ARSIPEL, ANJUNGAN, DAN KEONG EMAS
Ini adalah tulisan ke tiga (dan terakhir) dari serial ‘dolan ke TMII’. Sebenarnya saya hanya berniat menulis dua artikel saja, karena khawatir teman-teman sudah bosan. Tapi melihat sambutan penggemar yang gegap gempita (yeee … bohooong!), dan setelah minta pertimbangan kepada para pinisepuh serta tetua adat, akhirnya saya memutuskan untuk menulis satu artikel lagi. Lagi pula, bagian terpenting TMII, yaitu Arsipel, Anjungan Rumah Adat, dan Teater Imax Keong Emas justru belum saya tulis.
Miniatur Arsipel Indonesia adalah bangunan pokok TMII, berupa danau buatan dengan gugusan pulau-pulau yang membentuk Nusantara, dengan skala 1 : 10.000. Luas Arsipel mencapai 8,4 hektar. Danau ini kedalamannya hanya 0,6 meter di bagian tepi, dan 1,5 meter di bagian tengah, sehingga tidak bisa dipakai untuk bunuh diri (wong orang berdiri nggak kelelep). Meskipun demikian, kita bisa menjelajah dari pulau ke pulau dengan menaiki perahu angsa yang disediakan, seakan melayari lautan yang mengelilingi Indonesia. Di sekeliling danau terdapat jogging track sepanjang 2,5 km, dimana kita bisa berolah raga jalan kaki atau lari (kalau pengin banget, merangkak juga boleh, tapi jangan ngesot sebab bakal diprotes para suster … hihi)
Di ujung timur danau, diapit anjungan Maluku dan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan Istana Anak Indonesia, terdapat Plaza Arsipel. Plaza seluas 2 hektar ini mulai digunakan pada tahun 2007, berada di lokasi yang dulu adalah Taman Anggrek. Taman Anggrek sendiri dipindahkan menjadi Taman Bunga Keong Emas. Plaza Arsipel memiliki panggung berukuran 18 x 20 meter, tribun, tata suara, tata cahaya, dan bisa menampung 10.000 penonton. Kalau mau dipakai untuk ajang Pesta Blogger, pasti muat …
Danau Arsipel Indonesia, dengan Plaza Arsipel dan Istana Anak Indonesia di sebelah timur.
Sky Lift, atau kereta gantung, membentang dari ujung barat sampai ke ujung timur Arsipel.
Dari kereta gantung kita bisa melihat miniatur Nusantara berupa Arsipel Indonesia, juga bangunan-bangunan lain yang ada di dalam TMII. Pada kunjungan yang ke dua tahun 2003, saya sempat naik sky lift ini. Woow … indah sekali menyaksikan Arsipel dari atas. Tapi bagi yang takut ketinggian, sebaiknya menutup mata jika naik kereta gantung ini (lho, jadinya lihat apa dong?).
Di sekeliling Arsipel Indonesia berderet anjungan rumah adat dari seluruh provinsi di Indonesia. Rumah-rumah ini dibuat dalam ukuran sebenarnya, bukan miniatur, sehingga kita bisa masuk ke dalam bangunan. Setiap rumah adat berisi benda-benda budaya dan perlengkapan yang biasa dipakai masyarakat tradisional dalam kehidupan sehari-hari, juga museum dan toko cindera mata khas daerah tersebut.
Beberapa anjungan berisi lebih dari satu bangunan, seperti misalnya di anjungan Provinsi Riau, terdapat empat rumah adat yang berbeda dari beberapa kabupaten. Di anjungan Sumatera Barat juga terdapat beberapa bangunan, demikian pula anjungan Sumatera Utara dan Aceh.
Bangunan utama di Anjungan Provinsi Riau, berupa bangunan tiga lantai dengan hiasan ukiran khas Riau. Kuning adalah warna khas Riau, sehingga dikenal ada lagu “Lancang Kuning” (Perahu Kuning)
Koleksi yang terdapat di dalam anjungan Riau ini sebagian berupa properti baru yang didesain dan dibuat oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) pimpinan Mahyudin Al Mudra dari Yogyakarta (tentang balai kajian ini bisa dibaca di Balai Melayu, Melabuh Rindu Di rantau ), dan sebagian lagi merupakan benda-benda budaya asli (lama) yang dikumpulkan BKPBM dari berbagai pelosok negri.
Monumen berbentuk buku terbuka ini ukurannya sekitar 3×4 meter, merupakan perwujudan Gurindam 12, sajak berisi ‘tunjuk ajar’ yang sangat terkenal karya Raja Ali Haji dari Riau
Pompa pengeboran minyak, yang sering disebut ‘pompa angguk’ oleh masyarakat Riau. Minyak adalah sumber pendapatan terbesar Provinsi Riau.
Rumah adat Sumatera Barat, seluruh dindingnya dipenuhi dengan ukiran kayu yang sangat indah.
Berpose sejenak di pelaminan Sumatera Barat. Loh, mempelai prianya mana nih? Kabur? Wadooh … ada yang mau jadi sukarelawan nggak ya?
