PARA PRIA PEMANJA LIDAH
Ketika seorang keponakan laki-laki saya, waktu itu kelas 3 SMP, menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMK Jurusan Boga, kami semua tertegun. SMK? Jurusan Boga? Plis deh …
Bukannya apa-apa, dalam sejarah keluarga kami, mulai dari saya sesaudara kandung, sampai ke anak-anak kakak saya, tidak ada satupun yang masuk SMK. Semuanya melanjutkan ke SMA, lalu perguruan tinggi. Lha kok ini ada satu keponakan yang nganeh-anehi, punya keinginan masuk SMK. Jurusan Boga lagi. Padahal dia laki-laki, cukup tampan, dan lumayan pinter. Duh Gusti Allah …. cobaan apa gerangan yang Kau turunkan kepada kami (eh, nggak ada yang ngomong gitu ding … lebay buuk!)
Kalau keponakan ini memilih SMK Jurusan Bengkel atau Perlistrikan, mungkin masih rada masuk akal. Tapi Jurusan Boga? Urusan masak-memasak?
Setelah berembug dengan saudara-saudara, meminta pendapat dan saran dari kami, kakak saya menyarankan agar putra tersayangnya masuk ke SMA saja. Selain belum ‘rela’ sang putra menghabiskan hidupnya di antara asap dapur (hahah… lebay lagi!), kami juga ingin memberi bekal pengetahuan umum yang cukup terlebih dahulu kepada anak ini, sekaligus menguji kemantapan hatinya. Kalau sudah terlanjur masuk SMK Jurusan Boga, lalu dia berubah pikiran ingin menjadi dokter atau insinyur, kan repots! (bah, kenapa sih selalu dua profesi itu yang dibanggakan orang tua? emang jadi polisi yang nyemprit di jalan itu nggak membanggakan?)
Anak yang baik ini menurut. Dia melanjutkan ke SMA, dan masuk ke jurusan IPA. Nilai-nilainya lumayan bagus. Lulus SMA, dia kembali menyatakan keinginannya untuk kuliah di Jurusan Boga. Kali ini kami tak bisa berkata apa-apa lagi. Tampaknya dia memang mantap dengan pilihannya. Kami pun tak mau lagi menghalang-halangi dia mewujudkan cita-citanya : menjadi chef. Ya, dia memang suka makan. Maka dengan sepenuh hati, kami semua mendukung pilihannya. Sekarang dia sudah hampir selesai kuliah di akademi pariwisata jurusan boga, dan sedang magang di sebuah hotel yang cukup besar di Yogya.
Sejak keponakan ini mantap terjun di dunia masakan, saya mulai menaruh perhatian pada para pria yang hidup dari memasak. Kebetulan pada saat ini ada tren baru di televisi, yaitu menampilkan para chef pria. Sebut saja Edwin Lau, Bara Pattiradjawane, Rudy Choirudin, William Wongso, dan masih sederet lagi nama-nama ‘pria lezat’ lainnya.
Yang menarik, berbeda dengan pria yang terjun di dunia mode atau kecantikan, yang cenderung ‘kemayu’ dan ‘melambai’, pria-pria jago masak ini penampilannya tetap ‘lelaki beneran’. Pernah lihat Edwin Lau? Ini dia fotonya. Wow, six pack man … (awaaas, teman-teman perempuan jangan melotot! hehe … )
Edwin Lau, menyabet gelar Runner Up ke 2 Mr. Indonesia 2007 (foto : dari sini)
Pria ‘lezat’ (masakannya, maksud saya … hihi) dan berotot ini lahir di Makassar, 16 Nopember 1982. Selain ahli masakan sehat, dia juga seorang presenter, personal trainer, model, drummer, dan penulis buku “Super Sehat Dalam 2 Minggu”. Edwin menempuh pendidikan D3 Perhotelan, dan pernah bekerja di hotel Ritz Carlton Bali. Pada saat ini, chef ganteng ini mengasuh acara “Healthy Life” bersama Soraya Haque di stasiun Metroteve. Saya suka nonton acara ini, karena selain informasinya bagus, pembawa acaranya cantik dan gagah. Yang menarik juga, di acara ini Soraya justru tidak masak, dan dengan bahagia menjadi tukang icip masakan Edwin.
Edwin Lau (paling kanan) memasak makanan sehat di “Healthy Life”
Selain Edwin, chef lain yang juga cukup dikenal di layar kaca adalah Bara Pattiradjawane. Pria kelahiran 7 Juli 1964 ini pernah lama tinggal di Eropa, dan mulai belajar memasak karena tidak puas dengan masakan juru masak di rumahnya. Kembali ke Indonesia pada tahun 90-an, ia mulai merintis karier di bidang isi perut. Karena suka makanan yang manis-manis, Bara menamakan home industry makanannya “Gula-Goela”. Nama “Gula-Gula” kemudian juga dipakai untuk acara masaknya di Transteve. Food stylist untuk iklan ini sudah menulis 4 buku masakan, yaitu “Puding Dalam Gelas”, “Creative Cooking Strawberry”, “Creative Cooking Apple”, dan “Creative Cooking Jeruk”.
Bara, pria macho penggemar makanan manis (foto : dari sini)
Nah, pria ketiga yang saya pilih (jiaah …!) adalah Om William Wongso. Nama lengkapnya adalah William Wirjaatmaja Wongso, lahir di Malang, 12 April 1947. Om yang satu ini benar-benar pakar di bidang kuliner, khususnya makanan Eropa dan Asia. Ia adalah pemilik Vineth Bakery, William Kafe Artistik, dan William Gourmet Catering. Om William juga ahli di bidang wine (meskipun saya tidak akan bisa mencicipi wine yang direkomendasikan Om William karena saya tidak minum minuman beralkohol). Acara icip-icip Om William di televisi adalah “Cooking Adventure With William Wongso”.
Om William, pakar kuliner Eropa dan Asia (foto : dari sini)
Secara tradisional, memasak adalah dunia perempuan, tugas utama kaum ibu. Konon (zaman dulu sih … ) perempuan tak berhak disebut perempuan kalau tidak bisa bikin sambal. Sebenarnya ini adalah konsep budaya yang bias jender. Hayah, bias jender? Ya, konsep bahwa perempuan harus bisa masak ini adalah bias jender (laki-laki harus bisa apa ya? manjat genteng? yeeiy … kalau gentengnya ditaruh di tanah, saya juga bisa! maap sodara-sodara, penulis ngelantur … ). Ntar dulu, jender itu apa sih? Jender adalah peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, dan bukan oleh kodrat. Perempuan di dapur, laki-laki di kantor. Perempuan menjahit, laki-laki nyambung kabel listrik. Perempuan melayani, laki-laki dilayani. Dan seterusnya. Dan sebagainya. Dan lain-lainnya …
Lha, kodrat perempuan itu apa? Kodrat perempuan adalah hal-hal yang sudah ‘build in’ dalam dirinya, yaitu : hamil, melahirkan, dan menyusui. Itu saja. Yang lain-lain (masak, nyuci, menjahit, dll) itu dikonstruksikan oleh masyarakat. Masyarakat yang ‘bilang’ begitu. Terbukti, pekerjaan-pekerjaan itu bisa juga dikerjakan oleh laki-laki dengan sama baiknya. Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan ‘khas’ laki-laki seperti menebang pohon, tambal ban, tukang batu, juga bisa dikerjakan oleh perempuan. Tergantung di masyarakat mana mereka berada.
Kembali ke dapur. Saya pernah mengungkapkan keheranan saya, mengapa chef-chef handal yang menguasai dapur hotel bintang lima dan restoran kelas dunia, justru hampir semuanya pria? Padahal, konon memasak adalah dunia perempuan. Saya memperoleh dua jawaban (entah betul entah tidak, belum dikoreksi Pak Guru sih … ). Pertama, karena peralatan memasak di dapur hotel dan restoran itu berat, sehingga membutuhkan banyak tenaga untuk menjadi chef yang harus secara cepat menyajikan berbagai masakan pesanan tamu. Kedua, memasak dipengaruhi oleh emosi. Jika sedang bad mood, rasa masakan pun akan kurang sedap. Nah, pada waktu menstruasi, perempuan sering mengalami bad mood, sehingga kalau pada hari itu dia bekerja di dapur, masakan yang dihasilkannya bisa-bisa membuat tamu meninggalkan piringnya dengan kening berkerut …
Dengan melihat profil chef-chef handal di atas, saya bangga keponakan saya dengan mantap memilih profesi sebagai juru masak. Ohya, belum saya perkenalkan dengan keponakan saya ya? Namanya Aan, tinggi 170, berat 85 kg (ha??!! belum jadi ahli masak sudah seberat ituu … ??). Ohya, dia juga atlet dansa ballroom, dan sudah pernah mengikuti berbagai kompetisi dancesport, nasional maupun internasional. Pokoknya asyik lah berpasangan dengan dia, dijamu makanan enak, diajak dansa …. hahaha (buliknya jadi Mak Comblang nih …!)
