Anda kenal siapa Mak Itam? Meski bukan emaknya si Big Boy, dan meskipun Mak Itam merangkak di Indonesia sementara Big Boy berkelana di Amerika Serikat, mereka masih memiliki hubungan kekerabatan.
Badan Mak Itam kekar gagah, dan sesuai dengan namanya, warnanya hitam legam. Kalau berteriak, suaranya bisa membuat orang terperosok ke selokan saking kagetnya. Ohya, sambil merangkak dan mendengus-dengus, mengeluarkan asap mengepul dari lobang hidungnya yang besar, biasanya dia menggendong sekian ‘anak’ di punggungnya.
Hahaha … 😀 . Jangan mengkerut ketakutan dan buru-buru berhenti membaca. Mak Itam tidak sekaum dengan Mak Lampir. Mak Itam ini, meskipun kalau diukur dengan skala kecantikan versi Miss Universe bakal berada jauh di bawah angka nol, kehadirannya pernah sangat berjasa bagi pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Sekarang Mak Itam diidamkan oleh para penggemar wisata moda transportasi kuno.
Mak Itam yang benar-benar legam (foto dipinjam dari sini)
Mak Itam adalah lokomotif uap tipe E 1060. Dulu loko ini dipergunakan untuk mengangkut batubara dari tambang Ombilin, Sawahlunto ke pelabuhan Emma Haven (sekarang Teluk Bayur). Pada tahun 1980an produksi tambang menurun dan Mak Itam dipensiunkan. Mak Itam pun diboyong ke Jawa. Baru pada 15 Desember 2008, Mak Itam ‘pulang kampung’ ke Sumatera Barat dan diresmikan sebagai kereta wisata oleh Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal. Kini Mak Itam melakukan perjalanan secara reguler setiap hari Minggu atau hari libur pukul 12.00 dari Stasiun Sawahlunto ke Muarakalaban, yang ditempuh dalam waktu 30 menit. Yang konon menimbulkan sensasi luar biasa adalah ketika Mak Itam memasuki terowongan Lubang Kalam (dibangun tahun 1894), dengan asap dan lengkingan lokomotifnya yang menggetarkan.
Adapun Big Boy, siapa pula dia? Woow … sesuai dengan namanya, penampilan Big Boy kekar berotot, sangar dan siap menaklukkan tantangan apapun yang ada di depannya. Ia akan memanjat pegunungan dengan perkasa, meskipun diganduli rangkaian gerbong seberat 3.600 ton. Big Boy adalah lokomotif uap terbesar di dunia, yang diproduksi oleh Alco Locomotive Work di Amerika pada tahun 1941. Loko ini dioperasikan oleh Union Pacific Amerika Serikat, memiliki kecepatan 150 km/jam, dan tekanan uap 300 psi. Big Boy bersaudara 25 buah, dan rata-rata telah mengarungi 1.000.000 mil perjalanan. Wow!
Big Boy … wow! Kekaaar …Â (foto : Wikipedia)
Big Boy 4023 diangkut di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat
Kereta api adalah rangkaian kereta yang ditarik oleh lokomotif uap. Sumber tenaga lokomotif ini adalah uap air, yang dipanaskan dengan kayu bakar, batu bara, ataupun minyak bakar. Tekanan uap air dari ketel uap dialirkan untuk menekan piston, selanjutnya piston akan menggerakkan roda melalui mekanisme gerakan maju mundur menjadi gerakan putar. Karena kereta ini hanya bisa bergerak kalau ada api, maka disebut “kereta api”. Jadi, kalau ada orang menyebut ‘kereta api disel’ atau ‘kereta api listrik’, sebenarnya salah kaprah, lha wong lokomotif disel dan lokomotif listrik sudah ndak pake api je … 😀
Lokomotif uap dikembangkan dari penemuan mesin uap oleh James Watt, yang dilahirkan pada 19 Januari 1736 di Greenock Skotlandia. Lokomotif uap sendiri mulai dikembangkan pada tahun 1769. Selain lokomotif Big Boy yang memiliki 8+8 roda penggerak (seri DD), terdapat lokomotif Challenger yang memiliki 6+6 roda penggerak (seri CC) dan lokomotif Northern yang hanya memiliki 8 roda penggerak saja (seri D). Lokomotif-lokomotif ini diproduksi dan beroperasi di Amerika Serikat.
Lokomotif Challenger dengan uapnya yang mengepul hitam (foto : Wikipedia)
Moda transportasi kereta api mulai dibangun di Indonesia pada tahun 1867 di Semarang, dengan rute Semarang – Tanggung yang berjarak 26 km. Pembangunan kereta api ini atas perintah Raja Willem I (raja Belanda lah pastiii … 🙂 ) untuk keperluan militer maupun pengangkutan hasil bumi. Selanjutnya mulai tahun 1876 Pemerintah Kolonial membangun berbagai jaringan kereta api dengan tujuan akhir pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya.
Di Indonesia tidak ada lokomotif super besar seperti Big Boy, Challenger, atau Northern. Meskipun demikian, Indonesia memiliki lokomotif dengan roda bergigi yang mampu mendaki gunung, yaitu di Sumatera Barat dan di Ambarawa, JawaTengah. Lokomotif dengan roda bergigi mampu mendaki bukit dengan kemiringan sampai 6%, sedangkan lokomotif biasa hanya mampu mendaki rel dengan kemiringan 1% saja.
