POTENSI YANG TERSIA-SIAKAN
Hallo, salam super (tabik Pak Mario … ! ๐ )
TV kembali membuka layar dengan menampilkan salah seorang sahabat baik saya, teman berdiskusi dari topik A sampai Z,ย yang juga sering memberikan komentar pedas cerdas untuk posting-posting saya. Karena dia belum berminat dan belum sempat membikin blog (maklum, sibuknya ampun-ampunan), pastinya banyak di antara teman-teman yang belum mengenal sahabat saya ini. Oleh sebab itu, saya akan perkenalkan terlebih dahulu apa dan siapa dia. Boleh kan? Boleh dong, blog blog saya juga … yeeeiy !
Pak Eko adalah … (waduh, mulai dari mana ya?) …. oke : kakek dari limabelas cucu. Eit, maap … baru tiga ding. Lah, kok status sebagai kakek yang pertama disebut? Iyaoo … karena status inilah yang paling dia banggakan. Itulah sebabnya foto-foto yang dipajang di FBnya pun foto-foto bersama cucu. Biar nggak ada yang naksir saya, katanya. Ealaaah …. it sounds little bit ge-er, isnโt it? Hihi … Lagipula, kalau memang ada yang mau nekad, biar sudah punya cucu segerobak juga kagak ngaruh euy …
Kakek momong cucu atau cucu momong kakek nih?
Selain momong cucu, aktivitas lain Pak Eko yang gak begitu penting (tapi bikin pening dan pontang-panting sampe kurus kering) adalah menyusun disertasi untuk meraih gelar doktor ilmu ekonomi di FE UI, dan insya’allah sebentar lagi bakal kelar. Pak Eko adalah staf pengajar di FE UII Yogyakarta (catat : yang ini I-nya dua), satu kampus dengan saya. Ajaibnya, kami belum pernah bertemu muka, meskipun satu kampus dan jarak rumah kami hanya 15 menit dengan mobil. Heran gak sih? Gak? Yo wis …
Oke, teman-teman, mari kita simak apa kata sahabat saya ini.
KEMANAKAH PARA WANITA ITU?
Oleh : Eko Atmadji
Saya sudah mengajar selama 19 tahun. Saya amati, banyak di antara mahasiswa saya yang pintar-pintar adalah wanita. Malah kebanyakan dari top five adalah mereka, para ibu dan calon ibu. Menurut perhitungan kasar saya, sekitar 70% dari berlian-berlian itu adalah kaum hawa. Begitu juga ketika saya sekolah dan kuliah, kebanyakan yang menjadi juara kelas ataupun murid teladan adalah teman wanita. Teman-teman kuliah saya yang terpandai pun kebanyakanย wanita. Kesimpulan prematur saya adalah, manusia cerdas Indonesia kebanyakan adalah wanita.
(Ehm …. maaf interupsi Pak, panjenengan bukan sekolah ato kuliah di sekolah khusus putri kan? Hihihi … ๐ย *sembunyi di balik meja* -tuti-)
Najwa Shihab, Sri Mulyani, Marrisa Haque, beberapa dari wanita-wanita cantik dan cerdas yang sukses meraih posisi tinggi di tengah masyarakat
Sekarang coba kita tengok di lapangan kerja. Berapa banyakkahย wanita yang menduduki posisi puncak perusahaan? Berapa banyakkah wanita yang berada di middle management? Atau jika di pemerintahan, berapa banyak wanita yang menduduki jabatan eselon? Atau berapa banyak wanita yang memegang jabatan strategis di kantor-kantor pemerintahan? Saya belum pernah melihat data sesungguhnya, tetapi saya amati berdasarkan sampel yang sangat kecil dibanding populasi seluruh Indonesia, prosentase laki-laki yang memegang jabatan strategis di perusahaan ataupun di pemerintahan tampaknya lebih besar.
(Yaaah …. kan masih banyak pria yang tidak mengijinkan istrinya kerja, Pak. Perempuan itu tempatnya di rumah, momong anak, masak, nyuciin baju bapaknya anak-anak, bersih-bersih rumah sampek tangan bengkak, gitu katanyaaaaย … hiks! ๐ฅ โtuti-)
Berkaitan dengan itu, kita melihat bahwa good governance di perusahaan swasta, BUMN, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, ataupun di lembaga-lembaga lainnya tidak diterapkan dengan baik. Sangat sedikit di antara mereka yang memiliki good governance. Akibat dari lemahnya penerapan good governance menyebabkan mekanisme transmisi kebijakan publik ataupun kebijakan perusahaan menjadi terhambat. Apalagi dengan penerapan kebijakan publik yang sering mental di tingkat atas, menengah, dan bawah, mengakibatkan kebijakan pemerintah sering mandul.
(Owgh … kebijakan bisa mandul juga ya? Perlu dibawa ke klinik pasutri โkali. Kan sekarang sudah ada teknologi maju seperti bayi tabung dan kloning … *gaknyambung.com* -tuti-)
Pertanyaan bodoh saya adalah, apakah ketidakefektivan kebijakan publik ataupun ketidaktepatan kebijakan publik karena sumber daya manusianya yang lemah? Jika memang sumber daya manusia yang lemah apakah memang Indonesia kekurangan orang pandai? Apakah lemahnya SDM kita karena penempatan yang tidak benar? Jika kesimpulan prematur saya di atas benar, sebetulnya kita tidak kekurangan manusia pandai. Negasinya adalah, karena orang yang pandai-pandai kebanyakan wanita maka seharusnya sebagian besar pejabat kita adalah wanita (tentunya yang pandai-pandai). Dengan demikian kebijakan publik ataupun perusahaan bisa berjalan efektif dan benar arahnya. Jika hal ini terjadi, perekonomian kita juga tidak akan seterpuruk saat ini. Mestinya kita bisa menjadi lebih sejahtera. Kenyataannya, yang memegang posisi strategis saat ini kebanyakan adalah pria. Apakah memang tak ada pilihan lain kecuali para pria ini? Kalau demikian kemanakah para wanita yang pandai-pandai itu?