Yeiiy … mana makanannya? Kok cuma air sama kerupuk doang?
Belakangan, Aan bilang kalau dasar-dasar memasak justru lebih banyak diberikan di SMK, sementara di akademi lebih banyak diberikan pengetahuan umum perhotelan dan pariwisata. Di SMK, praktek memasak dilakukan hampir setiap hari. Aduh, saya jadi nyesel dulu tidak mendukung dia masuk SMK …
(asli tulisan sendiri, diramu dari berbagai sumber)
(maaf) izin mengamankan PERTAMA dulu. Boleh kan?!
Persepsi dalam masyarakat kita sepertinya masih banyak yang keliru. Masak memasak sepertinya masih dianggap pekerjaan perempuan padahal seperti yang embak sampaikan koki-koki handal kita (bahkan dunia) mayoritas adalah cowok.
Tuti :
Betuuull … !
Btw, Mas Al bisa masak nggak? 😀
yuhuiiii kedua ik…(jarang buanget bisa gini, sampai siyul2 sambil tepuk2 pipi)…
yup chef di hotel2 bintang tuh biasanya co….roti terkenal Itali yg namannya Pannetoni ternyata artinya : roti milik toni..karena penciptanya ya mas Toni itu…..
tukang2 kue yg handal juga co2 macho looh…guru kueku disini juga co …tapi mbikin kuenya jago banget kaya pelukis
dan juga yg ngajarin aku fruit carving di bali adalah pak Made…lagi2 co
Tuti :
Yuhuiii …. seneng buanget Mbak Wieda langsung komen nomer dua (nggak lagi masak ya Mbak? 😀 )
Jadi, ‘hukum masyarakat’ bahwa memasak itu adalah dunia perempuan, terbukti salah ya Mbak? Juga nggak bener anggapan bahwa memasak itu adalah pekerjaan feminin. Memasak itu berat loh, capek …. (apalagi nyuci-nyuci peralatan sesudah selesai masak … haduh, ampyuun!).
Salut buat para ahli masak!
*berharap dimasakin uenaak sama Mbak Wieda … 😀 *
udah jadi fenomena umum sepertinya mbak, orang dah gak pada heran klo laki2 jago masak. bahkan terkadang wanitanya pun kalah, entah apa penyebabnya. Padahal jika kita lihat secara global, bukankah ini berarti adanya pergeseran nilai dalam masyarakat …
tapi ya sudahlah, bukankah hidup adalah pilihan, bila itu tidak negatif, kenapa musti disalahkan. Mungkin yang ada ya para wanita ini yang jangan mau kalah sama lelaki dalam keahlian yang harusnya merupakan “bidang” wanita. Mbak tuti, kutu kangen, hee
Tuti :
*tersenyum simpul*
Quote : Mungkin yang ada ya para wanita ini yang jangan mau kalah sama lelaki dalam keahlian yang harusnya merupakan “bidang” wanita
Kayaknya Kutu perlu baca tulisan saya lebih cermat lagi deh … hehe …. 🙂
Haaa …. Kutu kangen saya?
*duduk tumpang kaki sambil kipas-kipas* 😀
wahhhh kalau di sini sih ngga ada lagi jender-jender mbak. Aplagi bidang masak. Perempuan masak pakai hati, nama masakan yang sama, dengan bahan yang sama, hasil hari ini dengan besok akan berbeda. Tidak akan bisa sama. Dan itu tidak boleh jika mempunyai usaha restoran. Harus sama rasanya sepanjang hari dalam setahun. Dan itu biasanya cuma pria yang mampu melakukannya.
Di jepang ada yang istilah namanya katei ryori (masakan rumahan) atau ofukuro no aji (rasa ibu/ nostalgia masakan mama). Masakan ini mengingatkan pada rumah, bukan restoran, sehingga kita bisa “menikmati” masakan rumah, dan bisa berharap rasanya berbeda-beda setiap hari, dengan bahan yang berbeda-beda.
EM
Tuti :
Jadi jawaban kedua yang saya peroleh, atas pertanyaan kenapa chef hebat itu adalah para pria, betul ya Mbak? Kalau gitu, tugas memasak sebaiknya kita limpahkan saja kepada para suami dan bapak ya … 😀
Di Yogya (mungkin di beberapa tempat lain di Indonesia juga), sekarang juga sudah banyak resto dengan masakan seperti katei ryori atau ofukuro no aji, meskipun yang tampak jelas baru pada nama restonya, seperti “Dapur Ibu”, “Selera Ibu”, “Bumbu Desa”, “Mbah Jingkrak”, dll. Kalau di warung-warung kecil (terutama di daerah kos-kosan mahasiswa), menu masakan yang disajikan memang banyak menu ‘rumahan’, bukan menu resto. Selain murah meriah, rasanya juga sama seperti makan masakan dari dapur rumah sendiri.
Hiahahahahaha…
soal masak memasak, saya pernah pengen bisa masak.. tapi karena makan itu lebih menyenangkan maka saya lebih memilih orang jago makan ketimbang jago masak…
Kalau saya ikutan masak nanti takut ponakanmu nggak laku, Bu… Lagian saya ndak usah pake masak ya udah manis *gubrak… mlayu*
Tuti :
Hiahaha … sama Don, aku juga lebih suka makan daripada masak (meskipun aku bisa masak lho! sumprit!). Masak, terutama menu Indonesia, itu lama dan capek … 😦 Tapi untungnya sekarang sudah banyak bumbu instan, jadi nggak perlu ngulek sendiri pakai cobek (huh, udah terbayang pegel dan keringatannya ngulek cabe … 😦 )
Nggak mau nyaingin ponakanku? Haha …. maturnuwun 😀 *mikir, gimana ya caranya membuktikan ke’manis’an seorang DV?*
kalo saya pastinya pria pemanja lidah sendiri
wakakakakak… yu no wat ai min lah… bentuk tubuh tak bisa menipu
bukan hanya yg terkenal dan di hotel-hotel bu tuti, di restoran atau rumah makan biasa aja, kebanyakan kokinya juga pria, apalagi rumah makan chinesse food, jarang sekali yg kokinya wanita.
trus gambar-gambar orang dg topi koki (itu tuh topi yg tinggi, putih atasnya mlembung) kebanyakan juga pria, jarang lihat gambar wanita pake topi begituan
*ngebayangin menikmati masakan keponakan bu tuti*
Tuti :
Iya … ini fenomena yang kontradiktif ya Bro. Di satu sisi, memasak dianggap sebagai dunia wanita, tapi di sisi lain, jago-jago masak profesional adalah para pria … 😦
Tentang bentuk tubuh, bukan karena hobi makan kok Bro, tapi karena asupan lebih banyak dari pada yang terpakai (apa bedanya, hayo … ? 🙂 )
*Keponakan saya pasti nggak bisa tidur nih, dibayangin Bro Neo … 😀 *
bu tuti, judulnya bikin deg2an..pria lezat? kirain udah g doyan nasi,,hehehe
salut untuk pria2 yang memilih memasak sebagai jalan hidupnya…karena menurut saya memasak butuh ketelatenan dan perasaan..
mesti telaten ngupas, ngiris bawang/cabe, ngulek..
apalagi klo chef mesti menampilkan sajian yang g cuma enak tapi juga cantik,,garnishnya itu lohh,,,padahal kadang g dimakan cuma jd hiasan doang..
mesti dengan perasaan (meski kadang pk ukuran juga sih) nambahin garem, gula, merica, dll biar masakannya punya rasa yg pas di lidah..
jadi, kapan nih qt bisa icip2 masakan ponakannya bu tuti?