Pada tahun 1950 Pemerintah RI melalui DKA (Djawatan Kereta Api) mengimpor lokomotif uap yang terakhir, yaitu seri D 52 dari pabrik Fried Krupp di Essen, Jerman Barat, sebanyak 100 buah. Lokomotif ini sangat kuat (bertenaga 1600 HP/Horse Power) dan dipakai untuk menarik kereta penumpang, barang, maupun batu bara. Setelah beroperasi selama 30 tahun, kisah lokomotif uap berakhir dengan adanya peralihan era traksi uap menjadi traksi disel. Lokomotif uap yang masih tersisa kemudian disimpan di Museum Kereta Api Ambarawa dan di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah. Dua-duanya sudah pernah saya kunjungi … *sombong* 😀
Lokomotif uap di Museum Transportasi TMII
Mau lihat Museum Kereta Api di Ambarawa? Yuuk, mariii ….
Stasiun Willem I yang sekarang menjadi Museum Kereta Api Ambarawa
Museum KA Ambarawa adalah bekas stasiun KA Ambarawa yang dibangun pada tanggal 21 mei 1873. Stasiun ini diberi nama Stasiun Willem I, sesuai dengan nama Raja Nederland yang memerintahkan pembangunan stasiun tersebut. Pada tahun 1976 pengoperasian Stasiun Ambarawa dihentikan, dan selanjutnya pada 8 April 1976 stasiun ini diresmikan sebagai Museum Kereta Api oleh Gubernur Jawa Tengah Suparjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksploitasi, Soeharso. Di Museum KA Ambarawa kini tersimpan 21 lokomotif uap, yang sebagian masih bisa dioperasikan sebagai kereta wisata.
Museum KA Ambarawa terletak di tengah kota Ambarawa, yang berjarak 35 km dari Semarang. Jika suatu saat Anda melakukan perjalanan darat dari Semarang ke Yogya, tidak ada salahnya menyempatkan mampir. Lokasinya sangat mudah dijangkau. Selain menyajikan rekreasi yang nostalgik (bagi orang-orang tua yang pernah mengalami zaman sepur uap tentunya 🙂 ), museum ini juga memberikan edukasi bagi anak-anak sekolah untuk mengenal sejarah perkeretaapian.
Tuas-tuas pada roda lokomotif ini dicat dengan warna putih, jadi tampak atraktif 🙂
Seorang anak mencatat spesifikasi sebuah lokomotif, tugas dari guru dalam wisata edukatif yang diadakan sekolah
Lokomotif yang diamati pelajar ini adalah seri C 2001 buatan Hartmann Chemnitz, berbahan bakar kayu. Loko ini mulai dioperasikan pada tahun 1912, mampu melaju sampai kecepatan 60 km/jam. Kekuatan traksinya adalah 380 HP, panjang loko 9,32 meter dan lebar 2,41 meter.
Selain menikmati (dan berfoto-foto narsis … 😀 ) di lokomotif-lokomotif yang nangkring di atas rel, kita bisa juga masuk ke dalam bekas bangunan stasiun yang dipergunakan untuk menyimpan berbagai peralatan kuno yang berkaitan dengan operasional perkeretaapian. Mesin pencetak tiket, telepon, telegraf, dan berbagai alat komunikasi yang dipergunakan untuk mengatur perjalanan kereta api disimpan dengan baik di sini.
Pesawat telepon ATEW buatan USA tahun 1901
Mesin cetak tiket kereta api Edmonson
Mesin cetak ini ditemukan (emangnya ilang … hihi 😀 ) oleh Thomas Edmenson pada 1840. Edmonson adalah ahli pembuat lemari yang menjadi kepala stasiun di New Castle dan Carlisle di Perusahaan Kereta Api Manchester dan Leeds, Inggris. Di Indonesia, mesin ini digunakan oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun 1867 untuk mencetak tiket lintas Semarang – Solo – Yogyakarta, pada tahun 1873 untuk lintas Batavia – Bogor, dan pada tahun 1878 untuk lintas Surabaya – Pasuruan. Setelah kemerdekaan, mesin ini tetap digunakan oleh Pemerintah RI sampai dipensiun pada Oktober 2009.
Selain alat-alat komunikasi dan peralatan operasional kereta api kuno, bagi saya bangunan stasiun ini sendiri menarik. Arsitekturnya yang khas bergaya Belanda, dan … owgh, lantainya begitu menarik dengan pola-pola yang artistik. Coba lihat!
Pola lantai di dalam bangunan museum
Museum KA Ambarawa juga menawarkan wisata naik kereta api uap yang masih mampu menempuh tanjakan dengan kemiringan 30 derajad, yaitu dari stasiun Ambarawa menuju stasiun Bedono yang berjarak 9 km, ditempuh dalam waktu 1 jam. Kita dapat menikmati panorama yang sangat mempesona di sepanjang jalan, gunung Ungaran dan gunung Merbabu yang menjulang tinggi dan hamparan danau Rawa Pening di bawah. Kereta ini berkapasitas 80 orang, dan hanya beroperasi by order dengan biaya 5,25 juta.
