KELAHIRANKU, JANGANLAH MENJADI KEMATIAN IBUKU
Dari manakah kita dilahirkan? Tentu saja dari rahim ibu. Cerita bahwa bayi dibawa oleh burung bangau, atau keluar dari kuping, itu hanyalah cerita orang dewasa yang kebingungan menjelaskan proses kehamilan dan persalinan, ketika anaknya yang masih kecil bertanya “Dari mana adik berasal, Ma?”
Dulu, persalinan adalah peristiwa kritis, sehingga dikatakan bahwa ibu yang melahirkan harus berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Di Jawa, seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan disebut ‘kunduran’. Maksudnya (mungkin) kelahiran bayi itu membuat ia kundur (berpulang). Meskipun demikian, banyak juga ibu yang melahirkan sampai belasan kali (teman saya mempunyai saudara kandung 13 orang, sumpe!) dan semuanya berjalan lancar seperti mobil keluar dari gerbang tol …
Bayi yang baru lahir tentu diharapkan dalam kondisi sehat, begitu pula sang ibu (foto : Wikipedia)
Siapa yang tak mendambakan kebahagiaan seperti ini? Ibu dan bayi yang sehat, kamar bayi yang indah … (foto : “Menanti Kelahiran”, seri majalah Ayah Bunda)
Sekarang, di abad ke-21 ini, apakah masih ada ibu yang meninggal ketika melahirkan? Kita, yang tinggal di kota (mungkin bahkan di cluster elit perumahan mewah), yang tidak cukup hanya hidup di dunia nyata sehingga merambah dunia maya juga, mungkin tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa kematian seorang ibu ketika melahirkan bayinya. Tetapi di pelosok-pelosok nun jauh dari kota, yang untuk mencapai puskesmas, bidan, atau dukun bayi memerlukan perjalanan berjam-jam jalan kaki menembus hutan, nyawa ibu benar-benar dipertaruhkan ketika berjuang melahirkan bayinya. Bahkan di tengah masyarakat kota, kemiskinan yang parah membuat warga tak sanggup menjangkau pelayanan medis yang tak bisa diperoleh dengan gratis.
Saat ini, angka kematian ibu melahirkan (AKI) adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka AKI Indonesia ini tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga kita di ASEAN. Laporan Bank Pembangunan Asia 2009 mencatat angka kematian 405 atau rata-rata 2,3 perempuan meninggal setiap satu jam (catat : bukan per hari) karena melahirkan. Angka yang mungkin tak pernah kita bayangkan!
228 dari 100.000? Itu kan kecil, hanya 0,228% saja, mungkin ada di antara kita yang berpikir naif demikian. Angka ini harus kita cermati lebih jauh, yaitu 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup, bukan per 100.000 orang. Jika setiap ibu rata-rata melahirkan 4 anak, maka perbandingannya adalah 228 kematian per 25.000 orang.
Kematian tidak relevan dihubungkan dengan persentase. Satu kematian tetap satu kematian : berakhirnya sebuah kehidupan manusia. Satu kematianpun tak boleh terjadi jika itu disebabkan oleh kelalaian dan kurangnya kepedulian kita.
Mengapa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia sangat tinggi?
Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah budaya dan tatanan sosial masyarakat. Menurut Sri Kusyuniati, Kepala Perwakilan Indonesia Yayasan Kependudukan Dunia (WPF), kematian ibu melahirkan antara lain disebabkan oleh pengambilan keputusan yang terlambat. Di banyak kalangan masyarakat tradisional, keputusan untuk membawa istri ke rumah sakit berada di tangan suami. Ketika istri akan melahirkan dan suami tak berada di rumah, padahal ia mengalami komplikasi, keputusan untuk membawa ke rumah sakit tak bisa segera dibuat. Terlambatnya pengambilan keputusan ini seringkali menyebabkan nyawa ibu tak tertolong.
Kemiskinan dan kurangnya perhatian pada saat seorang perempuan hamil menyebabkan kesehatannya buruk, dan mengakibatkan komplikasi pada saat menjalani persalinan. Dalam sebuah keluarga miskin, adalah biasa jika makanan terbaik diberikan kepada ayah, sesudah itu anak-anak, dan ibu makan terakhir (jika masih ada yang tersisa). Padahal seorang ibu dalam keluarga miskin bekerja sangat keras karena ia tidak mampu menggaji pembantu rumah tangga, bahkan tidak jarang ia juga harus ikut mencari nafkah.
Bidan desa seperti Ros ini memiliki peran penting dalam peningkatan kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan anak (foto : Kompas/Agus Susanto)
Setelah masa reformasi, perhatian pemerintah terhadap program Keluarga Berencana jauh menurun jika dibandingkan pada zaman Orde Baru. Menurut Prof. Dr. Ascobat Gani MPh, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jumlah penyuluh lapangan KB yang sebelum reformasi ada 35.000 orang sempat merosot tinggal 19.000 orang karena dipindah ke dinas-dinas lain. Sekarang jumlahnya naik lagi menjadi 22.000-an orang, tetapi kita butuh 35.000 – 40.000 orang.
