Catatan :
Artikel ini saya tulis karena ketertarikan saya pada masalah di seputar RUU Pornografi yang menuai pro dan kontra. Referensi yang pertama saya baca adalah majalah Femina Nomor 42 edisi 23-29 Oktober 2008. Ulasan di Femina inilah yang menjadi dasar saya dalam menulis artikel. Namun setelah artikel ini saya posting, dan banyak komentar masuk, saya membaca majalah Madina Nomor 10 terbitan bulan Oktober 2008, yang menganalisis masalah RUU Pornografi dari sisi yang berbeda (dan lebih rinci). Referensi dari majalah Madina inilah yang menambah pemahaman saya tentang RUU Pornografi, dan selanjutnya menjadi referensi saya dalam merespon komentar-komentar yang masuk.
Perbedaan referensi pada saat saya menulis artikel dan pada saat saya merespon komentar barangkali membuat saya kelihatan ‘berubah pandangan’. Untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini menjadi pengalaman bagi saya, bahwa apa yang dimuat di sebuah media tak bisa dilepaskan dari ‘siapa’ yang ada di belakang media tersebut, serta misi yang dibawanya.
KONTROVERSI TIADA HENTI UU PORNOGRAFI
Maraknya pornografi di masyarakat kita sejak beberapa dekade ini memang sangat meresahkan. VCD dan produk-produk bermuatan pornografi beredar dengan begitu bebas, dijajakan di pinggir jalan dan bisa dibeli oleh siapa saja, termasuk anak-anak. Terbitnya majalah Playboy di Indonesia merupakan bukti direstuinya pornografi muncul secara legal di media cetak. Informasi dari internet, yang langsung masuk ke ruang-ruang pribadi pengaksesnya, menjadi pintu masuk serbuan pornografi yang sangat sulit diawasi. Bahkan dijumpai game-game untuk anak dan VCD film kartun yang ternyata disisipi gambar-gambar porno.
Mengapa pornografi demikian marak dan jaringannya sangat sulit diberantas? Karena, pornografi merupakan komoditas yang melibatkan uang dalam jumlah sangat besar. Pelaku bisnis pornografi menangguk keuntungan menggiurkan, sehingga sama seperti perdagangan obat bius, sangat sulit memberantas bisnis ini.
Siapa pun yang masih memiliki hati nurani pasti resah melihat situasi seperti ini. DPR kemudian membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk menyusun RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) pada tahun 2005, yang kemudian diperbarui menjadi RUU Pornografi. Seharusnya, tanggal 23 September 2008 kemarin RUU Pornografi ini disahkan menjadi undang-undang (UU) Pornografi. Tapi, meskipun sudah mengalami 3 kali revisi, RUU ini masih ditentang di berbagai tempat.
Apa sesungguhnya isi RUU Pornografi, sehingga mengundang pro kontra yang demikian keras?
Demo menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di Jakarta
(lebih…)
Read Full Post »