Merindui Ijen dan Trembesi?
Yup, saya ke Malang pertama-tama pengin melihat (lagi) Jalan Ijen, setelah membaca posting tetangga sebelah, hampir setahun yang lalu, di sini . Juga pengin ngadem di bawah pohon Trembesi, terhasut tulisan tetangga yang sama di posting ini. Bakso Malang? Pengin juga, tapi nggak sampai keimpi-impi 🙂
So, kami tiba di Malang menjelang jam 13.00, langsung menuju ke Hotel Mandala Puri. Begitu masuk ke lobby, saya agak surprised karena baru tahu, ternyata hotel ini bergaya tradisional Jawa kuno. Ruangan, lorong, dan dinding dipenuhi dengan furniture, lukisan, dan pajangan antik. Ditambah suasana yang agak redup, kesan pertama yang muncul adalah … hmm … ceyeem 😕
Sambil menunggu kamar kami disiapkan, saya melihat-lihat ke berbagai sudut. Saya masuk ke sebuah ruang pertemuan yang kosong. Dindingnya dipenuhi lukisan, sebagian lukisan kuno. Berada sendirian di ruangan kosong yang penuh barang antik itu, mendadak saya merinding. Cepat-cepat saya keluar, sebelum tiba-tiba disapa ‘sesuatu’ … hihihi 🙂
Furniture dan lukisan-lukisan tua yang seolah memperhatikan saya …
Lorong di depan kamar, penuh dengan barang-barang warisan nenek moyang …
Meskipun Hotel Mandala Puri ini kecil dan interiornya agak serem, staf hotelnya ramah dan helpful. Penampilan roomboynya, meskipun – ma’af – cukup kekar untuk mengangkat karung beras di pasar, sopan dan ramah. Setiap berpapasan dengan saya, mereka tersenyum dan menyapa. Mereka juga mengenakan seragam, meskipun seragamnya nggak keren-keren amat (entah mengapa, saya selalu lebih suka staf berseragam, karena bagi saya itu menunjukkan profesionalisme).
Acara pertama kami adalah … makan bakso 😀 . Dari staf hotel, kami diberi tahu bakso yang enak, kebetulan tempatnya juga dekat dengan hotel, yaitu Bakso Cak Man. Di rumah makan ini pengunjung memilih sendiri jenis bakso yang diinginkannya. Awas, jangan es-mosi dan mengambil terlalu banyak, karena bisa-bisa perut nggak muat :D. Harganya cukup murah, per potong hanya sekitar Rp. 1.000,- sampai Rp. 2.000,-. Kami berempat makan kenyang, tak sampai menghabiskan Rp. 50.000,- .
Oh ya, Bakso Cak Man ini pada 2007 memecahkan rekor MURI dengan membuat bakso terbesar berdiameter 1,2 m! Hwalaah … gimana tuh bikinnya? Merebusnya pakai apa? 🙄
Ayo … dipile, dipile, dipile ….
Sertifikat rekor MURI yang dipasang di dinding
Setelah perut kenyang, acara jelajah kota pun dimulai. Saya tertarik pada arsitektur Rumah Sakit Lavalette, yang tampak sebagai bangunan peninggalan Belanda. Rumah sakit ini dibangun pada awal abad ke 20, dan pada tahun 1957 dinasionalisasi menjadi bagian dari BPU PPN Gula. Sekarang RS Lavalette menjadi bagian dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, tetapi pasiennya berasal dari masyarakat umum juga. Mottonya pun PTPN : Pelayanan Terprima, Pasien Nyaman. Bisa saja mencari singkatan yang pas 😀 . Tapi kenapa ya namanya tidak diganti dengan nama Indonesia?