Rumah adat Sumatera Utara. Motif ukirannya berbeda dengan motif ukiran rumah adat Riau dan Sumatera Barat.
Emak-emak, pade nongkrongin siape? Brad Pitt? Ya owlooh … udah digaet Angelina Jolie, Maaak !!
Rumah adat Aceh dengan bangunan kecil yang unik
Tidak mungkin memuat semua foto rumah adat yang ada di TMII. Selain memang saya nggak punya fotonya lengkap (hehe … ngaku), juga posting ini akan jadi kayak album foto. Jadi kalau mau lihat rumah-rumah adat yang lain, silahkan datang sendiri ke TMII. Pesan saya, pakailah sepatu atau sandal flat yang nyaman di kaki, jangan pakai high heel dari pada akhirnya jadi beban karena harus dijinjing …
Sebelum sampai ke Teater Imax Keong Emas, mampir dulu ke Museum Keprajuritan yuk. Isi museum ini adalah visualisasi perjuangan bangsa Indonesia dari abad VII sampai abad XIX. Pada bagian luar bangunan terdapat fragmen patung dan relief yang menceritakan sejarah keprajuritan, seperti Raden Wijaya mengusir tentara Cina tahun 1293 dan pertempuran di benteng Indrapuri (Aceh) tahun 1881. Di sekitar bangunan dipamerkan 23 patung pahlawan yang terbuat dari perunggu, antara lain patung Gadjah Mada, Pangeran Diponegoro, dan banyak lagi.
Bangunan museum berbentuk benteng segi lima, lengkap dengan bastion di setiap sudutnya. Museum ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 Juli 1987. Meskipun sekarang nampak tua dan agak kurang terawat, tapi bentuk bangunannya masih gagah berwibawa. Ya iyalah … benteng militer gitu loh!
Meskipun tampak tua dan kurang terawat, benteng Museum Keprajuritan ini masih menyisakan kegagahannya
Pintu masuk ke Museum Keprajuritan, tinggi dan kokoh.
Halaman depan museum ini sangat luas. Dari gerbang masuk, kita harus berjalan cukup jauh untuk mencapai bangunan benteng. Dalam sengatan panas terik jam dua siang, saya dan Iin harus membulatkan tekad untuk melintasi jalan panjang menuju benteng (jika tekad benjol sedikit saja, pasti deh urung … ). Di halaman depan sebelah kiri terdapat sebuah kapal Phinisi dan sebuah kapal Banten, yang diresmikan pada tanggal 3 Februari 2005. Kapal Phinisi dengan cat lambung dan layar berwarna putih ini dibuat dalam ukuran sebenarnya, dan pengunjung bisa masuk ke dalam kapal.
Kapal Phinisi di Museum Keprajuritan, yang tidak mungkin lagi berlayar mengarungi samudera
Kapal Phinisi adalah kapal layar tradisional khas Indonesia, yang dibuat oleh suku Bugis dan suku Makassar dari Sulawesi Selatan. Menurut naskah La Galigo (abad 14), Kapal Phinisi dibuat pertama kali oleh Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu, untuk berlayar ke Tiongkok melamar Putri We Cudai. Tapi jangan salah, makhluk gendut-item-jelek di depan kapal pada foto di atas sama sekali nggak mirip dengan We Cudai …
Dari kapal Phinisi menuju ke benteng kita harus melewati jembatan goyang dengan pagar berupa seutas tali. Jembatan gantung dari papan-papan kayu ini selalu bergoyang riang jika ada orang lewat di atasnya, nggak peduli goyang dangdut, goyang reggae, atau goyang samba … hehehe … musti pandai-pandai menyeimbangkan badan!
Yaelaah … sempet-sempetnya eksyen di tengah goyangan. Di sebelah kiri tampak sebagian lambung kapal Phinisi, sedangkan di belakang tampak kapal Banten.
Bangunan museum ini terdiri atas dua lantai, berbentuk segi lima dengan void (ruang terbuka) di tengah. Saya tak memperoleh data berapa ukurannya, yang jelas sangat besar. Di lantai dua, pengunjung dapat melihat diorama dan patung prajurit tradisional dari berbagai daerah dengan persenjataan mereka masing-masing. Lay out ruangan maupun benda-benda peragaan yang diatur secara sama (maklumlah, tentara kan harus serba seragam, kaku, dan disiplin …), membuat suasana terasa agak monoton.
Ketika kami melihat-lihat isi museum di lantai atas, tak ada pengunjung lain sama sekali. Mula-mula saya tenang saja, tapi setelah melewati separuh luas bangunan, mulai muncul rasa seram. Patung-patung tua seukuran manusia dengan berbagai senjata terhunus yang kelihatannya lama tak tersentuh lap, dan suasana ruangan yang agak remang, membuat bulu kuduk mulai berdiri. Ketakutan saya pada dua hal : jika tiba-tiba patung-patung itu hidup dan bergerak, atau jika ada sekelompok orang jahat yang muncul dari balik deretan patung dan menyeret kami berdua ke balik ruangan. Adakah orang yang bisa mendengar teriakan kami (itu pun kalau kami sempat berteriak)? Maka, langkah kami semakin cepat. Srek … srek … srek … hanya suara sepatu kami yang terdengar menggesek lantai. Jeblaarr!! Sebuah jendela menutup karena tertiup angin keras, membuat ruangan semakin remang. Come on …. cepatlah sampai di ujung ruangan dan turun ke lantai bawah. Lariiii …. !!