(Iniiiiย … disinilah para wanita pandai itu berada, Pak. Di blog ini. Bukan pemiliknya lho, tapi sahabat-sahabat pemiliknya, dan para pembaca yang berkunjung ke TV ….ย ๐ย ๐ย -tuti-)
..
Salam kenal pak’E (singkatan pak Eko)..
๐
..
Tulisanya dipertanyakan buat para wanita tho..
Jadi saya gak perlu jawab deh..
Kalo jawab takutnya nanti saya dipaksa pake’ daster sama Bu Tuti..:-D
..
Tuti :
Ow ow … ada sebutan baru nih, Pak’ E …
Bikin bubur merah-putih dulu dong Ta ๐
….
Meski tulisan di atas mempertanyakan tentang keberadaan wanita, para pria sejati tidak dilarang ikut berkomentar lho! Ata nggak bakal saya paksa pake daster saya (hah?!) … paling-paling saya kasih bedak dan lipstik (jadi ingat trauma bencong …. yaiyyyaa!! ๐ )
….
Saya di sini Pak E… (halah!)
Di kantor sy perbandingan laki2 & perempuan yg memangku jabatan eselon hampir sama Pak. Eselon 2, 1 org laki2. Eselon 3, 1 perempuan, 2 laki2. Eselon 4, 3 perempuan, 4 laki2.
Hampir seimbang kan Pak? Meski tetep aja lbh byk laki2.
Share jg. Beberapa tmn SMA sy yg perempuan & pinter2 itu, stlh menikah memutuskan utk resign & mjd IRT sejati. Tp hnya beberapa, alias ada.
Tuti :
Nah, kan? Ada Titik di sini, Pak E … ๐
Berarti tempat kerja Titik sudah memberikan porsi yg seimbang untuk laki-laki dan perempuan. Instansinya apa to? Biar bisa dipakai sebagai contoh untuk instansi yang lain ๐
Betul, banyak wanita memilih resign sesudah menikah dan memiliki anak. Kalau anak-anak masih kecil, memang sangat repot meninggalkan rumah untuk bekerja di luar. Meskipun demikian tidak sedikit juga yang sukses menjalankan dua-duanya : menjadi ibu dan menjadi wanita karier. Wanita yang sukses di dua sisi ini benar-benar super woman, karena sangat tidak mudah untuk memadukan keduanya.
Hemm…
Kritik yang menarik ๐
Pertanyaan tersebut sempat terlintas juga di benak saya…
Tapi kemudian ada yg berkembang lagi pikiran saya, pemikiran prematur yang tidak ada dasarnya…
Mungkinkah para wanita pandai, hebat, dan luar biasa itu, memutuskan menjadi ibu RT agar dapat memberikan seluruh kepandaiannya mengurus rumah tangga, sehingga menghasilkan generasi (terlepas perempuan ato bukan) yang nantinya akan menduduki posisi puncak di suatu instansi?
Bunda, maaf baru bisa mampir lagi yah.. selamat menikmati liburan…
Tuti :
Pemikiran Eka memang banyak dianut dan diyakini tidak saja oleh para pria, tapi juga wanita. Pemikiran itu iyalah : tugas wanita adalah melahirkan generasi mendatang. Sudah pasti ini sangat betul. Tapi ada juga wanita-wanita yang berpendapat, bahwa selain menyiapkan generasi yang akan datang, wanita pun harus tampil dan ikut berkiprah dalam generasinya sendiri …
Eka, saya juga baru sangat sibuk sehingga sangat jarang blogwalking. Sudah lama juga nggak mampir ke Cerita Eka … hiks … ๐ฅ Posting pun sekarang jarang ๐ฆ
Selamat berlibur juga, Eka. Salam buat Adrian.
Salut buat wanita2 yang bisa jalan 2.2nya ya karir ya keluarga seperti mbak EM dan Bunda Enny serta teman2 blogger lain ๐ Juga bunda Tuti tentunya.
Menjura, hormat saya untuk kaum wanita. Apapun pilihannya, berkiprah penuh menciptakan generasi mendatang atau berkiprah juga dalam generasinya sendiri tetap saja.. Wanita punya peran penting menciptakan generasi yang pintar ๐
Peluk-peluk Bunda… ini udh ada 1 postingan hehehe….
Yihaaaaaaaaaa!! Libur tlah tiba ๐
Pareng bunda… ๐ have a greaaat holiday yaaa
PS. salamnya sudah disampaikan. Ma kasih perhatiannya bun ๐
Tuti :
Betul, Eka. Apapun pilihan yang diambil seorang wanita, apakah konsentrasi penuh sebagai ibu rumah tangga atau berkarier juga, adalah betul dan bagus selama dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab.
Sudah ada postingan baru di CE? Nanti aku kesana ya …
Mang ini liburan panjang ya? Sampai hari Minggu? Haiyaa …
Peluk Eka juga (sambil bayangin pegang lengan Eka yang padet dan kuenceng … hehehe ๐ )
Terima kasih kepada teman-teman (bukan teman blog, karena saya sendiri masih belum punya waktu untuk ngeblog) yang sudah memberikan pendapatnya. Kira-kira pendapat teman-teman ini sama dengan yang saya terima ketika pertama kali saya publish di fb (waduh kayak udah terkenal ajah). Kebanyakan memang mereka berpendapat bahwa para wanita hebat itu berkiprah di RT untuk menciptakan generasi hebat di masa datang.
Mari kita tunggu generasi mendatang yang katanya akan hebat karena para wanita hebatnya sudah menyiapkannya.