Selain kereta wisata dengan rute Ambarawa – Bedono, kita juga bisa menggelinding di atas rel dengan menumpang lori wisata dengan rute Ambarawa – Tuntang yang berjarak 5 km. Untuk paket ini, biayanya jauh lebih murah, yaitu 10 ribu rupiah per orang, minimal 15 orang.
Rombongan anak sekolah menaiki lori wisata
Sereem …. tapi eksotis (lokomotifnya lho … 😀 )
Bu Masinis? Oh bukaaan …. pengunjung yang narsis 😀
Era kereta api uap telah berlalu. Sekarang adalah era KRL, KRD, dan kereta-kereta Argo yang memakai lokomotif disel. Meskipun demikian, peninggalan kuno ini perlu tetap dirawat, bukan sekedar untuk memanjakan nostalgia dan romantika masa lalu, tetapi sebagai dokumentasi ilmu pengetahuan. Jadi, tak ada ruginya mengunjungi lokomotif-lokomotif tua ini. Siapa tahu adayang tertarik untuk membuat foto prewedding di sini …. Romantis lho, sumpe! 😀
(Sumber : Wikipedia, brosur Museum Kereta Api Ambarawa)
..
kenapa dikasih nama Mak itam ya, kenapa bukan Pak item ato Mas ireng
maulana..?..
iya setuju sama Bu Tuti, kereta api tidak lepas dari sejarah..
jadi inget film2 jaman penjajahan dulu..
kayaknya gagah bener para pejuang pada naik diatas gerbong, pegang senjata dan teriak merdeka…
kalo sekarang naek di atas gerbong bisa nyangkut di kabel listrik.. he..he..
..
jadi kepengen nih naek kereta wisata, kayaknya seru deh..
dan pastinya gak terganggu pedagang asongan.. hehe..
tapi siap-siap masuk angin, lha gerbongnya full AC gitu [ AC:angin cendela ] 😀
..
Tuti :
…
Itu bukti bahwa eMak lebih perkasa dari ePak … 😀
…
Iya, di film-film perjuangan, di gerbong-gerbong kereta api sering terlihat tulisan gede-gede “Merdeka atau Mati!”. Kalau kata Mbak Imel mah, “Merdeka dan Jangan Mati!” 🙂
Di Amerika (cuma baca di buku lho, soalnya belum pernah kesana … 😀 ), pembuatan rel kereta api dari Amerika timur ke Amerika barat yang disebut Wild West, sungguh menyajikan kisah para pionir yang heroik, tapi sekaligus dramatik. Pembangunan jalur kereta api ini banyak mengobrak-abrik wilayah yang dikuasai suku Indian, yang membuat kehidupan mereka kocar-kacir dan kini terpinggirkan …
…
Kalau kereta wisata tujuan Ambarawa – Bedono dan Mak Itam, kayaknya gerbongnya lebih bagus. Yang ada di foto itu kan lori wisata, yang taripnya cuma 10 ribu, jadi yang gratislah anginnya 😀
…
@ atta :
ckckck jam segitu masih begadang ajah
tenyata begadangin kretanya bunda tuti xixi…
Tuti :
Yeaa …. ada yang merhatiin komen Ata sampe ke jam-jamnya … 😀
Ata udah pules kok sebenernya, bangun cuma buat nulis komen aja, habis itu langsung ‘bruuk..!’ mlungker lagi … hihihi …
Mbak, aku selalu suka sepur a.k.a spoor. Mungkin dulu karena mamaku pernah bilang begini, “Mama tidak bisa naik sepeda, karena mama dilahirkan untuk naik sepur” (alasan dia krn tidak bisa naik kereta aja…padahal sampai tua bukan hanya sepur, pesawat concorde aja sudah pernah hehehe).
Museum Ambarawa sudah masuk ke agendaku sejak lama, meskipun sulit rasanya mewujudkan keinginan itu karena rutenya agak menyimpang dari tujuan mudikku selama ini. Semoga kelompok “Sahabat Museum” masih terus aktif dan mengadakan acara kunjungan ke Ambarawa lagi suatu waktu (kalau pas aku libur) .
Baru tahu Teluk Bayur dulu namanya Emma Haven (Port Emma), wuih namaku tuh. Dihafal aahhh.
Lantainya waaah… bener-bener peninggalan kumpeni ya. Pasti dingin tuh. Pengen jalan dengan kaki telanjang tuh di situ.
Kok mbak Tuti berfotonya di depan loko yang kecil dan jelek gitu sih? hehehe. Mbok yo gayaan di tempat yang lebih keren gitu.