Kebijakan otonomi daerah juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya perhatian pada kesehatan reproduksi. Ketersediaan bidan, terutama di desa terpencil, pengadaannya tergantung pada inisiatif Pemda, termasuk DPRD. Di daerah yang mengadakan pilkada, dapat dipastikan anggarannya akan terserap untuk penyelenggaraan pilkada. Sementara itu pengeluaran rutin belanja pegawai menghabiskan 60 -70 persen anggaran. Dengan demikian sangat sedikit anggaran yang bisa dialokasikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat miskin, khususnya kesehatan reproduksi.
Permasalahan lain adalah ketersediaan jumlah bidan yang jauh dari kebutuhan. Menurut data IBI (Ikatan Bidan Indonesia), saat ini tercatat 135.000 bidan dari kebutuhan sebanyak 235.000 (dengan asumsi rasio 1 bidan untuk 1000 penduduk). Apalagi pada saat ini ada syarat pendidikan bidan harus setara dengan D3.
Simulasi praktik persalinan oleh mahasiswi Akademi Kebidanan YPSDMI Garut (foto : Kompas/Arum Tresnaningtyas)
Adrienne Germain dari Koalisi Kesehatan Perempuan Internasional (IWHC) menegaskan keterkaitan antara kesehatan ibu dan pencapaian seluruh target Tujuan Pembangunan Milenium / Millenium Development Goals (MGDs). Target nomor 5 MDGs adalah mengurangi AKI sampai 75% dari rasio tahun 1990 dan mencapai akses universal pada kesehatan reproduksi pada tahun 2015. Artinya, AKI dan kesehatan ibu adalah indikator penting pembangunan. AKI yang tinggi membuat Indonesia berada di bawah peringkat negara-negara Asia lain dalam Laporan Pembangunan Manusia sampai tahun 2008.
Kelahiran bayi, anggota keluarga baru yang mungil, lucu, dan sehat, tentu akan menjadi sumber kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Ibu, yang harus menjalani kehamilan selama sembilan bulan, dan kemudian melahirkan sang bayi, tentu harus dijaga kesehatannya dengan baik. Bagi kalangan mampu, pemeriksaan kesehatan bisa dilakukan di klinik-klinik dan rumah sakit besar dengan pelayanan prima. Tetapi di sebagian besar wilayah Indonesia, puskesmas dan bidan desa adalah ujung tombak dalam pelayanan kepada masyarakat. Di manapun ibu memeriksakan diri, yang terpenting adalah bahwa kesehatannya harus terjaga dengan baik, sehingga persalinan menjadi peristiwa besar yang membahagiakan.
Ibu sehat dan bahagia, anak sejahtera dan terjaga (waduh, numpang iklan … )
Maka, jika dikatakan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu, janganlah para bapak iri. Sebab yang mengandung sembilan bulan dengan segala kerepotannya, yang melahirkan dengan mempertaruhkan jiwanya, yang memberikan air susu untuk kehidupan sang bayi, adalah ibu. Nah, jika para bapak ingin memiliki surga juga, dekat-dekatlah dan muliakanlah ibunda, dan juga ibunya anak-anak. Belailah kaki mereka dengan penuh cinta, karena di sana ada surga (tapi jangan lupa minta mereka copot sepatu dan cuci kaki dulu … hihi)
Gampang toh?
(Sumber data : Kompas 23 April 2010)
sekali seorang ibu memutuskan untuk melahirkan
dia bukan saja mempertaruhkan nyawa untuk bayi yang dilahirkan
tapi dia juga mempertaruhkan seluruh hidupnya, sampai sang bayi besar. Jadi jangan main-main dan tidak sungguh-sungguh sejak awal kehamilan.
Doaku waktu akan melahirkan Kai, “Tuhan boleh ambil nyawa saya asalkan Kai lahir…. “dan langsung saya ralat” Tuhan kalaupun dia lahir dan saya mati, siapa yang akan besarkan dia? … Kuserahkan semuanya padaMU”
EM
Tuti :
*terharu baca komen Mbak Imel*
Betul sekali Mbak, seorang ibu harus sudah menyiapkan diri sejak awal kehamilan untuk bertanggungjawab terhadap bayi yang dikandungnya, karena makhluk kecil itu adalah titipan Tuhan yang harus dijaga baik-baik.
Saya pernah baca posting Mbak, Kai waktu lahir kecil banget ya Mbak, sampai selimutnya cukup pakai sapu tangan (pernah lihat fotonya di TE). Eh, tapi sebelum lahir, memang Mbak sudah menamai dia Kai ya, kok di do’a Mbak ada nama Kai … π
Sekarang si imut itu sudah jadi koala yang beratnya bikin punggung pegel kalau minta gendong ya π
Aha, kulasan yang mengingatkan kita tentang arti penting seorang ibu…”Ibu adalah Segalanya !”
Mbak kalau membandingkan seorang ibu yang berada di kota dgn segala kesejahteraan yang menjaminnya sangat berbeda 180 derajat yach dgn ibu2 yang berada di daerah terpencil dan dgn keadaan yang serba kekurangan.
Saya sendiri sangat “Prihatin” terhadap wanita2 dgn kondisi yang serba kekurangan ini yach mbak. Yach…Mudah2an baik pemerintah maupun masyarakat yg ada disekitarnya makin peduli terhadap wanita2 yang sedang hamil ini. Krn gmnpun juga anak2 mrk nantinya adalah generasi penerus negeri ini.