Hei patung, diem-diem aja ya … jangan bergerak, oke? Tombak di tanganmu itu panjang bener, ujungnya tajam pula!
Aaah …. akhirnya tiba juga di Teater Imax Keong Emas. Gedung teater ini berbentuk keong raksasa berwarna kuning emas. Keong Emas sendiri adalah cerita rakyat, yang merupakan penjelmaan dari seorang putri cantik yang dikutuk penyihir jahat. Karena ketulusan cinta seorang pemuda gagah yang baik budi, akhirnya si keong bisa kembali ke wujud aslinya sebagai putri yang cantik. Klise? Ya begitulah, mau bagaimana lagi? Mosok keong emasnya berubah jadi kucing belang berkumis jarang dengan buntut panjang, bisa-bisa si pemuda berang dan membuangnya ke padang alang-alang …
Film pertama yang diputar di Teater Imax Keong Emas adalah “Indonesia Indah”. Kini film “Indonesia Indah” sudah terdiri atas 4 seri. Selain itu Teater Imax juga pernah menyewa film dari luar negri sebanyak 21 judul film, seperti “To Fly”, “The Dream Is Alive”, “To The Limit”, “The Living Sea”, dan sebagainya. Film impor yang sekarang masih diputar di Tater Imax adalah “Journey To Mecca” dan “Star Trex”.
Gedung teater ini memiliki tempat duduk kelas ekonomi sebanyak 920 kursi, dan 36 kursi VIP di balkon. Ukuran layarnya sangat besar, yaitu 21,5 meter x 29,3 meter. Layar ini melengkung, sedikit melingkupi penonton, sehingga ketika film sudah diputar kita seakan-akan masuk ke dalam film.
Saya nonton di Teater Imax pada kunjungan pertama ke TMII, tahun 1978 (ya ampyuun …. sudah lama bangets!), kalau nggak salah film “To The Limit”. Saya ingat betul, salah satu gambar dalam film ini diambil dari dalam pesawat terbang layang kecil, yang menyusuri tebing terjal di atas laut. Tiba-tiba pesawat menukik turun dengan sangat cepat ke permukaan laut. Saya, yang rasanya berada di dalam pesawat itu, menjerit dan hampir terjungkal dari kursi … ! Banyak penonton lain juga menjerit (jadi bukan cuma saya yang kaget … hehehe!). Saya pikir, mestinya kursi penonton diberi seat belt untuk memberi rasa aman, karena kemiringan antar baris kursi di depan dan di belakangnya cukup tinggi.
Kini Teater Imax Keong Emas sudah memiliki teknologi DMR (Digital Re-Mastering), teknologi revolusioner yang memungkinkan transfer film dari format 35mm ke dalam Imax Experience 70mm. Dengan teknologi ini film-film Hollywood dapat diganda ulang secara digital, seperti film Star Trek yang sekarang sedang diputar di Keong Emas (eh, masih nggak ya?).
Saya nonton di Teater Imax Keong Emas tahun 1978, dan foto di atas dibuat tahun 2008 … 30 tahun kemudian!
Apa daya, posting ini akhirnya menjadi cukup panjang. Tapi ini benar-benar posting terakhir saya tentang TMII (kecuali besok saya ke sana lagi dan pengin nulis obyek yang baru saya lihat … hehe).
Semoga TMII terus dirawat dengan baik, terus meng-update koleksinya, dan selalu mengikuti kemajuan zaman, sehingga keberadaannya tetap menjadi kebanggaan bangsa.
(Sumber : http://www.tamanmini.com, http://www.keongemas.com, Profil Museum Monumen dan Perpustakaan Pusjarah TNI)
Salut mbak dengan “kesabaran” nya menulis tentang TMII yang memang panjang karena memang banyak yang bisa ditulis. Tapi memang harus ada yang menulis tentang TMII mbak, supaya orang Indonesia itu punya arsip tentang “kekayaan” nya sendiri.
Saya tidak bosan mengunjungi TMII. Gen dua hari berturut-turut minta diantarkan ke TMII. Itu pun rasanya belum puas.
Ada tempat lain yang belum mbak ulas, tapi cukup menarik, yaitu museum Komodo. Di situ pernah ada pameran ular Sanca yang besaaaaar sekali. Lalu satu tempat yang selalu saya datangi, Museum Perangko dan kios penjualan perangko/uang kuno di dekatnya.
Taman Burung tempat favorit saya. Sayang sejak flu burung, saya tidak berani mengajak tamu Jepang saya ke sana. Takut kalau ada apa-apa.
