Yogya – Solo cuma dipisahkan jarak 60-an kilometer, tapi perlu waktu puluhan tahun bagi saya untuk menjelajah kota yang merupakan saudara kandung kota Yogya ini. Setelah mengunjungi banyak kota di luar Jawa, luar Indonesia, dan luar Asia (luar bumi belum 😀 ) saya merasa sungguh malu kalau belum pernah ke Solo. Maka, beberapa waktu yang lalu saya menyempatkan diri plesir ke Kraton Surakarta, Masjid Agung, kampung batik Kauman, dan Pasar Klewer. Sebenarnya pengin ke benteng Vastenburg juga, tapi sudah kesorean. Lagipula konon benteng peninggalan Belanda itu kini dimiliki swasta dan terbengkelai 😦
Tujuan pertama kami adalah Kraton Surakarta, yang terletak di tengah kota Solo. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744, untuk menggantikan istana di Kartasura yang rusak akibat Geger Pecinan (pemberontakan orang Cina) pada tahun 1743. Istana baru ini didirikan di desa Sala, 14 km sebelah timur Kartasura, yang kemudian diberi nama Surakarta (awas, jangan bingung antara Kartasura dan Surakarta 😀 ). Istana ini menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, kraton ini dijadikan istana resmi Kasunanan Surakarta.
Kori Kamandungan dengan Bale Roto di depannya, dan panggung Sangga Buwono menjulang tinggi di belakang
Panggung Sangga Buwana terdiri atas 5 lantai setinggi 30 meter
Pada zamannya, Kraton Surakarta merupakan bangunan yang sangat indah. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I), yang juga menjadi arsitek utama Kraton Yogyakarta. Tidak mengherankan kalau pola dasar tata ruang kedua istana ini memiliki banyak kesamaan. Pembangunan dilakukan secara bertahap, dan restorasi besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X yang bertahta pada tahun 1893 -1939. Kraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitektur gaya campuran Jawa-Eropa (zaman dulu belum ada cat produk pabrik, jadi warna birunya pakai apa ya? *penasaran* 🙄 )
Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah saudara kandung, berasal dari satu ‘ibu’ yaitu Kerajaan Mataram. Namun demikian dua saudara kandung ini memiliki perbedaan watak dan sikap yang jelas. Kraton Yogyakarta anti kolonial, sedangkan Kraton Surakarta pro kolonial. Perbedaan sikap ini termanifestasi pada segenap sisi budaya dan kehidupan, misalnya pada corak batik. Batik Yogya memiliki corak yang tegas dan kaku, dengan warna putih dan coklat sogan yang kuat. Batik Solo memiliki corak lebih luwes, dengan warna lebih cerah. Pengaruh Belanda juga tampak jelas pada patung-patung bergaya Eropa yang banyak berjajar di dalam kraton. Gaya hidup bangsawan Yogya lebih ‘tertutup’ dalam budaya Jawa, sementara priyayi Solo lebih terbuka pada budaya barat.
Patung dengan karakter Eropa yang sangat kuat
Yang dua di depan itu bukan patung lho … 🙂
Bagian utama Kraton Surakarta adalah bagian yang disebut kompleks Kedhaton. Di sini terdapat bangunan Sasana Sewaka, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. Sasana Sewaka adalah tempat bertahtanya raja pada upacara-upacara kebesaran kerajaan. Dalem Ageng Prabasuyasa adalah tempat disemayamkannya pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Sasana Handrawina digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Adapun panggung Sangga Buwana digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan, sekaligus untuk mengawasi benteng VOC yang berada tidak jauh dari sana. Panggung tinggi ini juga dipergunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di sisi sebelah timur, terdapat bangsal Pradonggo yang dipergunakan untuk membuat gunungan dan Bangsal Pujono sebagai tempat para pemukul gamelan.
Bangsal Sasana Sewaka, tempat raja bertahta
Bangsal Sasana Handrawina, di sinilah pesta jamuan kerajaan diadakan
Dalem Ageng Prabasuyasa, tempat penyimpanan pusaka-pusaka kerajaan
Bangsal Pradonggo dan Bangsal Pujono, tempat pembuatan gunungan dan para niyaga menabuh gamelan
Beberapa raja Kraton Surakarta memiliki peran yang cukup menonjol, antara lain Susuhunan PB VI yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Susuhunan PB X yang melakukan renovasi istana dan membeli banyak kereta-kereta kerajaan, dan Susuhunan PB XII yang serta merta menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Pemerintah RI pada tahun 1945. Sayangnya, setelah Susuhunan PB XII wafat pada 11 Juni 2004, terjadi perebutan kekuasaan di Kraton Surakarta, yaitu antara Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan. Konflik ini belum berakhir dan hingga saat ini masih dalam status quo.
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB XIII yang sekarang bertahta
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB XI
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB X, raja Surakarta yang paling kaya
Kanjeng Ratu Hemas, Permaisuri Susuhunan PB X
Di dalam kompleks Kraton Surakarta terdapat museum yang menyimpan benda-benda budaya, foto-foto lama, lukisan para raja, kereta kencana, dan berbagai macam benda bersejarah milik kerajaan. Meskipun terkesan hanya dirawat ala kadarnya, benda-benda ini masih menyimpan keindahan dan kharismanya di masa lampau.
Multikulturalisme hidup di Kraton Surakarta, yang bisa dilihat dari banyaknya patung-patung bergaya Eropa, juga kostum prajurit yang beraneka corak.