Tapi yang jelas biasanya perasaan wanita itu hampir sama menjelang persalinan mbak (pengalaman hasil tanya kanan kiri pas hamil, hihihi) yaitu “Harap-harap cemas”… Cemas sa’at menjelang kelahiran dan biasanya senang setelah tahu si bayi sudah lahir, apalagi yang dilahirkan bayi yang sehat…cantik atau ganteng, hahaha.
Nah, kalau pengalaman saya dulu…masa yang menyedihkan (rasanya nggak rela…) sa’at masa cuti melahirkan sudah habis dan harus meningalkan sang buah hati sama susternya…Duch rasanya berat banget….Jadinya pas di kantor sedikit2 nelpon….dan bawaanya pengen cepat2 pulang terus….hahaha…..
Tapi itu dulu, seiring waktu… skg mrk semakin besar….dan mudah2an semuanya tetap berjalan lancar…..Amin.
Ok, mbak sekian dulu obrolan paginya, selamat beraktivitas lagi π π π
Best regard,
Bintang
Tuti :
Kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan reproduksi wanita dan kesehatan ibu hamil, adalah tanggung jawab pemerintah. Sudah ada Undang-undangnya, yang baru diundangkan tahun 2009 lalu (kapan-kapan deh saya tulis tentang UU Kesehatan ini). Tentu saja bukan berarti masyarakat lepas tangan, karena pemerintah sendiri tidak mungkin bisa menangani semuanya. Masalahnya, sampai saat ini Pemerintah (dalam hal ini Kepala Daerah yang kebanyakan kaum pria) seringkali masih kurang peka terhadap masalah ini, dan menganggap masalah ibu hamil adalah urusan ibu itu sendiri …
Wah … saya seneng sekali membayangkan Farid dan Ghalib yang pinter-pinter dan lucu-lucu. Terbayang bagaimana waktu mereka masih kecil-kecil dulu, pasti Mbak Linda repot sekali ya membagi waktu antara kerja di kantor dan mengasuh mereka. Untunglah Mbak memiliki suster yang baik-baik, yang bisa merawat mereka selama Mbak kerja. Kalau nggak ada suster, weew …. alangkah repotnya. Tapi keberadaan suster bukan berarti mengurangi peran Mbak dalam mengasuh mereka kan.
Selamat mendampingi anak-anak sampai besar Mbak, semoga kelak Farid dan Ghalib menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Amin … π
salam hangat,
Prosesi melahirkan memang sebuah
pertarungan berat yang tak jarang berujung kematian….
walau kelahiran sebaiknya jangan menjadi kematian..
Namun sudah sepatutnya pula setiap kali
ada kelahiran, kita juga mesti ingat kematian…
agar para ibu dan bapak jangan cuma
ingat dan semangat berjuang supaya
bisa melahirkan, melainkan menghitung pula
manfaat kelahiran itu kini dan nanti…..
btw…, kesuksesan seseorang tak terlepas
dari ridhonya seorang ibu, jd pas benar bila
tuti menganjurkan, pentingnya meraih
senyum ibu……, dan saya juga ingin meraih
senyum seorang tutinonka…..
senyumlah……senyum yang harum
jangan dikulum…… π
Tuti :
Betul sekali Bang, seharusnya setiap kelahiran mengingatkan kita pula akan kematian. Tapi bukan kematian ibu dan bayi yang baru dilahirkan itu, melainkan kematian setiap manusia yang sudah selesai menjalani hidupnya di dunia. Karena kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup kita di dunia, maka pasti kita harus menjalani dengan sebaik-baiknya.
Ridho seorang ibu memang hal yang utama, tetapi ridho seorang bapak juga sangat penting. Jadi nggak ada yang boleh dilupakan, Bang.
Senyum saya? Wahaha! *ini ketawa lebar, bukan senyum lagi … π π *
Waduh… saya gak tahan untuk tidak komen nih Bu Tuti. Padahal saya sudah janji untuk stop BW dulu buat sementara. Maklumlah, waktu kita makin mepet, hehehe.. π
Teks mengenai “surga di telapak kaki ibu” itu sesungguhnya tidaklah benar. Dalam ilmu hadis disebut sebagai hadis dha’if, bahkan sebagian ulama mengatakan itu adalah “palsu”. Memang ada beberapa hadis yang mengindikasikan bahwa ibu adalah pemilik surga bagi anaknya. Tapi, jangan lupa, bahwa sesungguhnya ada juga hadis yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang membenci ayahnya, maka surga haram baginya”. Artinya, ayah dan ibu dalam pandangan agama adalah sama pentingnya.
Penelitian Rosse de Parke, membuktikan bahwa perbedaan biologis antara ayah dan ibu, bukanlah alasan untuk menempatkan posisi ibu lebih tinggi dari ayah. Teorinya ini mematahkan teori Freud dan John Bowly yang menilai gejala Oedipus complex sebagai salah satu bukti kedekatan anak dengan ibunya. Menurut Rosse, ayah sama pentingnya dengan ibu dalam kehidupan seorang anak, sejak mula dia direncakan hidup di muka bumi ini.