;p
Tuti :
Hahaha … deg-degan ya, Fat? Bagi saya, yang paling lezat masih nasi kok, jangan khawatir … 😀
Ya, memasak itu butuh ketrampilan, kesabaran, dan juga sentuhan hati. Makanya, yang cocok sebenarnya perempuan. Tapi ternyata yang bisa masak dengan profesional justru laki-laki …
Icip-icip masakan ponakan saya? Mau yang harga berapa? (lho, belum-belum kok sudah pasang tarif … 😀 )
Hahaha, asli setelah baca postingan mbak TUti ini saya ketawa-ketiwi sendiri…ternyata jaman sudah kewolak-walik yach mbak…Dulu yang masak para perempuan..skrg kebanyakan laki2…..Termasuk dunia yang saya geluti sekarang, dulu banyak didominasi oleh laki2…tapi sekarang para perempuanpun ternyata mulai menjamur….Seru-seru…
Sekedar cerita nich mbak….
Ini dari pengalamanku pas udah nikah, justru yang pinter masak & sering ngajarin masak adalah suamiku, hahaha…..(maklum lama jadi anak kost jadi makan ma…selalu beli / catering…hihihi)
(Ternyata mertuaku punya usaha catering, so suamiku jago masak dan bikin kue krn sering bantuin sang mama & kelnya….pokonya hasil masakannya nikmat & asyik….)
Tapi terkadang yang bikin sebel….kalo abis masak saya yang harus turun tangan bantuin si mbak beres2 pekakas yang dipakai buat masak….
Untungnya itu terjadi pada hari Sabtu / minggu doang & kalau kepengin masaknya suami lagi kumat….hahaha….
Tapi itu dulu cerita lalu mbak….akhir2 ini suami sudah jarang masak mbak…mungkin krn saya hari Sabtu atau Minggu udah sering masak menu spesial buat mrk (ceritanya skrg saya udah lumayan pinter utk urusan masak….hahaha…rada lebay & ngarang…hihihi.),
So mrk tinggal pesen ketika malamnya untuk minta dimasakan apa utk makan besok (Sabtu / Minggu doang)…
Ternyata setelah rada bisa masak saya yang mesti jadi coki juga….But it’s ok….Demi menyenangkan hati keluarga….
Hem…kalau mampir ke Jogja lagi…gimana kalau kita masak bareng mbak….Mbak Tuti ajak “Aan” sang keponakan yang jago masak itu, saya ajak suami…Nah kita para perempuan tinggal icip-icip….gimana mbak….wakakak ????
Best regard,
Bintang
Tuti :
Sebenarnya jaman bukan kewolak-walik Mbak, tapi berubah … 😀
Wah, senangnya Mbak Linda punya suami yang pinter masak. Bisa order masakan ini-itu dong. Soal nyuci-nyuci peralatan yang habis dipakai masak suami, gak papalah …. kan sudah dibantu masak … hehehe. Tapi Mbak Linda sekarang sudah pintar masak juga ya. Kapan-kapan ngundang saya makan dong Mbak, nanti saya bantuin nyuci peralatan deh … 😀
Ide bagus, Mbak … suami Mbak Linda dan keponakan saya masak, kita yang icip-icip … yuhuiii … 😀
salam hangat,
Selalu menyenangkan membaca tulisanmu mbak Tuti….
Hmm orangtua memang aneh, walau saya tak menyalahkan….karena saya juga mengalaminya sendiri, takut sekali jika anak-anak nantinya tak bisa hidup. Suamiku sempat stres dan stroke, karena si sulung ingin masuk ke suatu fakultas yang menurut suami (juga menurutku) tak menjamin kehidupan si sulung nanti….waduhh ini benar-benar perjalanan yang menyulitkan, dan setelah membaca bukunya DM (Selamat datang di pengadilan) saya menjadi tahu sisi pandang seorang anak pada orangtuanya. Keduanya sama-sama ingin yang terbaik bagi kehidupannya kelak…tapi kalau sudah menjurus, sama seperti yang dikawatirkan keluarga mbak Tuti, jika ditengah jalan ingin pindah, bagaimana…kan sulit untuk mundur lagi, apalagi ada batas umur untuk masuk PTN.
Btw, gara-gara ada tayangan di TV tentang masak memasak, bersama pria-pria ganteng ini…bungsuku juga menjadi mau terjun ke dapur sesekali….dan dia punya bukunya Bara…
Memasak sekarang tak hanya sekedar rasa, namun juga tampilan, juga prosesnya.
Mbak ..masih ingat nggak? Dulu di Intisari selalu ada cerita Dokter Tanzil yang keliling dunia bersama isterinya yang pintar masak itu, dan dimana-mana mempraktekkan memasak. Saya senang membaca cerita itu….
Tuti :
Memang ada kalanya diperlukan ‘tawar-menawar’ soal pilihan sekolah dengan anak ya Mbak. Tapi sebenarnya kalau kita memberikan kepercayaan kepada anak, dia akan bertanggung jawab pada pilihannya kok. Kita cukup memberi pandangan, kalau kamu masuk ke jurusan ini, maka prospeknya begini. Kalau ke jurusan itu, prospeknya begitu. Siap nggak dengan pilihannya?
Saya sendiri beserta saudara-saudara saya tidak pernah diarahkan begini-begitu oleh orang tua. Semua bebas menentukan pilihan masing-masing. Salah seorang sepupu saya dipaksa orang tuanya memilih jurusan yang tidak dia sukai (karena menurut orangtuanya prospek jurusan itu sangat bagus). Apa yang terjadi? Dia stress berat, dan akhirnya terganggu jiwanya hingga tak pernah selesai kuliah. Sampai akhir hidupnya, sang ayah sangat menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur …
Haha…., Bu Tuti memang ratunya postingan yg mencerahkan. Toss dulu, Bu. Kali ini pemikiran kita sama lagi 😉
Saya udah bilang kalo gak bisa masak kan, Bu? Keahlian masak saya cuma utk masak air dan Indomie goreng 😆 Minggu lalu saya masuk dapur utk goreng kerupuk, minyak yg sedang saya panaskan itu meletup, meningalkan beberapa bekas warna coklat di lengan kanan. Maka saya putuskan sampai di situ saja pertemanan saya dengan dapur. Sekian dan terima kasih. Kayaknya kami memang tidak berjodoh
Membaca postingan ini, terus terang saya lebih tertarik pada respon keluarga keponakan Ibu yang ‘kurang berkenan’ pada pilihan pendidikan yg diinginkan putranya. Sedikit de javu, hal yg sama saya alami waktu diterima di S1 Sastra Jepang. Bukannya menyelamati anaknya yg lulus UMPTN, ortu saya malah sibuk milih2 pendidikan Diploma 3 Ekonomi utk saya double kuliah. Takut saya susah dapat kerja 😆 Padahal sekarang, justru keahlian bahasa Jepang yg msh langka ditemukan di Jakarta itulah yg menjadi andalan saya 😉 Saya berasumsi, kebanyakan orang tua Indonesia masih terpatri dengan konsep alur kehidupan jaman Orba. SD – SMP- SMA – Kuliah – PNS
Kuliahnya kalo bisa ya ambil jurusan yg gampang dpt kerja, ekonomi – teknik – hukum. Kalo kaya atawa mampu, ya ambillah kedokteran. Setelah lulus, jadilah PNS, insinyur atau dokter. Padahal insinyur skrg malah rame2 masuk Bank. Sampai2 sebuah universitas negeri di Bogor yg mengedepankan teknologi pertanian namanya diplesetkan orang jadi ‘Institut Pencetak Bankir’ 😆
Eniwei, drpd jd kepanjangan, saya ucapkan semoga berhasil buat keponakannya ya, Bu. In the end, ia berhasil juga menjadi yg ia cita-citakan, yg sesuai sengan bakat dan kemauannya. Semoga berikutnya ia bs menjadi putra yg membanggakan keluarga 🙂 Kapan-kapan saya ke Jogja, gmn kalo kopdarnya di rmh Ibu aja, sekalian mencicipi masakannya Aan gitu? *;) ngarep.com*
Tuti :
Toss! Hiyah … kayaknya mama Lee dulu ngefans sama saya ya waktu hamil Lee, jadi Lee banyak kesamaan dengan sama … wakaka 😀 *ge-er.com*
Lee sekalinya goreng kerupuk kena letupan minyak di tangan? Waw … apalagi kalau jadi chef, bisa-bisa habis ya tangan Lee di’makan’ minyak … 😦 Tapi maaf, saya terpaksa ketawa waktu baca komen ini. Bukan ngetawain tangan yang kena minyak panas, tapi geli aja lihat ‘permusuhan’ Lee dengan dapur 😀
Tentang keponakan saya, sebenarnya cuma pada awal-awal saja kami kurang yakin. Maklum, dia kan baru kelas 3 SMP, jadi kami pikir keinginannya masih berubah-ubah. Tapi sekarang, semua keluarga mendukung kok.