EM
Tuti :
Iya Mbak, Ambarawa memang agak ‘menyimpang’ letaknya, dan lagi hanya bisa ditempuh dengan jalan darat dari Semarang atau dari Yogya/Solo. Lha saya aja, yang sudah sekian tahun (dan puluhan kali) melewati jalur Yogya – Semarang, baru kemarin sempat mampir kesana 🙂
Bagi orang yang suka hal-hal yang berbau kuno (contohnya : saya 😀 ), lantai museum ini memang eksotik. Mozaik pada lantai ini ditata satu-satu. Jaman sekarang sih sudah banyak juga lantai keramik dengan motif seperti itu, tapi tetep saja ‘lain’ melihat lantai yang umurnya sudah lebih dari 100 tahun …
Hahaha … itu fotonya di depan museum Mbak, di luar, dipotret oleh driver saya. Nggak bisa berfoto di dalam museum, di depan loko-loko yang hebring itu, soalnya masuk ke museumnya sendiri …
iya ya kok lucu namanya mak itam. hahaha.
bagus juga museumnya ya bu…
Tuti :
kalo dikasih nama Mak Putih, nanti pada diprotes … 😀
untuk yang suka sejarah dan peninggalan-peninggalan kuno, memang bagus, Man …
Seperti biasa, tulisan Bu Tuti selalu lengkap… Kayaknya ini perlu dikopi, buat bahan bacaan bagi fantasticfour… 🙂
Kata “mak” di depan nama Mak Itam bukan dimaksudkan untuk emak atau ibu. Tapi, untuk “mamak” atau paman. Di Minang, paman dari ibu, kita panggil mamak, dan jika disandingkan dengan nama aslinya, maka disingkat menjadi “mak”; seperti Mak Ata, Mak Naher, dst… So, para perempuan jangan kege-eran ya…. hahahaha…. 😀
Bu Tuti, kalau saya ditanya kereta mana yang saya idamkan untuk dinaiki, maka jawaban saya adalah kereta yang selalu dinaiki oleh Harry Potter, hehehe… *efect abis nonton harpot* 😉
Tuti :
Boleh, boleh Uda … silahkan kalau mau dikopi buat The Fantastic Four. Senang bisa berbagi informasi dengan mereka 🙂
Owgh … begitchu tcho asal nama Mak Itam 🙄 . Terimakasih infonya, Mak Vizon … 😀
Kereta Harry Potter? Haduh …. jadi berasa tua nih saya, gak ngerti si Harpot naik kereta apa … 😦
hedeeehhh mak itam bergaya di TV..
aku suka lihat foto mak itam yang lagi melintas di lembah anai..
http://nakjadimande.com/2010/06/05/mak-itam-dan-tour-de-singkarak-2010/ [halaahh malah ngiklan]
selamat pagi senin mbak cantik..^_^
Tuti :
Pengin banget Mak Bundo bergaya di TV juga …. Ayo dong Bund ….
Iya Bundo, saya sudah lihat Mak Itam di LJ. Kereen … 😮 . Bundo sudah pernah naik Mak Itam kah?
Selamat pagi juga Bundo Bening …. 🙂 Semoga cerah ya pagi ini. *dan gak banyak gigi bolong yang harus dicabut 😀 *
@inyiak : kirim salam dunk wat “mak Naher” .. xixi
Tuti :
Saya kirim salam buat Mak Vizon juga …
akhiiirnya jalan jalan diambarawa publish juga *nunggunya lama juga euy 🙂
hemm..jadi tau sejarah perkretaan neeh 🙂
berarti banyakan orang salah kaprah yah menyebutnya,tak ada itu kreta api Listrik,he he..
lantainya lucu lucu banged, trus itu telponya jadul banged 😀
haduuch seruu banged iiyhh… *kapan yah bisa kesanah 🙄
weks..prawedding ke ambarawa kejauan bunda, dibalik ajah after wedding dech ke ambarawa dijamin keren puwas jalan jalan, keliling jawa 🙂
naah kalu yang maK itam nanti sama emaK bundo naKja keliling sawahlunto dan bukit tinggi..*ngayal lagee 🙂
haddeeehh..ada yang narsis, tapi emang cantik 🙂
kalu masinisnya cantik gene da pada ngantri neeh, aku ikutan daftar naik, tapi dibelakang duduk maniez nikmati pemandangan yang sejuk segar ituh.. *aaahhh,,,,,marai pengeen 🙂
Tuti :
Itu mah belum lama, Wien. Ada lho, kisah jalan-jalanku yang udah lewat dua tahun. Jadi oleh-olehnya udah habis dimakan sendiri deh … 😀
After wedding ke ambarawa? Weleh, kayaknya kurang seru, lha wong bising, bau oli dan minyak rem gitu … Hanimun tuh asyiknya ke tempat yang dingin, indah, dan sepi …hihihi …. Ke Bukittinggi aja, cocok buangets tuh. Bundo Nakja pasti gak keberatan minjemin rumahnya buat hanimunan … iya tak, Bundo? 🙂
Kalo masinisnya yang ada di poto itu, lokomotipnya parkir aja di stasiun … 😀
Bu Tuti baru mampir ke museum KA di Ambarawa setelah bolak-balik Semarang-Jogja pp? Mesti pas lagi bete di Ambarawa macetnya nggak karuan, terus njuk mampir.
Soal KA, tidak bisa tidak kita mesti berterima kasih kepada orang-orang yang membiayai pengembangan mesinnya. Mereka orang-orang gila yang mau keluar uang banyak untuk suatu visi kendaraan yang belum jelas. Orang gila berikutnya adalah orang Belanda yang mau invest KA di Jawa yang belum tentu menguntungkan. Apalagi ke Ambarawa yang hilly.
