PESONA DALAM KABUT RAHASIA
Geisha.
Oh … itu wanita penghibur dari Jepang dengan wajah putih tembok, bibir merah cabe, bersanggul besar dan mengenakan kimono. Begitu mungkin imajinasi yang terbentuk di benak kita jika mendengar kata geisha. Pemahaman yang sama sekali tidak salah, hanya mungkin agak terlalu ‘simpel’. Geisha bukan sekedar wanita penghibur, mereka bukan sekedar prostitute, tetapi lebih dari itu.
Lebih dari sekedar prostitute?
Untuk menjadi geisha, seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha), dengan biaya yang sangat mahal. Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional Jepang, yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki pengetahuan luas sehingga bisa diajak berbicara apa saja. Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati.
Memikat hati siapa? Para pria pelanggannya, of course …
Keberadaan geisha dalam struktur kehidupan Jepang sudah berlangsung selama 400 tahun. Pada suatu masa dalam sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan tinggi, meskipun kini mereka hampir punah terlibas zaman …
Geisha, mereka begitu populer, tetapi kehidupan mereka sesungguhnya, terselimut rapat dalam rahasia …
Adalah Arthur Golden, seorang penulis Amerika yang tersihir oleh tradisi misterius geisha. Ia menghabiskan waktu 10 tahun untuk melakukan riset tentang kehidupan geisha, yang kemudian divisualkan dalam bentuk film dokumenter yang sangat memikat oleh BBC.
Jauh dari kehidupan sehari-hari, geisha adalah golongan elit. Bagi kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya Jepang. Geisha sendiri berarti ‘seniman’.
Geisha pertama kali muncul pada tahun 1600-an. Pada masa itu, pusat pemerintahan Jepang berada di kota Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo, dengan Shogun sebagai penguasa penuh. Pada awalnya, geisha adalah laki-laki. Mereka menari dan menyanyi untuk menghibur para tamu. Namun kemudian, geisha laki-laki digantikan oleh geisha perempuan, dan hingga sekarang semua geisha adalah perempuan.
Geisha dilatih untuk menyenangkan tamu. Mereka juga harus menutup mulut rapat-rapat, tidak boleh membocorkan apa pun yang pernah dibicarakan tamu.
Pada tahun 1779 geisha diakui sebagai sebuah profesi. Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur. Geisha bertugas menghibur tamu dalam pesta, tetapi tidak melacurkan diri secara bebas. Untuk itu, Kenban mengeluarkan peraturan yang mengharuskan geisha diantar pergi dan pulang dari pesta, agar mereka tidak ‘berbelok di jalan’.
Bagaimana perjalanan seorang perempuan hingga menjadi geisha?
Kyoto adalah pusat keberadaan geisha. Di Kyoto terdapat wilayah yang disebut Gion, yang merupakan tempat gadis-gadis muda mengawali karier sebagai geisha. Gadis-gadis kecil berumur 7 atau 8 tahun mulai dididik disini, dan selama bertahun-tahun mereka dilatih oleh guru geisha, belajar bahasa, memainkan alat musik Shamisen, menari, dan sebagainya. Murid dari Gion disebut Maiko. Biaya pendidikan geisha, serta biaya untuk membeli kimono dan perlengkapan lainnya, mencapai 500.000 $US.
Para geisha tinggal di okiya (rumah geisha) yang dipimpin oleh ‘Ibu Geisha’. Hubungan di antara sesama geisha sangat erat, seringkali melebihi kedekatan hubungan dengan keluarga sendiri. Geisha-geisha yang masih muda memiliki ‘kakak geisha’ yang membimbing mereka untuk menjadi geisha sempurna.
Pada suatu masa, terdapat seorang geisha berwarga negara Amerika, bernama Liza Dalby.Ini adalah suatu pengecualian yang luar biasa, karena semua geisha adalah orang Jepang. Pada awalnya, Liza mempelajari geisha untuk gelar doktornya. Ia tinggal bersama para geisha, dan begitu terpesona pada dunia ini sehingga akhirnya memutuskan untuk menjadi geisha. Seorang geisha bermata biru, selalu membuat para tamu terkejut. Liza memiliki kualifikasi yang sangat bagus sebagai geisha, dan lama sesudah ia meninggalkan dunia ini, ia masih selalu mengenang kehidupan para geisha dengan penuh cinta.
Liza Dalby, melakukan penelitian doktor tentang geisha, sebelum akhirnya menjadi geisha
Dalam kehidupan geisha dikenal adanya mizuage, yaitu menjual kegadisan pada penawar tertinggi, yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar ! Mizuage ini seringkali menjadi peristiwa traumatis bagi seorang geisha.