Pemuliaan ibu secara berlebihan itu, telah menanamkan stigma yang tidak baik terhadap ayah. Ada semacam paradigma yang menancap di benak kita bahwa ayah tak mengorbankan apa-apa bagi proses kehadiran seorang anak di muka bumi ini. Akibatnya, para ayah pun akhirnya membenarkan paradigma itu, dan lantas tak peduli dengan kondisi benih yang dia tanam.
Saya berkomentar seperti ini bukan karena iri, tapi justru ingin menempatkan keseimbangan dalam kehidupan kita.
Bu Tuti, sorry komentarnya kepanjangan. Kalau mau lebih panjang lagi, nantikan setelah saya promosi ya. Soalnya ini adalah salah satu topik disertasi saya, hahaha… π
Tuti :
Saya membaca komen Uda Vizon dengan senyum-senyum π π π soalnya ketika nulis posting ini, jujur saja saya ingat Uda. Dari beberapa posting Uda yang pernah saya baca, saya tahu Uda adalah ‘Pejuang Peran Bapak’, yang selalu ‘protes’ kenapa hanya ibu yang disebut-sebut berperan dalam membesarkan dan mendidik anak.
Ooh …. jadi disertasi Uda tentang itu to. Bagus sekali Da. Besok kalau sudah selesai (dan sudah lulus diuji para profesor) saya boleh baca kan? Ini pemikiran baru lho, yang kayaknya belum pernah dikemukakan oleh orang lain. Tentang hadis itu, saya percaya deh, wong Uda kan memang ahlinya. Kalau memang benar hadis itu dhoif, wah …. harus ada revolusi untuk mencopotnya dari memori kolektif masyarakat ya …
Tapi sebenarnya ada perbedaan sudut pandang antara posting ini dengan penelitian Uda Vizon. Saya lebih menitik beratkan pada rendahnya perhatian terhadap kesehatan ibu hamil, sehingga angka kematian ibu hamil sangat tinggi. Adapun alinea terakhir itu, yang nampaknya membuat Uda Vizon ‘gatal’ , adalah ‘bumbu’ agar tulisan ini tidak menjadi terlalu teknis. Rupanya, ‘bumbu’ saya kurang sedap di lidah Uda Vizon … hahaha …. π
…
Yes…!!, setuju sama uda Vizon..
Tuhan kan maha adil, bapak ato ibu sama-sama istimewanya…
…
Nanti saya cari istri bidan aja deh..
Biar bisa bantu ibu-ibu yg akan melahirkan di kampung.. π
..
Tuti :
…..
Yes! Setuju sama Uda Vizon dan Ata π
Bapak dan ibu sama-sama istimewanya, tapi ibu istimewa + hebat karena bisa melahirkan (bapak kan nggak bisa … hehehe π )
…..
Lho, jadi belum cari istri to … π
Meskipun punya istri bidan, besok kalau sang istri melahirkan, tetap membutuhkan bidan lho Ta (nggak bisa ngelahirin sendiri … π )
….
Ini postingan informatif khas ibu Tuti …
Datanya selalu kumplit
Terima kasih banyak infonya Bu Tuti
Salam saya
Tuti :
Terimakasih Om …
Nggak punya cerita waktu Tante melahirkan, Om? π
Atau Om nggak pernah tahu ketika Tante melahirkan (ajubile …. Om iniiih … kemane ajee … π¦ )
salam saya juga Om,
* Sudah sewajarnya kalau kita berbakti kpd ibu (kpd bapak juga pastinya), kepada kedua orang tua kita….. terserah saja kalau para scientist menemukan teori2 barunya bhw antara ibu dan bapak sama bobotnya, itu semua kan tafsir-tafsir manusia pintar di jaman modern ini …. implementasinya ya terserah individu masing2 …… yang penting kita tetap berbakti kpd orang tua.
* Saya hanya ikut merasakan betapa sakitnya saat ibu2 menjelang kelahiran … ketika ia terbaring di kasur dan saat itu saya berdiri disampingnya, maka saya biarkan tangan saya diremas kuat2 untuk menahan rasa sakitnya yg datang dgn interval tak menentu ( mulai 12 menit sekali, 10 menit sekali, 8 menit….dst), Dan…. luka perih bekas cakaran di tangan yg tadinya terasa sakit menjadi hilang setelah anak saya keluar dari rahim ibunya ….
Tuti :
* Komen ini kayaknya untuk menanggapi komen Uda Vizon ya, Mas Karma … π Ya, tentu saja saya setuju, bahwa kita harus berbakti kepada bapak dan ibu tanpa kecuali. Itu kuwajiban setiap anak kepada orangtuanya.