RS Lavalette, bangunan tua dengan pohon besar yang teduh
Tujuan kami berikutnya adalah Balaikota, dengan alun-alun bunder di depannya, dan tentu saja : pohon-pohon trembesi besar yang mengelilingi alun-alun. Woow …. pohon-pohon besar itu memang cantik dan elok. Batangnya yang kekar, dan cabang-cabangnya yang lebar serupa payung raksasa, sungguh eksotik! What so special with trembesi, sehingga saya begitu tertarik pada pohon ini? Mengutip sebagian posting Ki Hujan yang publish di TV :
Trembesi adalah tanaman peneduh dan penghasil oksigen (o2) yang luar biasa. Hasil penelitian membuktikan bahwa pohon trembesi yang ditanam di atas lahan satu hektar dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen yang mampu memenuhi kebutuhan oksigen untuk 1.550 orang per hari. Trembesi juga unggul untuk menanggulangi banjir sebab mampu menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun dan mampu mentransfer 4.000 liter air per hari. Selain itu, pohon trembesi dewasa dapat menyerap 28 ton carbon dioxide (CO2) per tahun, sangat jauh dibandingkan pohon lain yang hanya menyerap CO2 sekitar 1 ton per tahun.
Tuuh … nggak salah kan kalau saya mengagumi pohon hebat ini? 🙂
Jajaran pohon trembesi di sekeliling alun-alun, ditambah kehijauan rumput dan taman, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu lokasi terbaik di kota Malang. Kalaupun ada yang sedikit mengganggu, adalah kolam teratai yang mengelilingi tugu di tengah alun-alun, entah mengapa terlihat kusam, becek, dan mengerikan, seakan mau menghisap kita ke dalamnya …
Eh, tulisan Balai Kota bukannya Balaikota ya? *cmiiw* 🙂
Trembesi, Ki Hujan, bahagianya aku melihatmu …
Ehm … gimana ya supaya kolamnya nggak terlihat ‘mengerikan’ begitu? 🙄
Puas melihat pohon trembesi, kami menuju ke Jalan Ijen. Pertanyaan yang sama : apa istimewanya Jalan Ijen ini, sehingga menarik untuk dikunjungi? Mengutip posting tetangga sebelah, Ijen Boulevard, sedikit informasi tentang Jalan Ijen adalah sebagai berikut.
Pohon-pohon Palem Raja (Roystenea Regia) yang tumbuh di sepanjang jalan ini sudah berusia puluhan tahun. Tentu ada yang sudah diganti dengan pohon baru, tetapi minimal keberadaan pohon Palem ini sukses diregenerasi hingga tetap eksis sampai sekarang. Jalan Ijen dibangun pada masa pemerintahan walikota Ir. EA Voonerman (1923 – 1933), dengan boulevard yang menjadi bagian utamanya. Perencana jalan ini adalah Ir. Herman Thomas Karsten.
Jika biasanya perumahan Hindia Belanda membagi kawasan perumahan berdasarkan ras (Eropa, China, Arab, dan Pribumi), Karsten membangun perumahan berdasarkan tiga tipe, yaitu vila, rumah kecil, dan kampung. Ijen adalah pemukiman berkelas vila, yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan atas. Adapun Jalan Semeru adalah kawasan untuk rumah-rumah kecil. Karsten menata tiga kelas pemukiman dengan gradasi yang halus, antara masyarakat golongan atas dengan pribumi. Ia ingin menampilkan wajah kota Malang yang menyatukan dan menyerasikan berbagai golongan penduduk.
Jalan Ijen dengan boulevard dan palem-palemnya
Pedestrian dengan naungan palem tinggi, teduh dan nyaman
Sebuah gereja dengan bangunan yang masih asli
Tak disangka, ternyata kami tersesat-sesat mencari jalan yang legendaris ini. Peta yang ada di leaflet Hotel Mandala Puri ternyata kurang memadai. Tidak semua jalan ditampilkan, sehingga kami kebingungan dan salah arah ketika sampai ke persimpangan-persimpangan jalan yang tidak ada di peta. Setelah berulang kali bertanya, dan capek berputar-putar, akhirnya kami sampai juga di Jalan Ijen. Jalan panjang dengan pohon-pohon palem tinggi ini masih sama seperti ketika saya melihatnya sekian puluh tahun yang lalu. Rapi, teduh dan indah.