Riasan seorang geisha sangat khas. Wajah disaput bedak putih tebal, separuh bibir dicat dengan warna merah tua. Yang menarik, pada leher bagian belakang, di batas anak rambut, kulit sengaja tidak dibedaki, sehingga memperlihatkan kulit asli sang geisha. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan ketelanjangan yang sensual. Paling tidak, begitulah menurut selera lelaki Jepang …
Benda paling berharga bagi seorang geisha adalah kimono, karena kimono yang bagus sangat mahal, dan mereka harus selalu mengenakan busana itu. Warna kimono dipilih sesuai dengan musim : hitam untuk awal tahun dan hari-hari penting, pink untuk musim semi, jingga untuk musim gugur, dan hijau untuk musim dingin. Sanggul geisha ditata seminggu sekali oleh penata rambut profesional yang sudah berpengalaman selama puluhan tahun. Agar tatanan rambut tidak rusak, geisha tidur dengan leher disangga balok kayu. Jika keluar rumah, geisha mengenakan bakiak tinggi, agar kimononya tidak kotor.
Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang, mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru riasnya.
Tiga orang geisha berjalan di Kyoto. Agar tampil sempurna, mereka membutuhkan waktu berjam-jam untuk merias diri dan mengenakan kimono.
Kimono yang ketat membuat mereka harus berjalan dengan langkah kecil-kecil. Dengan bakiak tinggi, sungguh tidak mudah …
Dalam tradisi masyarakat Jepang, sangat jarang seorang suami bercengkerama dengan isterinya. Tugas isteri adalah mengatur rumah tangga dan membesarkan anak, sementara suami membayar geisha untuk bersenang-senang. Anehnya, banyak perempuan Jepang justru bangga jika suaminya menjadi pelanggan dan memiliki hubungan dengan seorang geisha. Paling tidak, pengakuan seperti itu keluar dari bibir isteri Profesor Moriya, seorang pelanggan geisha.
“Jika suami menghadapi masalah, atau berurusan dengan orang yang tidak disukainya, dan pikirannya kusut, ia akan pergi menemui geisha. Lalu ia pulang dengan senyum lebar, dan saya ikut tersenyum. Saya bangga suami saya berhubungan dengan geisha, seorang wanita profesional … ” ia berkata.
Wooooh …..
Seorang geisha di antara para tamunya
Seorang geisha tidak boleh menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dari Danna, pria yang menjadi kekasih dan menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut untuk selalu tampil mewah. Di sebuah toko di Gion, harga sebuh tali untuk mengikat obi (ikat pinggang kimono) mencapai 220 $US, sementara harga tas pelengkap kimono mencapai 500 $US. Namun demikian, penghasilan seorang geisha juga cukup besar. Untuk tampil selama 1 jam, tamu harus membayar 500 $US. Mameka, seorang geisha senior, memiliki penghasilan 8000 $US per bulan. Ia memiliki Danna yang kaya raya, yang membelikannya sebuah apartemen mewah seharga 850.000 $US. Mameka menjadi contoh ideal bagi para maiko, geisha muda di Gion.
Kini, jumlah geisha di Tokyo tinggal sekitar 100 orang. Namun demikian, di pantai Atami, muncul sebuah tempat bernama Hot Spring Geisha, dimana para wanita tuna susila menyamar sebagai geisha, dan melakukan pertunjukan dengan harga tiket yang sangat murah. Para geisha palsu ini menari dan menyanyi sekedarnya, bahkan rambut mereka pun palsu (semacam wig yang tinggal dipasang di kepala). Dengan membayar 8$US, orang dapat menyaksikan ‘geisha’ Hot Spring menari dan menyanyi. Begitupun, pengunjung puas, dan percaya mereka telah benar-benar menyaksikan geisha.
Pertunjukan ‘geisha’ di Hot Spring di Atami. Para geisha palsu ini berjumlah sekitar 400 orang, lebih banyak dari geisha asli
Dalam setiap budaya bangsa-bangsa di seluruh dunia, selalu ada perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai penghibur pria. Sungguh menyedihkan, tetapi itulah realita yang ada. Posisi laki-laki dan perempuan yang timpang, dimana perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi, membuat banyak perempuan berada pada posisi yang tidak berdaya, dan diperdayakan.
Semoga ke depan perempuan di seluruh dunia mampu bangkit dan mensejajarkan dirinya dengan para pria. Bukankah sesungguhnya pria dan wanita adalah sesama manusia yang harus saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing?