* Bagus sekali Mas Karma mendampingi istri ketika melahirkan, sehingga bisa ikut merasakan sakit luar biasa yang dideritanya. Luka cakaran di tangan Mas Karma itu nggak ada artinya dibanding luka di jalan persalinan istri yang dilewati bayi sebesar itu, sehingga harus digunting dan dijahit …. hiks hiks … π¦
Melahirkan (bayi) memang taruhannya nyawa, dan rasa sakitnya memang luar biasa. Ketika proses itu terjadi rasanya tidak ada sakit yang melebihi itu, serasa kita menjadi orang yang paling kesakitan di dunia saat itu. Ketika melahirkan anak yang pertama, seperti itulah yang saya rasakan (anak yang kedua tidak sesakit itu sih). Tidak ada sakit yang melebihi sakitnya ketika melahirkan, pikir saya ketika itu. Maka, sesudahnya, setiap kali saya harus ke dokter untuk periksa sakit apapun (misalnya sakit gigi, karena ke dokter gigi adalah hal yang paling saya takuti), saya selalu menghibur diri bahwa nanti sakitnya tidak akan melebihi sakit ketika melahirkan yang pertama dulu. Dalam benak saya, saya pernah merasakan sakit yang paliiiiing sakit, jadi kalau hanya dicabut giginya, ngapain mesti takuuuut…. begitu pikir saya. Analogi yang ngawur ya mungkin, tapi boleh juga kan agar saya berani ke dokter gigi atau cek darah atau yang lainnya yang memerlukan tindakan dokter. Operasi saya pernah, dan itu malah tidak menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, hanya sesudahnya memang perih sekali. Melahirkan anak pertama itu yang justru agak menimbulkan trauma. Agak saja lho…. soalnya…. toh nggak kapok juga…. hehehe….. Namun, kalau sekarang disuruh ngulang lagi ya enggak aja aaahhh….
Tuti :
Itu namanya kapok lombok Mbak … kapok pada waktu makan lombok karena kepedasan, tapi besoknya makan lagi, makan lagi … hehe π
Betul sekali Mbak, kalau kita sudah pernah merasakan sakit (ataupun derita) yang luar biasa, dan sukses menjalaninya, kita tidak akan takut lagi menghadapi sakit-sakit lainnya. Jadi, jangan takut sakit (tapi jangan juga membiarkan diri jadi sakit-sakitan …. π )
Anak kedua (Hanafi), tidak menyakitkan ketika lahir ya? Pantas badannya jadi guedee gitu, lha wong lahirnya juga gampang … hehe. Mbak, tambah dooong … kan belum punya yang perempuan. Kalau Mbak Ikah punya anak perempuan, pasti mirip dan secantik Mbak Ikah *provokasi*
Waduh Mbak, nggak ada planning lagi untuk tambah anak. Namun, kalau memang harus nambah lagi dan diberi anak perempuan, saya lebih suka kalau dia mirip bapaknya. Tentu lebih cantik daripada saya karena wajah bapake Hanafi itu kalau ditempelkan di wajah perempuan akan jadi cantiiiik sekali. Anak pertama saya kan mirip bapake, ketika batita dulu pernah saya pakaikan jilbab…. masya Allah…. cantiiiiiik sekali, saya sampai terpana melihatnya. Ketika jadi pengantin dulu pun ada tamu undangan yang komentar “Lho manten lanange kok ayu,” gitu…. Wah jan ngalah-ngalahke manten wedok ki.
Tapi sudahlah, dua anak cowok dah cukup kok, biar ibunya nggak ada saingannya…. ayu dewe neng omah…. hehehe…
Tuti :
Wah … iyo to? Jadi penasaran nih, pengin ketemu bapaknya Hanafi … hihi π Gimana kalau tukaran aja Mbak? Bapaknya Hanafi yang pakai jilbab, terus Mbak Ikah pakai kumis dan jenggot palsu … hihihi …. *ngawur.com*
Yo wis, setuju Mbak. Kita sama-sama jadi yang paling cantik di rumah, soalnya nggak ada saingannya … π
postingan yg sangat informatif dengan dilengkapi data yang komplit dan akurat.
ikut miris juga ya Mbak Tuti melihat nasib perempuan pelosok dan miskin di negeri kita yg tdk terjangkau oleh modernisasi pelayanan kesehatan bagi ibu hamil.
Semoga pemda setempat lebih tanggap dlm menyediakan tenaga medis yg kurang di daerahnya masing2.
salam
Tuti :
Terimakasih, Bunda …
Memang, fasilitas kesehatan bagi masyarakat di pelosok masih jauh dari mencukupi. Angka 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran itupun diduga lebih rendah dari keadaan yang sebenarnya di lapangan, karena di pelosok yang tak terjangkau, ada kemungkinan kematian ibu yang tidak tercatat. Semoga saja pemerintah, dan juga peran serta masyarakat, bisa memperbaiki kondisi ini di masa-masa yang akan datang.
salam,
Nenek saya (ibu kandung mama saya) dulu seorang bidan. dan beliau sempat bercerita dulu pada mama saya, dan cerita itu diturunkan lagi pada saya:
Beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu paska melahirkan di desa terpencil adalah tindakan yang sangat tidak tepat dan ini berkaitan dengan pola pikir masyarakatnya.
Misalnya, seorang ibu melahirkan pagi hari. Sorenya dia sudah turun ke kali untuk mencuci.
Seharusnya tubuhnya yang masih lemah diberi kesempatan untuk beristirahat (bedrest). Malamnya, dia masih harus repot menyiapkan hidangan untuk para tamu “jagongan bayi” di rumahnya. Banyak kasus ibu meninggal paska melahirkan karena pendarahan hebat karena aktivitas berlebih seperti ini.