EM
Tuti :
Saya juga salut pada ‘kesabaran’ Mbak Imel membaca tulisan saya 🙂
Saya sudah empat kali ke TMII, dan dari komentar teman-teman, yang menyebutkan beberapa obyek yang belum saya kunjungi, saya pun jadi kepengin ke sana lagi … 🙂 Memang koleksi yang ada di TMII ini suangat banyak, dan masing-masing punya daya tarik sendiri (tentu saja bagi yang tertarik pada budaya dan ilmu pengetahuan).
Museum Komodo saya belum masuk Mbak. Wah, ada ularnya ya? Saya paling takut dengan ular … tapi kalau ularnya di dalam kandang yang cukup aman bagi penonton, mungkin boleh juga lihat dari jauh. Museum Perangko juga baru lewat di depannya, belum masuk. Taman Burung? Belum juga. Jadi … kayaknya masih butuh tujuh kunjungan lagi untuk menuntaskan mempelajari isi TMII 🙂
TMII, deket rumahku dunk.
Tuti :
Rumahnya di mana, Mas? Boleh mampir nggak? 🙂
Seingat saya, ide TMII memang dari bu Tien Soeharto. Namun kala itu beliau minta dalam ukuran yang benar-benar mini. Seperti suatu tempat di Belanda yang merupakan miniatur dari Belanda (saya lupa namanya). Bang Ali sebagai gubernur DKI saat itu menyambut baik gagasan ini dan tidak mau hanya mini karena Indonesia adalah bangsa besar dengan budaya yang besar. Maka disediakanlah tanah yang cukup luas untuk mewujudkan gagasan penggambaran bangsa Indonesia dalam sebuah taman.
Saya kalau ke TMII sebenarnya juga ogah. Keluarga yang membuat saya kurang berminat ke sana karena selalu rewel soal panas, jalannya jauh, mahalnya makanan, kurang terawat, dll. Mending kalau saya kesana sendirian malah bisa menikmati. Sayangnya nggak pernah terwujud karena jauhnya TMII dari rumah.
Salut untuk bu Tuti dan Iin yang rela mengarungi segala kesulitan di TMII untuk menikmati atraksi yang menakjubkan.
Tuti :
Ya, ide pembangunan TMII memang berasal dari Ibu Tien Soeharto, disampaikan pada 13 Maret 1970 di kediaman beliau di Cendana. Miniatur Belanda itu namanya Madurodam (kalau nggak salah di kota Den Haag). Sayang sekali saya nggak sempat berkunjung ke tempat itu ketika jalan-jalan ke Belanda tahun 2005. Bisa jadi ide Ibu Tien itu juga diperoleh sesudah melihat Madurodam ya Pak?
Mmm … pergi ke TMII sebenarnya bisa tidak terlalu melelahkan kalau kita membawa mobil sendiri, karena dari satu anjungan ke anjungan lain, dari satu obyek ke obyek lain bisa pakai mobil. Waktu pergi ke TMII tahun 2008, saya tidak membawa mobil, dan baru menjelajah beberapa rumah adat, kakak-kakak saya (yang memang semua sudah di atas 50 tahun), sudah kelelahan. Akhirnya saya mengalah, tak jadi masuk ke tempat-tempat lain. Kunjungan berikutnya, tahun 2009, saya hanya berdua dengan Iin, dan saya mencarter mobil, sehingga kami bisa menjelajah ke banyak obyek.
Memang Pak, kalau kita ingin mengeksplor suatu tempat, nggak enak kalau perginya bersama orang yang minatnya tidak sama. Lebih baik pergi sendiri. Saya juga, kalau menjelajah museum, atau pusat-pusat budaya, sering pergi sendiri. Tapi langkah saya lebih terbatas, karena saya perempuan, maka soal keamanan menjadi pertimbangan utama. Kalau Pak Eko kan pergi sendiri kemanapun nggak bakal ada yang tertarik untuk menculik … karena sudah takut duluan lihat penampilan Pak Eko … hehehe … piss Pak 😀
Hebat…hebat….mbak Tuti ini…
Hi…sahabat blogger…tulisan ini kita kirim ke yayasan Taman Mini yuuk….
saya yakin…mereka akan berterimakasih dan tercengang…karena bu Tuti menulis dengan lengkap dan indahnya.trus akan meningkatkan perawatan dan kulaitas pelayanan Taman mini.
kalau menurut cerita…Taman Mini ini idenya sebagian adalah dari Ibu Tien Soeharto…luar biasa sekali…ternyata sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Nah…mestinya kalau pada posisi Ibu negara…harus punya ide2 briliant seperti itu ya?…
Tuti :
Terimakasih atas pujiannya Mbak Dyah, jadi besar hati nih … 🙂
Saya menulis tentang TMII benar-benar atas dorongan hati saja, karena saya memang menyukai apa yang ada di sana, dan menurut saya TMII menyimpan kekayaan bangsa yang sangat besar, yang harus diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia.
Betul Mbak, seorang ibu negara mestinya mampu melahirkan ide-ide dan karya-karya besar, meskipun pada saat ide tersebut dilontarkan, mungkin masyarakat belum bisa langsung menerimanya. Seperti halnya TMII ini, yang pada waktu mulai dibangun dulu, mendapatkan tentangan sangat keras dari masyarakat. Dengan berubahnya zaman, baru sekarang kita melihat manfaatnya.
