Merapi sedang unjuk rasa. Ia menggeliat, menggeram, dan memuntahkan isi perutnya. Magma yang sudah bertahun-tahun membuat perutnya mulas, sekarang tersembur keluar menjadi lava, dibarengi dengan awan panas, lahar panas, kerikil dan abu vulkanik. Segala jenis makhluk yang hidup di lerengnya, pohon, hewan, dan manusia, lebur kocar-kacir.
Sudah pasti Merapi tak bermaksud membuat makhluk-makhluk yang menumpang hidup di pinggang dan di kakinya sengsara. Ia sekadar menjalankan proses alamiah yang sudah ditentukan Sang Maha Pencipta. Ia sekadar memenuhi siklus geologi dan vulkanologi bumi, mengubah permukaan bumi dengan lapisan baru, yaitu endapan vulkanik yang pada saatnya nanti akan membuat bumi menjadi subur makmur.
Bahwa pada proses perubahan permukaan bumi itu banyak hewan dan manusia sengsara, itulah kehidupan. Ada sisi baik, ada sisi buruk. Kita bersimpati, menundukkan muka, dan ikut merasakan duka yang sedalam-dalamnya bagi saudara-saudara kita di lereng Merapi yang tak sempat menyelamatkan diri, yang kehilangan keluarga, rumah, sawah, ternak, dan segala milik mereka. Tabahlah, kuatkan diri, bersabar, dan tetap percaya pada kemurahan Allah. Tidak akan selamanya air mata itu mengalir, akan ada waktunya semua kesedihan berakhir.
Korban Merapi berlumur abu, berurai air mata. Tabahlah Bapak, Ibu, dan saudara-saudaraku … (foto : Ferganata Indra Riatmoko, Kompas)
Sudah sejak zaman dahulu kala, Merapi menjulang di tengah Pulau Jawa. Merapi sudah lebih dulu diletakkan Tuhan di belahan bumi itu, baru manusia datang membangun hidup di lerengnya yang subur. Manusia menumpang hidup pada Merapi, maka manusia harus memahami watak Merapi. Selalu ada tanda-tanda alam yang bisa dibaca. Meskipun demikian, manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam itu. Bahkan para ahli hanya bisa memprediksi, tetapi tak ada yang tahu apa yang diinginkan Merapi.
Ketika saya kecil, ayah saya bercerita, bahwa lava pijar dari gunung Merapi akan membuat pohon dan manusia yang diterjangnya seketika menjadi arang. Pada waktu itu saya tak bisa membayangkan, seperti apa kedahsyatan letusan gunung Merapi. Sepanjang hidup saya, yang selama puluhan tahun tinggal di ujung jauh kaki Merapi, baru pada erupsi beberapa tahun yang lalu ketika banyak korban terpanggang ‘wedus gembel’, saya paham bagaimana dahsyatnya awan panas Merapi. Dengan suhu mencapai 500 – 600 derajad Celcius dan kecepatan 100 km per jam, apa pun akan luluh lantak diterjangnya.
Evakuasi korban berkejaran dengan awan panas yang setiap saat bisa turun mendadak (foto : Surya Adi Lesmana, Kedaulatan Rakyat)
Pada erupsi kali ini, lebih dari 100 korban tewas, lebih dari 200 korban luka-luka, dan sekitar 150.000 orang harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi. Jarak Kawasan Rawan Bahaya (KRB) dari puncak Merapi yang terus diperluas, membuat jumlah pengungsi semakin membludak. Sampai saat ini, KRB ditetapkan pada ring 20 km dari puncak Merapi.
Jarak puncak Merapi dari nol kilometer kota Yogya (perempatan Kantor Pos Besar di ujung selatan Jalan Malioboro) adalah sekitar 30 km. Maka ring KRB 20 km itu terletak di Jl. Kaliurang Km 10. Kampus saya, Universitas Islam Indonesia (UII) yang terletak di Jl. Kaliurang Km 14,5 sempat dijadikan pos pengungsi ketika KRB masih pada jarak 15 km dari puncak Merapi. Hampir 2000 pengungsi memenuhi Gedung Olah Raga di kawasan Kampus terpadu UII. Tetapi ketika KRB dimundurkan menjadi 20 km dari puncak Merapi, UII masuk dalam kawasan rawan bahaya, dan pengungsi dipindahkan ke Gedung Olah Raga Maguwoharjo yang berjarak sekitar 26 km dari puncak Merapi.
Peta Kawasan Rawan Bahaya (infografik : Novan, Kompas)
Tetapi meskipun secara resmi sudah ditentukan KRB, dan wilayah yang ada di dalam ring KRB dinyatakan tertutup, penduduk yang berasal dari kawasan KRB tetap saja memaksa masuk ke desa mereka, untuk mencari rumput dan memberi makan ternak-ternak mereka. Bisa dimaklumi, karena ternak-ternak itu adalah kekayaan terbesar mereka. Bahkan bukan sekedar kekayaan, sapi dan kambing itu sudah menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari. Mustahil membiarkan hewan-hewan peliharaan yang mungkin sudah memiliki ikatan batin dengan pemiliknya itu mati kelaparan. Pola pikir mereka sesungguhnya sangat logis : bahaya Merapi masih berupa kemungkinan, bisa terjadi bisa tidak, sementara ternak yang bakal mati kelaparan adalah kepastian. Mana yang dipilih? Masuk akal jika yang dipilih adalah menghindari yang pasti : matinya ternak karena kelaparan.
Sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan bahaya juga enggan mengungsi. Ada yang karena enggan meninggalkan rumah dan ternak mereka, ada yang karena keyakinan tak jelas. Sebuah televisi swasta menayangkan beberapa nenek yang menolak keras untuk dievakuasi, sampai akhirnya diangkat secara paksa oleh Kopasus dan tim SAR. Sungguh menggores hati melihat nenek renta tersebut meronta-ronta dan menangis ketika diangkat ke dalam mobil …
Kondisi di tempat pengungsian yang berdesak-desakan dan serba terbatas sudah pasti membuat pengungsi merasa tidak nyaman (foto : Iwan Setiyawan, Kompas)
Berbagai upaya kreatif diberikan masyarakat untuk membantu para pengungsi, seperti potong rambut gratis … 🙂 (foto : Ferganata Indra Riatmoko, Kompas)
Hari Sabtu siang, tanggal 6 November, saya pergi ke Jl. Kaliurang. Sebenarnya saya ingin melihat suasana kampus, tapi karena UII sudah masuk KRB, saya tidak bisa masuk. Dan tujuan utama saya memang adalah mengecek kondisi Caty’s House , yang terletak di Km 9, masih di luar KRB. Alhamdulillah Caty’s House baik-baik saja, hanya berselimut abu vulkanik. Bagi saya yang paling penting adalah menyelamatkan tanaman, menyiram daun-daunan dari abu vulkanik yang melekat. Sungguh kasihan melihat daun-daun itu sesak tak bisa bernafas karena tertutup abu …
Rumah saya sendiri berjarak sekitar 36 km dari puncak Merapi, jadi insya’allah aman. Kami memang kebagian abu vulkanik juga, tetapi tidak terlalu tebal. Kota Yogya pun relatif tidak menderita parah. Hari Jum’at siang saya berkeliling kota, melihat suasana. Aktivitas masyarakat masih tetap berjalan seperti biasa, meskipun beberapa toko tutup pada hari Jum’at dan Sabtu. Kondisi kota Yogya jauh lebih baik dari Muntilan dan Magelang, bahkan Purworejo, yang sempat tertutup abu tebal hingga lalu lintas terganggu. Sayangnya media massa, khususnya televisi, terus-menerus menampilkan korban dan daerah yang mengalami kerusakan, sehingga pemirsa yang tidak tahu Yogya mengira kota ini sudah dalam kondisi gawat darurat.