Nah, pilihan Lee sendiri hebat loh. Sastra Jepang memang bukan pilihan yang ‘umum’, tapi terbukti sekarang justru sangat dibutuhkan. Mbak Imelda Coutrier (Lee sudah pernah ke blognya belum ya?) kalau nggak salah juga alumnus Sastra Jepang UI.
Terimakasih dukungannya untuk Aan. Semoga saja dia kelak bisa sukses seperti chef-chef hebat yang sekarang sudah populer. Amin …
Pengin nyicipi masakan Aan? Ntar saya bilangin ke dia ya …. (hahah, padahal masih juga kuliah, belum jadi chef beneran … 😀 )
soal pria memasak, bagi saya tidak jadi soal. karena keluarga besar saya bergerak di bidang rumah makan, jadinya tidak dianggap menyalahi adat bila kami para pria turun ke dapur. 🙂
Aan yang Bu Tuti maksud itu yang pernah kita bertemu di Balai Melayu tempo hari itu bukan? Jangan-jangan makanan yang disuguhkan kemarin itu adalah hasil karyanya? Wuih… mantap tenan 🙂
Tuti :
Iya Da, saya tahu Uda pandai masak. Tapi kayaknya perlu dibuktikan dulu nih, supaya benar-benar yakin. Jadi, kapan ngundang saya makan-makan masakan Uda sendiri? *ujung-ujungnya … minta diundang makan, hah! 😀 *
Iya, itu Aan. Tapi makanan yang tersaji pada waktu itu bukan masakan dia, lha dia kan baru mulai kuliah, belum bisa masak … 🙂
atlet ballroom-dance sport ? mauuuuu!!! mau jadi partner dansa maksudnya. konon wanita bisa berdansa apabila leader-nya piawai membimbing. hehe.
duh, keren deh. pinter masak, pinter dansa, macho pula.
saya setuju bahwa kita harus membedakan antara kodrat dengan jender dan peran sosial, mbak. soalnya seringkali perempuan dirugikan kalau sudah urusan domestik dengan alasan kodrat. begitupun lelaki yang tertarik menjalani profesi yang selama ini dianggap feminin. mereka jadi terkendala oleh aturan yang dikonstruksikan oleh masyarakat.
padahal siapa saja berhal memilih profesi apa saja (yang dihalalkan) yang dirasa paling baik untuk dirinya kan, mbak?
Tuti :
Wawaw …. Uni suka dansa ballroom ya? Asyiiiik. Dalam ballroom, gentleman bertindak sebagai ‘frame’, sementara lady sebagai ‘lukisan’nya. Jadi memang bener, kalau framenya bagus dan kuat, lukisanpun akan kelihatan bagus …. 🙂
Tentang konstruksi sosial mengenai peran laki-laki dan perempuan, karena sudah berlangsung selama ratusan tahun, memang membutuhkan waktu lama untuk bisa merubahnya. Sekarang ini, bahkan mendengar kata ‘jender’ pun banyak laki-laki yang masih antipati, tanpa tahu makna yang sebenarnya. Mungkin banyak laki-laki merasa ‘terancam’ jika perempuan mendapatkan posisi setara (lho, artinya … mereka mau menang sendiri dong? 😦 )
..
Melihat background saya, mustinya bisa komen puanjang nih..
Tp daripada nanti menuh-menuhin, mending ntar bikin postingan sendiri aja deh..
..
Singkatnya saya dulu pernah jadi chef de partie II hot kitchen bagian french&italian food di sebuah hotel bintang 5 bintan resort..
Dulu saya yg paling muda lho, nggak nyombong buk..
Cuman pamer dikit..
Hi..hi..
Jadi, saya termasuk pria maknyuss..Dong..?
..
Tuti :
Kok nggak mau cerita panjang sih?
…..
Yaaah, Ata pelit
Iya deh, ditunggu postingnya ya. Nggak pake lama lho!
….
Wow, hewbaaaat! Ata dulu chef de partie II hot kitchen bagian french&italian food (kopi-paste aja, takut salah ngutip tulisannya … 😀 ). Mau dong icip-icip masakan Perancis dan Italia. Tapi untuk masakan Perancis jangan escargot ya (hiii … ngeri), dan untuk masakan Italia jangan spaghetti (lha wong udah keseringan makan mie instan je … 😀 ).
…..
Jelas, Ata termasuk “Pria Mak Nyuss’ (berotot juga nggak Ta? Hihi … 😀 )
oya ta?
wahh, kerenn… ^___^
ngomong2 chef de partie itu apa ya?
Tuti :
Chef de partie = kepala pesta ? *ngawur.com* 😦
Wah, untungnya saya bisa manjat genteng, bisa juga bikin sambel.. (cuma sambel doang sih, yang lain ga bisa, hehe..) Saya suka Bara Bu.. kalo dia masak, kayanya ‘fun’ banget dan keliatan enak dan cantik gitu kuenya..
Tuti :
Saya juga bisa manjat genteng (tapi itu tadi, kalau gentengnya ditaruh di tanah), dan bisa juga bikin sambal (asal cabe diulek jadi sambal kan … ).
Memang Bara banyak banget penggemarnya. Clara sudah pernah coba resep Bara?
Bu Tuti,
Kagum dengan Aan. Dia tau yang dia mau… !
Semoga sukses dan menjadi chef ternama.
CHEF SANJEEV KAPOOR menjadi terkenal karena berhasil memodifikasi kuliner India yang sarat bumbu menjadi hidangan lezat yang lebih light, demikian yang kubaca dari sebuah majalah… Semoga Aan juga menjadi Chef ternama dengan keunikan dalam mengolah masakan. Aah… Bulik Tuti ketiban rejeki icip-icip setiap kali Aan beraksi….hehehe
Tuti :
Iya Hen, aku juga salut. Sejak awal dia tahu persis yang diinginkannya. Yang tua-tua aja masih ragu … hiks!
Terimakasih dukungannya untuk Aan, semoga kelak terwujud.
Chef Sanjeev Kapoor? Waduh, saya belum pernah baca kisahnya. Hebat ya, bisa membuat masakan India yang rempahnya demikian ‘keras’ menjadi masakan yang bisa diterima lidah non India.
Semoga Aan kelak juga bisa begitu, mengolah makanan Indonesia menjadi lebih ‘menginternasional’. Tapi sekarang belum praktek sendiri nih, jadi saya belum bisa icip-icip … 😦
Mba Tuti kalo Aan buka resto atau tempat makan diumumkan ya? Trus harga khusus buat pengunjung blok mba Tuti….
Tuti :
Haha …. ya Mbak Suli, insya Allah. Mohon doanya saja … 🙂
* Kalau sering2 dipraktekan masak ya lama2 jadi profesional juga tuh mbak……apalagi keinginan terjun ke bidang itu lahir dari hati nuraninya.
* Semoga sukses ya…..dan bila kelak sudah sukses menjadi seorang chef dan sering tampil di tv, maka yang pertama saya ingat adalh mbak Tuti Nonka…..ohhh ini chef yang keponakan mbak Tuti khan….
Tuti :
* Memang, semua keberhasilan itu diperoleh melalui latihan yang terus menerus tanpa kenal putus asa jika menemui kegagalan.
* Terimakasih doanya Mas Karma …. wah, syukur alhamdulillah kalau kelak Aan bisa sesukses itu 🙂
Tiga Hal …
#1. Pria Lezat ???
iiiiihhhh … Ibu Tuti iniih … nakal deh weiceh …
(saya punya persepsi awal yang “tidak lurus” ketika membaca judul tulisan ini
#2. Mengenai Pembawa Acara kuliner …
entah mengapa … kok saya masih tetap lebih suka Farah Quinn ya ??