Bun, kapan toh pergi ke TMII nya? andai saya tahu kan bisa kopdar disana kita 🙂
btw akhirnya nyampe di rumah2 adat juga ya bun… ajegile gak kebayang tuh pegelnya! BUanyak banget yang bunda kunjungi. TOP deh!
Tuti :
Aku mengunjungi TMII tahun 1978, 2003, 2008, dan 2009. Foto-foto yang aku upload di artikel ini adalah kunjungan pada tahun 2008 (yang pakai baju pink) dan 2009 (pakai baju putih). Kunjunga tahun 2008 nggak banyak lihat anjungan, karena perginya dengan emak-emak, dan nggak bawa mobil. Baru jalan sebentar, yang satu ngeluh kakinya sakit, yang satu punggungnya pegal, yang satu lagi kepalanya pusing …. hehehe 😀 Ya sudah, akhirnya cuma masuk ke beberapa rumah adat, trus pulang deh …
Pada kunjungan Februari 2009, aku carter mobil dan cuma berdua sama keponakan yang baru umur 22, jadi bisa lari-lari ke banyak obyek … Oh ya, Februari 2009 kayaknya kita belum kenal deh Ka 🙂
mbak tut mewawancara tukang keong emas ya? lha saya yg sering masuk TMII aja nggak ngerti lho sebenarnya udah berapa film pernah diputar di Keong Emas…biasanya saya hanya terkejut saja pas lewat Keong Emas, lho ada film baru tuh, nontoon…terakhir yg saya tonton “Journey to Mecca” kisah Ibnu Batuta itu….auk sekarang udah ganti apa belum?
Tuti :
Hehehe … nggak Mbak, saya cuma buka website http://www.keongemas.com
Di situs itu ada keterangan lengkap kok, judul film apa saja yang sudah pernah disewa Keong Emas. Wah, saya jadi pengin nonton lagi nih, lha dulu nontonnya tahun 1978 …. sudah 30 tahun lalu 😦
Wah benar juga usul bunda Dyah, mbak Tuti. Gimana postingan mbak Tuti ini di kirim ke tmii atau postingan mbak Tuti ini sekalian dilink dengan webnya taman mini, pasti jadi tambah ok, karena para pembaca akan semakin mendptkan info yang lengkap tentang tmii yang patut kita banggakan ini.
Karena setahu saya webnya taman mini isinya masih kurang lengkap. Kalau nggak salah baru berisi cerita tentang Anjungan. Postingannya terasa masih sangat kurang.
Dan minggu lalu, ketika saya buka web tmn mini, foto yang di muat pada anjungan kepulauan Riau itu kayaknya ada kekeliruan dech. Fotonya nggak maching sama artikelnya. Dan sepertinya sudah agak lama nggak diedit oleh pihak tmii.
Ok, mbak Tuti, sekian dulu obrolan paginya.
Rencananya akhir bulan ini mau ke tmii juga, krn sdh lama juga nggak kesana sekalian mau lihat2 tempat yg masih belum sempt dikunjungi.
See you 🙂
best regard,
Bintang
Tuti :
Terimakasih usulnya untuk me-link artikel ini ke web TMII. Sebetulnya, saya mengambil data-data juga dari website TMII, karena pada waktu berkunjung ke sana, perhatian kan lebih banyak untuk melihat-lihat dan membuat foto. Jadi nggak sempat tanya-tanya, apalagi mencatat data detail.
Memang betul, wesite TMII masih kurang lengkap. Masing-masing anjungan/obyek belum digarap dengan baik. Ketika mencari data tentang Museum Keparajuritan misalnya, saya tidak memperoleh data yang saya inginkan. Saya mendapatkan datanya justru dari brosur tentang monumen dan museum TNI, yang untungnya waktu itu saya minta dari petugas museum.
Tentang foto anjungan Kepulauan Riau, saya belum lihat, Mbak.
Wah, selamat berwisata ke TMII besok di akhir bulan. Pasti senang sekali pergi bersama keluarga. Nanti diposting ya Mbak, hasil jalan-jalannya 🙂
salam hangat,
* Akhirnya nambah juga posting (terakhir??) seputar klinong2 di TMIInya…..suer saya memang tinggal di Jkt tapi tidak setahun sekali rekreasi ke TMII.
* Terimakasih info film di teater Imax yg sudah banyak film2 importnya mbak….menjadi pertimbangan untk nonton pekan depan ah…
Tuti :
* Memang begitu Mas Karma : orang yang tinggal di Jakarta sendiri malah belum tentu sudah pernah berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada di kotanya. Nah, kalau orang udik seperti saya, pergi ke Jakarta kan memang untuk mengunjungi tempat-tempat itu … 😀
* Selamat nonton, Mas Karma (jadi ngiri nih, saya nonton di Teater Imax sudah 30 tahun lalu 😦 )
terakhir ke TMII dua tahun yang lalu….ternyata banyak juga perkembangannya….jadi kepengin kesana lagi nih….Numpang bilang ke Ernut ya Mbak…” Nut, maukah engkau mengantarkan aku lagi ke TMII seperti 2 tahun lalu…pliss…”
Tuti :
Mbak Ayik, kalau mau ke TMII ngampiri saya ke Yogya ya, saya juga pengin ke sana lagi.