Masyarakat bergotong-royong membersihkan Malioboro yang diselimuti abu vulkanik (foto : Ferganata Indra Riatmoko, Kompas)
Menurut prediksi, kota Yogya aman dari semburan lava dan awan panas, karena letaknya cukup jauh dari puncak Merapi. Bahaya yang kini harus diwaspadai adalah banjir lahar dingin dari Kali Code, yang merupakan kepanjangan dari Kali Boyong yang berhulu di Merapi. Di sepanjang bantaran Kali Code terdapat rumah-rumah penduduk yang ditempati ribuan jiwa. Jika terjadi hujan lebat di puncak Merapi, lahar yang menumpuk akan longsor dan mengakibatkan banjir lahar dingin yang bisa menyapu rumah-rumah penduduk.
Kali Code cukup akrab bagi saya, karena rumah orangtua saya, meskipun tidak terletak di bantaran sungai, cukup dekat dengan sungai yang membelah kota Yogya itu. Waktu kecil, saya sering bermain dengan teman-teman ke Kali Code. Pada waktu itu airnya masih jernih, dan di dekat rumah saya bantarannya masih bebas dari pemukiman. Sejak dulu Kali Code memang sering banjir, dan itu menjadi tontonan sendiri bagi masyarakat. Maklum, pada waktu itu belum ada mall dan cafe, sehingga sungai banjir pun bisa menjadi hiburan bagi masyarakat … 🙂
Rumah-rumah di bantaran Kali Code, harus waspada dan memiliki sistem peringatan dini terhadap bahaya banjir (foto : Wawan H. Prabowo, Kompas)
Tidak ada seorangpun yang tahu, kapan Merapi akan berhenti erupsi. Sama halnya kita tidak tahu, apakah akan terjadi gempa atau tidak. Kita hanya bisa waspada dan berjaga-jaga, tanpa perlu menjadi panik apalagi membabi buta. Jangan mudah percaya pada isu-isu yang tidak jelas, yang hanya bertujuan menimbulkan kekacauan. Tetap tenang, berpikir jernih dan rasional, dan yang paling penting : berdoa dan memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan tambahan :
Hari ini Yogya boleh dikata normal seperti sedia kala. Jalan-jalan ramai, orang pergi bekerja dan anak-anak berangkat sekolah, kantor dan toko buka seperti biasa. Hujan abu sangat tipis, banyak orang di jalan tak terganggu tanpa masker. Jadi bagi siapa saja yang ingin ke Yogya, atau memiliki kerabat di Yogya, tak perlu khawatir.
Sudah tentu bencana bisa saja terjadi. Tidak hanya di Yogya, tapi di mana saja. Yang jelas, pada saat ini kondisi Yogya kondusif … 🙂
Hore, jadi yang pertamax!!! Pokoknya bisa ngalahin Ata dulu. Komen berikutnya yang serius. Ata dapat solar :). (Pak Eko jadi anak kecil yang dapat permen mahal)
Tuti :
*ikut keplok*
*nambahin balon buat Pak Eko*
😀 😀
..
Pake’ acara loncat-loncat juga ya pak..? 😀
..
Saya gak minum solar jhe, kalo susu doyan.. 🙂
..
Tuti :
Mang sapa suruh minum solar? Kan aku bilang buat bikin sop … hihi 😀
Mbak, senang bisa membaca informasi dari mbak sendiri. Semoga pengungsi dapat tabah bertahan ya. Kadang media memang hanya “membesarkan” informasi dan makin membuat panik keluarga yang tinggal di tempat yang jauh dari lokasi.
Saya hanya bisa berdoa agar semua cobaan ini bisa dilampaui.
Tabik
EM
Tuti :
Ya, semoga pengungsi tabah dan dapat bertahan dalam situasi yang sulit di pengungsian, dengan fasilitas yang serba terbatas.
Media suka mengulang-ulang gambar yang dramatis, dan tidak meliput wilayah lain yang aman. Kayaknya masih berlaku hukum “Bad news is good news” 😦
kita ber-husnudon aja, berita yg didramatisir itu bertujuan u/ lebih memobilisasi arus bantuan dari para donatur………..amiiiin Robb AL-alamiiiiin………….
salaaaam,
Tuti :
Moga-moga Buk … amin 🙂
Benar kalau mau demikian. Baik banget untuk daerah yang memang kena bencana. Tapi menjengkelkan bagi daerah sekitar bencana. Keluarga dan teman jadi ikut-ikut cemas padahal tidak separah yang digambarkan. Penyebaran kecemasan ini yang disesalkan.
Tuti :
Makanya kita counter lewat tulisan seperti ini Pak, meskipun gaungnya jelas tidak bisa menyamai gaung tayangan televisi …
Bu Tuti, terima kasih laporan pandangan matanya. Ternyata memang Jogja tidak sedramatis yang digambarkan di Tivi. Ibu saya sampai berkali-kali telpun dari Surabaya. Banyak saudara dan teman menanyakan hal yang sama. Bagi kami, hujan abu yang jadi masalah. Lainnya tidak.
Menurut mbah Rono, karakteristik Merapi selama ini berubah drastis pada erupsi kali ini. Selama 140 tahun, Merapi belum pernah meletus sedahsyat ini. Tapi namanya Merapi, dahsyatnya masih belum apa-apanya dibanding dua letusan gunung Indonesia yang terhebat, Tambora dan Krakatau. Namun yang terhebat dalam kurun seratus tahun ini bersama gunung Galunggung.
Soal rajakaya (ternak sumber kekayaan), tidak sekedar ada hubungan batin antara pemilik dan ternak. Sapi dan kambing merupakan aset berharga untuk recovery dari bencana. Makanya dipertahankan mati2an. Kebijakan pemerintah untuk membelinya juga bukan solusi yang benar karena uangnya tidak bisa lagi dipakai untuk membeli ternak baru, karena saat itu harga ternak sudah lebih mahal. Kalau sudah begini saya jadi teringat pelajaran dasar ilmu ekonomi, manusia pada dasarnya rasional jika sudah ketemu masalah ekonomi. Bahwa Tuhan nanti yang akan memberikan rezeki, masih disimpan dimemori yang lain.
Sekali lagi maturnuwun laporannya. Saya yang tengah merantau ini (ini sih lebay) sangat terbantu akan situasi rumah saat ini.
Tuti :
Iya, kota Yogya memang relatif aman. Yang rusak dan hancur itu adalah wilayah-wilayah tertentu yang letaknya dekat gunung Merapi serta aliran kali Gendol. Kota Muntilan dan Magelang juga cukup lebat menerima hujan pasir dan abu, karena arah angin ke barat.