Orang Belanda aja berani invest masak orang Indonesia nggak berani invest. Apalagi jalur KA di Jawa dan Sumatera masih tinggalan Belanda dan belum pernah dikembangkan. Sudah begitu bangga lagi kalau kita bilang ini peninggalan Belanda. Lha peninggalan kita mana? Tanah Kalimantan, Sulawesi, ataupun Papua masih luas untuk digarap dengan moda transportasi KA. Di Jawa, moda transportasi yang mengandalkan mobil dan sejenisnya sudah mengalami kejenuhan jalan. KA adalah alternatif yang bisa jadi lebih murah daripada memperluas jalan yang terbentur pembebasan tanah.
Maaf bu Tuti, lagi mengagitasi supaya pemerintah mau melirik lagi pengembangan KA. Habis jengkel sih isinya kok mau ngetol terus.
Bu, untuk pembangunan KA di USA, bukan dari barat ke timur atau sebaliknya, tetapi di USA awalnya jalur KA hanya dibuat regional, sporadis, dan tidak tersambungkan. Jaringannya tersebar tapi tak menyatu karena yang membangun banyak perusahaan KA swasta. Tapi akhirnya dapat disatukan dan dinasionalisasi. Namun, jaringan KA tercanggih bukan berada di USA tapi di Eropa, Jepang, dan mungkin Cina.
Tuti :
Hahaha …. sudah sempat googling tentang rel sepur ya Pak, jadi bisa ngasih komen yang canggih (sekaligus ngoreksi tulisan saya 😀 ). Soalnya sudah saya kasih bocoran dulu, kalau Senin ini mau nulis tentang lokomotif uap … 🙂
Di Wikipedia ada animasi yang menunjukkan kerja piston menggerakkan roda kereta dengan tekanan uap, tapi saya gak bisa mengaplodnya ke blog. Padahal menarik dan membuat kita paham bagaimana sistem kerja mesin uap untuk kereta api …
Kalau yang membangun kereta api di Indonesia, menurut yang saya baca, adalah Raja Willem I. Sebenarnya untuk kepentingan mereka sendiri, yaitu untuk mobilisasi militer dan logistik. Dari segi investasi, jelas Belanda untung buanyaak, wong mereka mengeruk kekayaan negara kita habis-habisan. Kota Amsterdam itu dibangun dengan kekayaan bumi Indonesia. Sesudah Indonesia meredeka, Belanda nggak banyak membangun lagi.
Tentang kereta api, setelah kita merdeka, kereta api diambil alih oleh Pemerintah RI dan dipergunakan untuk kepentingan publik.
Hehehe … saya cuma baca di novel “Little House in The Prairie” Pak, yang dulu pernah difilmkan dengan pemeran utama Michael Landon itu lho. Saya punya satu seri (kalau nggak salah 8 jilid) novelnya, dan disitu diceritakan antara lain soal pembangunan rel kereta di daerah Wild West. Tapi mungkin saja memang pembangunan rel KA itu regional, seperti yang ditulis Pak Eko.
Satu lagi tempat yang bisa naik kereta lori. Di Kalibaru, Banyuwangi. Dengan 600 ribu kita bisa naik lori kecil dari stasiun Kalibaru sampai stasiun … mana ya .. kok lupa… pp. Melintasi 2 terowongan dan tiga jembatan panjang. Di atas jembatan kita bisa merasakan sensasi seperti melayang di atas sungai. Satu lori untuk 4 sampai 5 orang. Silahkan mencoba.
Tuti :
Melayang di atas sungai? Wadoow …. ngeri. Saya merasakan itu waktu naik kereta Argo Gede, melintai jembatan Cisomang. Jembatannya tinggi buanget dan tanpa pagar. Haduh … kalau kereta terguling, langsung deh terjun bebas dari ketinggian puluhan meter 😦
Oh.. Mak itu artinya Paman tuh? Kirain.. (udah ge er gender aja nih)
Keramik yang zamannya kereta api gitu, mestinya impor ya Bu? Waktu ke Lawang Sewu saya tanya2 yang mandu wisata, mereka bilang Belanda dulu bangun gedung sering kirim material seperti keramik/ marmer/ kaca gitu langsung dari Belanda sana..
Kereta di Kalimantan? Saya berpikir tentang pengolahan tanahnya yang pasti mahal banget buat jalur kereta, karena tanahnya sebagian besar gambut, dan diselang-selingin sungai-sungai kecil..
