Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April, 2010

Meraih Senyum Ibu

KELAHIRANKU, JANGANLAH MENJADI KEMATIAN IBUKU

Dari manakah kita dilahirkan? Tentu saja dari rahim ibu. Cerita bahwa bayi dibawa oleh burung bangau, atau keluar dari kuping, itu hanyalah cerita orang dewasa yang kebingungan menjelaskan proses kehamilan dan persalinan, ketika anaknya yang masih kecil bertanya “Dari mana adik berasal, Ma?”

Dulu, persalinan adalah peristiwa kritis, sehingga dikatakan bahwa ibu yang melahirkan harus berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Di Jawa, seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan disebut ‘kunduran’. Maksudnya (mungkin) kelahiran bayi itu membuat ia kundur (berpulang). Meskipun demikian, banyak juga ibu yang melahirkan sampai belasan kali (teman saya mempunyai saudara kandung 13 orang, sumpe!) dan semuanya berjalan lancar seperti mobil keluar dari gerbang tol …


Bayi yang baru lahir tentu diharapkan dalam kondisi sehat, begitu pula sang ibu (foto : Wikipedia)

Siapa yang tak mendambakan kebahagiaan seperti ini? Ibu dan bayi yang sehat, kamar bayi yang indah … (foto : “Menanti Kelahiran”, seri majalah Ayah Bunda)

Sekarang, di abad ke-21 ini, apakah masih ada ibu yang meninggal ketika melahirkan? Kita, yang tinggal di kota (mungkin bahkan di cluster elit perumahan mewah), yang tidak cukup hanya hidup di dunia nyata sehingga merambah dunia maya juga, mungkin tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa kematian seorang ibu ketika melahirkan bayinya. Tetapi di pelosok-pelosok nun jauh dari kota, yang untuk mencapai puskesmas, bidan, atau dukun bayi memerlukan perjalanan berjam-jam jalan kaki menembus hutan, nyawa ibu benar-benar dipertaruhkan ketika berjuang melahirkan bayinya. Bahkan di tengah masyarakat kota, kemiskinan yang parah membuat warga tak sanggup menjangkau pelayanan medis yang tak bisa diperoleh dengan gratis.

Saat ini, angka kematian ibu melahirkan (AKI) adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka AKI Indonesia ini tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga kita di ASEAN. Laporan Bank Pembangunan Asia 2009 mencatat angka kematian 405 atau rata-rata 2,3 perempuan meninggal setiap satu jam (catat : bukan per hari) karena melahirkan. Angka yang mungkin tak pernah kita bayangkan!

(lebih…)

Read Full Post »

Byurr … !! Kecipak, Kecipuk …

KAYUHKAN LENGAN, AYUNKAN KAKI, MELUNCUR ….

Kapankah anda untuk pertama kalinya mengetahui tentang renang? (jangan bilang ketika baca posting ini ya!)

Saya pertama kali mengetahui tentang renang dari televisi, ketika umur saya baru 7 tahun. Pada waktu itu saya sungguh terheran-heran, bagaimana bisa orang mengambang bahkan meluncur di atas air, dan tidak tenggelam? Bukankah air tidak bisa menahan berat tubuh kita? Buktinya, kalau ada sepotong daging dicemplungkan ke panci, daging tersebut pasti akan tenggelam sampai ke dasar. Apa rahasianya ya?

Tahukah anda, sejak kapan manusia bisa berenang?

Ternyata, sejak zaman Prasejarah, nenek moyang kita sudah pandai berenang. Catatan pertama tentang aktivitas berenang manusia ditemukan pada Zaman Batu (Stone Age), berupa lukisan yang diperkirakan sudah berusia 7000 tahun. Di zaman modern, renang mulai dikompetisikan di Eropa sekitar tahun 1800. Pada waktu itu baru dikenal renang dengan gaya dada (breast stroke). Di ajang Olimpiade Modern, renang mulai dipertandingkan pada tahun 1896 di Athena. Pada saat ini dikenal 4 gaya renang, yaitu gaya kupu-kupu (butterfly), gaya dada (breast stroke), gaya bebas (free style / front crawl), dan gaya punggung (back stroke). Organisasi renang dunia, Federation Internationale de Natation Amateur (FINA), didirikan pada tahun 1908 untuk menetapkan segala peraturan dalam olah raga renang.

Renang adalah olah raga yang sangat bagus. Air menopang berat badan, sehingga tidak ada beban dan tekanan pada tulang dan persendian, dan tubuh bisa bergerak bebas. Olah raga ini sering dipakai untuk rehabilitasi bagi orang yang baru saja menderita sakit, seperti stroke. Selain untuk olah raga, renang juga merupakan salah satu bentuk relaksasi. Meluncur di air dengan tenang, mengayunkan kaki dan melambaikan tangan, sambil merasakan desir lembut air menerpa kulit, apalagi jika dilakukan di alam dengan udara bersih, matahari cerah, dan langit biru, sungguh akan membuat kita segar lahir batin (tentu saja nggak pakai acara hidung kemasukan air atau kaki kram … hihi).