Betul, saat ini Mbah Rono cuma bisa geleng-geleng kepala, karena nggak ngerti lagi maunya Merapi. Si Mbah juga sudah capek dan bosen melayani pertanyaan wartawan. Ya iyalah … karena tanggungjawab keselamatan rakyat berada di tangannya. Menentukan batas KRB itu kan bukan keputusan mudah. Membawa implikasi yang luas. Kalau nggak dimasukin KRB lalu kena dampak Merapi, dia disalahkan. Sebaliknya, kalau dimasukkan KRB, kan berarti harus memindahlkan sekian ribu orang, yang bukan perkara mudah …
Tentang keterikatan para petani pada ternaknya, saya sangat maklum, Pak. Jangankan sapi, kemarin saja ada seorang wanita kebingungan mencari-cari kucingnya yang hilang. Padahal kucing itu bulunya hitam, matanya buta pula (mana menarik, gitu loh …). Tapi yang namanya cinta pada binatang peliharaan, nggak bisa diperdebatkan 🙂
Selamat pagi Bu
salam dinginnya kota Malang
Semoga saudara kita diberi ketabahan ya Bu
kita disini jangan lupa berdoa untuk saudara kita >_<
Tuti :
Selamat pagi Tetik …
Ya, semoga para pengungsi diberi ketabahan dan kesabaran menghadapi musibah ini. Semoga pula segenap pihak memiliki komitmen untuk membantu recovery mereka besok jika musibah sudah berlalu …
Malang masih dingin ya … 🙂
Atta kemana yaa?? Clingak-clinguk.. pertamax nya diambil tuh, xixi..
Bu, saya selalu seram membaca, mendengar, menyaksikan soal bencana merapi ini.. saya sampe merinding2, semoga saja korbannya tidak bertambah lagi.. dan semoga bencana ini cepat selesai
Tuti :
Ata lagi sibuk mandiin kebo … 😀
Iya, lebih penting kebonya daripada pertamax …
Kalau melihat pada korban-korbannya, memang membuat kita merinding. Apalagi kalau mendengar kisah dari orang-orang yang mengalami langsung.
Ya, semoga saja Merapi segera tenang kembali, sehingga warga bisa pulang ke desanya dan memulai hidup baru …
..
Hai Clara..!!
Aku disini, diatas pohon..
Lihat ke atas dong.. 😀
Gak ambil pertamax tapi ambil mangga..
Disuruh Bu owner, mau buat rujakan katanya..
Hi..hi..hi..
..
Tuti :
*lihat ke atas po’on*
Ya oloooh … itu Ata to?
*melongo*
Kirain …. Justin Beiber 😛
Petik yang banyak Ta, ntar kita jualan rujak … 😀
waduh ngeliat foto2 ini jadi serem banget bu…
sedih banget ya ngebaca berita2 tentang bencana2 alam yang terjadi beruntun di indonesia belakangan ini…
jd di jogja gak perlu ngungsi bu? bukannya abu vulkanik itu berbahaya ya kalo terhirup?
yah moga2 ibu tuti dan keluarga sehat2 terus ya…
dan moga2 merapi gak erupsi lagi…
Tuti :
Abu vulkanik memang bisa berbahaya bagi kesehatan kalau terhirup. Makanya jika hujan abu turun, orang harus memakai masker.
Terimakasih Arman, alhamdulillah saya dan keluarga (juga kerabat, sahabat, dan tetangga) sehat-sehat dan baik-baik saja.
Ya, semoga saja Merapi segera bobo’ lagi … (halah … bobo’ 😀 )
Mungkin perlu diluruskan sedikit mas Arman. Hujan abu itu tingkatannya mengganggu, bukan merusak kehidupan. Solusi sementaranya pakai masker baik masker yang dibeli atau masker buatan seperti sapu tangan atau kain lainnya. Yang penting hidung tertutup. Pakai ggogle mungkin lebih disarankan agar debu tidak terlalu sering mengenai mata.
Hal ini malah menyebabkan kita lebih baik di rumah untuk bersih2 dan yang penting membersihkan debu dari daun-daun tanaman peliharaan kita. Tinggal di rumah juga pertanda melawan SMS busuk yang mengabarkan akan ada awan panas sampai 60 km. Dengan tinggal di rumah, kita tidak terprovokasi berita yang tidak bertanggungjawab. Alhamdulillah SILET akhirnya mengakui kesalahannya.
Laporan bu Tuti malah menceritakan bahwa keadaan Jogja tidak seburuk yang diberitakan Tivi. Apalagi mereka pakai foto-foto yang provokatif. But anyway, thanks doanya.
Tuti :
Wah … saya malah nggak dapet sms itu lho Pak. Nggak nonton SILET juga (merk apa sih siletnya? hihihi … ). Jadi tenang-tenang saja di Yogya. Lha tadi pagi saja malah nguji mahasiswa S2 pendadaran di Kampus Cik Di Tiro …
Alhamdulillah sampai malam ini (jam 18.00) semua aman-aman saja di Yogya …
Terima kasih laporannya, bu. Semoga tidak semakin banyak jatuh korban.
Membacanya jadi ingat beberapa puluh tahun lalu ketika Galunggung meletus. Meskipun jauh namun waktu itu saya masih SD merasakan siang seperti malam, hujan abu … ah menakutkan sekali. Mungkin seperti itu yang dirasakan anak di sekitar Yogya saat ini.
Tuti :
Saya tidak begitu ingat waktu terjadi letusan gunung Galunggung. Mungkin karena Yogya cukup jauh, sehingga dampaknya tidak terlalu terasa.
Kalau di Yogya, saat Merapi erupsi suasananya hanya seperti mendung saja, tidak sampai gelap seperti malam …
Bu..doa sy sll untuk saudara2 di indonesia. Semoga selalu di beri kekuatan untuk menjalani semua ini…Anyway, terima kasih untuk infonya ya, sebelum ini saya berpikir kalau kota Djokja itu sudah lumpuh…
Tuti :
Terimakasih doanya Akmal, kita sama-sama berdoa ya, semoga semua segera berakhir dan menjadi lebih baik.
Alhamdulillah Yogya baik-baik saja, hanya sempat terguyur hujan abu …
ada lagi pak permadi ngeramal keraton bakalan kena, aduuuh apa lagi sih….
langsung aja pindahin channel, udah susah kok beritain ramalan2 gitu sih
semoga saudara2 kita yang tertimpa bencana bisa tabah dan ikhlas menerima cobaan
Tuti :
Saya kebetulan tidak nonton Pak Permadi Bu Monda … 🙂 . Karena beliau kejawen, mungkin analisisnya ya didasari ilmu kejawen …
Ya, semoga saudara-saudara kita yang sekarang sedang menderita diberi kekuatan dan ketabahan. Amin.
..
Pantes dari tadi mata saya kedutan, ternyata ada yang nyebut2 nama saya disini.. 😀
..
Menghadapi ujian ini yang penting positif thinking aja, semua ini akan berlalu..
Dan semoga warga jogja dan sekitarnya semua lulus..
Lalu naek kelas..
..
Soal berita televisi emang selalu berlebihan, namanya juga dagang berita jd cuman ngejar rating..
Kejam euy..
Bener kata Bu Tuti jangan mem
sapibabibuta..Gak boleh panik tiap dapat berita, musti di cek n’ ricek kebenarannya..
..
-doa saya untuk Indonesia-
..
Tuti :
…
Kayaknya yang bikin kedutan bukan yang nyebut-nyebut nama Ata di sini deh, tapi yang nunggu-nunggu sms dan telpon di sana … 🙂
…
Aku naek kelas juga? Naek ke kelas berapa ya? 🙄
…
Nggak salah juga sih kalau mereka mengejar berita yang sensasional, karena itu yang bakal laku keras. Yang diperlukan sebenarnya adalah perimbangan berita, antara yang baik dan yang buruk, sehingga masyarakat mendapat gambaran yang berimbang.