Patung sepasang pengantin seukuran manusia dengan busana adat Surakarta
Tempat menyimpan barang hantaran kepada mempelai wanita
Sanggan, tempat untuk menyimpan perhiasan
Kalau yang ini bukan barang hantaran lho … 😀
Kostum prajurit yang terpengaruh gaya busana ala Barat
Korps prajurit pemotong pisang …
Jenderal Kumis dilendotin Si Manis …
Kraton Surakarta memiliki berbagai upacara adat yang sama dengan Kraton Yogyakarta, seperti Garebek (Grebek) dengan gunungan yang terbuat dari nasi dan lauk pauk, Sekaten, kirab ‘mubeng’ (keliling) beteng pada malam 1 Suro, dan masih banyak lagi. Pada acara kirab mubeng beteng ini diarak kerbau bule bernama Kyai Slamet yang merupakan pusaka kraton. Banyak rakyat yang meyakini kesaktian kerbau bule ini, sehingga ‘tlethong’ (kotoran) kerbau ini pun diperebutkan karena dianggap membawa berkah.
Karena penasaran, saya pengin lihat apa yang dimakan kerbau-kerbau bule ini sehingga kotorannya saja begitu berharga. Ternyata Kyai Slamet makan jagung, meskipun mungkin nggak doyan pop corn … 🙂 Ohya, Kyai Slamet ini bukan nama satu kerbau khusus, tetapi nama untuk semua kerbau bule yang dimiliki kraton. Kalau diurutkan dari generasi awal, mungkin ada Kyai Slamet I, Kyai Slamet II, dan seterusnya. Yang sekarang memangku jabatan sebagai Kyai Slamet adalah keturunan ke berapa, saya belum mendapatkan informasi … 🙂
Kyai Slamet menikmati santapan siangnya. Lho, dua yang negro itu namanya Kyai siapa ya?
Di sebelah barat Kori Brojonolo yang terdapat di Kemandungan Utara, terdapat ‘garasi’ kereta-kereta kerajaan. Kereta-kereta ini hampir semuanya buatan Eropa. Megah dan indah (saya juga mau lho kalau dikasih … 🙂 ). Penunggu dan perawatnya, Mbah …. (waduh, saya lupa namanya), sudah sangat renta. Tetapi kedisiplinan, pengabdian, dan loyalitasnya sungguh mengagumkan. Ketika kami datang, dia buru-buru (tapi dengan gerak perlahan dan agak gemetaran sih, karena usianya yang sangat lanjut), Mbah ini mengenakan pakaian kebesarannya. Dia benar-benar tidak mau difoto sebelum mengenakan ‘samir’ (selendang kecil yang dikalungkan di leher) dan ikat kepala. Sepertinya Mbah ini merasa tidak pantas difoto bersama kereta pusaka yang dirawatnya jika tidak dalam tampilan dinas resmi. Ohya, setiap kali akan menghampiri sebuah kereta, si Mbah selalu menyembah terlebih dahulu. Meskipun saya menghormati kereta-kereta pusaka itu, saya tidak ikut menyembah (takut diketawain ayam yang berkeliaran di dekat situ … 😀 )
Sembah bekti Si Mbah kepada kereta pusaka kerajaan
Pengabdian tanpa mengenal masa pensiun …
Ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika istana ini selesai dibangun, muncul sebuah ramalan (entah oleh siapa, yang jelas bukan oleh almarhumah Mama Laurent …), bahwa Kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun, kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jawa : kari sak megare payung). Legenda ini seakan memperoleh pengesyahan dengan dihapusnya wilayah Kerajaan Surakarta setelah kemerdekaan, yaitu pada tahun 1946, sekitar 200 tahun sesudah istana berdiri. Kini, kekuasaan Susuhunan benar-benar hanya tinggal sebatas kerabat dekatnya saja.
Hal ini berbeda dengan Kraton Yogyakarta, yang hingga sekarang keberadaannya masih eksis. Saat ini Sultan HB X dan rakyat Yogya sedang memperjuangkan agar Yogyakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa, dimana pemegang tampuk kekuasaan politik (dalam hal ini adalah gubernur) secara otomatis dipegang oleh raja Yogya. Keterlibatan Kraton Yogyakarta di bidang politik didukung oleh banyaknya ‘sentono dalem’ yang tampil di panggung politik nasional. Langkah ini nampaknya mulai diikuti oleh beberapa bangsawan Kraton Surakarta, yang juga mulai terjun ke dunia politik untuk meraih posisi dan kekuasaan.
Poster kampanye legislatif GKR Ayu Koes Indriyah di ‘baluwarti’ (tembok beteng) Kraton Surakarta
Sungguh ‘ambisius’ keinginan menulis tentang kota Solo dalam sebuah posting yang panjangnya terbatas. Bahkan, sangat sulit meringkas kisah sebuah kerajaan serta menggambarkan kekayaan budaya sebuah istana dalam tulisan sepanjang 1200 kata. Tetapi itulah yang harus saya lakukan. Jadi apa boleh buat, kisah kunjungan ke Kraton Surakarta terpaksa saya sudahi dulu. Akan lebih baik kalau teman-teman berkunjung sendiri ke sana. Adapun kunjungan ke Masjid Agung, kampung batik Kauman, dan Pasar Klewer, akan saya sambung lain kali, jika dikaruniai umur panjang. Amiiiin ….. 🙂
(Sumber : Wikipedia)
Weleh, ternyata selama ini nglencer ke Sala to. Belum baca sih. Ingin mengikuti teman-teman mengamankan yang pertamax.
Tuti :
Weleeh … belum baca kok sudah komentar to Pak 😮
Sampai segitunya ya pengin pertamax. Iya deh, lain kali Pak Eko saya kasih pertamax. Siap-siap aja bawa dirijen … eh, jerigen 😀
Wah.. saya belum pernah ke Solo, atau ke Keratonnya.. mudah-mudahan suatu saat nanti..