Kepada Mbak Ernut : Mbak Ayik bawa ajudannya dari Yogya boleh kan Mbak? 😀
Astaga tante.. dibayar berapa sama yang punya TMII, hihihi.. sekali posting lagi dapet gelas cantik, tante..
😀
Oooo… itu namanya Danau Arsipel (dari kata archipelago ya..). Wah seumur2 saya baru tau namanya. Saya bilangnya danau Indonesia 😀
Btw (klo boleh tahu) nonton di keong mas berapa duit ya tan? Mau nabung dulu.
Pengenn deh nonton di sana.. (rasanya tante udah bosen klo saya bilang 2 tahun yg lalu saya berkunjung ksana dalam keadaan bokek, kekeke..)
Tuti :
Hehehe … dibayar senyum ‘kali Pen 🙂 Tapi kalau dikasih gelas cantik, asal gelasnya secantik Narpen, mau juga deh … (loh, emang Narpen sama dengan gelas?)
Nah, pinter Pen … Arsipel kayaknya sih memang adaptasi dari kata archipelago. Kalau Danau Indonesia … wuah, besar banget dong? 😀
Harga tiket di Teater Imax Keong Emas untuk kelas ekonomi Rp. 30.000 dan untuk VIP Rp. 50.000. Nggak terlalu mahal kan? Di Plaza Senayan juga segitu … padahal di Keong Emas layarnya kan guedeee banget! Kalau belinya rombongan, bisa dapat diskon pula.
Jam pertunjukannya, untuk hari biasa adalah jam 12.00, 13.30, dan 15.30 sedangkan untuk hari libur adalah jam 10.00, 11.00, 12.00, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00. Setiap film berdurasi 40 menit (tuuh … saya kayak agen tiket kan? hihi … 😀 )
saya tertawa membayangkan bu tuti ketakutan sendiri di museum itu, hahaha… jadi ingat film “a night in museum”… 😀
membaca tulisan bu tuti ini, trus tambah lagi dengan komen dari nechan imelda, membuat saya semakin penasaran ingin mengunjungi tmii suatu saat nanti. kalau perlu satu minggu berturut-turut, agar semuanya terjelajahi, hehehe….
ssttt… jangan bilang siapa-siapa ya, saya belum pernah lho masuk ke keong mas, hahaha…
*menggulung tikar, karena cerita tmii dah kelar*
*membiarkan kulit-kulit kacang berserakan, berharap sang pemilik blog membersihkannya* 😀
Tuti :
Yaah … Uda kok gitu sih, saya ketakutan malah diketawain 😦 Tapi itu menjadi pengalaman bagi saya, untuk lebih berhati-hati kalau mengunjungi sebuah tempat. Kalau tempatnya sangat luas, sepi dan tertutup, saya nggak akan masuk kalau tidak ada pengamanan yang cukup. Aduh, ngeri saya membayangkan kalau waktu itu ada orang jahat …
Betul Da, butuh waktu seminggu penuh untuk menjelajah seluruh obyek yang ada di TMII. Oh ya, tambahan informasi, di kompleks TMII juga ada penginapan, jadi kalau kita berniat mengeksplor TMII selama beberapa hari, bisa juga lho menginap sekalian di sana.
Enggak Da, saya nggak akan bilang-bilang kok, kalau Uda Vizon belum pernah masuk ke Keong Emas. Jangan khawatir, pembaca blog ini tidak akan tahu (wakaka …. 😀 yang baca tulisan ini harap mendeletenya dari memory ya 😀 )
*garuk-garuk kepala melihat kulit kacang berserakan*)
…
Arsipel dan anjungan rumah adatnya apa sudah di update ya, karena pemekaran wilayah sekarangkan jumlah propinsinya bertambah..
Diartikel ini saya juga bingung bedain mana riau daratan sama riau kepulauan..
…
Tuti :
……
Kayaknya … anjungan Riau belum dipisahkan antara Riau daratan dan Kepulauan Riau. Iya betul, anjungan rumah adat memang sudah perlu di up date. Usul ke pengelola TMII yuuk Ta …
……
Puassss banget saya bacanya Mbak, terimakasih…….
Tuti :
Saya juga puas sudah memenuhi request Mas Nur menulis tentang Keong Emas 🙂
*buru-buru nyusul uda meninggalkan lokasi, takut disuruh bersih-bersih*
sebelum ngacir:
plok plok plok plok tepuk tangan buat reportase yg lengkap ttg TMII
terima kasih atas sharingnya Ibu…
*kacian deh gw yg blm pernah ke TMII*
Tuti :
*membayangkan Bro Neo ngekor Uda Vizon kemana-mana*
Wah, baru tahu saya …. ternyata dua bapak ini kayak anak kembar, kemana-mana kompak manis 😀 Yang satu dipanggil Uda, yang satu disebut Bro … artinya sama. Tapi, Bro Neo kayaknya lebih cocok dipanggil ‘Kang’ deh, atau ‘Mas’, lha wong orang Jogja gitu lho … 🙂
supaya nggak dikasihani, pergi deh ke TMII Bro 🙂
triloginya sudah komplit.