…
Perilaku babi buta sebenernya kayak apa sih? Pengin tahu deh … 🙄
…
amiiin
satu hal Bunda, masyarakat kita kurang sigap dalam menghadapi bencana.
Tuti ;
Mungkin karena tidak pernah membayangkan bakal menghadapi bencana …
*hufff tarik nafas dalaam … pengennya seeh nyampe yogya 🙂
pray for indonesia, specialy yogya dan mentawai, tapi tampaknya yogya yang masih jadi pusat perhatian..
miris kalu lita berita, karna sepanjang hari menjadi topik utama..
ada yang mengherankan juga ketika masy. tidak mau dievakuasi alasan harta benda dan hewan ternaknya tak ada yang urus..
mana yang lebih penting ya 🙄
semoga sajah senandung merapi bisa berhenti tak lagi kuat tapi menjadi indah setelahnya
caty house? sound so interes 🙂
Tuti :
Ya, apalagi di dua stasiun teve berita, tak putus-putusnya liputan Merapi mengisi layar kaca.
Tentang masyarakat yang tidak mau dievakuasi karena berat meninggalkan harta dan ternak-ternaknya, mungkin bisa dipahami kalau kita mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Ternak adalah harta mereka yang paling berharga, sementara bahaya Merapi belum tentu menyerang desa mereka. Jadi pilihannya adalah mempertahankan apa yang sudah pasti, dan mengalahkan apa yang belum pasti …
Caty’s House? Bisa diklik untuk melihat fotonya, Wien … 🙂
*ketinggalan 😀
ternyata yogya masih menggeliat, pengen ke yogyaaaaaaaaaaa.. 😦
Tuti :
Ayooo ke Yogya, nanti bisa ketemu teman dari timur Yogya juga 😀
teman dari Timur yogya??
hemmm….
bunda tuti sendiri suda pernah bersua dengan teman dari Timur yogya itukah 😀
Tuti :
Belum … hahaha 😀 . Makanya kita temui sama-sama … 🙂
eaLaaaahhh.. 🙂
saiyah kira suda 😀
yuks maree bunda tuti.. *sok iye berani wiennya 😳
Tuti :
Hihihi … teman kita itu agak susah untuk pergi meninggalkan kampung halamannya, jadi susah memastikan kapan bisa jumpa … 🙂
Ah ya…saya juga menjadi korban pemberitaan shg mengira jogya begitu parahnya dan ‘memaksa’ ibu & ponakan utk mengungsi saja. Ternyata kakak yg disini menjelaskan bahwa tak semua wilayah jogja parah…apalagi daerah kasongan tempat tinggal mereka, alhamdulilah & insyaallah aman. Ah leganya….dengan membaca postingan ini, lebih lega lagi… Semoga yg terdampak langsung diberi kekuatan & ketabahan ya…
Tuti :
Untuk wilayah Kasongan, karena lebih ke selatan dari Yogya, nampaknya baik-baik saja Mbak Mechta. Kalaupun terkena, paling hujan abu tipis.
Syukurlah kalau ibu dan keponakan sudah diungsikan. Apakah sampai sekarang masih mengungsi? Jika tidakmengganggu pekerjaan/sekolah, ya nggak apa-apa sih ngungsi terus … 🙂
Ya Mbak, semoga yang terkena dampak langsung diberi ketabahan, dan semoga ada kebijakan pemerintah untuk meringankan beban mereka yang sudah kehilangan harta benda dan mata pencaharian.
Alhamdulillah, semoga debu vulkanik ini segera berlalu ya Mbak Tuti.
Saudara2 kita yg sedang tertimpa musibah selalu sabar dan tabah menghadapinya,amin
aku hanya mampu berdoa dlm tiap sujudku, hanya yg terbaik saja.
Semoga Mbak Tuti dan keluarga baik2 saja,amin.
senang mendengar berita langsung dr Yogya seperti ini, krn kadang media massa melebih2kan pemberitaan, yg membuat penonton jadi ikut was2 juga 😦
salam
Tuti :
Ya Bunda, semoga debu vulkanik ini segera berlalu. Kalau habis hujan, debu terlarut, sehingga udara bersih. Tapi kalau panas, debu terhambur setiap kali ada kendaraan melintas.
Terimakasih atas do’a di setiap sujud Bunda. Semoga Allah SWT mendengar dan mengabulkannya. Amin.
Alhamdulillah juga, kami sekeluarga baik-baik saja, Bunda.
Syukur juga jika tulisan ini bisa menenteramkan kekhawatiran teman-teman dan sahabat semua … 🙂
Tuti…Apakabar, mudah2an tetep dalam LindunganNYA, Amin.
Luar biasa laporan pandangan matanya ..
komunikatif, berbobot …ngilmiah.
yang jelas bikin orang berfikir realistis jernih
dst dst …pokok-e Top habis temanku, sobat kecilku ini….
apalagi cerita tentang masa kecil main di Kali code …? bukankah waktu itu dolannya sama aku ?
ke rumah teman SD kita , Sri Hidayati yang rumahnya Pakel/ sidikan ya ? deket2 Yogya Tex waktu itu ……ingat ?
btw ……selamat2 tetep berkarya Sobat, suksess
salam
Tuti :
Hallo … Yuni 🙂
Senang sekali akhirnya dikau terdampar di beranda ini. Kangen ngobrol dan main lompat tali seperti waktu kita SD dulu … 🙂
Ingatan Yuni luar biasa, masih ingat semua nama teman-teman kecil dulu. Iyaaa … betul, kita dulu suka main ke kali Code dengan Lina dan Ilah juga. Kalau Heli, nggak boleh sama orangtuanya ya, nggak seperti kita yang suka dolan kemana-mana, ke sawah, ke kali … hehehe 😀
Terimakasih, sukses juga buat Yuni ya …
salam,
Alhamdullilah klo ngga sehebat berita di TV
Beberapa th yg lalu saya pernah ke Kali adem dan masih penuh Abu vulcanic, jadi saya mbayangkan daerah itu hancur lebur
Merapi memang indah dipandang dari sisi manapun Merapi selalu gagah dan menjanjikan alam yg indah, dari Selo, Ketep, kaliurang
Tapi klo batuk koq dahaknya mematikan
Mbak Tut, saya disini ikut panik, saya telp saudara2 dan teman2
saya bayangin pasti banyak yg sakit mata dan batuk karena debu vulcanic
Semoga Merapi kembali tenang dan bersahabat lagi
Tuti :
Memang ada yang sehebat berita di teve Mbak Wied, saya tidak mengatakan bahwa teve bohong. Tapi tidak seluruh wilayah di Yogya menderita sehebat itu. Saya hanya ingin memberikan perimbangan berita saja, supaya teman-teman mendapatkan gambaran yang utuh …
Saya malah belum pernah ke wisata vulkanik di Kaliadem. Baru-baru ini juga diresmikan wisata Museum Gunung Api di dekat sana. Pengin lihat sih, tapi tentunya besok kalau Merapi sudah tidur lagi 🙂
Sejauh yang saya tahu, di sekitar saya, nggak banyak kok yang batuk dan sakit mata karena abu vulkanik. Mungkin karena di tempat saya abu vulkaniknya tipis, jadi nggak sampai menimbulkan penyakit. Kalau di kalangan korban Merapi, mungkin memang banyak ya.