Kerbau yangn bule itu.. warna dan bentuk badannya unik juga ya Bu? 🙂
Tuti :
Kalau mau ke Solo, mampir Yogya dulu Cla. Dosa lho kalau enggak … 😀
Kerbau bule warnanya memang putih (namanya juga bule … ), tapi bentuknya kayaknya biasa aja deh …
Wow kupasan yang lengkap ala khas mbak Tuti….selalu asyik tuk dinikmati.
Sayangnya terkadang perawatan & pemeliharaan utk tempat2 spt ini masih kurang yach mbak, krn sebahagian terlihat berdebu…pdahl menyimpan banyak sejarah 🙂
Ma’af mbak baru sempet main lagi krn akhir2 ini sibuk banget, hahahaha…..
Best regard,
Bintang
Tuti :
Kraton Surakarta memang tak seberuntung Kraton Yogyakarta, yang masih eksis hingga sekarang. Karena raja dan para pembesar Kraton Surakarta tidak memiliki posisi strategis di bidang politik dan pemerintahan, maka dana untuk pemeliharaan kraton pun menjadi seret. Kraton Surakarta juga tidak selengkap Kraton Yogyakarta, sehingga kalah dalam hal menarik minat wisatawan.
Meskipun demikian, Kraton Surakarta adalah aset budaya yang harus dilestarikan.
Nggak apa-apa Mbak, saya juga akhir-akhir ini jarang bw, lagi sibuk juga … 😦
salam hangat 🙂
..
Kalo kepengaruh budaya belanda, berarti banyak lukisan para meneer dong selain patung..?
Hmm..penasaran sama lukisan dan putri solonya..
Hi..hi..
..
Tuti :
Aku nggak ngelihat lukisan2 para meneer tuh? Atau mungkin di tempat yang lain ya, bukan di museum. Kalau di museum, yang ada cuma lukisan para raja …
Nah, kalau putri Solo bisa dilihat dimana-mana … 🙂
Hahaahh saya putri solo 🙂 asli dari solo 🙂
Sudah sering ke Solo tapi belum sampai ke dalam keratonnya… untung selain kisah juga ada foto2nya… Oya mbak, teman negronya sang Kyai mungkin namanya Kyai Ora Slamet… hehe…
Tuti :
Kyai Ora Slamet? Hihihi … Yang jelas Kyai Ora Bejo, karena nggak pernah diarak dan tlethongnya nggak dicari orang … 😀
saya belum pernah ke solo…
lucu ya patung2 di keratonnya malah patung2 bergaya eropa ya… 🙂
Tuti :
Kita melihatnya lucu, tapi para bangsawan Surakarta zaman dulu bangga sekali lho … 🙂
Saya juga belum pernah ke Solo padahal sudah ke Yogya berapa kali. Dan padahal adik ipar saya orang Solo hehehe. Belum jodoh sepertinya.
Nanti deh suatu waktu ke sana.
Selalu suka geli membaca caption fotonya.
Penasaran si Mbah abdi dalemnya itu usia berapa ya? sudah sepuh sekali keliatannya.
EM
Tuti :
Kalau Mbak Imel belum pernah ke Solo kayaknya wajar deh … lha wong bukan orang Jawa, besar di Jakarta, dan sudah luamaaa jadi orang Jepang. Lha kalau saya, yang orang Jawa dan tinggal di Yogya, kan memalukan … 😀
Wah, saya lupa nggak nanya usia Si Mbah. Tapi kalau melihat kondisi fisiknya, bicaranya yang sudah sangat pelan dan gemetar, saya menduga sekitar 80an tahun …
* Ironis untk saya, setelah membaca posting mbak Tuti, saya
baru sadar belum pernah berkunjung kesana….kalau ke
keraton Yogya mah sdh pernah, krn banyak obyek rekreasi
lainnya yg dekat2 di sekitarnya sih.
* Wah…wah…sampai segitunya ya, “Tlethong kyai Slamet”
jadi rebutan kalau pas kebelet waktu kirab….mestinya bisa
dikemas dalam bungkusan sbg souvenir juga tuh, siapa
tahu ada pengunjung yang berminat.
* Ada lukisan Kanjeng Ratu Hemas, Permaisuri Susuhunan
PB X, apa PB X itu sama dengan HB X ??? berarti bibit
unggul bertemu dengan bibit unggul ya….maklum kurang
banyak mbaca sejarah.
Tuti :
* Di Solo sebenarnya banyak obyek yang patut dikunjungi lho Mas. Saya baru saja googling, dan baru tahu juga, ternyata cukup banyak tempat-tempat menarik (minimal bagi saya) di Solo yang ingin saya kunjungi.
* Souvenir tlethong kebo? Hehehe …. mungkin harus banyak ya, seukuran 1-2 kg gitu, supaya bisa buat pupuk tanaman … 🙂
* PB X tidak ada hubungan dengan HB X. Jamannya beda jauh. PB X berkuasa di Kraton Surakarta antara tahun 1893 – 1939. HB X masih berkuasa di Kraton Yogyakarta sampai sekarang. Mungkin karena sama-sama raja ke X, lalu mengambil nama untuk permaisurinya juga sama … 🙂
tiap ke yogya ndak pernah mampir ke soLo..
** nanti khusus ke soLo ajah, ndak mampir ke yogya 😀
bunda,
patung sepasang pengantin seukuran manusia??
Rak tinggi tokh bund? weeeeh….
sesekali wisata budaya aah, suwun sanged nggih bunda.. 🙂
Tuti :
Ndak mau mampir ke Yogya? Weeh … rugi lho, ndak ketemu saya. Soalnya saya suka traktir dan bagi-bagi hadiah … 😀
Iyo, patungnya seukuran manusia. Ya ndak tinggi banget, wong patung mantennya duduk kok … Pasangan pengantin itu namanya “Don’t Touch” 😀
Wisata budaya itu penting lho. Biar kenal dan cinta budaya kita, jangan baru mencak-mencak ketika budaya kita diambil negara lain … 😉
Entah kenapa saya kok kurang tertarik berwisata ke Kraton Solo ya… apa mungkin karena adanya ontran-ontran tentang rajanya sampe ke kasus2 seperti (konon) penjualan petak tanah keraton dan apalagi kalau bukan (terkesan begitu mudahnya) bagi-bagi gelar bagi para publik figur.