Ada anggapan, kalau ibu males-malesan setelah melahirkan, kelak si bayi akan menjadi pemalas. Wah, saya uring-uringan waktu mendengar pola pikir sempit seperti ini. π¦ π¦
Tuti :
Betul Na, budaya masyarakat memang seringkali menyudutkan perempuan dalam situasi terjepit. Ada kebiasaan di daerah tertentu, ibu hamil hanya boleh makan nasi aking, katanya untuk tirakat agar ia prihatin dan kelak anaknya menjadi orang yang baik. Loh, lha wong hamil itu butuh gizi berlipat, kok malah disuruh makan nasi aking … π¦ π¦
Banyak lagi adat-adat setempat yang sangat tidak benar, tetapi masih berlaku. Ini semua karena kurangnya pemahaman masyarakat akan kesehatan reproduksi, serta rendahnya penghargaan terhadap perempuan. Ibu yang meninggal karena melahirkan dianggap hal yang ‘wajar’, sudah ‘kodrat’nya … hiks hiks … π₯
jd teringat 2 hal :
1. saat ibuku melahirkan mungkin begitu susah en sulitnya..sayang beliau udah dipanggil Allah Ta’ala sebelum aku bisa berbuat apa2.
2. saat istriku melahirkan anak buah hati kami, Alhamdulillah aku selalu bisa menemani jd Insya Allah bisa merasakan saat yg genting dan mendebarkan itu, anak yg pertama tanganku sempat digigitnya mungkin untuk mengilangkan rasa sakit. anak yang ke 2 Alhamdulillah lancar juga. tak lupa aku sama ibuku ( alm ) terus mengingatkan istriku untuk selalu istifar dan berdo’a pada Allah.
Tuti :
1. Semoga ibunda mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah ya, Mas Wawan. Amin.
2. Mas Wawan adalah contoh suami dan ayah yang baik. Semoga dapat ditiru oleh ayah-ayah dan suami-suami lain di seluruh dunia … π
…
Ada joke gini buk..
Seorang bapak memasukkan koin di standing mechine soft drink..
Saat kaleng soft drink keluar, itu menjadi milik bapak itu kan…
Ha..ha..ha..
*siap2 di timpukin ibu-ibu*
..
Tuti :

Ibu-ibu, ayo rame-rame kita timpukin Ata! Satu, dua, tiga ….. serbuuuuu !!!!
*mudah-mudahan Ata bukan keluar dari mesin yang dibeli Daddy π *
ngakak dulu ah, walaupun beresiko kena timpuk koin
Tuti :
Ini lagi!! Ayo ibu-ibu, ada sasaran baru untuk ditimpuk!
Ata, balikin tuh roti tawar yang barusan kami pakai untuk nimpukin Ata!
(bujangan-bujangan ini memang perlu dijebloskan ke RS Bersalin biar ngerasain perjuangan ibunda mereka dulu … hmmh … )
ampun bu tuti.. rotinya mubazir dibuang2 mending saya makan sini… hap
Tuti :
Lho, nggak dibuang kok. Itu, ditangkap sama Ata, terus dijual …. π
setuju sama uda vizon, memang harus seimbang porsinya.
nevertheless peran seorang ibu dalam melahirkan anak sangat besar karena bergulat antara hidup dan mati, bahkan dikatakan seorang ibu syahid jika mati saat melahirkan, subhanallah …
semoga indonesia tingkat kematian karena melahirkannya bisa turun lagi ya bu tuti π
Tuti :
Uda Vizon dapat pengikut, Ata dapat konco …
Betul Didot, seorang ibu mati syahid jika meninggal saat melahirkan. Tapi jika meninggalnya karena kurang kepedulian dari keluarga, masyarakat, dan negara, ya janganlah sampai terjadi π¦
Yah, semoga AKI Indonesia (dan di seluruh dunia juga) bisa semakin ditekan.
Mau ngikutin Ata juga, cari istri bidan? π
cari istri apa aja deh yg penting sholehah dan hatinya bersih, tapi kalau bidan bisa gratis ya ngelahirinnya nanti bu tuti?? π
Tuti :
Wah, cari istri ya jangan ‘apa aja deh yang penting sholehah dan hatinya bersih’. Nanti kalau dapat yang umur 50 dan sudah punya 5 cucu, gimana coba? π
saya setuju dg komentar mbak Imelda. kalau berani punya anak, berarti harus berani menyerahkan hidup kita utk anak kita. dan rasanya itu yg lebih “menantang” daripada melahirkan itu sendiri. katanya sih… wong saya sendiri juga belum pengalaman soal ini hehe
Tuti :
Sama Kris, aku juga nggak punya pengalaman pribadi, jadi ini sok teu aja … hehehe π
Mbak, aku komen untuk alinea terakhir aja… Soal nyium kaki..hehehe…
Aku teringat iklan obat kutu air, Mbak.. π
Kalau mau nyium telapak kaki trus ada kutu airnya, yang beli obat siapa, Mbak? Yang mau nyium apa yang dicium? π
(Ini komen apaan, sih?)
Tuti :
Loh … aku kan nggak pernah nulis soal nyium kaki. Cuma dibelai aja … π
Yang beli obat pasien aja deh …
(Iya, ini juga jawaban apa sih?)