Voala … This is it … Udang Goreng Mentega ala Chef Farah Quinn …
#3 Mengenai Pilihan Studi … (ini serius)
Jujur … saya sebagai orang tua … juga kepinginnya mengarahkan anak saya ke jurusan tertentu …
(jujur saja … ada juga keinginan untuk mendengar decak kagum sodara atau tetangga … wah hebat ya anaknya masuk fakultas itu … dst)
But … jelas ini salah …
Bagaimanapun juga interest anak itu jauh lebih penting …
bagaimana dia bisa enjoy dengan apa yang dia lakukan …
kami sebagai orang tua hanya mengarahkan saja …
(dan ini susah)
(Mengarahkan dan Menyetir itu … dua hal yang tipis sekali bedanya …)
Salam saya Ibu …
Tuti :
#1. Wuih … Om iniiih, suka berpikir yang ‘tidak lurus’ ya … 😀
#2. Om suka Farah Quinn? Ya iyalah Om … percaya! Lha wong muda dan cuantiiik gitu loh! Soal penampilan, ya jangan dibandingkan antara Farah Quinn dan Om William Wongso. Kagak nyambung, Om 😀
#3. Tentang pilihan studi anak. Menurut saya sih orang tua hanya perlu memberikan gambaran seluas-luasnya kepada anak, kalau milih X kamu besok akan bisa jadi ini-itu, kalau milih Y akan punya prospek begini-begitu. Tapi untuk menyetir, kayaknya jangan deh Om. Biarkan anak memilih sendiri jalan hidupnya, dan latih sejak awal untuk bertanggungjawab atas pilihannya (haiyah … sok jadi orang tua deh saya … 😦 )
Salam saya juga Om, semoga the three boys akan menemukan pilihan yang sesuai dengan dirinya, dan juga keinginan bapaknya … 🙂
malahan sepertinya Farah Quinn jadi minoritas di kalangan chef, cowoknya yg lebih banyak
Tuti :
Ya Mbak. Semoga aja Farah Quinn akan diikuti oleh gadis-gadis lainnya …
hiyaaaa, tante kita seide-an (lagi) dehh.. aku juga pernah nulis ttg pria lezat (cuma bara dan pak bondan dink), tapi belum dipublish2.. masih sok sibuk. ehehehe.
tapi bedanya aku punya foto bareng mereka berdua lho..
*bangga*
aku suka deh acara2 masak kontemporer ini. bisa ditampilkan jadi lebih menarik dan lepas. acara masak2 tapi kok badannya masih bisa kebentuk gtu ya tan.. hihihi.
klo temen2 cowo biasanya doyannya yang farah quinn.
btw salut lho buat ponakan tante yang sejak usia dini sudah mengetahui minatnya kemana. soalnya aku sampai detik ini masih suka bingung sendiri tan..
semoga lancar ya bang aan.. kapan2 mau coba dong gratisannya 😀
Tuti :
Yeeeiy … Pen, tapi aku dulu kan yang posting? Jadi menang aku dong (ya iyalah, di bidang umur pun menang aku, Narpen nggak bakal bisa ngalahin sampai kapan pun .. hihi 😀 ). Tapi memang sih, aku nggak punya foto bersama salah satu Pria Lezat itu … *ngiri.com*
Kalau aku lebih suka nonton Edwin Lau. Ganteng dan cooool ….. wahaha! 😀
Iya, Aan itu memang lain dari yang lain. Eh, tapi umurnya baru 21 Pen, jadi kayaknya nggak usah panggil ‘bang’ deh … (kecuali mau minta gratisannya 😀 )
judulnya gak kuat…
Memang banyak kok laki-laki yang pintar masak, dan punya cita rasa yang tinggi. Contohnya suami saya. Istrinya kalah jauh dalam soal cita rasa dan keahlian masak-memasak.
walaupun laki-laki itu pintar memasak, dia juga punya banyak skill yang lain, misalnya listrik, elektronika, komputer, dll. Skill itu tergantung kepada orangnya saja, mau mengasahnya atau tidak
Tuti :
Haha … ! Judulnya ‘berat’ ya? 😀
Asyik dong Mbak Hilda punya suami jago masak.
(Hm … para pria tahu nggak ya, bahwa rata-rata wanita ternyata suka pria yang pandai masak?)
Bara Pattirajawane dengan Gula-gula-nya? Wah, itu acara TV yang saya tunggu kalau saya lagi pulang Bu. Maklum, cuma di Jogja dan di Madiun saya “punya TV”. Di Jakarta kami tidak punya TV hehe.
Menurut saya, dia itu pria yg menarik. Nggak cakep2 amat sih, tapi gayanya saat dia memasak itu membuat saya nggak bosan melihatnya. Wah, jadi mikir, perempuan mana ya yg beruntung jadi istrinya? Bisa makan enak tiap hari tuh! Hihihi. Jadi pengen … *loh? suamiku mau dikemanain ya? :p*
Dan Edwin Lau? Dia itu pria yg masuk tipe saya. Ganteng sangat. Masaknya juga jago. Sangat memperhatikan soal kesehatan (dan sepertinya masakan dia nggak jauh2 dari menu sehat ya, Bu?). Wiiiih …
Lalu Pak William Wongso… saya selalu penasaran melihat masakannya. Sepertinya uenaaak! 🙂
Btw, ngomong2 soal ortu dan anak, saya pikir wajar kalau ortu khawatir jika jurusan yg diambil sang anak nanti tidak bisa membuat sang anak menjadi mandiri dan justru hidupnya “sengsara”. tapi sepertinya dalam hal ini anak perlu dilatih untuk bertanggung jawab ya. jika memang dia sudah memilih A, sebaiknya dia konsekwen dg pilihannya. dan saya sudah sering menjumpai teman yg kuliahnya hanya menuruti ortunya saja. ujung2nya si anak malah molor kuliahnya dan kadang itu menjadi semacam “luka batin”. kasihan melihatnya.
Tuti :
Hihihi …. Kris dan Oni memang pasangan unik. Hare gene, nggak mau beli teve ….. 😀
Saya dulu sering nonton Bara, tapi akhir-akhir ini jarang. Saya lebih suka Edwin Lau. Memang dia ahli makanan sehat. Ahli membentuk tubuh juga, makanya ototnya terstruktur bagus begitu.
Tentang pilihan ortu untuk sekolah anaknya, sering kali ortu terlalu berlebihan mengkhawatirkan anak. Ortu menganggap anak nggak ngerti apa-apa, nggak punya pemikiran dan keinginan sendiri. Banyak ortu yang lupa, bahwa hidup anak adalah milik anak itu sendiri, bukan milik ortunya. Ada puisi Kahlil Gibran yang bagus sekali tentang “Anak”, yang menjelaskan hal ini. Kapan-kapan deh, pengin saya tulis …
setiap suami masak, saya selalu merasa ada bumbu yang beda, meskipun sebenernya sama aja
makanya saya protes berat beberapa bulan ini, karena kesibukannya, ndak sempet masakin sama sekali, hiks
ngomong2, pria yang suka memasak itu kok rasanya lebih cekci ya..cekci koncumci, hihihi
Tuti :
Ngiriiii … ngiri sama Ufi yang sering dimasakin suami 😦
Ehm ….. terbukti ya, ternyata banyak wanita yang suka pria yang pandai memasak. Woii, para pria, catet nih! 😀
quote: “Yang menarik, berbeda dengan pria yang terjun di dunia mode atau kecantikan, yang cenderung ‘kemayu’ dan ‘melambai’, pria-pria jago masak ini penampilannya tetap ‘lelaki beneran’…”
….mudah-mudahan mereka tetap pada fitrahnya sebagai lelaki.
Pengalaman saya, mereka yang bekerja di hospitality industry amat rentan dengan “pergaulan yang salah”, karena di lingkungan ini proporsi saudara-saudara kita “yang diberi keistimewaan” cukup banyak. Jangan salah kaprah, mereka yang secara fisik berpenampilan ‘lelaki beneran” juga bisa ‘suka sesama’. Peran keluarga untuk selalu mencurahkan perhatian kepada mereka agar mereka tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang salah, dan selalu mengingatkan agar mereka tetap pada fitrahnya sebagai lelaki.
Memang tidak perlu curiga berlebihan, tetapi jangan sampai mengabaikannya.