Tapi aku kaget lho Bu baca dan lihat postinganmu ternyata ada patung kayak Bunda Maria ya…
Wah, multikultural dan benar-benar ada unsur serapan dari banyak budaya…
Tuti :
Dulu aku juga kurang tertarik ke Kraton Solo. Tapi aku lalu mencoba membuka pikiran, siapa tahu dari yang kurang menarik itu ternyata bisa ditemukan sisi-sisi menariknya. Kalau nggak kenal, pasti kita nggak tahu sisi-sisi menarik itu, kan?
Tentang kasus penjualan tanah-tanah kraton, aku nggak tahu. Bisa jadi, karena kepepet kebutuhan hidup. Kan banyak bangsawan kraton yang nggak punya kerjaan, jadi terpaksa menjual harta yang ada untuk bertahan hidup … mungkin lho.
Oh, itu patung Bunda Maria to? Aku malah nggak ‘ngeh’ 🙂 Memang di Kraton Surakarta ini banyak patung-patung Eropa 🙂
Ada Tiga Hal Bu Tuti :
1. Pengabdian tanpa mengenal masa pensiun
Saya tertegun melihat foto tersebut … sebuah pengabdian yang diemban dengan penuh kehormatan …
2. Patung …
Saya baru tau kalau ternyata di kraton Solo itu ada patung Eropanya …
3. Kraton Solo …
Saya belum pernah ke kraton ini …
Mudah-mudahan saya bisa menengok kesana …
salam saya Bu Tuti
Tuti :
Tiga hal juga Om …
1. Pengabdian yang diemban dengan penuh kehormatan … Betul Om. Mereka mengabdi dengan sepenuh jiwa raga. Padahal kalau dilihat dari gaji yang diterima, sungguh-sungguh tak sebanding nilainya. Bagi mereka, bisa mengabdi itu adalah kehormatan …
2. Sama Om, saya juga baru tahu kalau di Kraton Solo berderet patung-patung Eropa. Jadi penasaran, patung-patung itu dulu dibuat di Solo atau didatangkan dari Eropa ya? 🙄
3. Kalau mau ke Kraton Solo, mampir Yogya dulu Om, saya mau mbonceng … 🙂
salam saya juga, Om …
Kalau Mbak Tuti malu
karena lama baru ke Solo,
saya juga malu
karena sudah lama
tak bertandang ke sini…
seperti biasanya postingan
Mbak Tuti soal Kraton Solo
slalu enak dibaca dan perlu…..
btw, katanya orang Batak
bnyk yg sukses, karena menikahi
putri Solo yang terkenal
ayu dan lembut……
hehe …jd ngelantur nehhh 🙂
Tuti :
Nggak usah malu karena lama nggak kesini, Bang. Kalau lama nggak ke masjid, nah … baru deh harus malu … 🙂
Orang Batak banyak yang sukses karena menikahi putri Solo? Wah, kalau menikahi putri Yogya, lebih sukses lagi lho Bang … 🙂
Saya belum pernah masuk ke bangunan keraton Solo ini, Bu Tuti… cuma pernah lewat jalan capit udang itu beberapa kali, melewati Pasar Klewer..
Yang namanya abdi dalem itu mengharukan ya… kesetiaan mengabdi, hingga puluhan tahun, bahkan mungkin sampai dia meninggal. Coba pembesar dan pejabat negri ini punya sikap seperti abdi dalem itu..
Tuti :
Ya, jalan capit urang itu mengelilingi bagian luar tembok keraton. Kemarin saya naik becak dari Kemandungan Lor, keliling lihat kerbau bule, kembali ke Kemandungan Lor untuk melihat bangsal tempat penyimpanan kereta-kereta pusaka.
Pembesar dan pejabat negeri ini bukan bersikap sebagai abdi dalem, tapi sebagai bangsawannya, Na … 🙂
serius bu tuti, ada korps pemotong pisang???
Tuti :
Mmm …. coba besok saya tanya deh ke patung itu … (pasti nggak ada jawabannya 😀 )
Makasih mbak ceritanya.
Tahu nggak mbak Tuti…saya beberapa kali ke Solo, tapi ke kraton Solo ini zaman saya masih SD…saat itu berombongan dengan teman sekolah dimana ibu alm Kepala Sekolahnya….hahaha…kebangetan ya….
Ntar kapan dibaca lagi pelan-pelan..ini nguber selak berangkat lagi….
Tuti :
Walaah … zaman Mbak Enny SD itu tahun berapa? 🙂 Kayaknya sudah waktunya mengunjungi Kraton Solo lagi Mbak, siapa tahu beda sama dulu … 🙂
Iya Mbak, silahkan segera ngabur … eh, nguber acara yang harus diikuti
Mbak Tuti.. ini adalah kisah yang sangat memberi inspirasi untuk mengunjungi sendiri kraton surakarta ini. Saya pernah beberapakali ke Solo, tapi belum pernah mampir ke kratonnya.
Apakah kraton ini bisa dikunjungi setiap saat oleh masyarakat seperti kita2 ini ? jam berapa saja ? apakah ada hari khusus nya, karena khawatir sudah kesana eeh.. nggak boleh masuk, hehehe….
Terima kasih telah menginspirasi kraton ini kepada kita semua.