(Sumber : VCD “The Secret Life of Geisha”, BBC)
jadi ingat novelnya Remy Silado judulnya Kembang Jepung, berkisah tentang Geisha di Surabaya semasa Revolusi, saya sudah membacanya tiga kali
Tuti :
Wah, saya belum baca. Tapi kalau di Surabaya, mungkin itu bukan geisha yang sebenarnya, Mas …
Wah tante, saya juga baru tahu sempet ada geisha bule 😀
klo geisha-nya cowo, menghibur siapa dong? Cowo juga?
Hehehehe.. *bingung*
Saya pikir udah habis dimakan jaman, tapi ternyata masih ada ya geisha di jaman sekarang, tante.. hoo..
-mengangguk2.. tapi tetap tidak pernah mengerti ttg geisha ini..
Tuti :
Iya, Liza Dalby itu satu-satunya wanita bule yang diijinkan masuk ke kalangan geisha, dan menjadi salah satu dari mereka. Pada awalnya, geisha memang laki-laki, tugasnya menyanyi, menari, melucu, bercerita. Yang dihibur adalah tamu lelaki … tentu tanpa ‘ehm-ehm’ … 😀
Geisha masih ada di Tokyo, tapi memang jumlahnya sangat sedikit. Pelanggannya orang tua-tua. Orang-orang muda nggak paham seni yang mereka mainkan, wong seni tradisional kuno. Tetapi justru merekalah sekarang yang menjadi pelestari seni tradisional Jepang itu.
yang pasti di Jepang memang sex adalah seni.
sudah sejak lama ada pemandian umum yang campur
bahkan dalam buku Genji Monogatari (Hikayat Genji) karangan Murasaki Shikibu, permainan cinta Genji, bisa dilihat siapa saja.
Ada satu film yang sangat kontroversial (film porno) di jamannya, berjudul Ai no Corida, buatan gabungan Jepang-Perancis tapi berlatar belakang cerita kejadian nyata seorang Geisha bernama Abe Sadaji, yang memotong kelamin lelakinya tgl 18-5-1936.
Mbak tidak membahas mantan ibu negera kita? hihihi
EM
Tuti :
Mungkin tidak hanya di Jepang, tapi di India juga. Pernah nonton Kamasutra mbak? (hayo, bohong kalau bilang belum … hihihi … ). Di Jawa juga sebenarnya ada, tapi saya lupa dikisahkan di kitab apa … (sumpah, belum pernah baca 🙂 )
Cerita Abe Sadaji itu …. haduuuh …. ceyeeem 😦
Tentang mantan ibu negara kita, wah … pengin juga nulis. Ntar deh, saya cari bahannya dulu. Saya pengin lihat bukunya “Madame D, Syuga” itu. Umur 50 lho, waktu foto-foto nude itu dibuat. Ntar umur 50, saya berani nggak ya … wakakak!! 😀
Kamasutra Jawa? Saya punya tuh bukunya mbak….(tapi ngga seru, ngga ada gambarnya)
Saya sudah pernah melihat buku Madame Syuga itu, dan….. ngga nafsuin deh mbak hihihi (ngga tau sih buat yang cowo)
EM
Tuti :
Waaaah …. Mbak Imel sudah baca ya? Apa judul bukunya? Mbak Imel kasih aja gambarnya, kan coretan Mbak Imel bagus … 🙂
Tentang buku “Madame D, Syuga” waktu itu saya cuma sempat lihat beberapa fotonya yang dimuat di majalah Tempo. Nggak napsuin Mbak Imel? Lha kalau Mbak Imel nepsong, berarti Mbak lesbos dong … 😀
Ternyata yang disuka gambarnya ya mbak?
Tuti :
Ya, memang … 😀
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Geisha, saya mau cerita tentang seorang keponakan yang sejak kecil paling takut kalau lihat gambar perempuan jepang yang dandanannya kayak Geisha ini … parahnya lagi, ibunya suka meden2i. Kalau ini anak pas kumat nakal atau susah makan, ibunya suka bilang “ben ngko diculik buk’e medhok merok iki lho…” sambil nunjukin gambar perempuan jepang berkimono itu. Sampai hari ini, keponakan saya ( 23 tahun) masih suka ngeri kalau lihat gambar sejenis … Semoga dia tidak lagi iseng buka blognya Mbak Tuti, bisa semaput…! Sepertinya keponakan saya harus saya bawa ke psikolog … qiqiqi
Tuti :
(*buru-buru ngaca*)
Waduh, muka saya medhok merok nggak ya … 😦 musti ati-ati nih sekarang kalau dandan, jangan sampai foto saya dipakai buat nakut-nakutin anak kecil … 😀 Ciloko tenan!