Keknya kita memang perlu rajin menuliskan tentang kekayaan kita sendiri. Kayak tentang TMII ini
Tuti :
Kalau mengenai isi TMII, dari trilogi ini masih sangat banyak yang belum tercover. Silahkan teman-teman menulis tentang isi TMII yang belum sempat saya ulas.
cerita perjalanan bu tuti komplit ya.. wah engga kebayang tuh, gimana capeknya keliling tmii. lha wong saya aja kalo ke tmii palingan sehari cuma dapet 2-3 tempat doang (terlalu menikmati kali ya,hehehe..) . ngomong-ngomong itu tempat-tempat yg bu tuti kunjungi, dikunjungi dalam waktu sehari? untuk saran, kenapa engga dimasukkin bu, salah satu foto contoh properti yang dibuat oleh BKPBM? biar kita engga penasaran (maklum saya belum pernah masuk ke anjungan riau), hehehe..
Tuti :
Saya ke TMII 4 kali, jadi apa yang saya ceritakan di sini adalah ‘tabungan’ dari kunjungan tahun 1978, 2003, 2008, dan 2009. Tapi dokumentasi foto hanya ada dari kunjungan tahun 2008 dan 2009, karena pada kunjungan sebelumnya belum punya kamera … 😀
Contoh property yang dibuat oleh BKPBM tidak saya masukkan, karena benda-benda tersebut disimpan dalam kaca sehingga kalau difoto dengan flash akan memantulkan cahaya, sementara kalau tanpa lampu flash gambarnya gelap karena di dalam museum kurang cahaya … 😦
Saya nonton keong mas …
Baru dua kali …
Pertama … sudah lama sekali … ketika berkunjung ke taman mini
Kedua … ketika mengantar anak saya study wisata kesana …
Keong Mas adalah langganan tujuan wisata anak-anak ketika SD dulu
Salam saya Ibu …
(Betul kan apa kata saya … )
(banyak orang berpendapat bahwa tulisan ibu tuti ini bisa dijadikan sarana untuk lebih memajukan TMII …)
(paling tidak untuk merangsang orang datang ke sana …)
Tuti :
Om … Om nonton Keong Emas atau nonton di Keong Emas? (beda lho Om … 🙂 kalau nonton Keong Emas gratis, dan bisa kapan saja, tapi kalau nonton di Keong Emas bayar tiket Rp. 30.000 atau Rp. 50.000, dan ada jam mainnya … hehehe piss Om 😀 )
Alhamdulillah Om kalau tulisan saya bisa membuat orang ‘ingat’ lagi bahwa di Jakarta ada tempat wisata bagus yang namanya Taman Mini 🙂 Teater Imax Keong Emas itu lebih besar dan lebih bagus dari teater sejenis di Pulau Santosa, Singapura lho!
Salam .
waduh bikin hati puas dan merasa memiliki Budaya yang begitu banyak dan bagus-bagus …makasih mabk .
Tuti :
Lebih puas lagi kalau berkunjung langsung ke TMII Mas Doel 🙂
saya dulu ke sana ketika SMP, setelah itu belum pernah lagi..
Tuti :
Kalau dulu SMP, sekarang …? Sudah sarjana, mungkin? Kalau gitu sudah waktunya ke TMII lagi
Nek tak mat-matke, bentuk Keong Mas itu kayak Sydney Opera House tapi versi bulatnya. Tapi setelah dimatke tenanan, bentuknya malah kayak topi proyek (helm) yang ditumpuk2 ya, Bu? :))
Btw aku ngeri sama kereta gantungnya, itu kan sudah lama pisan ya, apa ada sistem pemeliharaan yang baik untuk mengurangi resiko kecelakaan akibat alat yang aus ya, Bu?
Tuti :
Iyo Don, aku juga mikir gitu lho 😀 tapi aku pernah baca, Opera House Sidney itu mengambil ide dari bentuk layar kapal ya? Jadi kesimpulannya, layar kapal = keong (lho??). Kalau aku malah melihat bangunan Keong Emas itu kayak gelungan rambut (konde) … hehehe …
Bener, aku kalau sekarang diajak naik kereta gantung, kayaknya juga ngeri. Pikiranku sama (loh, pikiran kita kok sama mulu sih?), pemeliharaannya bagus nggak ya? Kabel-kabelnya itu sudah pada karatan apa belum ya? Sudah 30 tahun lebih loh umurnya. Lha wong naik sky lift di Genting High Land (Malaysia) yang masih baru aja aku khawatir kabelnya putus je …
Seandainya saya
menjabat Menteri Pariwisata & Kebudayaan
saya akan memberi Mbak Tuti
apresiasi berupa
piagam penghargaan
dan uang pembinaan secukupnya……
hehehe…..