Tuti :
Kraton Surakarta bisa dikunjungi oleh siapa saja. Buka jam 09.00 – 14.00, hari Jum’at tutup. Selamat berkunjung, Ade … 🙂
Saya bolak-balik ke Jogya da bermalam di kota itu itu tetapi baru sekali bermalam di Solo, itupun karena dinas.
Situasi Solo juga kurang begitu saya kenal, dibandingkan dengan Jogya.
Mudah-mudahan lain waktu bisa nglencer di Solo lagi sehingga bisa mampir melihat kraton Solo
Terima kasih atas infonya yang komplit dan apik.
salam hangat dari Surabaya
Tuti :
Wah, Pakde sering tindak Yogya to? Kok nggak pernah mampir ke rumah saya. Besok kalau ke Yogya lagi kabar-kabaran ya, siapa tahu bisa kopdar dengan saya dan Uda Vizon juga.
salam hangat dari Yogya 🙂
Kunjungan saya kali ini juga ingin menyampaikan undangan sekaligus tantangan. Apakah mbakyu saya yg cantik ini berani keluar dari kandangnya yang selalu serius dan selanjutnya mau berLagak dan Lagu dalam irama cinta.
Jika berani silahkan mengikuti Kontes Lagak dan Lagu di BlogCamp. Tali asihnya sih tidak seberapa tetapi sensasinya itu lho yang luar biasa.
Silahkan klik :
http://abdulcholik.com/2010/09/30/kontes-unggulan-lagak-dan-lagu/
Itupun jika mbakyu berani lho..kalau gak berani hanya karena jurinya serem ….yaaa..kebangeten deh.
salam hangat dari Markas BlogCamp di Surabaya
Tuti :
Weleeh …. Pakde nantang to? Saya ‘tanduki’ Pakde … *menyingsingkan lengan baju, pasang kuda-kuda, nggak takut sama juri serem*
Btw, blog ini nggak selalu serius lho Pakde, sering juga berius-rius … 😀
salam hangat juga dari Yogya
Ouw …
Kalau ibu yang ini pasti ikut pak De …
Cuma sepertinya beliyo sedang sibuk nih dengan project akhirnya …
salam saya Pak De
salam saya Ibu Tuti
Tuti :
Betul Om, saya sedang sibuk. Tapi dituduh nggak berani keluar dari kandang? Weee …. benar-benar tantangan yang harus disambut nih …
*nyiapin spanduk penyambutan … lho, salah ya? 😀 *
salam saya juga Om …
Walahhhh….aku blom pernah kesana nih bun…
nanti klo aku ke jogja, masukkan ke listku ahhh…kalo ndak salah jogja solo kan cuman 1 jam toh?
ohya ky slamet itu namanya keren juga ya hahahaha 😀
Tuti :
Siip … Ria. Besok kalo ke Yogya kontak aku ya. Pokoknya aku selalu siap 24 jam menjadi pemandu wisata bagi Ria 🙂
Nama Kyai Slamet dipilih mungkin memiliki makna agar kerbau itu bisa memberikan keselamatan bagi seluruh rakyat. Tetapi kalau kita memohon keselamatan, pastinya tetep ke Tuhan ya, bukan ke Kyai Slamet … 🙂
Aku suka sama semua tulisan mbak Tuti tentang Solo, semuanya, termasuk foto-fotonya.
Hanya saja satu pertanyaanku.
Kenapa gak ada foto Serabi Solo, ya???? *PLAKKKK*
Tuti :
Terimakasih Yessy *tersanjung dan tersipu malu*
Foto serabi Solo sebenernya ada dan udah aku siapkan. Tapi ternyata tulisan tentang kraton saja sudah panjang, jadi obyek-obyek lain yang kemarin dikunjungi terpaksa di-cancel untuk posting kapan-kapan (gak janji loh … 😉 )
Plakk itu suara sandal mampir di
pipilantai ya Yess? 😀tulisan yang lengkap banget sampai ke detail2nya .
khas Mbak Tuti yang selalu memberikan info terlengkap 🙂
sayangnya warisan negara ini, kurang perawatan ya Mbak, aku pernah ke keraton di solo, dan temboknya ( sebelah luar) kok kusam gitu ya .
namun begitu, tetap bangga punya situs yang berharga ini 🙂
salam
Tuti :
Terimakasih Bunda. Data tulisan ini saya ambil dari beberapa sumber. Sebenernya kalau kita mau googling, data apapun hampir selalu bisa kita peroleh.
Memang betul Bunda, kondisi Kraton Surakarta tidak sebagus Kraton Yogyakarta. Mungkin karena para bangsawan Surakarta tidak memiliki akses ke sumber dana di pusat pemerintahan, sehingga tidak ada dana cukup untuk merawat istana peninggalan kerajaan Mataram ini …
salam saya, Bunda
yah, bu Tuti kok bisanya sampai nggak kepikiran ke Solo sampai bertahun2 gitu ya…..?:D
aku pernah sekali ke Solo, ada teman di sana,
berkesan karena makanannya enak2 semua lho, ada soto nggading, es gempol plered, banyak lagi deh..pokoknya diajak wisata kulinerlah …..
ke kraton udah mampir, juga ke museum keretanya, tapi benteng vastwenburgnya belum pernah
bgmn kelanjutan kisah benteng ini, tahun lalu kayaknya sempat diributin karena kalau nggak salah mau dibangun pertokoan, yang punya swasta sih …,
kok bisa ya obyek sejarah tidak dimiliki pemerintah ?
Tuti :
Iya tuh … mungkin justru karena dekat, jadi malah ‘lupa’. Biasa begitu kan, Bu Monda. Penduduk suatu kota/tempat seringkali malah belum mengunjungi obyek-obyek tertentu di daerahnya. Coba, berapa persen penduduk Jakarta yang pernah naik sampai ke puncak Monas?