Ya, semoga Merapi segera reda …
Bunda Tuti, ‘lebay’ news is good news… 😀
Teman-teman saya yang di Jogja juga sering memasang status FB yang mengecam pemberitaan yang menggambarkan seolah seluruh Jogja begitu menakutkan hingga membuat panik keluarga dan kerabat mereka yang di luar Jogja.
Meskipun ada juga teman-teman yang memang tengah diberi cobaan karena sementara terpaksa mengungsi (mengontrak rumah di wilayah aman atau nebeng di kenalan/saudara).
Bagaimanapun, semoga musibah ini menjadi mutiara hikmah bagi kita semua agar menjadi manusia yang lebih peduli pada alam, sesama dan lebih mendekat pada-Nya. Amin.
Badai (insya Allah) pasti berlalu…
Tuti :
‘lebay news’ itu tetangganya ‘bad news’ ya 😀
Apa yang diberitakan oleh teve-teve swasta itu benar adanya (meskipun beberapa data kurang akurat), hanya saja terlalu banyak diulang-ulang (satu rekaman gambar bisa ditayangkan ulang sampai belasan kali) sehingga meninggalkan kesan yang traumatis di benak pemirsa. Reportase juga hanya difokuskan pada daerah-daerah yang mengalami bencana, sedangkan wilayah yang baik-baik saja tidak diberitakan, sehingga kesan yang tercipta semua wilayah kondisinya sama seperti yang ditayangkan.
Ya, semoga badai abu vulkanik dan awan panas ini segera berlalu …
Bunda, di daerah Klaten deket rumah anis, sapi-sapi juga diungsikan. Geli juga ngliatnya, tapi itulah..namanya juga sapi itu layaknya kehidupan dan penghidupan mereka;
anis pikir kurang bijak juga kalau diabaikan 🙂
Semoga segala kecemasan ini segera berlalu ya bun…
Tuti :
Bagus sekali kalau sapi-sapi penduduk juga sudah ikut diungsikan. Pasti penduduk yang mengungsi jadi lebih tenang. Bisa dipahami, karena sapi-sapi itu adalah kekayaan terbesar mereka, dan akan sangat berarti untuk memulai kembali hidup mereka, besok setelah musibah berlalu.
Halo Bu Tuti!… lama tak bersua, lama tak mengunjungi beranda bu Tuti… sun pipi dulu aah, kangen niy! 🙂
Saya jatuh cinta dengan kalimat yang ibu pilih sebagai judul pada tulisan kali ini; Merapi Menggeliat, begitu sederhana, begitu alami… sealami yang saat ini sedang terjadi pada Merapi.
Saya juga salute dengan inisiatif teman-teman yang langsung menggalang bantuan dan terjun langsung menjadi relawan, semoga semua yang telah dilakukan dengan ikhlas membawa hasil yang maksimal.
Soal evakuasi, jika mencoba menempatkan diri… saya rasa tidak akan mudah bagi saya dan keluarga untuk langsung plassh… mengungsi begitu saja, bukan karena terikat dengan rumah atau harta benda tapi karena disinilah hidup dan kehidupan kita… tentu saja harus waspada dan tetap berjaga-jaga karena keselamatan keluarga tetaplah yang utama.
Terima kasih bu untuk laporan Merapi Menggeliat, laporannya saya terima dengan baik!
take care bu, salam sayang selalu…
Tuti :
*ngelus pipi yang habis di-sun* 😀
Jatuh cinta pada kalimatku? Ow-ow … puitis dan romantis sekaliii …. 🙂
Saya setuju, Henny. Kita harus memberikan salute yang setinggi-tingginya kepada para relawan, yang telah bekerja keras dengan mempertaruhkan nyawa untuk membantu para pengungsi. Bahkan ada 6 relawan yang tewas ketika berusaha mengevakuasi warga. Sungguh benar-benar mereka berjiwa mulia.
Ya, bagi siapa pun, meninggalkan rumah dan kampung halaman bukanlah sesuatu yang mudah. Keterikatan batin kita pada tanah kelahiran demikian kuat, sesuatu yang kadang-kadang sulit dinalar, tetapi begitulah adanya.
salam sayang juga, Henny
take care you too … 🙂
Bu Tuti… peran media yang cenderung membesar-besarkan kejadian ini sudah sangat provokatif menurut saya. Hal itu sangat saya rasakan, ketika berada jauh dari Jogja seminggu yang lalu. Saya hanya menyaksikan dari tv dan jujur, perasaan saya campur aduk. Tapi, begitu sampai di Jogja dan merasakannya sendiri, ternyata tidaklah separah apa yang diberitakan…
Entahlah, mau diapakan lagi. Toh, mereka bekerja juga ada tujuannya…
Kita berharap, semoga Jogja kembali cerah dan ceria, seperti hari ini, di mana abu vulkanik yang menyelimuti kita sudah berangsur hilang berkat guyuran hujan… 🙂
Tuti :
Iya Uda, kita hanya berharap agar media menayangkan situasi secara seimbang, antara yang kondisinya buruk dan yang baik-baik saja. Agar masyarakat memperoleh informasi yang proporsional.
Kasus Yogya ini sama seperti ketika terjadi gempa di Padang. Media mengekspos hotel dan bangunan-bangunan besar yang runtuh, sehingga pemirsa mendapat kesan bahwa kota Padang rusak parah. Padahal menurut Uda Vizon, yang berkunjung sendiri ke Padang, sebenarnya lebih banyak bangunan di kota Padang yang baik-baik saja.
Betul Uda, hari ini (Selasa, 9 November) Yogya cukup cerah. Meskipun siang mendung dan sore hujan, tetapi tidak ada lagi hujan abu. Masyarakatpun sudah beraktivitas seperti biasa. Semoga keadaan segera pulih seperti sedia kala, Merapi reda aktivitasnya, dan penduduk dapat kembali ke desanya …
jd pengen nangis rasanya ngeliatnya 😥
Tuti :
Kita memang patut bersimpati kepada para korban yang kehilangan keluarga dan harta bendanya. Mari kita ulurkan bantuan, seberapapun yang kita punya …
wah bu, saya masuk 25 nih.. !
Tuti :
25 tahun?
Oh, ring 25 km dari Merapi? 😀
Insya’allah tidak akan terjadi apa-apa. Kita berdoa saja …
* Syukur alhamdulillah mbak Tuti dan keluarga Kalis dari ganasnya Merapi….
* Dan ikut belasungkawa kpd saudara2ku yang terkena musibah secara langsung di sekitar Merapi….melihat photo yg rambut dan mukanya penuh debu (lebih2 di TV), saya ikut merasakan pedih & gak tega melihatnya. Mungkin debunya juga lengket dan bau barangkali.
* Ya Allah, Atas KuasaMU, akhirilah musibah yg beruntun menimpa saudara2 kami di beberapa wilayah (Wasior, Mentawai dan Merapi), Amiin…..
Tuti :
* Ya, alhamdulillah kami semua selamat, sehat wal afiat, atas berkah rahmat Allah SWT.