Tuti :
Contohnya sudah banyak Pak. Pak Eko bisa hebat begini kan karena memiliki ibunda yang hebat. Betul nggak sih? ๐ ๐
Sebagian besar perusahaan sekarang makin menyadari bahwa SDM adalah aset dan bukan biaya. Jadi, di beberapa perusahaan, gaji antara pekerja perempuan dan laki-laki adalah sama pada jabatan yang sama. Risikonya, perempuan juga harus mau dipindahkan (dimutasikan) sesuai kebutuhan organisasinya. Disinilah masalah mulai muncul, kadang suami tak mendukung, atau perempuan itu sendiri yang tak berani mengambil kesempatan.
Diakui peran perempuan sangat sentral, baik dilapangan kerja maupun dalam rumah tangga. Jadi, perempuan berkarir tinggi, harus bisa me manage waktu dengan baik, jika mau tugas ke luar kota, contohnya laki-laki tinggal menata koper…perempuan harus menyiapkan daftar telepon yang harus dihubungi jika keadaan darurat, menu masakan saat ditinggal, dsb nya. Dan jika teman saya bisa turne seminggu, saya harus jungkir balik agar bisa menyelesaikan dalam dua hari, dengan catatan kerja sampai jam 2-3 malam, supaya bisa segera kembali ke rumah ketemu anak. Dengan didukung partner setia (suami) saja masih berat, apalagi jika tak didukung lingkungan dekat.
Jadi…dari beberapa kenalan perempuan yang jadi Dirjen, Direktur, CEO perusahaan…mereka beruntung karena dukungan pengertian dari suami..tapi banyak juga yang akhirnya menjadi single parent karena partnernya tak bisa mengimbangi….
(ini baru pengamatan dari teman dekat mbak Tuti..belum sampai tahap penelitian…siapa berniat membuat penelitian? Mungkin mengasyikkan hasilnya)
Tuti :
Mbak Enny adalah contoh yang sangat pas untuk wanita yang sukses di dalam karier dan rumah tangga. Berhasil menduduki posisi puncak di top management, anak-anak sukses, rumah tangga pun berjalan lancar. Saya (dan juga wanita-wanita lainnya) musti belajar banyak dari pengalaman Mbak Enny.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan Mbak Enny, wanita tidak akan bisa berkarier dengan leluasa tanpa dukungan dan kerja sama suami. Maka, kemajuan wanita sebenarnya bukan hanya urusan wanita saja, tapi urusan pria juga, yaitu memberikan kesempatan dan mau ikut mengambil alih sebagian tanggung jawab rumah tangga.
Bu Enny, memang seperti ada ketidakadilan beban pekerjaan antara wanita dan pria ketika menyelesaikan masalah pekerjaan yang sama. Saya tidak tahu apakah ini konsekwensi dari budaya kita yang lebih patrinial dengan memberikan beban tambahan pada wanita untuk juga memelihara keluarga. Adilnya sih beban itu dibagi bersama. Namun tampaknya tidak banyak pria Indonesia yang punya cara pandang seperti suami bu Enny.
Namun demikian, rupanya ibu adalah wanita yang saya cari-cari sebagai wanita yang berkategori top five. He he he. Tidak mudah memang mengatur rumah tangga dan pekerjaan bareng.
Mungkin pada latah dan trauma bahwa Indonesia pernah punya presiden wanita dan hasilnya…. *ngibrit*
Tuti :
Ketika Indonesia dipimpin lima presiden pria, hasilnya seperti apa Don? Korupsi dan mafia dimana-mana …
Betul bu Tuti, bukan masalah presidennya wanita tapi memang yang jadi masalah itu bu Meganya. Maaf bagi yang simpatisan PDIP.
mgkn karena pria selalu ingin lebih unggul dibandingkan wanita dalam segala hal, jadinya ya…
Tuti :
Nah, lo! Ini kata pria, yang masih berstatus calon suami … ๐
Sebenarnya semua orang yang memiliki ambisi tinggi akan merasa ingin lebih unggul pada siapapun apakah itu wanita ataupun pria
kancah perpolitikan Indonesia
memang masih didominasi kaum pria,
sejumlah wanita potensial dan
berkualitas sering ‘disia-siakan’
dan sering pula terpaksa minggir, karena
tak kuat mental melihat
permainan politik pria, yang
kerap menghalalkan segala cara
dan mengabaikan fatsun berpolitik………
btw, untunglah salah satu wanita berkualitas
itu masih setia nongol di TV ๐
Tuti :
Iya Bang, banyak orang berpendapat bahwa dunia politik adalah dunia pria, karena dunia politik yang penuh dengan permainan, pertarungan, dan perseteruan memang lebih cocok dengan cara kerja otak pria yang selalu ingin menjadi pemenang. Otak perempuan, yang dari ‘sono’nya memang diciptakan dengan kecenderungan untuk memelihara, membangun kerjasama, dan menumbuhkan kasih sayang, mudah terlibas dalam ‘peperangan’ di dunia pria. Maka, perempuan-perempuan yang sukses di dunia politik sesungguhnya adalah perempuan-perempuan yang hebat, karena mereka pastinya memiliki mental baja.
Wanita yang masih setia nongol di TV itu televisi mana Bang? ๐
Mungkin yang dimaksud adalah para presenter hebat seperti Najwa Shihab, Usi Karundeng, ataupun siapa lah.