Wah, Bu Monda sudah menjelajah kota Solo rupanya, dari wisata budaya sampai wisata kuliner 🙂
Iya, benteng Vastenberg sekarang dimiliki perseorangan. Bagaimana ceritanya dulu sampai bisa jatuh ke tangan swasta, saya sendiri kurang tahu … Saya baca di koran kemarin, benteng Vastenberg sekarang ini tinggal ‘kulit’nya, sedangkan apa yang ada di dalam benteng sudah tidak tersisa … 😦
Kota Solo alias Surakarta akhir2 jadi mimpi indah … kini terobat dgn ‘lembar … laporan bergambar yg menarik … saya terpukau dibuatnya … salam … 😀
Tuti :
Jadi mimpi? Memangnya sudah lama sekali ninggalin Solo ya Mas? Monggo, ningali kutho Solo sakmeniko …
salam …
Saya datang lagi …
Mungkin bagi yang tidak mengerti bahasa Jawa …
akan menyangka …
Lho ini salah apa … kok di Tindak …
hehehehe
Salam (kangen) saya
Tuti :
Monggo Om, sugeng rawuh wonten ing pahargyan meniko. Sampun dipun cepak’aken kotak kangge nyemplungaken amplop … *hah??!!*
Nggak ada yang salah kok Om, tapi usulan agar Kraton Surakarta diperhatikan pemerintah, perlu diTINDAKlanjuti … 🙂
Kangen …??!! *jiaah! 😀 *
Saya yang mulai, mudah-mudahan saya yang mengakhiri. Nggak ding nanti dicemberuti bu Tuti karena berarti tulisane ra payu. Ampun bu Tuti jangan dipleroki :(.
Yang benar itu kota Solo atau Sala? Kalau lihat tulisan jawanya yang benar Sala, karena tidak pakai taling tarung.
Saya juga sering banget ke Sala, tapi … tapi… cuma lewat saja. Padahal wisata kota Sala itu di samping kraton dan batik juga terkenal dengan wisata kulinernya. Bahkan makanan tradisionalnya lebih lengkap daripada kota Jogja.
Kota Sala juga merupakan kota tempat asal banyak orang Jawa. Kalau ditanya dimana Jawanya berasal? Mesti jawabnya Sala. Setelah ditanya lebih detil, sambil mesem kecut maka dia akan bilang Sukoharjo, Boyolali, bahkan Wonogiri. Jauh benar dari kota Sala kok ngaku dari Sala? Alasannya, nanti yang nanya nggak ngerti mana itu Wonogiri.
Weh, nanti kalau saya di luar negeri jika ditanya tak jawab dari Bali. Gitu ya. Karena Indonesia pada nggak ngerti.
Tuti :
Weeh … kok kayak lagu ndangdut Pak, ‘kau yang mulai, kau yang mengakhiri’ … 😀
Betul, ternyata Solo kalah populer dari Yogya. Yang bener Solo apa Sala? Yo weslah podo wae, asal jangan Sulu (soalnya mengucapkannya jadi mecucu 😀 )
Saya belum mengeksplor wisata kuliner Solo, Pak. Kayaknya memang perlu ke Solo sekali lagi. Kemarin googling, ternyata masih banyak wisata budaya di Solo yang belum saya lihat dan perlu juga dikunjungi …
Sama saja dengan Yogya to Pak. Banyak orang mengaku dari Yogya, padahal masih puluhan km dari batas terpinggir kota Yogya.
Nah, sejak ada film Eat Pray Love, memang lebih bagus nama RI (Republik Indonesia) diganti RB (Republik Bali) 😀
Perasaan, saya sudah komen di sini, di awal-awal lagi kalau gak salah… tapi kok gak ada ya? Oh no… betapa sedihnya hatiku… 😦 (halah, lebaayy…)
Ke kota Solo saya sering, tapi masuk ke kraton malah belum pernah… keterlaluan ya…? hahaha… 😀 Dari tulisan Bu Tuti ini saya baru tahu bagaimana perbedaan antara Kraton Yogyakarta dan Kraton Solo. Barangkali karena perbedaannya itulah makanya saya jatuh cinta sama kraton Yogya, haha.. 😀
Tuti :
Ah, itu kan perasaan Uda saja … 🙂
Mungkin karena keseringan ngintip, jadi Uda merasa sudah hadir padahal belum kelihatan batang hidungnya (apalagi seluruh wajahnya 🙂 )
Uda tahu perbedaan Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta baru setelah baca posting ini, berarti ‘jatuh’ cintanya juga baru-baru saja dong? Wah … cepetan bangun Da, keburu dirubung semut … hehehe …
woalaha,, apik tenan mba…
pengen aku datang kesana…
kemaren cuma lewar stasion nya aja dari surabaya..
kapan yah bisa mampir…
*ada keluarga ayah juga disana…
tapi sebagian besar di kulonprogo, jauh ya mba… ^^
Tuti :
Kulon Progo mah di sebelah barat Yogya, kalau ke Solo kira-kira masih 100 km. Lumayan jauh lah … 🙂
Nah, kapan-kapan disempatkan jalan-jalan ke Yogya dan Solo ya, banyak banget lho yang bisa dilihat …
Kalo Keraton Solo sudah dikunjungi Bu Tuti, nanti kapan-kapan saya tunggu hasil kunjungannya ke “Keraton” Oslo. Pasti juga nggak kalah menarik. He…he…
Tuti :
Kalau gitu saya tunggu kiriman tiket pesawat Yogya – Oslo dan akomodasi selama di Oslo dari Bang Rachee 🙂
Mbak tuti…lha kok nggak nimbali saya….
kapan tindak karanganyar, Mbak..?
banyak obyek wisata yang bagus lho mbak… Pinarak ya…
Tuti :
Mbak Ayik … waktu itu cuma mau muter-muter kota Solo aja. Lha Mbak Ayik kan di Karanganyar to?