Capek tersesat-sesat, dalam perjalanan pulang ke hotel saya mampir ke sebuah toko buku untuk membeli peta kota Malang. Nah, dari mempelajari peta, barulah saya paham lokasi jalan-jalan yang ada. Ternyata selama satu jam kami muter-muter saja di lokasi yang sebenarnya dekat dengan Jalan Ijen, tapi setiap kali berbelok kami mengambil arah yang salah dan justru menjauh kembali dari Jalan Ijen. See, peta sangat penting kan? Jadi nggak salah juga saya dulu menghabiskan 5 tahun untuk kuliah tentang peta di Teknik Geodesi (haiyah … :D)
Hotel yang pada siang hari terlihat agak suram dan serem, pada malam hari ternyata berubah menjadi indah dan eksotik dengan adanya lampu-lampu. Dengan harga kamar Rp. 190.000,- (paling murah) menurut saya hotel ini cukup layak. Pada saat itu memang full booked, tampaknya ada rombongan klub sepakbola dan rombongan keluarga pengantin 🙂 .
Untuk sarapan, kami dipersilahkan memilih : nasi goreng atau roti tawar. Saya memilih nasi goreng dan kopi. Nasi goreng disajikan ke kamar dalam piring porselen putih besar standar hotel, dengan tatanan yang menggugah selera, dan masih hangat. Kopi juga dalam cangkir porselen putih. Nah, seperti itulah yang saya inginkan. Meskipun sarapan sederhana, tapi disajikan dengan bermartabat (jiaah … :D).
Kamar hotel (masih rapi, sebelum diacak-acak si tamu bawel 🙂 )
Oleh-oleh apa yang paling pas jika kita berkunjung ke Malang? Atas rekomendasi seorang teman, pagi-pagi kami pergi ke sentra produksi kripik Sanan. Di sepanjang jalan berderet toko-toko yang menjual aneka kripik tempe, kripik buah, dan makanan kering lain khas Malang dan sekitarnya. Pokoknya komplit-plit. Tempe kripik di sini sangat enak, selain renyah juga ada berbagai rasa mulai dari rasa keju, barbeque, pizzza, jagung bakar, daun jeruk, dan macam-macam lagi. Toko yang kami tuju rupanya sudah menjadi langganan orang untuk mencari oleh-oleh, sehingga sudah menyiapkan karton dalam berbagai ukuran, lengkap dengan talinya untuk memudahkan orang membawanya. Kami sendiri akhirnya membeli berbagai oleh-oleh sebanyak 4 karton besar, yang langsung membuat bagasi mobil penuh 😀
Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk memotret landscape, jadi dari Sanan kami keliling kota lagi, motret lagi. Malang memiliki banyak bangunan tua yang indah, yang menarik untuk difoto. Saya berhasil memotret gereja indah di dekat Balaikota, juga Masjid Agung. Karena lalu lintas yang ramai menyulitkan mobil untuk berhenti, serta ruang bebas yang terbatas, seringkali foto-foto justru bisa diambil dari dalam mobil ketika kita melintas di depan sebuah bangunan.
Masjid Agung kota Malang, putih cemerlang di pagi hari
Sebuah gereja di dekat Balaikota
Sebuah patung di salah satu sudut kota
Kunjungan kami ke Malang tidak begitu optimal, selain karena waktu yang sangat terbatas, tidak cukup informasi tentang obyek wisata yang menarik, juga karena waktu kami banyak terbuang dengan urusan sasar-menyasar jalan 😀 . Tak apalah, mungkin ini isyarat agar kami datang lagi ke Malang di lain waktu …
Minggu menjelang tengah hari kami meninggalkan kota Malang, pulang ke Yogya melalui jalur Blitar – Ponorogo – Wonogiri. Ada kisah-kisah menarik sekaligus menegangkan pada perjalanan pulang ini. Apa itu? Ikuti kisah saya pada posting berikutnya …
*jeng jeng jeng … iklaaan 😀 )
..
mandala puri ini sebelahnya cafe bale barong, tempat saya nongkrong pas jaman kuliah dulu..hihihi..
trus di depannya ada lapangan punya TNI, yaitu lapangan rampal yg sangat amat luas.. 🙂
..
bakso cak man itu hanya sebagian kecil dari tempat makan bakso yang enak, selain itu ada bakso presiden, bakso duro, bakso gunung..dll..