Dunia politik memang kejam dan menakutkan tapi kita butuh itu untuk menopang kehidupan sehari-hari. Baik laki-laki ataupun wanita kalau sudah nyebur ke dunia politik akan berubah menjadi mahluk yang menakutkan juga
katanya dibalik setiap pria yg sukses ada wanita yg hebat.
bisa jadi demikian, karena menurut saya mengurus rumah tangga bukan pekerjaan ringan, dan lagi jika seseorang sukses di pekerjaan, tapi keluarganya berantakan, apakah dapat disebut sukses??
salam buat pak eko, kayaknya wanita super yg dimaksud itu udah pada nongol sebagian disini deh ๐
Tuti :
Betul sekali Dot, mengurus rumah tangga itu sama sekali tidak mudah, apalagi jika ada anak-anak yang masih kecil, apalagi jika tidak ada pembantu. Saya berani bertaruh, para bapak tidak akan sanggup melakukannya. Sayangnya, banyak pria yang belum cukup menghargai tugas-tugas domestik rumah tangga, dan menganggapnya sebagai pekerjaan yang tidak berarti. Ini terjadi, karena para bapak belum perah mencoba mengerjakannya sendiri. Coba, kalau sudah pernah merasakan capeknya memasak, menyapu dan mengepel, mencuci dan menyetrika, pasti deh para bapak angkat tangan …… ๐
Tapi mengkonfrontasikan antara karier sukses dan rumahtangga berantakan menurut saya bukan pilihan yang seharusnya diajukan. Bahagia dan berantakannya sebuah rumahtangga bukan hanya urusan dan tanggungjawab istri, tapi kedua belah pihak : suami dan isteri. Jadi, jika istri memang ingin bekerja, maka harus dibicarakan dan dicari jalan tengah dengan suami, bagaimana membagi tugas agar semuanya bisa berjalan harmonis. Yang banyak terjadi adalah, suami mengatakan : isterinya boleh bekerja asal rumah tetap dibereskan. Nah, ini kan artinya tidak berbagi tugas, melainkan membebankan semuanya kepada isteri.
Wah, komentarnya bu Tuti bikin saya “panas” nih. Pengalaman pribadi ya. Sebenarnya menangani pekerjaan rumah tangga dengan piawai tidak hanya dapat dilakukan oleh para perempuan saja tetapi laki-laki pun juga sanggup lho.
Banyak juga lho wanita yang nggak beres ngurus rumah tangganya. Even dia tidak bekerja dan murni IRT. Banyak pekerjaan rumah tangga yang piawai ditangani pria seperti memasak, mengurus bayi dan anak, membersihkan rumah, menata rumah, mengatur keuangan, dan lain-lain, dan lain-lain.
Tuti :
Hahaha … ini pengalaman Pak Eko juga ya? Good husband, good daddy, good grandpa … Salut, Pak ๐ ๐
* Saya setuju dengan kelebihan2 wanita Indonesia, krn teman2 sekolahku pun yang serius dan brilian ya kaum Hawa.
* Kemanakah para wanita itu? Sekarang sudah pada mulai muncul lho mbak, terutama yg membaca di blog ini… dan skrg banyak yg sudah sukses di dunia selebriti mulai merambah ke dunia politik (calon di Pacitan, Sidoarjo, Sukabumi, dll)….Bahkan di 24 SAUH malah tidak ada satu pun bapak-bapaknya, hehehe.
* Kalau dalam bahasan di atas yg dijadikan ukuran adalah JABATAN TOP, maka jangan dilupakan bahwa negara kita pernah memiliki WAKIL PRESIDEN dan PRESIDEN seorang wanita…hayo siapa menyusul 2014.
Tuti :
* Horeeee …. ! ๐
* Memang sudah mulai bermunculan figur-figur wanita dalam kepemimpinan negara kita, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Munculnya artis-artis dalam pilkada malahan dikhawatirkan hanya memanfaatkan kepopuleran dan daya tarik fisiknya, bukan kepintarannya.
Nah, kalau 24 SAUH, itu memang antologi cerpen dan puisi wanita, Mas Karma … ๐
* Siapa menyusul menjadi presiden wanita besok tahun 2014? Ow ow … kalau presiden direktur mah banyak … ๐
Wah rupanya ada yang sejalan dengan saya ๐
Ahh.. senangnya dengan posting ini, karena saya seorang wanita juga.. hehe.. Pak’E (loh, ikut-ikutan juga), bos paling tinggi di instansi saya, yang jabatannya setingkat menteri, juga adalah seorang wanita.. jadi saya tidak meragukan isi tulisannya Pak’E ini..
Tapi memang di negara ini anehnya suka ada anjuran wanita jangan sekolah tinggi-tinggi, jauh jodohlah, karena cowonya pada minder lah, gitu kan Pak? Beda ama di negara luar yang mungkin perlakuan pada pria dan wanitanya sama.. kaya temen saya pernah cerita, di Jerman wanita boleh bekerja dan laki-laki yang di rumah jaga anak, yang jaga anak (malah) dapet tunjangan..
Tapi kalo wanita bebas berkarir kaya di Jepang, malah repot juga, akhirnya jarang ada wanita yang mau hamil, hehe.. wah, saya banyak omong yaa..
Tuti :
Wanita yang berpendidikan tinggi dan mandiri sebenarnya tetap saja membutuhkan pria sebagai teman hidup, hanya saja biasanya mereka menginginkan posisi yang sejajar, bukan sebagai pihak yang dikuasai dan dibawah perintah suami. Nah, pria-pria yang minder atau takut memiliki isteri pintar dan mandiri ini pastilah pria-pria yang tidak cukup memiliki rasa percaya diri. Kalaupun istrinya lebih pintar, so what? Memangnya laki-laki harus selalu lebih dari wanita? Nggak kan?
Jadi, bagi para gadis dan wanita, jangan takut menjadi pintar hanya karena khawatir jauh dari jodoh. Jodoh yang menjauh karena takut pada kepintaran seorang wanita, berarti bukan jodoh.
Di lingkungan saya para perempuan dianjurkan sekolah setinggi-tingginya. Namun ada hipokrisinya ketika menyangkut urusan jodoh si penganjur sekolah setinggi-tingginya juga menyerah dengan mengatakan lebih baik cari pendamping (wanita) yang pendidikan setara atau malah kurang sedikit.