Inggih, besok kalau ke Karanganyar pasti saya minta dijamu (maksudnya diundang makan, bukan ‘dijamoni’ beras kencur dan temu lawak … 😀 ) sama Mbak Ayik. Memang saya pengin ke Solo sekali lagi, masih banyak yang belum dilihat …
Mbak cantik, itu beneran ada korps prajurit pemotong pisang? hedeeehhh…
aku belom pernah ke Solo, ntar klo ada rejeki ke solo aku gak singgah ke jogja ah.. **biar dimarahin sama jin cantik penunggu jogja.. 😛
Tuti :
Bundo Bening, prajurit pemotong pisang itu bisa juga lho motong leher … hiiiy …
Bundo ke Solo nggak mau singgah ke Yogya? Nggak papa, jin kan bisa muncul di mana saja. Nanti say cegat di solo deh. Tapi yang ini jin serem lho, bukan jin cantik …
pernah ke sana bunda Tuti…
cuman udah lamaaaaa sekali, belum jadi blogger..heheh…
jadi ga kepikiran untuk mengabadikan berbagai aksi di sana..
suatu saat saya pengen maen ke sana..
ohya, berarti raja yang bertahta itu yang versi ini ya.. kalo tidak salah PB XIII kan ada 2.. yang berada di dalam istana dan di luar istana..
Tuti :
Lamaaa sekali itu berapa tahun yang lalu Jeng?
Nah, kalau belum punya koleksi foto-fotonya, memang sebaiknya ke sana lagi. Foto saya banyak, tapi nggak semua saya upload (takut postingannya jadi kayak album foto).
Ya, foto PB XIII ini yang ‘resmi’ bertahta di Kraton. Adanya dua raja itu, konon karena yang satu merasa berhak sebagai anak laki-laki terbesar, sedangkan yang satu lagi merasa berhak karena ada wasiat tertulis dari PB XII. Ya sudah, monggo saja …
pengen bgt tuch main ke solo!
sayangnya… ga tau kapan bisa kesampaian :p hehehe
Tuti :
Tidak bakal kesampaian kalau tidak dilakonin 🙂
terima kasih infonya, Bu Tuti…
saya makin semangat, nih, mau ke Solo…
pertengahan November mau berlibur ke Yogya sama suami, dan Keraton Solo adalah salah satu tujuan yang saya catat di jadwal, tak peduli suami protes karena harus nyetir 60 kilometeran lagi…hihihi
Tuti :
Selamat berlibur, Mbak Isma. Obyek wisata dan budaya di Yogya sudah dikunjungi semua ya? Kalau ke Solo, selain keraton banyak tempat lain juga lho yang patut ditengok … Jangan lupa wisata kulinernya juga. Oh ya, dengan mobil, Yogya – Solo bisa ditempuh dalam 1,5 jam sajakok … 🙂
Saya belum pernah ke Prambanan, Candi Ratu Boko, Ullen Sentalu, dan Keraton Yogya…hihihi
Nanti Insya Allah semua dikunjungi, karena rencana mau seminggu di sana, sekalian suami mau nengok kampus lamanya, UII.
Btw, saya turut berduka cita untuk warga Yogya atas letusan Merapi, Bu. semoga semua warga dilindungi dan bencana segera berlalu. Amiiin…
Tuti :
Wah … suami Mbak Isma alumni UII to? Fakultas apa ya? Saya kan ngajar di UII, siapa tahu suami Mbak Isma dulu pernah jadi mahasiswa saya …. 😀
Iya, terimakasih atas simpatinya untuk warga Jogja. Semoga warga yang kesusahan segera mendapatkan bantuan. Amin …
hehehe…, suami saya anak Manajemen, angkatan 2002, lulus 2006. pasti ngga kenal, ya, Bu? :p
Tuti :
Owgh … Manajemen ya? Nggak kenal, beda fakultas sih … Tapi tetap satu almamater 🙂
arikel anda yang menulis tentang SOLO cukup menarik, silahkan diikutkan contest blog “one post for solo” dan dapatkan hadiah jutaan rupiah dengan mendaftarkanya ke alamat berikut http://pin.blog.uns.ac.id/2011/05/08/pendaftaran-resmi-blog-contest-one-post-for-solo/
Terima Kasih
Tuti :
Terimakasih informasinya. Saya akan coba daftarkan …
apa ada belajaran dikraton ngemsi bahasa jawa?
Tuti :
Maaf saya kurangtahu, tapi sepertinya ada …
Sebaikanya ada ganti tulisan ini…mana bukti bahwa Keraton Surakarta Pro Belanda….Banyak bukti bahwa keraton surakarta membela NKRI, salah satunya pembentukan BPUPKI, KMB Den Haag dan lain sebagainya, saya sangat tidak setuju bila anda menyebutkan Keraton Surakarta Pro Belanda, tidak ada bukti konkrit atas fitnah itu semua.
Jogjaku kerajaanku provinsiku sultan ku sing paling tak tresnani! Hidup jogja istimewa!
mbak tutiiiiii….
…y.ch. handoko
Wah, saya yang orang Solo saja, masih kalah pengetahuan tentang keraton Solo. Salut Bu.