Saya pribadi lelaki yang suka masak, tetapi saya tidak tertarik untuk masuk ke ‘hospitality industry’ karena takut dengan pergaulan yang tidak sehat. apalagi saya emang punya ‘bakat’ untuk itu. lebih baik saya memilih pekerjaan yang membuat saya ‘aman’…
Salam
Beni
Tuti :
Waktu searching mencari bahan tentang Edwin Lau, saya kesasar masuk ke situs kaum gay. Waduh …. saya kaget banget membaca komen-komen mereka tentang Edwin. Kayak kucing lapar lihat tikus! Aduh …. saya buru-buru tutup situs itu …
Syukurlah Beni memilih pekerjaan yang menjauhkan Beni dari kemungkinan tergoda di lingkungan yang rawan. Semoga selalu terjaga di jalan yang benar ya.
Btw, hobi memasak Beni bisa disalurkan dengan membuka restoran sendiri lho. Nanti saya akan jadi pengunjung pertama 🙂
lanjut tante…
bahkan seorang sahabat saya, mulai terlibat homoseksual ketika kuliah pariwisata (perhotelan dan boga) dan semakin jauh ketika bekerja di hotel…bahkan di hotel itu ada komunitas gay-nya
Untunglah dia kemudian pindah kerja, menjadi PNS di Dinas Pariwisata. Saat ini dia telah menikah dan punya anak, tapi masih sulit keluar dari dunia itu, walaupun sudah jauh berubah, kadang dia masih saja melakukannya. Saat ini saya sedang mendampinginya untuk berjuang agar benar2 kembali kepada fitrah sebagai lelaki.
demikian tante, pengalaman saya, semoga bermanfaat. Intinya mereka “yang memiliki keistimewaan” jangan dibenci, tapi disayangi, menyayangi mereka agar mereka kembali ke fitrahnya.
Salam
Beni
Tuti :
Terimakasih sharingnya, Beni. Semoga menjadi tambahan pengetahuan bagi teman-teman pembaca blog ini (dan saya juga pastinya). Semoga juga teman Beni bisa segera benar-benar ‘lepas’ dari dunia lamanya.
salam,
Tuti
bu tuti, maaf lama ga berkunjung. maklum, akhir-akhir ini jarang blogwalking.
asiiik nice post khasnya bu tuti hehehe …
chef laki-laki emang lebih banyak ya bu daripada chef perempuan. padahal katanya masak-memasak dunianya perempuan. kenapa ya bu kok bisa begini?? sekarang juga profesi yang umumnya buat laki-laki seperti sopir taksi & sopir busway juga ada yang perempuan. mungkin sekarang sudah zamannya kesetaraan jender ya.
bener bu, kodrat perempuan itu ya cuma hamil, melahirkan dan menyusui. yang lain-lain seperti memasak, menjahit, mencuci pakaian itu ya masyarakat yang mengkonstrusikannya. dan sekarang tampaknya pengonstrusian itu sudah mulai bergeser dengan adanya kesetaraan jender.
bu tuti, kalo kita sudah terlanjur masuk SMK itu masih bisa melanjutkan ke perguruan tinggi ga? kalo masuk ke fakultas ekonomi masih bisa ga?
Tuti :
Nggak papa, Min. Blogwalking kan bukan kuwajiban, jadi nggak harus dikerjakan. Nggak blogwalking juga nggak melanggar undang-undang kok. Saya sendiri juga sudah lama nggak sempat blogwalking soalnya … (nah, ketahuan kalau ternyata perilaku kita sama … 😀 )
Memang begitulah, apapun profesi kita, asal kita senang mengerjakannya, dan pekerjaan itu halal, oke-oke aja kok …
Sudah terlanjur masuk SMK pengin ngelanjutin ke Ekonomi? Tergantung perguruan tinggi mana yang dipilih. Ada PT yang mau menerima lulusan SMK, ada yang tidak …
Bu, saya punya saudara ipar. Badannya tinggi kekar. Sangat macho. Bahkan ia atlet beladiri Tarung Drajat. Namun, ia ternyata sangat pinter memasak. Dulu sempat bekerja sebagai juru masak di beberapa hotel di Yogya. Istrinya yang lemah gemulai, justru tidak bisa masak. Nah, lho!
Tuti :
Itu bukti bahwa masak bukan semata-mata dunia perempuan. Juga bukti bahwa wanita nggak harus bisa masak. Cari aja suami yang pinter masak. Nah. lho! 😀
wah wah. .
setelah membaca blog dan komentar teman teman bulikku ini aku malah jadi ngekek dhewe. .
hwehehe. . 😀
komennya lucu-lucu,,
bagi semua yang mendoakan kesuksesanku,, terima kasih banyak. .
semoga sukses menyertai om om dan tante tante semua,,
🙂
sedikit sok tau,, kalo di hotel memang mayoritas chefnya pria,, apalagi itu hotel gedhe,, setara misalnya, hotel novotel,, sangat amat butuh tenaga gedhe dan extra untuk itu. .
itulah ngapa selain para pria mempunyai standar rasa yang tetap,, tenaga mereka sangat dibutuhkan. .
begitu critanya,,
semoga menjawab pertanyaan om dan tante yang bertanya-tanya mengapa itu terjadi. .
teruntuk bulik,,
makaseh promosine,, itung-itung tanggungjawab sudah tidak memperbolehkan masuk smk. .
hwehehe. .^e^
Tuti :
Haiyah, bisa aja kamu. Hayo, mana masakannya buat aku?
aku juga suka tuh bun liat cowok2 macho yg pinter masak..wew…kayaknya combinasi perfect!!!
biasalah persepsi kebudayaan timur memang wanita=memasak tetapi gak semuanya loh. Adikku yg paling bungsu itu kadang masak sendiri kalo pagi waktu dia bangun sarapan blom ada…hehehehe…ntah itu nasi goreng, telor dasar atau mie…pokoknya dia harus bisa masak sendiri *itu titah mamaku* hihihihi…
kenalin dunk bun ponakannya 😀
Tuti :
Adik Ria itu cowok ya? Bagus tuh, mama Ria bertitah begitu. Nah, kalau Ria sendiri, bisa masak nggak? (pastiiii dooong … Ria gitu loh! 😀 )
Setuju Ria, cowok macho yang pinter masak itu kombinasi yang perfect 🙂 (kalau cewek perfect kombinasi dari apa ya?)
Mau kenalan sama Aan? Boleh … klik aja langsung di blog dia 🙂
Iya ya mbak. Kenapa kalo urusan membanggakan keluarga harus selalu berkaitan dengan dokter? atau berbagai pekerjaan yang berkaitan?
Tapi seberapa ikhlas kita bisa mendukung anaknya tidak sekolah di tempat yang orang tua mau? Seorang teman Yessy yang yang amat sangat pintar dan Yessy sangka akan mengambil jurusan IPa, malah mengambil jurusan IPS. Alasannya cuma satu. kemampuan sering kali tidak dilatar belakangi dengan kecintaan dan rasa suka. Teman saya ini suka pelajaran geografi, sosiologi, pokoknya pelajaran yang gak akan di dapat di IPA. Semua keluarganya menentang keputusan teman saya itu. Bahkan sampai meminta pihak sekolah untuk tetap memasukkan teman Yessy itu ke IPA, padahal anaknya sendiri ingin masuk IPS.
Walaupun penuh perjuangan (yukk lebay ikutan mbak Tuti) akhirnya teman saya tetap mengambil IPS. Sekarang, taukah mbak dia jadi apa?
Dia mendapat beasiswa s2 di US untuk jurusan politik. Dan setau Yessy, saat ini dia juga sedang mendapatkan beasiswa S3….ck ..ck ….hebat benerrrrrrrrr….
Seandainya dulu teman yessy itu tetap mengambil jurusan IPA, mungkin hasil akhirnya gak gini kan?
Hehe…We’ll never know siy 🙂 Kali aja emang temen Yessy itu udah pinter dari sononya ya 😉 )
Tuti :
Iya, bener Yess. Ortu kadang memang egois ya. Mereka pengin anaknya jadi seperti apa yang mereka mau. Padahal, setiap orang (termasuk anak sendiri) adalah individu yang berhak penuh atas hidupnya sendiri. Tapi banya kortu yang merasa berhak ‘memiliki’ hidup anaknya. Ada yang bilang, kan ortu sudah berjasa menghadirkan anak ke dunia. Lho … emang anak minta dihadirkan sama ortunya? Bukankah kehadiran anak ini karena kehendak Tuhan?