Andi Malarangeng malah menganjurkan isterinya untuk tidak ambil PhD karena alasannya susah, padahal istrinya termasuk pintar. Mungkin dibalik alasan itu adalah ingin di backup karir politiknya.
Teman saya satu lagi yang sudah PhD malah mempersilahkan isterinya ambil PhD di luar negeri padahal anaknya sudah empat dan di bawah 10 tahun. Katanya demi keadilan sehingga harus gantian mendukung. Kalau ini sulit dicari tandingannya.
Tuti :
Dua rekan dosen wanita saya, mengambil program doktor di luar negri, dan suami mereka dengan suka rela ikut untuk menjaga anak-anak mereka (karena anak-anak masih kecil dan tidak bisa ditinggal di Indonesia). Ini lebih hebat lagi …
Wah kulasan pak Eko ini sangat menarik.
Hem menjadi wanita dengan fungsi bukan hanya sebagai ibu, tapi harus jadi isteri dan juga bekerja dan berkarya memang bukan hal yang mudah.
Pengalaman saya sendiri nich mbak…wow sempet juga agak pontang-panting, tapi yach itulahlah terkadang peran penting orang-org disekitar kita, seperti suami, saudara, orang tua, pengasuh dan asistant rumah tangga tak lepas atas keberhasilan yang akan kita raih. Tanpa mrk saya nggak bisa bayangi dech, hem betapa repotnya menjalankan semua yang harus kita handle yang semuanya hampir dlm waktu bersamaan.
Tapi itulah dinamika hidup, meski terkadang sempet babak belur juga, misalnya sa’at anak sakit tapi pekerjaan kantor juga nggak bisa ditinggal, dan kegiatan lain juga ada, wow terkadang saya sebagai perempuan yang menjalani berbagai aktivitas ganda agak kewalahan. Lagi-lagi kalau dipikir-pikir itulah mungkin “SENI”nya ๐ ๐ ๐
Hem…., semoga saja semua yang saya cita-citakan tercapai….sambil melamun…mandangi para wanita yang sukses diberbagai bidang, tapi di rumah tangga, anak-anak tetap ok, berhasil dan sukses …wow…indahnya hidup ini…sambil menerawang lagi…..
Ok, mbak Tuti see you ๐
Best regard,
Bintang
Tuti :
Begitulah Mbak, seorang wanita tidak akan mungkin berkarier di luar rumah jika tidak ada ‘barisan’ yang kuat di belakangnya, yaitu para asisten yang mengambil alih tugas-tugas domestik. Menurut saya nggak masalah sih seorang wanita tidak mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah tangga, karena memang tidak mungkin mengerjakan semuanya sendiri sambil mengembangkan potensi di bidang yang lebih luas. Berbagi tugas adalah lebih baik.
Ada wanita-wanita yang memang hanya memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka biarlah itu dikerjakan oleh mereka. Bukankah itu artinya kita memberi pekerjaan kepada sesama juga? Wanita yang punya potensi lebih tinggi, biarlah berkarya di bidangnya. Karena waktu kita dalam satu hari hanya 24 jam, maka memang harus ada skala prioritas. Daripada menyapu lantai (yang tidak memberikan nilai tambah apa-apa), bukankah lebih baik kita bekerja di depan komputer (misalnya), yang itu memberikan manfaat lebih luas, tidak hanya kepada diri sendiri tetapi juga orang banyak?
Saya bangga pada para super woman seperti Mbak Linda, yang sukses menjalankan ketiga perannya : sebagai isteri, sebagai ibu, dan sebagai wanita karier (meskipun sempat babak belur ya Mbak …. hahaha … ๐ ๐ ).
Sukses untuk wanita Indonesia!
salam hangat,
Berkali-kali kita selalu memuji peranan para tokoh persaudaraan di belakang layar untuk kesuksesan karir para isteri. Hal ini karena budaya kekeluargaan kita memang tinggi. Kredit besar harusnya diberikan kepada mereka.
Namun di negara maju seperti di Eropa ataupun AS yang budaya kekeluargaannya (maksudnya keluarga besar) sudah pudar tidak ada masalah karena pasar sudah menjawabnya. Adanya institusi komersial seperti laundry, restoran, penitipan anak, ataupun temporary babysitter malah mempermudah pekerjaan single parent ataupun double income family. Apalagi jika pasangan DINK (double income no kids)
Salam kenal Pak’E (hmm… Ata kayaknya mesti bikin bubur merah putih neh!!)
di perusahaan kami (multinational company), untuk field sih memang lebih banyak pria yach… tapi kalo di head quarter, proporsi wanita cukup banyak kok!! bahkan ada direktur yg wanita!!
salam,
Tuti :
Baguslah Bro, berarti perusahaan tempat Bro bekerja sudah memberlakukan keadilan kepada semua karyawannya, sehingga karyawan wanita memiliki kesempatan yang sama dengan pria.
Di panggil Pak’E gak papa kok. Jadi mempertegas ketuaan saya he he he.
Untuk Indonesia memang field jobs banyak ditangani para pria, meskipun itu juga tidak menjamin kualitas pekerjaan. Saya dengar di negara maju (baru AS yang saya tahu) jika ada pekerjaan lapangan dengan persyaratan laki-laki akan diprotes habis-habisan karena diskriminasi gender.
Saya juga bermimpi kalau pekerjaan wanita tidak sekedar di belakang meja saja tapi juga menyangkut pekerjaan lapangan seperti pencacah sensus, pewawancara penelitian, sales person, ataupun prajurit infantri. But anyway, itu terlalu ekstrim kali ya.