* Yang hanya berlumur debu itu masih beruntung, Mas Karma. Saudara-saudara yang lain, yang tersambar awan panas, kondisinya jauh lebih mengenaskan …
* Amin ya robbal ‘alamiiiin …
jelas aja Bunda…
media punya peranan penting membuat keadaan Jogja jadi dramatis. Gambar pengungsi yang diselimuti abu diulang berkali2… jadi dikiranya suasana Jogja begitu secara keseluruhan.
semoga aja,
media belajar untuk memberi pemberitaan yang berimbang. bahwa keadaan Jogja pada umumnya masih baik2 saja.
kalo toh ada yang mengungsi.. itu mereka yang berada di wilayah utara.
satu lagi.. *panjang neh* 🙂
harusnya media justru ‘memindahkan’ fokusnya dari Jogja.. tapi ke wilayah sekitar merapi yang lebih memerlukan perhatian. misalnya Muntilan. mereka sangat kekurangan bantuan.. karena kurang terekspos media.
salam saya Bunda 🙂
Tuti :
Jeng Anna, kayaknya tulisan di blog kita senada ya, mengkritik pemberitaan media yang berlebihan dan tidak berimbang. Pemberitaan semacam ini mungkin sebenarnya sudah terjadi berkali-kali, kita saja yang tidak tahu. Nah, giliran Yogya yang diberitakan, kita sebagai orang Yogya jadi tahu bahwa pemberitaan media massa tidak berimbang, menimbulkan risih dan resah masyarakat.
Tentang liputan di wilayah bencana selain Yogya, sejauh pengamatan saya, untuk Metroteve cukup berimbang. Saya tidak tahu bagaimana dengan stasiun teve yang lain. Yaah, kecenderungan untuk mengekspose Yogya mungkin karena hampir semua stasiun teve swasta menempatkan base campnya di Yogya, sehingga wilayah bahaya di Sleman adalah yang paling mudah dijangkau.
salam saya Jeng Anna 🙂
Saya hanya bisa berdoa …
Semoga mereka yang terkena bencana …
diberikan kekuatan untuk menerima suratannya
Dan semoga pula keadaan bisa berangsur-angsur membaik …
Dan terakhir …
Media lebih “dewasa” dalam menyajikan beritanya
Salam saya
Tuti :
Terimakasih do’anya Om …
Kita semua memiliki harapan dan do’a yang sama seperti Om …
Semoga semua segera membaik
salam saya juga,
Tadi siang,..saya mengunjungi 2 tempat pengungsian,..1. di UPN Veteran,…2 Di Stadion Maguwoharjo…
Di UPN : saya sebenarnya tdk mengarah ke pengungsi, krn memang ada keprluan dg UPN, tp sekilas saya melihat kondisi pengungsi Cukup Baik,…
Di Maguwoharjo,..saya memang berniat mengunjungi pengungsi,..jadi saya lebih Fokus ke pengamatan pengungsi…dari situ saya bisa membagi ke dalam 2 kelompok pengungsi : 1. Pengungsi yang Patut di bantu dan 2 Pengungsi yang patut dicaci.
ad .1 ciri2nya pendiam,..rumah dan harta benda nya habis, mereka sangat santun,..mau bekerja dg suka rela, menjaga kebersihan,..dan TIDAK RAKUS.
ad 2. Orgnya banyak bicara, suka membantah, Harta benda utuh, dia mengungsi hanya krn daerahnya Zona MERAH…ini golongan yg rakus,..misal : ada nasi bungkus datang, dia cepat2 minta jatah,..tp belum habis nasi nya, tiba2 ada nasi kardus, mk nasi bungkusnya dibuang, dan dia minta nasi kardus…atau..mengambil pakaian2 bekas,..dibawa pulang,..dan kadang pakaian bekas yg dipakainya hanya dibuang krn ada pakaian yang baru,…kalau diminta meletakkan di tempat sampah,..dia akan berkilah..: karena sudah ada petugas yg membersihkan….NAHHH…PENGUNGSI MACAM INILAH YG PATUT DICACI…!!!!!
Maka, bila para pembaca ingin menyumbang/membantu,..mohon diperhatikan sistem membaginya,..jgn2 nasi yg anda bawa hanya dibuang…??..carilah org2 yang benar2 membutuhkan, dan tdk egois….matur nuwun.
Note : maaf,..saya bukan ahli menulis, jadi bahasanya yaaa…seadanya…..tp semoga ini dapat berguna,
Tuti :
Wah …. pengamatan Mas Yonkie sangat bermanfaat bagi kita, yang nggak terjun langsung ke tempat pengungsian. Jadi ikut es-mosi deh membaca tentang pengungsi yang tidak tahu diri itu *grrh … injek-injek keset*
Hehehe … kita semua bukan ahli bahasa kok, jadi nggak usah merisaukan soal bahasa. Yang penting, informasi yang disampaikan Mas Yonkie sangat berguna bagi kita. Terimakasih 🙂
Perilaku pengungsi dimana-mana memang tidak jauh berbeda. Malah yang sering terlihat adalah kelompok nomer 2 itu. Jika melihatnya pasti bawaannya jengkel melulu. Namun biarkanlah mereka exist karena mereka juga manusia. Bahkan kita memerlukan mereka untuk uji kesabaran dan alat untuk meraih pahala sebesar-besarnya.
Tuti :
*senyum-senyum baca komen Pak Eko* 🙂
Baru tahu … Pak Eko bisa sabar juga ya …. nggak misuh-misuh … uhuy! 🙂
semoga jogja baik2 aja,soalnya ada bu tuti dan anna disana 🙂
Tuti :
Amin, terimakasih Did … 🙂
makasih didot..
nama saya udah disebut 🙂
Tuti :
Horee … yang namanya disebut 🙂
untuk saudara-saudaraku yang kini tengah tertimpa musibah, tetaplah sabar dan sadar bahwa semua ini terjadi atas izin dan kehendak Allah dengan maksud tertentu. Tetaplah semangat dan terus berikhtiar untuk mencari jalan keluar. jangan sedih, kalian tak menjalani semua ini sendiri, ada suadara-saudara lain yang siap membantu, insya Allah…
Tuti :
Pasti semua akan berakhir dengan kebaikan, kalau kita bisa memetik hikmahnya …
Postingan ini menawan!
Jauh dari kesan murahan yang mengangkat sisi “menakut-nakuti secara iman/spiritual”..
Salut, Bu! Tetap semangat.. saya bangga ada postingan bernada positif seperti ini.. Hidup Jogja!
Tuti :
Makasih Don. Kayaknya begitulah aku memandang musibah …
Sejak dulu Jogja memang hidup … mulane muliho nang Jogja wae … 😀
Alhamdullilah… Jogja tetap kondusif yah mbak 🙂
Iyah saya setuju yang mbak Tuti paparkan di postingan, intinya yang bisa kita lakukan utk meringankan beban saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana, ayo ..kita lakukan, apa yang bisa kita lakukan, sekecil apapun kita lakukan….
Selebihnya kita harus tetap pasrah, ikhlas dan berdo’a pd Allah semoga keadaan menjadi lebih baik, dan yakin pasti akan lebih baik.
Ngomong2, media sepertinya byk meliput tentang merapi, sedangkan mentawai dan wasior (irian) sdh nggak terdengar. Gimana kabar saudara2 kita disana yah ?.
Ok, mbak Tuti, sekian dulu… meski akhir2 ini saya sibuk banget tapi yang namanya berita spt ini saya sll update hehehe 🙂
Tetap jaga kesehatan mbak Tuti 🙂 Kita bantu do’a dari sini 🙂
See you,
Bintang
Tuti :
Ya, begitulah Mbak Linda. Musibah adalah sesuatu yang menyedihkan, tetapi harus kita hadapi dengan sabar, tegar, dan tetap tawakal. Lalu kita ambil hikmahnya.