memang benar, di belahan manapun di dunia ini, selalu saja ada praktek-praktek semacam ini. apapun judulnya, tetap saja ujung-ujungnya adalah menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu pria…
sebetulnya, kita tidak bisa menyalahkan pria secara sepihak. kesediaan perempuan untuk diperlakukan seperti itu menjadi faktor paling menentukan juga. bila tidak ada perempuan yang mau diperlakukan seperti itu, tentu tidak akan ada pria yang berpikir untuk mencarinya…
Tuti :
Rasanya tidak salah, kalau Uda Vizon saya tempatkan pada posisi sebagai ‘penjaga moral’ di blogsphere. Uda yang satu ini memang selalu berada di jalan yang benar. Mengingatkan kita mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar …
Adapun mengenai pelacuran, dulu saya pun berpikiran seperti Uda Vizon. Kalau perempuan tidak mau melakukannya, pasti pelacuran tidak pernah ada. Tetapi ternyata, not that simple. Masalah pelacuran ini multi dimensi, banyak faktor yang terkait. Masalah kemiskinan, ketidakberdayaan, kebodohan, dan berbagai masalah lain yang sifatnya struktural. Tidak semua perempuan menjadi pelacur karena kemauannya sendiri. Ada yang karena ditipu, dijebak, dijual, dipaksa. Sekarang populer istilah ‘woman trafficking’, dan itu tidak mudah diberantas.
Saya sendiri belum paham benar tentang masalah ini, tetapi beberapa teman aktivis perempuan sudah terjun kesana (tentu saja untuk membantu membebaskan PSK, bukannya menjadi PSK).
Saya menaruh hormat yang setinggi-tingginya pada pendapat Uda Vizon, bahwa “bila tidak ada perempuan yang mau diperlakukan seperti itu, tentu tidak akan ada pria yang berpikir untuk mencarinya… “. Pendapat ini benar-benar mencerminkan kelurusan hidup Uda Vizon. Sayangnya, di dunia ini sangat banyak pria yang tidak seperti Uda Vizon, malah justru sebaliknya …
Aku baca novel the Memoirs of Geisha dan melihat visualisasinya di film yang pemainnya bukan orang Jepang, artis hong kong gitu..
Dari situ baru tau kalau geisha itu tidak semata-mata pelacur, tapi justru tinggi derajatnya. Hanya orang2 tertentu yang bisa menjadi geisha, karena musti menguasai banyak hal sebelum bisa benar-benar terjun ke dunia itu.
Yang bikin kaget, ternyata ada tho, geisha yang bermata biru? Ck-ck-ck… Keren banget, nih… Sayang nggak ada photo si mata biru dengan pakaian dan dandanan khas Geisha … 🙂
Tuti :
Aku malah belum baca novel Memoirs of Geisha (baru beli tadi, belum dibuka segelnya … 🙂 ), filmnya juga belum nonton. Jadi sumber tulisan ini sepenuhnya hanya dari VCD “The Secret Life of Geisha” produksi BBC. Karena ini film dokumenter, maka tokoh-tokoh yang tampil adalah benar-benar geisha asli.
Iya, sayang di film itu tidak ada gambar Liza Dalby dalam dandanan geisha. Memang ada foto dia pakai kimono dan memainkan Shamisen, tetapi wajahnya polos, tidak pakai make up tebal seperti geisha …
jadi inget film memoir of geisha bu.. ada juga cerita tentang geisha yang menjual kegadisannya pada penawar tertinggi..
Tuti :
Ya, itu dilakukan mulai tahun 1930-an, dan uangnya diambil oleh ‘ibu geisha’, bukan untuk geishanya sendiri. Tapi sekarang geisha tidak lagi dipaksa untuk menjual keperawannya …
emansipasi wanita ya
Tuti :
Emansipasi? Siapa? (*bingung.com*)
Aku tertarik dengan tulisan ini terutama soal bagaimana istri bangga dengan ‘berlangganannya’ suami mereka kepada geisha.. *ketoke penak yo, Bu hahahah*
Eh btw aku juga tertarik komennya EM, hayo Bu Tuti brani ndak nulis soal mantan ibu negara kita yang itu… yang itu tuhhhh…. 🙂
Tuti :
Penak? Yo dicoba wae Don, jajal nek ora dikabruk Mbak Yoice … 😀
Ibu negara yang itu? Oooh …. itu. Iya, aku tahu. Yang itu kan?