Salut buat teman Yessy, yang akhirnya sukses dengan pilihan hidupnya sendiri.
Yessy sendiri, memilih profesi sesuai keinginan Yessy kan? Nggak percaya deh, kalau mama Yessy dulu meminta Yessy jadi pegulat …
Kalau aku, ciri khas masakanku ada 2 Mbak:
1. Kalau ngak keasinan ya, gosong.
2. Kalau nggak gosong ya, asin.
Mbak, salam buat Aan… Soale, namanya sama dengan nama mantan tunanganku yang diembat orang..hiks..hiks…
Tingginya juga 170, tapi nggak 85 kg… hahahahaha…
Tuti :
Hadooh … payah banget ciri khas masakan Dewi 😀
Salam buat Aan ntar aku sampein. Tapi nggak boleh bikin Dewi terkenang-kenang pada mantan tunangan lho ya (udah diembat orang juga, ngapain dikenang lagi 😦 ). Tingginya juga 170, tapi berat nggak 85 kg? Jadi berapa beratnya? 185 kg? Wadoooow ……. 😀
Dengan dorongan yang kuat pilihan itu tidak akan menjadi masalah. Bahkan chef terkenal pun kebanyakan didominasioleh para pria-pria lezat itu. Bukan masalah kan kalau pria itu bisa memasak masakan lezat.
Tuti :
Betul, sama sekali nggak masalah kalau para pria bisa membuat masakan lezat. Malahan para wanita akan senang, karena tugasnya ada yang mengambil alih … 🙂
Btw, tempe bisa juga dibuat menjadi berbagai masakan lezat, kan? 🙂
Wah kalo si Aan masuk ke bidang wanita, aku bisa dibilang masuk ke bidang pria, mbak. Meski ga secara langsung, aku banyak berurusan dgn mesin. Begitu beda ya jaman sekarang dan jaman dulu…
Tuti :
Waduh, Fanda banyak berurusan dengan mesin? Mesin apaan tuh? Mesin mobil? Mesin bubut? Mesin cuci? Atau mesin jahit?
Kalau aku sih penginnya punya mesin pencetak uang … 😀
1. jadi pengen bisa masak, kayaknya itu tidak dimiliki semua Pria..dan aku juga pengen menjadi pria lezat !!!
2. Syukur Alhamdulillah, saat menentukan bidang studi kuliah, orang tua menyerahkan full kepada diriku sendiri…tdk seperti saat kakak2ku masuk kuliah, masih ada campur tangan ortu..
sempat juga keinginan untuk jadi pemain bola, sayang waktu itu dijayapura tidak ada sekolah sepakbola, yang ada si ayah sangat mendukung minat saya akan olahraga (bola basket dibeliin, sepatu bola dibeliin hehehehe)
dan memang betul, biarlah anak yang menenuntukan minat dan bakatnya
Tuti :
1. Baguslah Dhal, kalau pengin bisa masak. Aku mau lho jadi ‘korban’ yang harus mencicipi masakan pertamamu … 😀
2. Nah, kalau gitu berterimakasihlah kepada ayah dan bunda, yang sudah membrikan kebebasan kepadamu untuk memilih bidang sekolah. Tentang cita-cita menjadi pemain bola, wow … hebat loh! Coba dulu belajar bola beneran, mungkin sekarang Afdhal sudah melanglang buana di dunia, menjadi pemain MU, Sampdoria, dll …. (atau, bisa juga jadi wasit garis … 😀 )
Saya juga sering merasa kagum dengan para pria yang piawai dalam memasak, meskipun selalu lebih kagum kepada para penjelajah kuliner yang piawai menerangkan masakan atau kudapan secara detail macam Pak Bondan Winarno, Bu Enita Triyana. Kedua orang tersebut bahkan jago juga dalam memasak.
Tuti :
Oh, Bondan Winarno jago masak juga toh? Kirain cuma jago makan doang … 😀 (maaf, Pak Bondan).
Mbak, setiap mampir ke sini tuh, aku selalu nglirik kategori “Buah Pena”. Setiap ngeliat angka 12 disitu, hatiku langsung “ches…”
yah… masih 12 aja dari taon ke taon….
Kapan ya Mbak, cerber nya disambung?
Plis….
Hitung-hitung hadiah ultah ku Mbak..
(Mbak Tuti *dengan muka garang*: minta hadiah kok maksa. Cuih..! )
Tuti :
Haduuh … penaku lagi keselip entah kemana, jadi untuk sementara nggak bisa berbuah … hiks!
Dewi ultah ya? Waw, selamat dong! *peluk dan cipika-cipiki* Pengin hadiahnya apa? Selain lanjutan cerber lho … 😀
Itulah namanya perjalan hidup yaa mbak , sebenarnya Aan telah punya mimpi hidupnya pada saat smp itu , dia telah tau kemana tujuan hidupnya kelak. Pada kebanyakan anak yang seusianya waktu itu hanya mengikuti kakaknya , anjuran kalo bukan perintah ortunya …..(jadi belum punya mimpi ! ) untuk masuk SMA dan seterusnya…..
Atau mimpi itu datangnya belakangan….sehingga bisa merubah jalan hidup seseorang……..seperti aku ( Hihh..)
Tuti :
Iya betul, Aan ternyata memang sudah punya mimpi sejak SMP. Kami saja, orang-orang tua di sekelilingnya, yang belum yakin dengan mimpinya itu. Syukurlah kesadaran kami tidak terlambat, sehingga akhirnya kami semua mendukung Aan mewujudkan mimpinya.
Memang mimpi Mia apa, yang merubah jalan hidup Mia sekarang?
setuju mba, bias jender udah meraja dengan lela, waktu saya bilang cape juga nyuci en nyetrika baju, banyak orang bilang : “makanya buruan cari istri biar ada yg nyuci & nyetrikain” ketimbang “cari uang yg banyak biar bisa taro di laundry atau bayar jasa bici” (alias bibi cuci :p). Agak mengganggu karena seolah2 tugas istri atau perempuan itu nyuci n nyetrikain baju suami… bias jender juga menurut saya :p
btw, William Kafe Artistik-nya Om Willy (sok kenal) pernah jadi salah satu restoran terbaik versi Jakarta Good Food Guide-nya. Mbak’e Laksmi Pamuntjak. Semoga Aan bisa sesukses Om Willy dalam meniti karir menjadi “pria lezat”
amien
Tuti :
Japra, Japra, Japra … !
Kemana aja, menghilang sekian lama? Kupikir namaku sudah hilang dari memorymu … hiks … 😦
Setuju Japs, meskipun hampir semua isteri ikhlas mencucikan baju suaminya, janganlah seorang isteri dianggap sebagai tukang cuci … 😦 Apalagi kalau sang suami suka cuci mata, sementara isteri disuruh cuci baju … grrrrhh!
Wah, jadi pengin ke William Kafe Artistik nih. Japs, minggu depan aku ke Jakarta nih, traktir aku kesana dong … *ngarep.com* 😀
Saya laki-laki, waktu kecil hingga sebelum hijrah kuliah di bandung, saya paling suka menemani ibu ke pasar dan di dapur dibanding saudari saya. Malah saya berusaha “mengusir” adik atau kakak perempuan saya bila ada di dapur. Saya senang mengiris bawang, mengulek, dan pekerjaaan2 lain yang berkaitan dengan memasak. Tapi ibu saya tidak pernah memberi kepercayaan untuk menyuruh memasak sendiri. mungkin ibu menganggap laki-laki tidak seharusnya begitu. Saya suka dengan ekplorasi dan ekperimen kuliner. Profesi saya tidak di dunia boga, tapi bila ada waktu, sampai saat ini saya tetap nyaman di dapur, membantu istri memasak. Memasak adalah adalah panggilan jiwa yang tidak dipengaruhi hormon kelamin.
Tuti :
Wah, senangnya istri Mas Budiman, ada yang suka bantuin masak (jangan-jangan Mas Budiman malah lebih jago masak dibanding istri ya? 🙂 ). Jago masak itu kelebihan yang tidak dimiliki semua orang lho. Besok kalau sudah pensiun dari profesi yang sekarang, buka resto aja Mas. Menekuni hobi sekaligus memberi lapangan pekerjaan bagi orang lain (dan yang jelas, mengisi pundi-pundi tabungan 😀 )
salam
koki memang identik dengan pria. tapi bukan berarti perempuan kalah, ya kan bu?