Tuti :
Hehehe … iya, Cla. Habis, dimana-mana ‘Mak’ kan biasanya untuk manggil perempuan ya … 🙂
Ya iyalah, pasti impor. Kan seratus tahun yang lalu di Indonesia belum ada pabrik keramik …
Nah, ini Clara yang orang kelahiran Kalimantan, orang teknik lagi, tahu betul kondisi tanah di pulau itu. Jadi moda transportasi yang paling cocok rakit ‘kali ya Cla? 😀
Bu Tuti,
Ada 3 hal (ikut-ikut Om NH):
1. sampai sekarang saya blm tahu secara pasti bagaimana roda kereta api bergerak 😦 kayaknya ribet banget yach… roda digandeng-gandeng, ada tuasnya… tapi bisa berputar tanpa belibet *geleng-geleng kepala kagum*
2. setiap kali naik KA, dan melintas di dpn museum Diponegoro (tegal rejo, jogya) aku selalu terkenang… “ini nih.. jalan yang menyulut perang diponegoro dahulu kala!! ternyata aku merasakan manfaat jalan yang dibangun belanda” 🙂 namun, aku tidak “merasakan” perasaan yang sama setiap kali melintas jalur Pantura… jalan raya yg dibangun deandles dengan kerja rodi-nya
3. dulu saya punya joke begini “apa beda orang inggris, ama orang jawa?” Kalo orang inggris… uap air bisa jadi mesin uap, trus berkembang jadi revolusi industri, trus berkembang jadi revolusi sosial, dst… lah orang jawa uap air “cuma” jadi kue putu yg bisa nyemprit…. nguuungggg
panjang bener yach kimenku…
salam,
Tuti :
3 respon untuk Broneo :
1. Betul Bro, kalau kita lihat perputaran roda kereta api, memang kelihatannya ribet banget. Ada gambar animasi sistem penggeraknya di Wikipedia, dengan piston yang mendapat tekanan uap air, tapi saya nggak bisa mengaplodnya di sini 😦
2. Iya, perang Diponegoro dulu dipicu oleh pembangunan rel kereta api yang melintasi halaman kediaman Pangeran Diponegro. Bahkan pembangunan stasiun Tugu yang tepat berada di antara Keraton Yogyakarta dengan Tugu Putih itupun sebenarnya merupakan bentuk ‘penantangan’ Belanda terhadap Keraton Yogya, karena Keraton – Tugu – Merapi kan satu garis lurus yang merupakan satu kesatuan yang disakralkan.
3. Dan sampai mesin uap ditinggalkan, kita tetap saja cuma bikin kue putu … 😉
Nggak kok, banyak yang komennya lebih panjang … Makasih ya Bro 🙂
[…] sambil naik kereta koq rasanya kurang afdol, apalagi sambil mencari hadiah dari langit. Meski sudah berusaha menjadi bisnismen tapi […]
Wow… sejarah panjang perkeretaapian di Indonesia. Sayang ya, kita seperti berjalan di tempat di bidang yang seharusnya dapat menjadi alternatif transport massa yg aman, cepat, tepat, nyaman walau belum tentu bisa sangat murah. 🙂
Tuti :
Investasi pada pembangunan jalan rel memang sangat muahaaal … Apakah itu yang membuat perkeretaapian kita lambat majunya? Tapi PT INKA sudah bisa membuat gerbong yang bagus lho, meskipun untuk lokomotifnya mungkin masih harus impor …
Iya, tarif kereta eksekutif sekarang sudah cukup mahal, tidak terlalu jauh berbeda dengan harga tiket pesawat promo …
Wuiii… Bunda… padahal dulu saya sering banget bolbal jogja-semarang-pekalongan, tapi ga tau ada tempat keren kayak gini di ambarawa…
Berarti nama PT KAI sebenernya salah kaprah juga ya, Bunda? Koq masih ada ‘api’-nya… 😀
Tuti :
Berarti promosi museum ini masih kurang ya, sehingga keberadaannya kurang diketahui masyarakat …
Hehehe …. iya juga, PT Kereta Api Indonesia, padahal sekarang sudah pakai lokomotif disel dan listrik 😀
sejarah perkereta apian di negeri ini, begitu rincinya ditulis oleh Mbak Tuti, seperti biasa, selalu didukung data dan foto2 yang keren 🙂
Tetapi kenapa ya, dalam perkembangannya, kereta api ini tdk/blm mampu menjadi alat transportasi yang mampu mendukung kebutuhan rakyat banyak.
Kalau saja kereta api di negeri kita bisa memberikan rasa aman dan nyaman, juga murah dan bersih , bukan berdesak2an seperti sekarang, pasti kereta jadi moda transportasi pilihan utama, sepeti di luar negeri ya Mbak .
salam
Tuti :
Kalau mengenai kebijakan transportasi di Indonesia, yang paling tahu dan berwenang tentunya Menteri Perhubungan ya Bunda. Lha, malah akhir-akhir ini sering terjadi kecelakaan kereta api yang memakan banyak korban. Itu kan artinya manajemen perkeretaapian kita masih buruk (apapun penyebab kecelakaannya, apakah human error atau management error).
Tidak seperti angkutan bus atau pesawat terbang, di bidang perkeretaapian pihak swasta sampai saat ini belum bisa berperan. Mungkin ini disebabkan terbatasnya jalan rel, yang merupakan satu-satunya jalur kereta api dan investasinya memang sangat mahal.
Mak Itam ?
Saya pernah dengar cerita mengenai Lokomotif di Sumatra Barat ini …
Karena di Sumatera Kereta api itu jarang …
Maka keberadaannya menjadi sangat spesial sekali …
Salam saya Bu Tuti
Tuti :
Berarti Om belum pernah naik Mak Itam ya? (kan baru dengar ceritanya doang … 😀 ). Besok kalau mau pesiar dengan Mak Itam, janjian sama Bundo Nakja aja Om … 🙂
salam saya juga Om …
lengkap sekali mbak info nya…. foto-foto dan isi tulisannya…. seperti sedang berada di area tersebut…. pengen banget liat mak item itu…keliatan eksotik dan pemberani hahaaa…..