Kalau Jogja tenarnya kan baru saat Sultan HB IX menjabat, Solo sudah menjadi pusatnya pergerakan jauh sebelum Indonesia merdeka. FYI, pada jaman Hindia Belanda dulu, Surakarta/Solo merupakan kota terbesar ketiga dengan jumlah penduduk lebih dari 150000, setelah Batavia dan Surabaya. Berbagai aliran pemikiran, nasionalis, radikalis, agamis, semuanya berpusat di Solo. Surakarta mengalami kemajuan pesat terutama di bidang pemikiran politik, itu karena PB X dan MN VII terbuka untuk berbagai pemikiran maju. Boedi Oetomo walau tidak lahir di Solo, tapi besar di Solo. Pakubuwono X waktu itu membaca koran tentang berdirinya Boedi Oetomo, beliau lantar berkata “akan terjadi perubahan besar di tanah Jawa, perintahkan semua bangsawqan manut sama Boedi Oetomo”. Akhirnya, Boedi Oetomo berkembang pesat di Solo. Satu-satunya daerah di Indonesia waktu itu yang boleh menyanyikan Lagu Indonesia Raya, hanya daerah Surakarta (Solo), dan PB X mewajibkan setiap pertandingan sepakbola untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera Merah putih juga berasal dari Solo, berikut pula lambang padi dan kapas bisa dilihat pada Radya Laksana. Putra-putra keraton Solo juga tidak kalah berperan, Jenderal Jatikusuma, panglima TNI pertama dari Keraton Solo, Rajiman Widyodiningrat, dokter PB X, ketua BPUPKI, juga dari Keraton Solo, Mr Soepomo penggags pancasila bersama M Yamin dan Soekarno, bapak hukum RI, dan menteri pertama Hukum RI, juga dari keraton Solo. PB XII memberikan maklumat 1 September 1945, lebih awal dari Jogja. Jadi jangan menyepelekkan peran keraton Solo.
kenapa pada masa perang kemerdekaan kraton solo kurang aktif?, seperti anda tahu PB XII raja solo saat itu masih berusia remaja kalau tidak salah 14 tahun, sedangkan HB IX sudah dalam usia matang…
Jauh sebelum proklamasi 1945, Keraton Surakarta merupakan satu-satunya daerah di Hindia Belanda yang boleh mengibarkan bendera gula kelapa, merah putih, sebagai lambang kerajaan. Pada masa akhir hidupnya, PB X pun masih aktif dalam mendukung organisasi politik dan sosial zaman itu. Beliau pun mendukung berdirinya Tugu Kebangkitan Nasional sebagai peringatan berdirinya Boedi Utomo. Tugu ini sekarang menjadi bagian dari logo kota Solo, sayangnya masyarakat kota Solo sebagian besar bahkan tidak tahu gambar yang ada di logo kota Solo adalah gambar Tugu Kebangkitan Nasional, sebuah tugu saksi perjuangan para leluhur kota Solo.
Keraton Surakarta memiliki SRI (Siaran Radio Indonesia) yang menyiarkan langsung pertandingan pertama di Stadion Sriwedari tahun 1934. Waktu itu, lagu kebangsaan yang boleh dikumandangkan adalah lagu kebangsaan Belanda yakni Wilhelmus van Nassouwe. Namun, Susuhunan berani melawan aturan Belanda dengan memerintahkan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum memulai pertandingan. Nama “Indonesia” pun berani diberikan kepada klub asal kota, Persis (Persatuan Sepakbola Indonesia Solo), tahun 1928, kali pertama nama Indonesia digunakan sebagai nama klub kesebelasan lokal. Nama “Indonesia” telah dikenal oleh Pakubuwono X dan masyarakat Solo waktu itu.
Mangkunegoro VII juga tak kalah dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Solo di wilayah kadipatennya. Berbagai fasilitas kesehatan dan pembaharuan sistem sanitasi dibuat oleh MN VII. Namun, gebrakan yang mungkin paling fenomenal adalah berdirinya Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada tahun 1933 yang merupakan cikal bakal RRI dan juga pada akhirnya menjadi cikal bakal pers nasional. Selain itu beliau juga mendirikan Java Institut, suatu organisasi yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa saat itu. Java Institut pulalah yang mendirikan museum Sonobudoyo di Jogjakarta. Seperti halnya PB X, MN VII juga banyak mendukung organisasi sosial dan politik di kadipatennya.Beliau pun juga merupakan salah satu tokoh penting Budi Oetomo, bahkan pernah menjadi ketua organisasi tersebut pada tahun 1915 hingga 1916.
Saya sedih ketika surakarta selalu di pojokkan dengan opini “solo lebh dekat dengan belanda”. baca dulu sejarah dengan seksama dan di hayati…. jangan hanya menyalahkan…
tambahan satu lagi, pd hakikatnya, baik Solo maupun Jogja itu deket dg Belanda.
Bahkan dlm bbrp hal Jogja lebih banyak dekat dg Belanda, sebagai buktinya anak turun raja Jogja byk yg sekolah di Belanda…
Atau silakan baca sejarah Jogja di masa HB II-HB V dimana di salah satu episode HB III, Diponegoro justru berontak melawan Kerajaan, dimana kerajaan Yogyakarta dibantu Belanda. Diponegoro dibantu oleh PB VI sampai beliau meninggal ditembak di kepala.
Sementara Solo lebih dekat dengan budaya Jawa. maka dari itu, Keraton Solo lebih maju budayanya dibanding Jogja saat itu. Contohnya Solo memilki pujangga yg mendunia bernama Ronggowarsito dan dg museumnya yg paling tua di Indonesia. Radyapustaka.
Kalau saat ini Jogja terlihat lebih maju dan terawat tolong lihat posisinya, Solo terhambat arus birokrasi dan administrasi di tingkat Provinsi (Semarang). Walaupun kota Solo dianggap kota kecil, kota administratif biasa, bukan ibukota provinisi seperti Jogja, Solo bisa menunjukkan kepada seluruh Indonesia dan dunia bahwa kejayaan masa lalu kota Solo masih ada dan akan selalu ada.
Bagus mbak tulisannya, informatif banget 🙂