Iya, saya setuju. Liputan sekarang lebih fokus ke Merapi. Mungkin dari segi kemudahan medan, Merapi jauh lebih mudah dijangkau daripada Mentawai apalagi Wasior. Mentawai masih lumayan muncul beritanya, tapi Wasior nampaknya sudah terlupakan 😦
Saya juga berdoa begitu Mbak, semoga semua segera berakhir
salam,
Bu Tuti (tanpa K lho), ijin nambah cerita dari penghuni pinggir Code, Sayidan. (masih boleh panggil Bu kan? Bu Tuti selamanya GURU saya…)
Siang itu, bertepatan hari Jumat, 6 November 2010, chutbah Jumat di Masjid Al Ikhsan Sayidan, Gondomanan, baru saja dimulai. Cuaca tampak cerah, tidak berawan, namun para hadirin sesaat saling berpandangan dengan mimik muka penuh tanda tanya. Memang pertanyaan tidak sempat terlontar dari mulut para jama’ah, mengingat hal tersebut merupakan larangan, bila chatib sudah memulai chutbahnya. Baru setelah shalat Jumat 2 rakaat, selesai, yang ditandai dengan salam ke Kiri, para hadirin setelah beberapa saat dzikir, saling bertanya, apakah benar gemuruh yang terdengar tadi tanda akan turun hujan atau aktivitas Merapi?
Tidak begitu lama, anggota keluarga dari beberapa jama’ah mengabarkan sekaligus menjemput, agar segera pulang mengingat kali Code meluap! Tanpa pikir panjang, beberapa jama’ah segera ambil langkah seribu, termasuk saya, walaupun rumah saya berapa di level tengah. Perlu diketahui, bahwa level atau ketinggian tanah di kampung kami Sayidan ada 3. Level tertinggi berada di ketinggian yang sama dengan jalan raya (Jl. Brigjen Katamso maupun Jl. P Senopati), level tengah yang berada pada pertengahan, dan level terendah berada pada ketinggian + 2,5 m dari muka air sungai.
Rasa was-was terpancar dari puluhan wajah yang memadati pinggiran tanggul sungai Code. Bagaimana tidak was-was, bila yang mengalir bukan air sungai sebagaimana biasanya. Yang mengalir adalah seperti adonan bubur yang sedikit encer. Bukan bubur bayi yang putih, namun campuran dari air, pasir, dan lumpur! Dapat dilihat bahwa kekuatan atau daya dorong aliran sungai saat itu begitu besar. Hal tersebut dapat diketahui bukan dengan merasakan aliran yang ada. Tetapi melihat aneka material yang ikut terhanyut dalam aliran banjir saat itu, demikian dahsyat! Bahkan batu gunung berdiameter > 1,5 m ikut hanyut!
Dalam kondisi demikian, ternyata masih ada beberapa warga yang memanfaatkan situasi “bahaya” tersebut untuk diabadikan melalui perangkat hp yang mereka punyai. Baik dalam mode gambar (foto) maupun video.
Beberapa waktu berada di pinggir tanggul, tanpa dikomando, Pak RT 13, 14, dan 15, secara informal segera berkoordinasi. Pertama, menyeru kepada seluruh warga di pinggir tanggul untuk tidak berdiri/duduk di atas tanggul, kedua menyeru kepada seluruh warga di pinggir tanggul untuk menyiapkan diri dan barang-barang berharga yang dimiliki, bila nantinya harus evakuasi bisa segera diangkat, ketiga menentukan titik-titik evakuasi. Untuk warga RT 13 ditentukan evakuasi di SLB-C Jl. P Senopati, untuk warga RT 14 ditentukan di Balai Warga dan Masjid Al Ikhsan, sedang untuk warga RT 15 ditentukan di SDN Sayidan.
Waktu berjalan, ada informasi dari Pak RT 13 (Pak Hardi), bahwa tanggul di wilayahnya terasa agak bergoyang. Dilaporkan bahwa hal tersebut terjadi akibat hantaman aliran sungai dari sisi Timur, yang berbelok ke sisi Barat karena terhalang tumpukan sampah. Sampah tersebut bukan sampah warga yang membuangnya di sungai, tetapi sampah yang terdiri dari dahan, ranting, dan pepohonan seperti pohon pisang, yang terbawa aliran sungai. Kebetulan abutmen (kaki pondasi jembatan) sisi Timur, tepat di sebelahnya ada tiang penyangga pipa air minum, sehingga pas sekali dimanfaatkan “para sampah” untuk sekedar istirahat barang sebentar, setelah mengarungi derasnya aliran sungai Code.
Ulah iseng “para sampah” tersebut, berakibat aliran sungai berbelok, dan menimbulkan pendangkalan dasar sungai di sisi Barat dan tepat di belakang menumpuknya sampah tersebut. “Pak RW, nyuwun tulung njenengan telphon kelurahan, nglaporaken kondisi menika. Sokur-sokur mangke pihak kelurahan saged nyuwun Pemkot supados ngicali sampah menika, sumangga mangke badhe ngagem alat napa”. Demikian laporan Pak Hardi (RT 13) ke saya (kebetulan saya saat ini diamanati menjadi RW di wilayah RW 05 Sayidan).
Segera, setelah melihat sendiri kondisi yang ada, saya respon laporan tersebut. Alhamdulillah, Bu Rini, Lurah Prawirodirjan sendiri yang menerima telpon saya, dan saya, kami, bangga kepadanya, karena laporan kami segera ditindaklanjuti. Beliau segera turun ke wilayah kami, walaupun Beliau baru saja keliling di pinggiran sungai Code, termasuk Sayidan. Beliaupun ngendika, sudah menghubungi Pemkot.
Mendengar berita Bu Lurah di bagian awal, kami merasa lega. Namun berita selanjutnya yang membuat kami kembali resah. Bagaimana tidak, bila jawaban dari Pemkot, “Nanti kami ke sana Bu Lurah, belum ada kejadian kan? Nanti kalau sudah ada kejadian kami ke sana!”. Jawaban yang sangat “BIJAKSANA!” dalam kondisi seperti ini. “Woo ra nggenah tenan!”, jawab saya sepontan. “Terus pripun niki Pak RW?”, tanya Pak Hardi.
Berpikir sejenak, sambil mempertimbangkan untung-rugi, manfaat-madharat, bagi warga, saya beranikan menyampaikan kepada Pak Hardi, “Tulung Pak RT 14, 15 diaturi nggih!”. Setelah berkumpul, saya sampaikan “Nyuwun tulung, nom-nomane sing purun dilempakke, Bismillaaah, kalih kula, bareng-bareng mandhap teng lepen, nyobi ngresiki sampah nika mbaka sithik. Soale nek ndadak nunggu bantuan, nggih nek dateng, nek mboten, mengke bengi warga lan awake dhewe mboten isa tenang, pripun?”. Alkhamdulillaaah, gayung bersambut, mereka serempak menjawab “Nggih!”.
Teriring pesan dari Bu Lurah dan satu personil dari Koramil Gondomanan, agar hati-hati dan tetap waspada, serta dukungan doa, segera peralatan seadanya dipersiapkan. Tambang plastik (untuk antisipasi berpegangan relawan bila arus kembali datang), cangkul untuk mengurangi endapan pasir dan lumpur (sekaligus mengarahkan aliran sungai), serta tidak ketinggalan, seorang pemantau yang kami tugaskan berdiri di sebelah Utara jembatan (agak ke Utara), guna memantau bila arus aliran besar kembali datang.