Tuti :
Pekerjaan-pekerjaan lapangan seperti yang Pak Eko sebutkan itu sudah banyak dikerjakan perempuan lho Pak, kecuali prajurit infantri. Di proyek bangunan, sudah mulai umum ada tenaga kerja perempuan. Para mandor menyukai mereka karena pada umumnya buruh perempuan ini rajin dan tidak banyak tingkah (manutan gitu). Padahal kerjanya sama kerasnya, sama beratnya.
KEMANAKAH PARA WANITA ITU?
Kata orang …
Sesungguhnya di belakang seorang lelaki yang hebat … berdiri seorang perempuan yang hebat pula …
Salam saya Pak Eko
Tuti :
Sebaliknya juga Om, di belakang perempuan yang hebat berdiri lelaki yang hebat pula (karena telah memberi kesempatan kepada sang istri untuk menjadi hebat).
Kalau Om dan Tante, berdiri berdampingan dan sama-sama hebat kan? ๐ ๐
*yeah, gak ada salam untuk saya nih, Om?* ๐ฆ
Benar pak. Di belakang pria hebat ada perempuan hebat pula. Demikian jika ada perempuan hebat, dibelakangnya ada pria hebat pula.
Kira-kira ada nggak ya, pasangan suami isteri yang hebat di luar dan mereka tetap rukun.
Salam untuk keluarga pak, tidak untuk bu Tuti ya. ๐
Tuti :
Ada Pak, beberapa contoh pasangan yang sama-sama hebat, seperti Pak Sadli (almarhum) dan Ibu Saparinah Sadli, Pak Rahmat Witoelar dan Ibu Erna Witoelar, dll.
Haduh … ini yang punya veranda kok pada dicuekin yaa … hiks ๐ฅ
weleh…weleh…
TV mana lagi…..
ya itu tu…..,
Tutinonka’s Veranda
nan kesohor itu….. ๐
Tuti :
Hehehe … kalau TV yang ini nggak punya penyiar dan nggak ada iklannya Bang …
Siarannya 24 jam sehari tanpa jeda … ๐
Wah, saya kok telmi ya. Betul tul tul, TV yang dimaksud dengan presenter utama TNk, EdR, Elnd, CrtE, dan lain-lainnya yang tak dapat disebut satu-satu.
jadi geer dibilangin bu Tuti di blog tempatnya wanita pandai he..he…he..sekali2 boleh ya bu
di tempatku malahan perbandingannya 1:3, yg 3 itu cewek semua, Pak Eko
Tuti :
Lah iya … memang wanita-wanita yang hadir di TV kan pinter-pinter semua, Mbak Monda ๐
Hebat tuh tempat kerja Mbak Monda. Bravo!
Tiga banding satu? Wah hebat itu. Jenis pekerjaan apa ya bu. Jadi curious nih.
Berarti lia termasuk pandai dong mbak… heheheh
kebetulan tempat kerja lia dari total 800 pekerja 600 adalah wanita dan memang posisi kebanyakan adalah di lower level ๐ฆ
kemanakah wanita pintar itu ? kadang sebagian tidak bisa memilih untuk menjalani keduanya2 antara karir dan kodrat
kebanyakan setelah menduduki posisi penting keluar untuk alasan yang lebih mulia.. menjadi IRT konsen untuk anak2nya…
Salam untuk Pak E’ mbak… ^_^
Tuti :
Pastilah, Lia termasuk gadis yang pandai. Keliatan kok dari senyumnya ๐
Lia kerja di mana, kok mayoritas karyawannya wanita? Semoga perusahaan memperlakukan mereka dengan baik dan adil ya …
Ya, memang tidak sedikit wanita yang dengan ikhlas melepaskan karier demi mendampingi anak-anak yang masih kecil. Nanti akan ada waktunya untuk kembali bekerja, jika anak-anak sudah besar dan sudah mandiri, meskipun tidak terlalu mudah mencari pekerjaan jika umur sudah cukup tinggi. Persaingan dengan tenaga-tenaga kerja yang masih fresh seringkali tak bisa mereka menangkan, kecuali mereka memiliki kemampuan plus yang tidak dimiliki oleh tenaga kerja yang lebih muda.
Pak Ekoooo …. ada salam nih ๐
Wa’alaikum salam bu Lia. Biarpun lower level tetap aja berguna bagi keluarga dan tentunya perekonomian nasional he he he.
saya memberikan apresiasi yg sangat tinggi buat para wanita2 itu … sangat diharapkan kehadiran wanita2 yang lain.. yang mampu memberi warna lain di ruang2 publik.. dan menjadi penentu akan masa depan kita semua.. terlalu banyak laki2 yang sudah gagal dalam menerapkan teknik memimpin yang bergaya koboi .. dan ditunggu siapakah wanita yang mampu menjadi pemimpin.. yang bergaya feminis, mandiri, dewasa, cerdas, smart.. dan tidak menya menyee..
Tuti :
Woow … komen yang sangat membesarkan hati (sekaligus menantang) para wanita, El. Terimakasih … ๐
Meskipun demikian, wanita tidak bisa bekerja sendiri. Harus tetap ada dukungan dan kerjasama yang baik dengan rekan-rekan pria. Jadi, ayo kita galang kerja sama di antara kita untuk kesuksesan bersama!
Maaf bu, apakah wanita dalam memimpin tidak dapat bergaya koboi? Apakah gaya koboi itu tembak sana tembak sini menyalahkan orang lain atau bagaimanan nih? Salam
Tuti :
Maaf Pak E, Mas Elmoudy ini koboi lho … maskulin asli, jadi panggilan yang tepat kayaknya bukan ‘bu’ deh … ๐
Sori, Mbak T en Pak E, mau komen ngaco:
Kalau perbandingan dalam poligami jelas pria “kalah”: 1 laki-laki: 2, 3, atau 4 perempuan. Tapi, hampir semua dalam keluarga poligami, si prialah yang jadi atasan, para istrinya bawahan.