..
lho air mancur di bunderan tugu pas mati tho, kalau malam pemandangannya juga bagus karena ada banyak lampu warna-warni yang menghiasi sekitaran taman tugu..
..
sebenarnya masjid agung itu gak jauh lho dari gereja, itu menandakan kerukunan beragama warga malang… arek malang memang suka damai.. 🙂
..
Tuti :
Wah, ketahuan … Ata suka nongkrong di kafe waktu kuliah :D. Iya, malam itu kami muter-muter cari makan, padahal di sebelah hotel ada kafe …
Lapangan Rampal itu sekarang sebagian ditanami cabe merah 🙂
…
Besok kalau sempat ke Malang lagi nyoba bakso President ah … Kalau bakso Raja ada nggak ya? 🙄
…
Iya, kemarin air mancurnya nggak hidup. Mungkin karena permukaan air di kolam itu agak dalam, jadi kelihatan ‘mengerikan’ 😦
…
Betul, masjid agung memang tidak jauh letaknya dari gereja …
Arek Malang memang suka damai kecuali bal-balan. Apalagi kalau tim lawannya yang berbau Surabaya dan Bonek. Semangat tawuran akan muncul kembali. 🙂
Tuti :
Wah, baru tahu saya … jadi arek Malang dan arek Suroboyo itu musuhan to? 😮
Bakso President pusat pasti takkan terlupakan. Bukan rasanya yang uenak tetapi tempatnya di pinggir rel kereta api. Sepanjang makan Bakso di situ kalau “beruntung” akan diliwati kereta api. Jarak antara rel KA dan bakso sungguh sangat dekat.
Kalau bakso Cak Man ada di mana-mana. Bahkan sampai Jakarta. Jogja belum dirambah.
Tuti :
Makan bakso di president kalau ‘beruntung’ diliwati kereta api? Laah …. apa nggak gepeng Pak, diliwati ular besi raksasa gitu? 😦 😦
Iya Pak, di Yogya memang nggak ada bakso Cak Man. Yang ada bakso Kang Man atau Mas Man 😛
..
suka nongkrong disitu ada alasannya Bu..
karena semua pegawainya temen sendiri, jadi bisa dapet gretongan.. hihihi..
..
Tuti :
Hmmm …. itu termasuk KKN gak ya? 🙄
MBaaaaaaaaaaaaaaaaaak Baksonya…. benar-benar membuatku ingin terbang ke sana. 4 kardus besar oleh-olehnya ada yang buat saya ngga? hehehe
Ngga sabar menghitung hari untuk mudik 😀
EM
Tuti :
Hihihi … jadi ngiler ya Mbak lihat baksonya? Memang lumayan enak, dan murah.
Oleh-oleh yang 4 kardus masih ada kok … kardusnya … hahaha 😀
Ah iyaaa , bulan depan Mbak Imel mudik ya? Senangnyaa …
Malang itu tidak seperti namanya ya…
Banyak betul keberuntungan di situ, sehingga seharunya namanya adalah Kota Untung, hehehe….
Interior hotel yang “serem” itu mengingatkan saya ke sebuah perguruan tinggi di Kuala Lumpur. Desainnya antik, dan memang ada kesan “angker”, tapi keren… 🙂
Sssttt… oleh-olehnya masih ada sisa kan Bu? Kami siap lho…. 😀
Tuti :
Iya Uda, dulu yang ngasih nama kota kok ya “Malang” sih. Tapi dalam bahasa jawa, ‘malang’ artinya ‘melintang’, bukan ‘tidak beruntung’ …
Kalau yang suka barang antik, hotel ini ibarat surga. Saya sebenarnya suka juga furniture antik, tapi ketika melihat di satu tempat ada begitu banyak barang antik, kok jadinya ‘semlengeren’ (apa ya bahasa Indonesianya ‘semlengeren’? 😀 ).