Geisha….oooh Geisha
soal hibur-menghibur….pun
kini antara pria dan wanita
sudah terjadi kesejajaran
buktinya, pria penghibur
juga sudah bnyk bermunculan…..
so, tidak ada lagi kendala
soal emansipasi hampir
di segala lini…….
met pagi jelang siang
Mbak Tuti yang baik hati 🙂
Tuti :
Pria penghibur? Dimana Bang? (*antusias.com* 😀 )
Met malam, Bang … (sekarang sudah menjelang tengah malam nih … 🙂 )
Wadow, ceritanya seru mbak, penasaran nich. Saya juga mau cari VCDnya dech kalau gitu (bisa di beli dimana mbak Tuti ?), tapi ngomong2 ada bagian / adegan filmnya yang agak gimana gitu, nggak mbak ?.
Maklum kalau filmnya ada yang berbau… terpaksa dech nontonnya pas anak2 sudah lelap, krn biasanya punya waktu enjoy to nonton pas mlm libur doang, itupun kalau anak2 nggak minta ditemani tidur bareng, hehehe….
Ok, dech mbak Tuti, see you & selamat beraktivas lagi 🙂
Best regard,
Bintang
Tuti :
Jangan khawatir Mbak Elinda, karena ini film dokumenter produk BBC, bukan film komersial yang diputar di bioskop, maka tidak ada sedikit pun adegan yang ‘mengkhawatirkan’. Meskipun demikian, kalau ditonton bersama anak-anak, mungkin akan timbul pertanyaan juga dari mereka, apa maksud kalimat-kalimat tertentu dalam film ini. Tapi filmnya sendiri sangat bagus, gambar-gambar yang muncul artistik dan informatif.
Saya membeli VCDnya di Gramedia. Saya kira di JAkarta pasti ada.
Selamat menunggu malam akhir minggu, mbak … 😀
salam hangat
“Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur”.
Jadi bingung, mereka sebenarnya pelacur pa bukan sih, Mbak?
Tuti :
Pada masa pemerintahan militer Shogun, semua hal dikontrol negara. Pelacuran dibatasi, dan dilokalisasi di tempat-tempat tertentu. Mereka diawasi dengan ketat. Pada masa itu, geisha memang bukan pelacur, dan tidak boleh menjadi pelacur.
Sesungguhnya geisha yang asli bukan pelacur. Mereka menghibur tamu dengan tarian, nyanyian, dan obrolan, tapi tidak melakukan relasi seksual. Nah, tapi ada geisha yang menjadi simpanan seseorang (tentunya lelaki yang kaya raya, karena ia harus sanggup membiayai gaya hidup geisha yang mewah), dan geisha hanya berhubungan dengan pria ini, tentunya tanpa pernikahan.
Namun dalam perjalanannya, sebagian geisha akhirnya juga merangkap menjadi PSK. Hal ini terjadi semenjak kedatangan tentara Amerika pada Perang Dunia II. Semenjak itu, citra geisha runtuh, karena banyak PSK yang menyamar atau mengaku sebagai geisha …
Wah, kalau memang geisha itu selalu ada untuk sebuah seni yang murni .. keren banget.
Di Indonesia kira2 apa yang sama seperti geisha ini ya, bun?
Tuti :
Memang, geisha dianggap sebagai pelestari seni tradisional asli Jepang. Mereka benar-benar menjaga tradisi dengan ketat. Kalau di Indonesia, yang hampir sama dengan geisha mungkin ronggeng ya …
Terus terang …
Jujur …
Saya tidak pernah bisa mengerti budaya yang satu ini …
Salam saya
Tuti :
Coba aja jadi pelanggan mereka, Om … pasti Om akan mengerti …. dan nggak mau berhenti … 😀 (*dijitak Om Trainer*)
aku udah nonton filmnya dan keren … dari dulu Geisha itu merupakan gengsi tersendiri di Jepang … salah satu temenku yg cowok bahkan punya cita2 bisa mengunjungi geisha … wakakaka *udah kesampaian belum ya*
budaya aneh tapi merupakan kultur dan dilindungi … aneh ya ..
Tuti :
Memang ada masanya, ketika geisha menempati posisi elit di Jepang. Mereka dianggap sebagai wanita-wanita paling cantik, paling pandai, dan paling modis. Beberapa petinggi Jepang masa lalu bahkan mengambil geisha sebagai isteri.
Sebenarnya budaya ini tidak terlalu aneh, karena ada hampir di semua bangsa di dunia. Hanya saja, geisha memang unik, karena mereka penuh rahasia, dan untuk menjadi geisha harus melalui pelatihan yang makan waktu lama
justru setelah keponakan si ayik baca postingan mbak tut yang ini…walah dia bakal langsung cari referensi pelengkap lainnya atau malah mencari geisha sampai ke Jepun…”ternyata selama ini aku diblethuki….”