Dik … jangan ketiduran ya, boboknya nanti di rumah aja.  Ikutin Mama yang asyik berenang tuh … (foto : Wikipedia)

(lebih…)

Read Full Post »

30 Jam Untuk 3 Menit

MEMBANTING TULANG, MEMUNTIR OTOT, MEMERAS KERINGAT

Posting ini tidak ada hubungannya dengan mabuk 300 jam , meskipun sama-sama berbasis angka 3 …..

Beberapa waktu yang lalu saya nonton acara Kick Andy yang menampilkan grup cheerleader Indonesia. Saya berdecak kagum melihat penampilan cheerleaders ini, yang dengan sangat indah melakukan gerakan-gerakan sulit seperti salto, split, melempar tubuh seorang pemain ke udara dan menangkapnya dengan akurat. Saya membayangkan alangkah keras, lama, dan melelahkan latihan yang mereka jalani untuk bisa menampilkan atraksi seperti itu.

Sebuah pertunjukan yang bagus tak muncul begitu saja. Permainan sulap yang hanya berlangsung dalam beberapa detik itu (makanya kalau ada sesuatu yang berubah dengan cepat, orang bilang ‘disulap’ … ) membutuhkan latihan puluhan bahkan mungkin ratusan jam. Itulah sebabnya saya selalu mengapresiasi sebuah penampilan, betapapun sederhananya, karena dibutuhkan latihan yang menguras waktu, energi, pikiran, dan juga emosi, untuk menampilkan sebuah atraksi seni, olah raga, ataupun yang lainnya.

Pada saat berlatih, seorang atlet ataupun pekerja seni harus bersungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuannya. Sangat salah jika ada pikiran  ‘ah, kan baru latihan … ntar aja kalau tampil beneran’. Berbagai faktor seperti sorotan mata penonton, arena dengan situasi yang berbeda dengan tempat latihan, serta beban psikologis (terutama jika tampil dalam sebuah kompetisi), seringkali membuat performance hanya mencapai 80% dari saat latihan. Nah, jika pada saat latihan hanya mengeluarkan 75% dari kemampuan yang sesungguhnya, bisa dipastikan pada saat tampil performance akan jauh dari maksimal.

Tampil dalam sebuah grup lebih sulit daripada tampil solo, karena dalam sebuah grup dibutuhkan kerjasama dan kekompakan. Kesalahan yang dibuat oleh salah satu pemain bisa merusakkan penampilan keseluruhan tim. Bayangkan jika dalam sebuah atraksi tim cheerleaders ada salah satu pemain yang salah posisi atau kurang cepat bergerak sehingga pemain yang lain jatuh berdebum, sudah pasti atraksi mereka hancur berantakan. Bermain dalam tim juga menanggung beban psikologis lebih berat, sebab jika melakukan kekeliruan, akan timbul rasa bersalah kepada pemain yang lain.


Berapa jam latihan yang diperlukan untuk bisa menampilkan atraksi seperti ini? (foto : Wikipedia)

(lebih…)

Read Full Post »

Mabuk

NONTON 300 JAM

Saya sedang mabuk. Mabuk apa? Asmara? Hwaaaa …. kalau itu mah mau banget, hihi. Sayangnya bukan. Mabuk minuman keras? No way. Apa enaknya meneguk minuman keras, coba? Lebih enak minum minty chocolate float yang lembut, right? Mabuk nonton Shah Rukh Khan? Hyahaha … itu sudah lewat, dear!

Saya mabuk nonton rekaman video sepanjang sekitar 300 jam. Saya ulang : tiga ratus jam! Apakah saya tiba-tiba diangkat menjadi anggota BSF, Badan Sensor Film? Oh, no! Mboten mawon. Tiga ratus jam nonton film Indonesia yang penuh pocong dan suster ngesot sambil keramas bisa membuat saya mati berdiri. Memang sih suatu saat saya akan mati juga, tapi kayaknya lebih enak mati sambil tiduran deh.

Rekaman sepanjang sekitar 300 jam itu adalah hasil penelitian saya selama lebih dari 6 bulan. Aktornya 30 orang, semuanya laki-laki, tapi jangan harap ada yang sedikit saja mirip Shah Rukh Khan (ampyuun … SRK lagi! hiks!). Ke 30 aktor itu semuanya berpakaian klombor dan lusuh, berakting di tengah debu, pasir, bata, dan semen. Maklum sajalah, mereka adalah pekerja bangunan.


“Masang batanya nggak boleh bareh ya, Pak”. Bu Sutradara sedang memberi pengarahan kepada para aktor …

(lebih…)

Read Full Post »