk feature, reportase, atau opini, seperti posting-posting di blog ini, saya merasa lebih bisa menyampaikan isi pikiran, tidak sekedar bermain-main dengan kalimat … π
Terima kasih, Mbak Tuti ternyata sempat-sempatin nulis jawaban buat saya… Saya kok merasa perlu merivisi ‘gugatan’ saya, ya? Tulisan Mbak Tuti di blog ini luar biasa… Tanpa ijin saya terus baca-baca.. Ya, betul-betul luar biasa. Jempol dua, Mbak… Saya berharap tulisan-tulisan Mbak ini suatu hari akan dibukukan. Semoga Mbak Tuti Selalu sehat, sehingga terus bisa kemana-mana, terus bisa menulis tentang apa saja… Selamat menunaikan ibadah Puasa.
Tuti :
Semua komentar insya’allah saya jawab, Mas Ris. Ibarat kedatangan tamu, pasti disambut dengan suka cita, kan π
Terimakasih Mas Ris sudah berkenan membaca tulisan-tulisan sederhana saya di blog ini. Mudah-mudahan suatu saat bisa dibukukan, sayapun berharap demikian …
Selamat menunaikan ibadah puasa juga, semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amiin …
duh…waktu remaja sy penggemar cerpen n cerber mb tuti di majalah gadis..dmn ya bs memperoleh kembali
salam kenal.saya pernah menjadi ilustrator anita 1998.
wah entah kenapa malam ini saya jadi ingat dengan majalah anita cemerlang….langsung browsing ketemu deh blog ini….. mulai baca waktu SMP deh dari namanya Anita….sampai kemudian jadi anita cemerlang….(kalau ndak salah ingat) ……
jadi ingat kisah Anita dengan AA tu dulu yang dibaca….. baru yang lain….bacanya minjam sama teman cewekkk…..kita para cowok tahun 80 an itu banyak juga yang suka baca majalah ini……tapi yah itu modal senyum manis dan sedikit rayuan gombal biar dipinjamin sama teman-teman cewek yang rajin beli he he he he……. dan pas SMA sudah mulai berkurang karena gaya majalahnya sudah mulai berubah…. sampai akhirnya tidak ingat lagi…..hingga malam ini….
salam kenal mbak…..
Bu Tuti, saya kelahiran th 70, jadi pas Anita Cemerlang sedang jaya2 nya saya masih duduk di bangku SMEA. Nggak bisa saya lupa gimana mengumpulkan uang jajan saya yg pas2an buat beli majalah favorit saya yg waktu itu terbit 2 minggu sekali.
Sekarang saya tinggal di bekasi, waktu saya pindah dari Jakarta ke Bekasi, orangtua menjual seluruh majalah saya, dan sekarang saya ingin mendapatkannya kembali. Barangkali ibu punya informasi dimana bisa saya dapatkan kembali majalah Anita Cemerlang sebab saya sudah kangen banget sama cerita2nya yg segar. Salam.
Saya suka banget sama cerpen yang berjudul : GERIMIS PAGI DI JAYAGIRI.
Masih ada copynya ga ya ?
Boleh ga di share di sini ?
Mbak tuti, saya penyuka karya2 mbak tuti nonka, terutama CERITA DARI BULAKSUMUR, bagaimana kalo pengin membaca ulang cerber tersebut mbak?
Maaf salah inget,,maksudnya mbak laily lanisyi ya kalo cerita dari bulaksumur,