Tuti :
Emang keponakan Mbak Ayik laki-laki apa perempuan?
diblethuki opo bedane karo diklethaki mbak? 😀
Saya pernah baca cerita itu secara bersambung di Femina, terus nonton film nya, dan akhirnya baca bukunya.
Kehidupan Geisha memang menarik …. tapi yang menarik karena ada bule yang mau mencoba kehidupan geisha.
Tuti :
Liza Dalby adalah seorang anthropolog, dan peneliti anthropolog memang sering lebur menyatu dengan masyarakat yang ditelitinya. Mbak Enny ingat ada wanita Amerika (saya lupa namanya) yang menikah dengan kepala suku Dani di Irian Jaya? Begitulah mereka total mengabdikan diri pada ilmu mereka, sehingga masuk ke kehidupan pribadi.
Masih ingat mbak Tuti…dan pas saya ke Lembah Baliem sekitar tahun 90 an (untung diantar guide dari hotel dan anak buah saya yang badannya gede) … kepala sukunya tanya, mau nggak saya tinggal disana, ditukar dengan 20 ekor babi…hahaha…
Saat itu saya masih muda, dan langsing mbak…..jadi buat orang sana tetap lebih menarik, biasa kan, kulit yang berbeda dengan yang mayoritas selalu terlihat menarik…
Tahun 2007 saya kembali ke Jayapura mengajar, salah satu murid saya anaknya kepala suku disana, perubahan udah pesat sekali, banyak yang udah menikmati pendidikan sampai jenjang Perguruan Tinggi, dan sekarang menjadi susah kalau cari orang yang pakai koteka….beda dengan pertama kalinya saya menginjak Papua.
Tuti :
Ditukar 20 ekor babi? Wakakaka! Lalu babinya itu buat siapa? Buat Mbak Enny ya.
Waaah … kalau sekarang, ditawar dengan berapa babi ya Mbak? Bisa lebih dari 100 babi ya, kan Mbak Enny sudah lebih matang dan berpengalaman dibanding tahun 90-an … 😀 Langsingnya juga masih tetap kan Mbak? 🙂
Di kota, pasti susah mencari orang pakai koteka. Tapi di desa-desa terpencil mungkin masih ada ya. Wah, ini termasuk budaya yang punah atau bukan ya? Koteka termasuk budaya yang perlu dilestarikan atau tidak ya?
saya pernah nonton film memoar of geisha, tapi komentar teman saya yg orang jepang semua kimono yg dipakai oleh tokoh2 nya … (bintang film cina si y zizi…dll) salah semua………hehehehehe
Tuti :
Waah … manajer kostum film itu pasti nggak bakal dipakai lagi ya … 😀
(tapi mosok sih sampai separah itu?)
Jadi teringat ketika saya nonton film-nya.
Penuh makna tentang pahitnya hidup.
Tuti :
Saya malah belum nonton … ihiks … 😥
Aku sudah baca Memoir of A Geisha. Buku yg bagus karena menyingkap semua ttg praktek Geisha. Kalo di sini kita menganggap geisha sebagai praktek prostitusi, di Jepang seorang geisha justru menjadi orang yang terpandang. Orang yang berpapasan dgn geisha akan memberi hormat. Geisha kebanyakan berasal dari keluarga miskin, karena dengan menjadi geisha, ia akan dapat hidup dgn lebih layak, dan meringankan beban keluarganya.
Kurasa, kita harus coba melihat geisha dgn positif. Karena bagaimanapun geisha bukan pelacur. Geisha punya wawasan yg luas, pergaulan yg luas. Kalau di jaman itu wanita di Jepang tak punya kesempatan menikmati pendidikan tinggi, justru geisha bisa belajar seni dan ilmu lainnya. Itulah tradisi yang ada di sana, sesuatu yg berbeda dgn tradisi kita. Namun yg berbeda tidaklah selalu lebih buruk kan?
Salam kenal ya mbak…
Tuti :
Kehidupan geisha bisa dilihat dari dua sisi : positif dan negatif. Dan karena keberadaan geisha telah melewati kurun yang sangat panjang, maka dalam perjalanannya sisi positif dan negatif itu silih berganti muncul sebagai aspek yang menonjol. Ada masa ketika geisha sangat dekat dengan puncak kekuasaan, ada juga masa ketika geisha terpuruk menjadi wanita penghibur.