Alkhamdulillaaah, sedikit demi sedikit, slangkrah, berbagai macam jenis sampah yang menumpuk jadi satu, akhirnya dapat kami ambil paksa, dan … bersih! Lega rasanya.
Beberapa saat kemudian, kami telah berada di sisi Barat tanggul. Sambil duduk-duduk dan menikmati hidangan teh panas (manis lagi) dan ketela rebus, kami pandangi hasil kerja para relawan. Terbersit dalam benak “Wuihhhh, ternyata bisa juga terlaksana! Alkhamdulillaaah ….!, Subhanallaaah ….!, Allaaahu Akbar ….! Padahal nek dipikir … bahaya tenan lho mau! …… Alkhamdulillaaaaaaaaah!”
Terima kasih Mas Hardi (Pak RT 13), Mas Nur (Sek RT 14), Mas Nardi (Pengurus RT 15), segenap warga yang rela menjadi relawan, dan ibu-ibu yang sudah menyiapkan teh panas manis dan ketela rebus. Mak nyusssszzz pokoknya! Semoga Allah mencatat kerelaan njenengan semua sebagai amal kebaikan, dan dicatat sebagai amal kebaikan bagi njenengan semua. Allah pasti mersani ke-relawan-an njenengan, dan semoga dicatat sebagai doa dan permohonan “dalam bentuk yang lain”, agar musibah ini segera berakhir. Amien ..
Tuti :
Wah … ini mah namanya nitip posting, Mas Imawan 😀
Terimakasih sharing ceritanya, kita jadi tahu apa yang terjadi di lapangan. Ada pejabat yang tanggap dan cepat bergerak, ada juga yang masih kelas ‘menunggu perintah’. Tapi spontanitas warga sungguh patut ditiru. Yah, siapa lagi yang akan menyelamatkan lingkungan kalau bukan warga sendiri. Semoga kerja bakti dan gotong royong warga Sayidan bisa ditiru warga kampung-kampung lainnya.
Pak Walkot, ini lho, warga Yogya yang patut dijadikan teladan …
Oh ya, terimakasih saya masih dianggap sebagai guru Mas Imawan 😀
millions thumps up……………. !!! 🙂
Tuti :
Jempol siape aje Buuk … ? 😀
ouhhh pemandangan yg indah.
Komentnya oke banget dan panjang,,huithhhhh>
selamat tahun baru bu guru.
Tuti :
Komentar di sini bebas, mau panjang atau singkat silahkan saja …
Selamat tahun baru juga, Mas 🙂
Semoga merapi ga menggeliat lagi ya bu’ne
*blog bu’ne udah saya add.. please link me back ^_^
Tuti :
Ya, semoga demikian …
Terimakasih ya sudah nge-link blog saya. Nanti saya link juga blog Jaya 🙂
Semoga jalan keluar cepat terbuka,
Semoga diri kita dapat mengobati jiwa dengan kekuatan doa dan shodaqoh.
Jangan putus asa manakala kecemasan yang menggenggam jiwa menimpa.
Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah
Ketika telah terbentur pada keputus asaan.
Dengan Pemberian Shodaqoh Kita Secara Bersama
Dalam Memberikan Bantuan Untuk Saudara-Saudara Kita Yang Terkena Musibah Bencana Alam;
Maka, Akan Menghentikan Bencana Yang Melanda Di Negeri Ini.
Dengan Mengatasi Permasalahan Yang Kecil; Maka,
Kita Dapat Mengatasi Permasalahan Yang Besar
Salam ~~~ “Ejawantah’s Blog”
Tuti :
Terimakasih kalimat-ka.imat penggugah semangatnya, Mas Indra …
Selalu bikin hati sedih dan gak tega jika membicarakan merapi.
Tuti :
Merapinya sendiri tak apa-apa, tapi masyarakat sekitar yang menjadi pengungsi, itulah yang bikin kita prihatin …
Kutip dulu ah:
“…karena ternak-ternak itu adalah kekayaan terbesar mereka. Bahkan bukan sekedar kekayaan, sapi dan kambing itu sudah menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari..”
setuju dg petikan di atas Ibu Tuti, bagi beberapa orang ternak adalah kehidupan dan penghidupan mereka! Sumber penghidupan itulah yg berusaha mereka “selamatkan” agar mereka bisa bertahan hidup
semoga semua segera membaik
salam,
Tuti :
Betul Bro, ternak itu adalah harapan mereka untuk masa depan, juga modal untuk memulai lagi kehidupan setelah kelak Merapi berhenti erupsi. Pemerintah memang sudah berjanji akan mengganti ternak-ternak mereka, tetapi kapan pelaksanaannya? Dan selama menunggu realisasi janji Pemerintah, ternak-ternak itu kan harus tetap hidup?
Di sisi lain, kebijakan pemerintah mengganti ternak ini menimbulkan keirian bagi rakyat yang sumber penghidupannya bukan ternak, tetapi ikut hancur. Mengapa hanya ternak yang diganti? Bagaimana dengan pertanian, tambak udang, dan usaha-usaha yang lain?
Pas nunggu adikku di RS Harkit, ketemu tentara yang mengenok (steri adikku letkol AD)….
Mereka cerita, saat pengungsi mau dievakuasi, jawabnya:
“Pak, kulo mboten sah ngungsi, wong lahar niku empun enten dalane kok…”
Begitu ternaknya diangkut ke mobil bak terbuka, tanpa omong, si empunya langsung ngikuti ternak tadi. Lha memang kalau kita sudah ngurusi tiap hari, kan kayak anak kita mbak Tuti….ternak sakit aja kita sudah sedih…
Teman-temanku setelah pensiun banyak yang beli rumah daerah Cangkringan, punya kolam ikan, ternak, pertanian…sekarang ludes semua mbak.
Tuti :
Memang iya Mbak. Ternak itu harapan dan gantungan hidup mereka. Dan obyektif, harganya kan cukup mahal. Bagi rakyat pedesaan yang kemampuan ekonominya sederhana, ternak adalah segala-galanya. Tetapi kebijakan pemerintah membeli ternak petani akhirnya menimbulkan keirian bagi warga lain yang sumber penghasilannya bukan sapi, tapi ikut musnah juga dalam bencana ini.
Semoga teman-teman Mbak Enny dikaruniai kesehatan, keselamatan, dan ketabahan ya …
Mbak Tuti,
Maaf baru mampir…
Semoga Yogya kembali ceria ya mbak…
Pas saya kesana, kebetulan habis hujan..rasanya segaaar, apalagi setelah melalui Muntilan yang membuat hati sedih dan miris, kota gelap gulita, pohon tumbang….
Tapi, Minggu pagi tanggal 7 Nop 10…rasanya pengap, debu mengambang….tenggorokan (dasarnya memang alergi debu) langsung perih…dan mata berair….
Saya terharu melihat masyarakat tanpa pandang bulu saling bahu membahu.
Tuti :
Nggak apa-apa Mbak, saya tahu kok Mbak Enny baru repot. Bagaimana keadaan Pak Tri? Semoga sudah sehat ya …
Alhamdulillah, kota Yogya boleh dikata sudah pulih seperti sedia kala Mbak. Abu vulkanik hampir tidak ada lagi. Sekarang yang dicemaskan adalah lahar dingin dari kali Code. Semoga saja tidak terjadi hujan lebat di daerah hulu, sehingga tidak terjadi banjir. Kasihan warga yang tinggal di bantaran sungai …
Semoga kedepan merapi bisa jinak.
Tuti :
Amiin …