padahal gw sering lewat tuh ke ambarawa…tapi ga pernah bisa mampir ke situ…
Tuti :
Kalau pengin lihat Mak Item harus ke Padang, jauh euy …. Mending ke Ambarawa aja 🙂
Kalau saya melihat kereta-kereta lama ini Bunda, jadi punya angan-angan rute-rute kereta lama yang ada di Jogja seperti ke Godean, Muntilan, Bantul, dll itu dihidupkan kembali.
hmmm…(bermimpi)
Tuti :
Nostalgia memang selalu indah ya Na. Aku masih sempat loh naik kerta api ke Bantul dan Muntilan. Relnya juga masih ada kok, hanya tertimbun tanah. Rasanya aku pernah membaca rencana menghidupkan kembali kereta api ke Bantul dan Muntilan ini, tapi entah bagaimana kelanjutannya … 🙂
wah, pasti asik banget ya bu naik kereta uap ini, saya bener-bener penasaran dengan bunyinya yang tut..tut.. jess..jess..jess.. karena sejak saya kenal kereta, kok kayaknya yang terasa cuma bunyi peluit dan grek grok relnya saja, hehe,,, 🙂
oh ya, salam kenal bu tuti,
saya sering tau dan dengar nama ibu, tapi baru sempat mampir, maap…
salam sahabat,, nice to know U.. 🙂
Tuti :
Kalau gitu Tiyha musti ke Padang atau ke Ambarawa, supaya bisa naik kereta jess … jess 🙂 . Atau kalau tinggal di Jakarta, bisa ke Museum Transportasi TMII (tapi di sana keretanya cuma dipajang, nggak bisa jalan).
Saya juga sudah sering lihat foto Tiyha yang cantik ada dimana-mana 🙂 . Terimakasih sudah berkunjung ke TV.
Salam kenal juga Tiyha, nice to know you too … 🙂
wah.. jadi keinget jaman SMP dulu.. pernah liburan ke sana bareng sekolah. 🙂
dan yang saya paling ingat adalah lokomotif hitam itu Bunda.. plus stasiunnya yang bergaya belanda abis itu..
dan komen2 di atas juga byk yang ngasih info baru yaa… ttg adanya rute kereta ke bantul dan muntilan, mamak yang artinya paman.. semakin melengkapi tulisan Bunda Tuti…
ohya dulu saya sempat berfoto di lokomotif item yang ada anak kecil lagi nulis spesifikasi lokomotif itu.. fotonya juga masih ada.. hehe
Tuti :
Jaman Jeng Anna SMP itu tahun berapa ya? 🙄
Semua lokomotif di Ambarawa memang dicat hitam. Nggak tahu kenapa nggak ada yang dicat putih, merah, kuning ,atau hijau ya? 😀
Itulah senangnya mendapat komen dari teman-teman, jadi menambah informasi. Sesuai dengan motto TV : “Beranda tempat berbincang tentang segala hal di sekeliling kita”
Pasti foto Jeng Anna di lokomotif itu masih imut banget ya, lha wong masih SMP … 🙂
Saya pernah ke museum kereta api di Ambarawa waktu pre-wedding dulu heheheh…
Bu, di sini hampir semua stasiunnya masih seperti yang di Ambarawa itu.. memang dijaga supaya tetap sama ‘feel’nya.
Kalaupun ada pembangunan baru stasiun, sifatnya adalah ekstensifikasi, bukan penghancuran yang lama lalu mbangun yang baru.
Aku melihat foto kereta lama yang dicat ulang kok malah nelangsa ya.. harusnya tetap dipertahankan aja biar tetep asli dan asri…
Tuti :
Wow … preweddingnya Donny di Museum Ambarawa to? Fotonya masih ada kan? Diaplod dong di blog Donny, sekalian cerita waktu bikin foto itu dulu gimana …
Lah, memangnya di Sidney nggak ada stasiun yang bener-bener baru, yang bukan peninggalan jaman Ratu Victoria? 🙂
Kalau lokomotif-lokomotif kuno itu nggak dicat ulang, bakal cepet keropos, Don. Cat itu sekaligus untuk melindungi dari korosi (karat). Menurutku, cat warna hitam memang paling cocok. Mosok hijau pupus atau pink? 😀
Saya belum sempat lihat dan mencoba kereta di Ambarawa ini, entah dari dulu pengin tapi kok ya nggak sempat aja (biasa..sok sibuk.com).
Sebetulnya saya suka melihat stasiun kereta api yang kuno itu, asal bersih terlihat indah. Di Jakarta, saya suka stasiun Jakarta Kota..indah sekali.
Saat pernah ada seminar Perbankan di Dresden, di stasiun banyak kios-kios, kantor pos…jadi kayak swalayan, tapi stasiun nya kuno..rasanya menyenangkan sekali. Bahkan sempat diajak makan malam, di tempat yang dulunya tempat perlindungan..jadi di bawah tanah…
Mungkin kita harus lebih mencintai sejarah yo mbak…
Tuti :
Wah, saya belum pernah ke Stasiun Kota, Mbak. Lha kalau naik kereta kan selalu dari Gambir.