Saya pernah menerjemahkan survey dan penelitian bidan Jepang di Aceh paska Tsunami mbak. Dan miris sekali mengetahui bahwa banyak ibu hamil belum pernah diperiksa satu kalipun padahal kandungannya sudah tua.
Kemudian kehamilan memuncak justru pada saat paska bencana. Seakan hiburan di masa sulit cuma “bikin anak” aja. duhhh…
EM
Tuti :
Memang begitu, Mbak. Paska bencana, justru terjadi ‘ledakan’ kehamilan. Sebabnya, di pengungsian orang sedih dan stress, tidak ada hiburan, dan …. mereka hidup bersama di ruangan (tenda) besar bersama, yang memungkinkan ‘pergesekan’ antara laki-laki dan perempuan. Saya pernah baca, di sebuah stadion (atau gedung apa gitu) yang dipenuhi pengungsi, suatu malam listrik mati. Ketika beberapa lama kemudian listrik tiba-tiba menyala, kelihatanlah banyak pasangan yang lagi ‘bergerilya’ … π¦ π π π
Sekitar sembilan bulan sesudah gempa besar menghancurkan Bantul (Yogya) th 2006, banyak bayi dibuang di Yayasan Sayap Ibu. Kata ibu pemimpin yayasan itu (kebetulan saya ke sana), diduga itu bayi-bayi ‘produksi’ paska gempa, yang tidak diinginkan kehadirannya karena si ibu (entah punya suami atau tidak) tidak siap menerimanya … hiks … hiks … π₯
Diperlukan peran pemerintah untuk mengatasi semua masalah di pedesaan dan daerah pedalaman untuk menekan angka kematian ibu pada saat melahirkan.
Mungkin bisa dengan program 1 desa 1 bidan.
Tuti :
Program 1 desa 1 bidan sangat ideal. Masalahnya, bidan yang ada sangat terbatas jumlahnya. Jalan keluar yang lain adalah dengan menambah pengetahuan dukun bayi, agar mereka bisa memberikan bantuan kesehatan yang lebih baik secara medis.
filosofi ibu : Ibu Pertiwi, bumi dimana kita lahir, dibesarkan besar dan nanti menutup mata …
salam
Tuti :
Sekarang Ibu Pertiwi sedang bersusah hati, air matanya berlinang … π¦
salam,
Sebelum melakukan pembuahan, suami isteri hendaknya memohon agar jika berhasil menjadi anak yang sehat. Dan sejak ibu dinyatakan hamil harus berhati-hati menjaga tubuhnya, cukup gizi, rajin membaca buku kehamilan, serta berdoa selalu, agar anak yang dikandungnya lahir dengan selamat dan sehat walafiat. Pemeriksaan kandungan rutin diperlukan untuk mendeteksi jika terjadi kelainan secara dini.
Dan saat kelahiran juga sangat menentukan, begitu bayi lahir, sang ayah akan memperdengarkan adzan di telinga bayi (jika muslim), juga ada ayah yang diperbolehkan menunggu kelahiran bayinya. Elusan tangan suami dipunggung isteri dapat meredakan kesakitan isteri, yang merasa semua tulangnya seperti mau patah.
Peran ibu akan berjalan terus, menyusui, memberi makan, dan mendidik agar menjadi anak yang berguna, dan beriman. Ya, tugas ibu tak pernah selesai, bahkan setelah anak-anak besar dan mandiri. Oleh karena itu peran ibu yang baik akan mengantarkan anak-anaknya sampai dewasa, ditunjang peran ayah yang mendukung ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Tuti :
Betul sekali Mbak Enny. Dan sebelum seorang ibu bisa menjalankan peran mendidik anak, maka yang pertama-tama harus dipikirkan adalah bagaimana agar ia bisa hamil dengan sehat dan melahirkan dengan selamat, baik ibu maupun bayinya …
Nggak bisa komen panjang2 mbak…
terkagum2 dgn penjabaran yang sangat jelas ini..
Ibu kita memang yang terhebat.. dan lia ingin selalu menyentuh kakinya…:)
Tuti :
Tidak ada keharusan komen panjang kok, Lia π
Penjabaran ini cuma hasil ngutip sana-sini …
Ya, ibu Lia, ibu kita semua, pastilah hebat karena sudah bisa membesarkan dan mendidik kita sampai menjadi seperti ini.
Mbak, ada lagi yang aneh…
Didusun-dusun kecil dikampungku, kalau seorang wanita kesulitan ngelahirin bayi, disuruh minum air cucian kaki ibunya. Karena si wanita dianggap pasti punya banyak dosa pada ibunya.
Emang, air cucian kaki bisa nolongin, ya?