Terpicu oleh tulisan Pak E di sini, bagaimana kalau institusi poligami itu (yang akan tetap eksis) diinisiatifi dan diberdayakan oleh dan bagi (terutama) para perempuan sehingga merekalah yang pegang kendali, suami hanya sebagai semacam sekrup perekat saja.
Nah, keberhasilan “menaklukkan” lembaga poligami demikian bisa ditularkan/diperluas ke lingkup lain sehingga baik perbandingan secara kuantitas maupun kualitas, para perempuanlah yang lebih berdaya.
Kira-kira begitulah pengacoan saya. Salam buat semua warga TV, terutama buat sang empunya.
Tuti :
Waduh, tentang skrup perekat ini saya nggak bisa komentar, Mas Bahtiar, karena saya anti poligami …. ๐ฆ
Terimakasih kunjungan dan salamnya, insya’allah saya segera berkunjung ke awamologi ๐
Laki-laki sebagai sekrup perekat? Pakai apa pak. Jadinya malah merendahkan prianya. Janganlah meninggikan wanita dengan merendahkan prianya. ๐
heheh.. saya suka closing dari bu Tuti…
berarti saya termasuk dong Bu..hihih (ge er dikit gpp yaak)
hm, menurut saya, wanita2 itu sebenernya memang masih ada.. tapi, ibarat timbangan, timbangan ke urusan keluarganya lebih berat.
sebenernya suami / keluarga mengizinkan aja wanita2 itu untuk berkarir, tapi si wanita itu sendiri yang akhirnya condong ke urusan keluarga.
kebetulan saya juga melihat byk peristiwa serupa di kantor. byk wanita pintar. tapi ketika ditawari jabatan yang lebih tinggi lagi.. mereka tidak mau.. alasannya berat ke keluarga.
mungkin begitu pendapat saya Bu Tuti ๐
semoga berkenan.
Tuti :
Ya iyalah … semua wanita yang bertandang di blog saya pastilah wanita-wanita pintar … ๐
Ketika wanita ditawari jabatan tinggi, pertimbangan untuk menerima jabatan itu memang lebih kompleks dari pada pertimbangan pria. Wanita selalu mempertimbangkan waktu yang harus diluangkan untuk keluarga, sementara pria tidak harus mempertimbangkan aspek tersebut. Lalu, sering kali wanita juga harus mempertimbangkan posisi suami. Kalau jabatan yang diembannya lebih tinggi dari suami, akan timbul semacam perasaan ‘kurang nyaman’. Jika suami tidak cukup siap, jabatan tinggi istri juga bisa mempengaruhi hubungan dalam keluarga.
Pendapat Anna sama dengan pendapat saya, jadi sudah pasti sangat berkenan … eh, kok istilahnya berkenan sih, kayak saya lebih tua aja (lah emang iyaaa … ๐ )
Untuk Anna, akankah dimungkinkan jika wanita pandai tersebut sebelum menolak jabatan bicara dulu dengan suami? Maksudnya adalah pembicaraan siapa yang akan berkorban waktu untuk keluarga. Seandainya (ini pikiran seorang ekonom) dipertimbangkan benefit costnya jika yang berkorban suami atau yang berkorban isteri. Bisa jadi jika yang berkorban adalah suami maka kehidupan ekonomi RT menjadi lebih baik dibanding jika isteri yang berkorban.
Masalahnya adalah pria dan wanita Indonesia kebanyakan apriori yang berkorban harus sang isteri. Dan pikiran saya tersebut sangat mungkin dianggap nyleneh. Saya bayangkan untuk generasi anak kita (atau malah cucu saya) pikiran tersebut akan menjadi wajar.
Saat saya baru diangkat jadi manager, Direktur saya bilang…buatlah dirimu “needed”, sehingga organisasi, siapapun yang memimpin akan membutuhkanmu.
Dan saya bersyukur, setiap kali akan mendapatkan promosi atau mutasi, atasanku mengajak dulu diskusi dari hati ke hati. Ada yang sampai saat ini teringat terus…”En, coba tanya suami, bolehkan kamu menduduki jabatan sebagai…..Jabatan ini menantang, risikonya tinggi, namun saya yakin kamu mampu mendapatkannya, Dan suamimu boleh telepon langsung ke telepon saya, jika dirasa ada hal-hal yang ingin diketahuinya.” Dan apa jawab suami, “saya percaya atasanmu telah menilaimu secara benar, dan saya yakin kamu sanggup menerimanya. Saya percaya, kamu bisa membagi tugas sebagai ibu…dan jangan kawatir, aku akan mendukungmu.”
Saya bersyukur mas Eko, suami selalu mendukungku, bahkan di malam2 saat saya harus tidur di kantor, rapat sampai jam 2 malam, suami yang mengambil alih peran untuk menemani anak-anak..
catt: Ini juga jawaban untuk Anna
wanita-wanita pandai itu, mungkin kini sedang berada di rumah membacakan dongeng untuk anaknya, menemani mereka belajar, les, kursus, olah raga, atau menemani suaminya tugas ke luar kota, menjadi partner suaminya di perusahaan, mengurusi kegiatan darma wanita…dll ๐
Ya, para wanita pandai itu memang tidak menduduki jabatan strategis di kantor pemerintahan atau swasta tapi dipandang dari sisi manapun keputusan untuk lebih fokus pada mengurus rumah tangga, menemani suami dan mendidik anak2 menjadi orang2 hebat nantinya adalah pilihan yang sangat bijak dan mulia…
salam hormat saya, untuk Pak Eko dan Bu Tuti…
Tuti :
Setiap orang tentunya berhak menentukan pilihan yang terbaik bagi hidupnya, dan pilihan itu mungkin tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Jadi, apapun pilihan seorang wanita, apakah ia seratus persen menjadi ibu rumah tangga atau berkarier juga, selama itu dilakukan dengan penuh tanggungjawab, menurut saya oke saja.