Pasalnya, Mbak Tuti sudah
cukup berjasa menyebarluaskan
khazanah dan objek pariwisata
kepada segenap penduduk negeri…..
🙂
Tuti :
Terimakasih Bang, tapi nunggu Bang Mike jadi Menteri Kebudayaan & Pariwisata kayaknya masih lama, jadi gimana kalau piagam penghargaan dan uang pembinaannya sekarang saja dari Bang Mike pribadi? 😀
memag benar, jika kita berkenan jalan2 ke TMII, maka kita kan menjadi semakin bangga sebagai Indonesia.
Kaya ragam budaya dan memang keindahannya tiada tara.
Pantas saja jika peradaban pertama di dunia dikabarkan di Indonesia.
Makasih bu, telah membuat saya bisa merasakan keindahannya. 🙂
Tuti :
Terimakasih Kang Achoey, sudah berkunjung ke TMII … eh, ke beranda saya 😀
Memang benar, TMII itu menyimpan ragam kekayaan bagsa kita. Makanya harus dipelihara baik-baik, dikembangkan dan dikunjungi beramai-ramai … 🙂
Tempat ngumpul Facebook’ers Indonesia.
Forum bebas bicara menyampaikan ungkapan cinta, keluh kesah, harapan, kritik, dan saran untuk bangsa ini.
http://www.facebook.com/pages/Republic-of-Indonesia/170068143639
Aku udah beberapa kali ke TMII. Tapi belum pernah ke museum Qur’an. Mudah2an suatu saat bisa kesana.
Tuti :
Aku juga belum ke Museum Qur’an … malah baru tahu kalau ada museum itu di TMII 😦
salut mbak…
semangat sekali meripiu perjalanan ke TMII nya
salam kenal ya mbak…
kunjungan pertama ne…
Tuti :
Iya ni, semangat empat lima ….
jadi malu, keliatan kalau orang udik ya 😀
salam kenal juga Berry, terimakasih sudah berkunjung …
Mba, postingannya bikin mupeng.
Dulu pas SMP pernah ke TMII tapi cuma sebentar, jadi kurang menikmati.
Mudah2an lain kesempatan bisa kesana lagi.
Masa kalah sama mba, udah kesana 4 kali hehe.
Oiya aku izin link blognya yaa mba, aku suka blognya 😀
Tuti :
Haha … bikin mupeng ya, bukan hapeng (hati pengin?)
SMP itu berapa abad yang lalu, Desi? 😀
Nah, sekarang musti ditengok lagi tuh TMII, mungkin sudah beda sama yang Desi lihat dulu.
Silahkan link blog saya, tapi maaf, blogroll saya nggak bisa muncul di layar, jadi bukan berarti saya nggak nge-link blog Desi juga lho …
Bu Tuti hebat banget!!! alur ceritanya asyik…gak bosen baca sampe akhir…walaupun panjang 😛 *untung ada foto2nya juga*
ternyata TMII gak kalah dengan genting higland nya malaysia ya bu 😀 Bravo indonesia !!!
Tuti :
Cieee …. yang udah ke Genting Highland 😀
Tapi emang betul, obyek-obyek wisata di Jakarta itu nggak kalah sama di Malaysia dan Singapura kok. Sea World Jakarta juga lebih bagus dibanding sea worldnya singapore yang adadi Pulau Sentosa. Permainan di Dufan lebih hebat dari di Genting.
Mbak Tuti, waktu ke Anjungan Riau sudah lihat “Jalur” belum? Itu perahu yang panjang banget? Boleh di lihat di blog saya, silahkan mampir
http://catatan-pakngah.blogspot.com/search/label/Riau
Salam
Tuti :
Saya sudah berkunjung ke blog Pak Ngah, sudah lihat foto jalur yang panjangnya 25 – 30 meter, tapi ternyata susah meninggalkan komentar. Kayaknya sistem di blogspot tak se’userfriendly’ seperti di wordpress. Tapi beberapa teman lain yang memakai blogspot bisa lho menyediakan fasilitas komen yang gampang bagi pengunjung. Mungkin ‘buku tamu’ di blog Pak Ngah perlu sedikit dibuat lebih ‘terbuka’ … 🙂
Ya ampun ibu tuti rajin bangat…tapi aku mau trima ksih bangat nich..soalnya klo engga ada orang yang rajin nulis artikel tentang kekayaan indonesia entar anak cucu kita engga punya sejarah…ayo bu lanjutkan perjuangan ibu mencari kekayaan indonesia yang belum banyak orang ketahui ….
Tuti :
Terimakasih, Lina 🙂
Memang, semakin banyak kita melihat Indonesia, semakin kita mencintainya. Semoga sedikit yang saya tulis bisa memberikan manfaat. Sudah pasti akan lebih bagus lagi kalau kita bisa melihat dan mengalami sendiri keindahan tanah air kita, bukan hanya dari membaca. Jadi, mari mengenal Indonesia!
indonesia sebenar nya sangat luar biasa,,
apa lagi kepriwisataan nya
Tuti :
Betul sekali, makanya harus kita kenali, kita rawat, dan kita cintai milik kita sendiri …