Dusun yang aneh… π
Tuti :
Dewi, begitulah nasib wanita dalam budaya tradisional : dihukum dan dipersalahkan untuk sesuatu yang belum tentu salahnya. Bahkan dalam kondisi yang seharusnya ditolong pun, ia tetap saja dianggap salah, tanpa dicari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Doa seorang ibu pasti akan melapangkan jalan bagi anaknya, tidak hanya ketika akan melahirkan, tapi ketika menghadapi kesulitan apa pun. Tapi minum air cucian kaki? Itu kan simbolik saja. Kalau air cuciannya sudah dicampur obat, ya bisa menyembuhkan. Tapi kalau kaki ibu yang dicuci itu baru saja masuk ke tempat kotor, atau (maaf) korengan, bisa-bisa si anak yang akan melahirkan malah tambah parah … π¦
Bagaimana aku tak mencintai ibu
Saat kutahu betapa berat perjuangannya
Saat kusadar betapa tulus kasih sayangnya
Dan aku ingin berbakti
Demi tulus senyum ibu
Tak hanya di bumi ini
Tuti :
Andai semua anak seperti Kang Achoey
Pastilah setiap ibu bahagia tak terperi
Perjuangan hidup mati melahirkan sang bayi
Segala sakit derita tak lagi berarti
Terbayar lunas oleh cinta bakti sang buah hati
Bu, kadang saya menangis karena belum mampu menjadi anak yg baik
Tuti :
Siapa bilang Kang Achoey belum menjadi anak yang baik. Tanyakan pada ibunda, pasti ibunda akan tersenyum dan mengatakan Kang Achoey adalah anak terbaik bagi beliau π
Ini bukan kunjungan pertama,
karena aku tau banget Mbak cantik berjlbab merah ini dan senantiasa membaca tulisannya lewat reader.
Tapi Ini memang komeng pertamaku,
alamak mampus deh, di sini tampaknya ada aturan komeng harus panjang, [klo menurutku ukuran komeng uda vizon bisa jadi satu postingan di LJ]
dan aku setuju bahwa Laki-laki juga bisa selembut Ibunda, karena Rasulullah itu lembut. Lebih lembut dari jutaan ibunda di muka bumi.
Tuti :
Waduh Bundo, tersanjung saya Bundo katakan selalu membaca tulisan saya yang buruk kata tanpa makna …
Tak ada tu aturan harus komeng panjang, Bundo. Suka-suka sajalah. Mau panjang, terimakasih. Mau pendek, terimakasih juo. Tak komeng, tak ape-ape pula …
Betul Bundo, banyak laki-laki yang bahkan lebih lembut dari wanita. Tapi, tak ada laki-laki yang bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui, kan ?
Mba, jadi inget waktu nglairin dulu. Aku cuma menyusui 2 bln saja karena aku ga bisa nyusui dengan benar. Lecet bukan diterusin malah berenti, akhirnya bengkak dan mengeras. Kemudian di insisi dengan bius lokal he he he. Sejak itu aku truma melahirkan, makanya anakku mba baru satu . Tetapi sekarang sudah tidak trauma lagi, tapi juga belum nambah2 he he he doian ya mbaaa
waktu menyusui, pas lecet2 org tua sudah bilang harus terus disusui tapi akunya ‘kan kesakitan, dan lucunya suamiku juga mendukung enggak usah disusuin aja kalau lecet katanya hahahah *dasar yo mba, pada masih baru jadi ortu kitanya, emang maksudnya support istri malah jadi tambah sakit he he he*
Iya mba ibu itu bukan hanya melahirkan, menyusui, dan membesarkan juga ….dan semua bisa berjalan lancar dengan support bapak-bapak….:)
Tuti :
Jadi ibu ternyata perlu ‘sekolah’ juga ya, supaya nggak keliru … π
Iya, aku juga pernah dengar, ada ibu yang sampai nangis-nangis waktu menyusui bayinya, karena sudah lecet dan tetap harus menyusui. Seringnya ini terjadi kalau bayinya laki-laki yang sangat kuat menyusu. Hiks … halo anak-anak, tanya ibu kalian ya, dulu sampai nangis nggak kalau memberi ASI …
Semoga program tambah anaknya segera terwujud ya Va. Kayaknya perlu hanimun sekali lagi nih … π π
Tulisan khas Ibu Tuti..
Informatif, kaya akan data, namun mengalir dengan enaknya
salam,
Tuti :
Terimakasih Bro. Ini sangat perlu dibaca oleh bapak-bapak lho, supaya semakin sayang kepada istri … π
Kita semua diperintahkan untuk menghormati dan berbakti kepada orangtua, khususnya Ibu. Ridho Allah tergantung ridho orangtua dan murka Allah juga tergantung murka orangtua.
Salam hangat dari BlogCamp
Tuti :
Betul Pakde Cholik, terimakasih diingatkan kembali.
Salam hangat juga dari veranda saya … π
Sebelum 13 Februari, aku nggak terlalu peduli dengan kehamilan dan kelahiran, Bu..
Tapi semenjak anak pertamaku lahir dan tahu bagaimana proses kelahirannya, aku jadi tak hanya semakin cinta pada anak dan istri tapi juga pada ibuku!
Ibu, yang melahirkanku dulu juga dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati!
Tuti :
Kayaknya, setiap suami memang dianjurkan untuk mengikuti persalinan istrinya ya Don? Selain memberikan dukungan moral dan spiritual, juga agar lebih menghargai dan mencintai sang istri yang telah ‘menderita’ sedemikian hebat akibat ‘perbuatan’ suaminya … π
Ibundamu pasti sangat mencintaimu Don, sehingga perjuangan hidup mati ketika melahirkanmu dulu dilakukannya dengan suka cita. Salam hormat untuk ibundamu ya π