Tempat perlindungan di bawah tanah itu ada di lokasi stasiun juga ya Mbak? Tapi nggak di bawah rel kan? 😮
Di Yogya, di Jl. Kaliurang ada rumah makan dengan suasana gerbong kereta api jaman dulu. Unik sekali, jadi kita seperti masuk ke stasiun dan makan di dalam gerbong. Sayangnya restoran yang unik ini tidak begitu laku, dan akhirnya tutup … 😦
Hehehe….kirain tadinya mbak Tuti cerita apaan yach….Hehehehe…judul postingan yang menarik, isinya juga 🙂
See you mbak 🙂
Best regard,
Bintang
Tuti :
Hehehe …. Mbak Linda mengira posting tentang apa ya? Ada Mak Itam, ada Big Boy …. wah, jangan-jangan mengira yang bukan-bukan … 😀
salam,
Wah saya baru liat lokomotif yg di TMII bun 🙂 pengen deh yg ke Ambarawa… Lantainya cantik bgt!
Eh bun, klo aku bikin poto prewed lg, bisa2 aku dikemplang Adr :))
Apa kbr bun? Maaf baru bisa singgah…
Tuti :
Aku juga duluan ke TMII, baru ke Ambarawa. Yang di TMII keretanya juga bagus, cocok juga buat lokasi foto prewedding.
Kalo Eka sama Adrian ya bukan prewedding lagi dong, tapi after wedding. Asyik juga loh, bikin aja besok pas ultah pernikahan 🙂
Kabar baik Eka. Nggak papa, ini juga terimakasih banget Eka udah nyempetin singgah … 🙂
Asyik nih mbak Tuti, museum ini udah masuk daftar hrs dikunjungi kl ada kesempatan jalan2, ada jg lori wisata yg di kebun tebu, itu di daerah mana ya.
Tuti :
Ayuk … kapan Mbak Monda ke Semarang atau ke Yogya, mampir sekalian ke Ambarawa.
Lori wisata di kebun tebu? Jangan-jangan di pabrik gula Gondang, Klaten … 🙂
mbak, samaan nih, kl ke museum selalu ngincer tegelnya, he.. he… bahkan di museum bank mandiri jkt, jg ngeliat kunci pintu kamar mandinya masìh gaya kolonial.
Tuti :
Keindahan lantainya diperkuat oleh kesan kunonya Mbak. Kalau lantai berornamen seperti itu, sekarang kan juga banyak yang terbuat dari keramik. Tapi lantai kuno seperti ini beda …
Kunci pintu kamar mandi di Museum Bank Mandiri masih berfungsi dengan baik kan? Takutnya, udah di dalam kamar mandi, kunci nggak bisa dibuka lagi, huwaaa … 😦
Laporan yang sangat apik, rinci dan didukung gambar yang tajam dan bagus.
Saya juga penggemar KA mbak, terutama ketika menjadi anggota PJKA ( Pulang Jum’at kembali Ahad) waktu dinas di Jakarta dan keluarga di Surabaya.
Bagi saya naik kereta api lebih nyaman dibandingkan dengan naik bus yang ngebut menjadikan saya takut.
Sekali waktu ingin melihat KA di Ambarawa, kemarin sempat lewat tapi tak mampir.
Terima kasih artikelnya yang bermanfaat.
Salam hangat dari Surabaya
Tuti :
Terimakasih Pakde 🙂
Wah, Pakde sempat jadi keluarga PJKA? Jakarta – Surabaya cukup jauh lho, capek juga ya kalau setiap minggu bolbal? Tapi demi keluarga, apapun pasti ditempuh ya Pakde?
Kapan-kapan mampir ke Museum KA Ambarawa,Pakde. Nostalgia masa lalu, naik kereta kuno …
salam hangat juga dari Yogya
[…] ini dahulu adalah stasiun yang bernama Willem I. Mau tahu sejarahnya? Monggo kuajak ke TVnya mbak Tuti Nonka saja yang lebih dulu berkunjung ke sana ya (penjelasannya mbak Tuti lebih enak dibaca lho, […]
[…] ini dahulu adalah stasiun yang bernama Willem I. Mau tahu sejarahnya? Monggo kuajak ke TVnya mbak Tuti Nonka saja yang lebih dulu berkunjung ke sana ya (penjelasannya mbak Tuti lebih enak dibaca lho, […]
dulu ane waktu kecil pernah naik sepur uap dari medan ke siantar. juga sering nybain sepur item itu dari bukittinggi ke jalur payakumbuh/piladang.
jadi sekarang kalau ane liat sepur uap gitu cuman tinggal beberapa biji jadi sedih bangetsss.
Kok ga dilestarikan yahh., dan jalur sepur dari bukittinggi ke payakumbuh perlu dihidupkan lagi, karena pas kemaren ane masih lihat stasiun kuno yang ada di tanjung alam dan biaro.
bagus sekali kalau bisa untk menarik wisatawan.
Tuti :
Usulnya bagus sekali, untuk menghidupkan kembali jalur kereta uap dari Bukittinggi ke Payakumbuh. Semoga didengar pihak yang berwenang … 🙂
Bu Tuti boleh OOT yah. yang saya komenin bukan keretanya, tapi gaya bahasa bu tutinya. lucu-lucu.. hehe..
saya baru mampir ke blognya bu tuti. ntar mampir lagi bu.
salam.
termakasih infonya, visit blog dofollow saya juga ya gan 🙂 , Abeje
Kira-kira berapa ya kalau foto prewedding di sana? Boleh masuk ke keretanya ga?