Memang benar, geisha adalah wanita yang dalam kepandaian, kecantikan, dan keluwesan lebih dari wanita-wanita Jepang biasa. Mereka juga menjalani kehidupan yang penuh disiplin, terus belajar, dan menjadi pelestari budaya tradisional Jepang. Tetapi, tetap saja keberadaan mereka adalah sebagai penghibur pria, dan tidak sedikit yang menjalani kehidupan sebagai ‘simpanan’ pria kaya. Inilah yang menurut saya sisi negatifnya.
Beberapa kali saya baca tulisan tulisan tentang Geisha…rasanya tak pernah luntur untuk jadi bahan diskusi.
Dan kalau saya pikir pikir..menjadi geisha itu sebuah perjuangan panjang,,harus belajar,memahami tradisi….lha kalau di negara kita…?? jadi orang penting saja nggak mau belajar, bekal cuma secukupnya ….kok kalah sama Geisha ya mbak ?…..dan kalau perempuan penghibur di Indonesia….pokoke ayu, putih mulus…bodo ya ben…he..he..he…Biar bodo,tapi pegangannya kesana kemari barang merk…Hp minimal BB.
Tuti :
Waaah …. ini sentilan yang mengena banget. “Jadi orang penting saja nggak mau belajar, bekal cuma secukupnya” . Ini siapa yang dimaksud, Mbak? Pasti para pejabat dan petinggi itu ya? Lha wong jadi orang penting itu penak je, apa-apa tinggal suruhan asisten, ajudan, sekretaris, staf ahli. Tapi pasti Mbak Dyah dan Pak Herry bukan termasuk orang penting yang seperti itu. Sebaliknya, justru selalu mengajari rakyat, jadi panutan rakyat.
Tentang wanita penghibur di Indonesia, yang cuma modal putih-ayu-wangi …. lha wong konsumennya juga cuma nuntut kayak gitu je Mbak. Konsumennya juga nggak pinter-pinter … 😉
tolong seritain donk kehidupan geisha dari jaman edo sampai sekarang???
peran geisha dalam dunia hiburan di jepang??
makna geisha bagi jepang
tolong jawaban nya kirim k email aku???
Tuti :
Waah … kalau untuk cerita sepanjang itu, mohon maaf …. silahkan baca bukunya sendiri …
Seorang sahabat saya ditolak mentah-mentah oleh Dosen kami (orang Jepang tulen) ketika akan mengangkat perihal Geisha dalam skripsinya. Salah satu alasannya adalah, Dosen tersebut khawatir skrispi itu nantinya hanya akan menjadi summary dari tulisan dan documentary mengenai Geisha. Geisha, tidak bisa hanya dimengerti melalui tulisan saja – menurut Bu Dosen tersebut. Alhasil teman saya pun akhirnya menyerah untuk menulis tema yg satu itu.
Eniwei, menurut saya buku ‘Memoirs of Geisha’ sendiri bagus dan informatif menceritakan seluk beluk kehidupan Geisha, namun saya sangat kecewa melihat versi film-nya yg dimainkan artis2 Hong Kong. Saya tidak menemukan chemistry Jepang-nya, karena chemistry tidak hanya bisa didapat melalui setting. Yang paling utama, tentu adalah pelakonnya sendiri. Orang Hong Kong dan Jepang sangat berbeda, walaupun secara fisik hampir sama.
Tulisan Ibu Tuti ttg Geisha ini bagus, menambah pengetahuan. Jadi tertarik utk mencari DVD yg dikeluarkan BBC itu 🙂
Akhir kata dari comment yg panjang ini, salam kenal ya Bu Tuti 🙂
Tuti :
Rasanya alasan dosen Jepang tersebut memang betul, Reva. Untuk membahas hakekat kehidupan seorang geisha memang membutuhkan ratusan, mungkin ribuan lembar analisis kajian, sementara pembahasan dalam skripsi (S1?) mungkin hanya beberapa puluh lembar saja. Saya sendiri sangat sulit merangkum intisari kehidupan geisha secara seimbang dalam tulisan yang sedemikian singkat. Saya membatasi panjang tulisandi blog sekitar 1000 kata, sebab kalau lebih panjang dari itu, kemungkinan tidak akan dibaca lagi oleh teman-teman.
Saya sendiri belum sempat membaca buku “Memoirs of Geisha” yang baru saya beli sesudah menulis artikel ini. Jadi, tulisan saya sudah pasti sangat tidak lengkap. Film versi layar lebarnya juga belum nonton (wah, kok berani-beraninya saya nulis tentang geisha ya? 😦 ).
Salam kenal juga, Reva 🙂 Oh ya, apakah Reva kuliah di Sastra Jepang?