Salam hormat saya juga, Ceuceu :)<
oya, duet suami-istri yg sama2 hebat di luar sepertinya tidak ada dalam keluarga besar saya, namun saya punya Om yang ketika perusahaannya bertambah maju, sang istri kemudian memutuskan untuk lebih menjadi partner suaminya di perusahaan itu… memang, karirnya di luar tidak sempat menjulang, namun ia memiliki waktu yang lebih fleksibel agar perhatian untuk anak2 dan rmh tangganya pun lebih banyak… ๐
* jika saya di posisi tante saya itu, rasanya saya juga akan mengambil keputusan yang sama…
Tuti :
Setuju, Ceuceu. Jika suami istri dapat bekerja bersama dalam satu bidang yang sama, itu sungguh ideal. Salam buat Om dan Tante Ceuceu ya … ๐
Ini mungkin sudah mempertimbangkan manfaat dan ongkosnya siapa yang berkorban. Jika isteri adalah karyawati dan suami adalah pengusaha yang berpotensi maju memang sebaiknya demikian. Namun bagaimana jika suami karyawan dan isteri adalah pengusaha yang berpotensi maju? Mungin ceritanya bisa berubah. Ada kisah seperti itu seperti Restoran Ayam Goreng Ny Soeharti. Sang suami keluar dari PNS lalu membantu bisnis isterinya.
Kirain Bu Tuti sudah punya stasiun TV beneran. Nggak taunya singkatan dari nama Ibu…..Sorry, maklum udah lama nggak blogwalking.
Btw, mertua saya punya anak empat orang perempuan semua. Semuanya punya karir yang bagus akibat sekolahnya bagus juga. Dan alhamdulillah, semua suami mereka, termasuk istri saya, juga mengizinkan istri2 mereka untuk berkarir. Bukan sekadar untuk menopang ekonomi semata, tetapi juga untuk aktualisasi diri dan mengimplementasikan ilmu yang sudah diperoleh dengan susah payah.
Tuti :
Wah, hebat sekali Bang Hery dan para menantu pria ini. Pastinya para istri yang sudah diberi kesempatan dan dukungan ini pun membalas dengan memberikan yang terbaik buat keluarga. Semoga anak-anakpun memperoleh manfaat dari aktivitas ayah bundanya, dengan mencontoh ketekunan dan kerja keras mereka.
Salam buat kakak ya Bang ๐
Bung Hery, anda beruntung ataukah isteri yang beruntung? Just kidding. Tentunya bung Herry senang melihat kebahagiaan isteri dapat mengaktualisasi diri dan bersama-sama mengatur kehidupan rumah tangga saja.
Bung Hery, anda beruntung ataukah isteri yang beruntung? Just kidding. Tentunya bung Herry senang melihat kebahagiaan isteri dapat mengaktualisasi diri dan bersama-sama mengatur kehidupan rumah tangga.
ngomong2 tentang ini seminggu yg lalu teamku ada kerjaan di lapangan, dan waktu dilapangan kita harus di supervise oleh client. then sesampai di lapangan suprise ternyata supervisenya cewek juga jadilah lelaki2 itu bekerja di bawah supervise 2 perempuan…hehehehehe….
tapi walaupun gimana saya lebih suka lelaki melebihi wanita, bukan tidak feminisme tetapi memang tempatnya mereka memang untuk membimbing perempuan*menurut ria loh*
Tuti :
Wow, hebat Ria bisa menjadi supervisor para pria di lapangan *acung jempol*
Wew … ternyata Ria tetap lebih suka dibimbing pria ๐
Masing-masing pihak, baik pria ataupun wanita, memang memerlukan sandaran agar hidup bisa seimbang. Pihak pria juga senang jika ada wanita yang dapat membimbing urusan yang seorang pria tidak mampu. Misalnya, suami yang mengakui tidak bisa mengatur keuangan RT maka dengan berbesar hati akan senang diatur keuangannya oleh isteri yang mengerti.
[…] Eko Atmadji pernah menulis Kemanakah Para Wanita Itu? yang publish di TV tanggal 13 Mei 2010. Yes! Pak Eko adalah pengagum wanita. Eits …. jangan […]
klo saya kok malah lebih ber-empati pada laki-2 dewasa saat ini, karena menjadi laki-2 pada masa ini, sunguh tidaklah mudah…………. ๐
laki-2 dewasa saat ini, sebagian besar dibesarkan oleh keluarga yg mempunyai nilai lebih mengutamakan laki-2 dalam hampir segala hal, akan tetapi saat mereka dewasa sekarang, dunia telah berubah, lebih banyak teman wanitanya yg lebih mumpuni, baik di perguruan tinggi maupun di tempat kerjanya, bahkan istrinya di rumah………..
kontradiksi antara kenyataan yang di hadapi saat ini tidak inline dengan pola pendidikannya dimasa kecil, hal ini cukup memberikan tekanan psikologis yang tidak ringan bagi pria dewasa saat ini……………….
so……….para ibu-2 cantik yg cerdas, janganlah terlalu keras menuntut suami u/ berbagi tanggung jawab di rumah, fahami hambatan psikologis yg dideritanya….. ๐
insyALLAH generasi anak-2 kita, tekanan psikologis tersebut telah berkurang atau bahkan hilang, karena kita telah menggunakan pola pendididkan yg setara sejak awal……………., amiiin Robb AL-alamiiiin……….. ^O^
salaaaaam
ibarat sebuah panggung begitulah saya analogikan. wanita-wanita itu adanya di belakang layar. mereka adalah aktor di belakangnya mungkin sebagai sutradara, pemeran yang sangat urgen.
perannya memang tidak tampak tapi tanpa dia tak ada sandiwara, tak ada panggung..