(sudah lama sekali tidak bersua lewat blog)
bagaimana kabarnya?
Tuti :
So pasti, Pak. Sebenarnya nggak usah dipermasalahkan soal kalah dan menang antara pria dan wanita. Siapa yang lebih mampu di suatu bidang, silahkan saja. Begitu kan?
Iya, saya juga sudah lama nggak blogwalking, karena sedang konsentrasi pada pekerjaan. Alhamdulillah kabar saya baik, Pak. Terimakasih … 🙂
Very inspiratif…
meski masih TK-B, anak saya juga sangat tertarik dengan memasak. Entahlah, apakah kelak dia ingin sekolah masak juga saya belum tahu. Cuman sempet kepikiran juga sih menyekolahkan dia di sekolah masak, kalo memang dia pengen ke situ, tapi itu kan baru kepikiran…
Yang pasti dengan baca tulisan ini, saya jadi lebih mantap….
Semoga bisa selalu memfasilitasi apa yg menjadi minat anak…meski tetep pengennya sih…hiks…dokter, insinyur tetep aja keren…
terimakasih mbak Tuti….
Tuti :
Putra Mbak Devi laki-laki atau perempuan? Biar saja dia melakukan apa yang dia suka. Lagipula, dia kan masih kecil, ada kemungkinan suatu ketika minatnya akan berubah Tapi bahwa dia sudah memiliki minat di suat bidang, itu sangat bagus.
Saya doakan, semoga saja putra Mbak Devi kelak menjadi dokter atau insinyur yang sekaligus juga ahli masak … 🙂
Bunda ke mana??
Kenapa lama gk update blognya???
Cowok masak??
Warung2 di sekitar kost rata2 kokinya laki2 Bun.
Setuju ma Bunda, masak dipengaruhi emosi. Perempuan naik turun emosinya, makanya rasa masakannya juga naik turun yah….hehe….
Bun…..kangen……
Tuti :
Hallo Tt …
Saya nggak kemana-mana kok, lagi konsentrasi pada pekerjaan saja 🙂
Ngomong-ngomong, Tt suka masak nggak? Mau dong saya dimasakin *ngarep.com* 😀
Salam kangen juga, Tt …
Saya suka masak, tapi lebih suka lagi nyicipin masakan. 🙂
Dulu, waktu kecil kami sering memperhatikan kalau emak memasak. Sesekali diajarkan cara nguliti bawang, ngulek cabe, bikin santan dll. Tiga hari sebelum lebaran adalah tugas kami anak-anaknya untuk membantu sang bunda untuk menyiapkan bumbu masakan, salah satunya untuk bikin rendang. Setelah sekolah ke kota dan pisah dari orang tua ternyata bekal itu telah menyelamatkan saya dari ketergantungan harus beli lauk-pauk jualan warung nasi.
Masalah gender saya belum pakar, serahkan aja sama ahlinya. Salam memasak.
ALRIS
Tuti :
Saya percaya Uda Alris jago memasak juga 🙂
Jadi pengin mencicipi masakan rendangnya Uda Alris nih … 🙂 ngomong-ngomong, nggak ada keinginan buka rumah makan Padang?
hmmmmm……..
lezaaat……nikmat
ennakkkkssss
maknyuuuusss….
🙂
Tuti :
Apaan tuh Bang? 😀
Rendang, sate, empek-empek, ikan bakar, atau gudeg? Kalau masakan khas Medan apa ya Bang?
Selain bika miliknya orang Ambon itu 😀
bu tuti…
temen2 perempuan boleh aja melototin edwin lau.. asal sekali aja..
jangan diulang ulang.. hehehe…
Tuti :
Hehehe …. takut nggak kebagian lirikan ya … 😀
halo ibu, salam kenal :p
cowo bisa masak? lumayaan buat bantu2 dirumah hehehe
Tuti :
Ya iyalah … makanya kalau punya anak laki-laki, ajarin masak sejak kecil, biar terbiasa dan pandai masak … 🙂
Mbak Tuti sedang sibuk yach ?
Postingan barunya belum terbit lagi nich….
Best regard,
Bintang
Tuti :
Iya Mbak, lagi konsentrasi ke hal lain nih … 😦
Tapi mudah-mudahan masih sempat posting, meskipun tidak sesering dulu …
salam hangat,
Tuti
🙂 🙂 🙂
di masyarakat kita mungkin karena dapur telah identik dgn perempuan, jadi sepertinya lelaki gak bagus kalau bekerja di daerah kekuasaan wanita ini.
padahal, kalau kita tengok chef2 di hotel2 mewah dan terkenal adalah laki-laki.
Semoga Aan nanti bisa mencapai cita2nya utk jadi chef yg terkenal,amin.
salam.
Tuti :
Betul, Bunda. Di masyarakat kita, memasak adalah tugas perempuan. Padahal sebenarnya banyak wanita yang nggak suka masak, dan sebaliknya banyak laki-laki yang pandai masak. Tapi di zaman sekarang, sepertinya trend-nya sudah berubah. Banyak pria terjun di bidang masak-memasak dan sukses di tengah masyarakat.
Terimakasih doanya untuk Aan, Bunda. Amiiin …
salam hangat 🙂
[…] jadi ingat ponakan bunda Tuti yang juga ingin jadi chef. Saya rasa profesi chef saat ini sudah jadi profesi favorit. Terbukti banyak yang ingin jadi chef. […]
salam kenal mb’ tuti…
buku yang mb’ tulis ttg ap?
bnern blm bca
Tuti :
Salam kenal juga, Toffin
Buku apa ya? Untuk posting ini, saya nggak nulis buku apa-apa …
salam kenal mbak tuti?
buku y mb tulis ttg ap mbak..?
Af1 bnran blum bca
Puji Tuhan…
Untunglah budenya Aan bisa peka terhadap minat,bakat, dan potensi aan.
Sekedar berbagi pengalaman Pribadi, Apa yang anda tulis memang benar, karena hal tersebut terjadi pula pada saya. tetapi saya bangga dengan kondisi saat ini, Puji Tuhan saya dapat membuktikan pada keluarga & tetangga lingkungan bahwa tidak ada salahnya SEKOLAH di SMK walaupun kita lelaki. Dan satu hal yang membuat saya lbh bangga adalah kakak lelaki saya perlu waktu bertahun-tahun untuk menjadi seorang dokter hewan, namun saya cukup 7 tahun (3 tahun SMK+ 4 tahun akademi perhotelan), diusia saya yang baru 24 tahun ini saya sudah menjadi seorang Restaurant Manager pada sebuah Boutique Hotel (Chain nasional) dan itu berkat bekal dasar pendidikan di SMK jurusan Tata Boga hehehehe…..
Bunda…
judul postingan yang sangat provokatif 🙂
biacara soal chef, nggak usah jauh2 deh kalo saya Bunda..
bapak saya juga pernah jadi juru masak di Hotel Ambarukmo. Beliau dulu sering banget menghadiahi kami sekeluarga dengan memasak ala hotel di rumah.
ketika sekarang udah bercucu pun, gantian para cucu yang sering dihadiahi masakan enak bikinan beliau.
Tuti :
Hahaha … iya, sengaja dibikin provokatif, biar teman-teman pada penasaran 😀
Tapi nggak salah juga kan? Pria-pria pencipta hidangan lezat …
Wow, asyiknya punya ayah yang chef hotel terkemuka. Hm … nggak usah ke hotel atau resto mahal ya untuk menikmati hidangan lezat 🙂 . Saya nggak menolak lho, kalau sewaktu-waktu diundang mencicipi (hayaah … kok terus menawarkan diri jadi pencicip … hihi 😀 )
Fenomena sehari2 yg kita lihat di sekitar kita juga bgitu… hampir tidak ada tukang nasgor yg perempuan. Kenapa…karena menyiapkan nasgor itu sangat membutuhkan tenaga dan melelahkan. *maksudnya tenaga untuk dorong2 gerobak nasgor…atau bongkar pasang warung tenda nya… Ditambah lagi hambatan norma…kurang enak dilihat kalau perempuan masak nasgor dipinggir jalan sampai jam 12 malam….xixixixi