Benar, Bu. Sastra Jepang UGM 😉 Eh, Ibu Tuti domisili di Jogja, kan? Bukannya ketemu pas di Jogja, malah ketemunya di blog ya, Bu 🙂
Tuti :
Oh, Reva di UGM ya? Tadinya saya pikir di UI. Jadi Reva sudah nggak di Yogya lagi sekarang? Wah, nggak bisa kopdar dong … 🙂
uh .. mau tanya. menurut Anda setuju gak kalo di Indonesia ada profesi kayak gitu???
Tuti :
Tidak setujuuuu !!
WAH BUNDA ASIK JUGA NIY DAPAT INFO DARI BUNDA, BARU TAU GEISHA ITU TERNYATA WANITA TERHORMAT. BIKIN CERITA BARU LAGI YA BUN….
Tuti :
Cerita lain sudah banyak lho … buka aja di setiap kategori (intermeso, Teropong, dll … )
Pengetahuan menarik ! Bagaimana kehidupan sehari-harinya dengan saat bertugas berkaitan dengan dandanannya ? Apakah rambut, misalnya, tetap seperti itu ketika di rumah, apa nggak repot ? Kenapa harus berbedak tebal, yang menurut saya menghilangkan cantik alaminya dan terbukti ada anak yang takut melihatnya. Orang jepun seneng lihat cewek putih kayak tembok ya ? Kalau aksesoris lainnya saya menilai ada kesan anggun dan berwibawa, seperti pakaian, tata rambut, sikap dll.
Tuti :
Geisha tidak tinggal di rumah sendiri, tapi di sebuah tempat semacam asrama. Setiap hari mereka berlatih menari, menyanyi, dsb. dengan dandanan seperti itu. Tatanan rambutnya tidak dibuka selama sekian minggu. Tentang bedak tebal, konon itu ada makna filosofisnya ….
aku perna nonton film the memoirs of a geisha ,.tapi yg maen artis jepang ,.zhang ziyi gtu ..
bener face dya jepang ,.tapi waktu maen film itu ,.dya pake softlens biru ,.jadi kaya aneh gtu ,.
kn harus nya orang asli asia bermata item ,.bukan biru ,.
jadi di gambar kn di film itu mungkin Chio (Zhang Ziyi) adalah anak blesteran ,.tetapi tidak ada keterangan nya .
itu yg menurut saya janggal mba
apa yg bukan japanese bisa jadi geisha ?.
Tuti :
Saya malah belum nonton film “Memoirs of Geisha”, jadi nggak bisa komentar … 🙂
Yang saya tonton adalah vcd bikinan BBC.
menarik banget cerita tentang geisha jadi pengen tau bagai mana kehidupan geisha yang aslli dan geisha yang peng hibur nafsu laki-laki.saya pernah melihat film tentang geisha memang geisha tidak boleh menika tapi kalau tidur dengan laki-laki yang dikasihinya dia boleh berarti dia termaksud seorang pemuas nafsu juga dong.
geisha japan, tak habis diceritain,jadi pengen jalan-jalan to Japan (hope so)
evi sempat membaca buku tentang geisha ini. Dan jika boleh jujur ketika berbicar tentang geisha dikalangan teman-teman kampus, kami masih berangapan geisha ini sama dengan pelacur. Tapi setelah membaca ulasan mbak di atas evi sudah tau bedanya dimana.
Thank’s mbak, artikelnya bermanfaat 🙂
salam 🙂
Tuti :
Kesan yang lebih menonjol tentang geisha adalah seperti itu. Dan memang ada juga sebagian pelacur yang mengaku dirinya geisha, untuk menaikkan ‘harga jual’nya …
Terimakasih sudah mampir dan memberikan komentar 🙂
buat aku gheisa lebih terhormat dari pelacur,karena tidak semudah membalikan telapak tangan untuk menjadi seorang gheisa.. butuh ketekunan dan skill yng jauh lebih diatas pelacur,… tapi sayangnya,saya pernah baca disebuah artikel kalo sekarang dijepang sudah bnyak bgt gheisa abal2,alias berpenampilan gheisa tapi tidak memiliki skill dan kepribadian seperti gheisa pada kenyataannya… yang mereka bisa hanya memberikan service yg memuaskan.. hmm,
buku tentang ghesia ap judul yh…sy mu beli di geramedia ad ap uda hbis
matsud saya buku tentag gheisa ada apa tidak …di geramediya ada apa suda hbis
assalamu’alaikum. bu boleh saya minta alamat emailnya ? banyak pertanyaan yg ingin saya sampaikan seputar geisha, karena saya sedang thap menyusun tugas akhir dengan tittle kehidupan geisha di kebudayaan jepang berdasrkan novel arthur g. thanks bu :))