Pasti Da, oleh-olehnya masih ada kok. Tapi tunggu seminggu lagi ya …
*cari nomor telepon toko Lancar Jaya untuk pesan – antar* 😀
Dari seluruh kota di Jawa Timur, saya memang paling suka Malang, Bu.
Almarhum Papa kan berasal dari Blitar, jadi waktu dulu sering ke sana, saya selalu menyempatkan diri mampir ke Malang karena dulu pernah juga ada saudara yang tinggal di sana.
Dulu waktu SMP, aku pernah berpikir ingin melanjutkan SMA di salah satu SMA katolik di Malang, tapi ya untung ngga jadi juga sih karena kalau aku tinggal di Malang waktu itu aku ngga akan mengenal Jogja hahaha 🙂
Kawasan Jl Ijen menurutku kawasan elit dan mahal! 🙂
Tuti :
Malang memang kota tua yang legendaris. Apalagi sekarang ada Batu, kota penyangga Malang dalam bidang pariwisata, yang membuat Malang semakin menarik untuk dikunjungi.
Saudara DV yang di Malang masih ada? Kalau gitu mudik berikutnya nanti DV harus ke Malang untuk napak tilas … 🙂
Iya betul, Jalan Ijen memang kawasan elit dan mahal. Nggak ada orang miskin di sana …
Lagi2 aku akan jadikan tulisan mbak Tuti ini, ditambah dgn tulisannya Ata, referensi kl ada kesempatan ke Malang. Btw mbak, sesama penggemar trembesi ternyata ya, aku tau lokasi trembesi cantik di Jkt, salah satunya ada di depan masjid UI Salemba.
Tuti :
Iya, Mbak Monda. Pohon besar selain trembesi memang banyak, tapi bentuk pohon trembesi yang seperti payung itu memang unik. Dan kemampuan pohon ini menyerap air serta menjaga lingkungan sangat menakjubkan 🙂
Wah, kapan-kapan kalau pas ke Jakarta saya mau juga ah ke masjid UI Salemba …
wahhh seru kali ya bu kalo makan baso 1.2 m?? huahahaha mulutnya mesti segede apa tuh ya… 😀
wah iya kolam teratai di tugu alun2 nya item banget ya bu… sayang ya, gak pernah dibersihin kali ya…
Tuti :
Kalau aku, bukannya pengen makan bakso 1,2 meter, tapi klenger mbayangin kalau ketimpa bakso segede itu 😛
Aku juga heran, kenapa ya kolamnya kok gelap gitu. Biasanya air kan menimbulkan kesan seger, ini kok malah mengerikan 😦
..
karena dasar kolamnya lumpur, jadi kelihatan hitam..
soalnya teratai kan tumbuh sehat kalau bawahnya lumpur..
..
Tuti :
Begitulah penjelasan dari
tukang kebunpecinta teratai dan pecinta kota Malang 🙂wahhhh… saya sudah lama gak ke batu + malang sekitar 6 taun yg lalu sejak ada si kecil …
6 tahun yg lalu batu kayaknya belum seheboh ini deh…
rumah saya surabaya jadi harusnya gampang dan cepet kalo ke malang..
tetapi berhubung ada Lumpur di Sidoarjo jadi pergi kemalang skg lebih lama dan membuat agak kurang greget.. (dulu 1,5 jam nyampai)..
Bakso klasik di Malang itu ada di stasiun dan bakso president di dekat mitra2 .. (kalo belum bangkrut ya…)..
Oleh-oleh yang agak susah carinya kripik kentank… adanya di Batu.. biasanya pesen dulu karena keburu habis…
Sekarang wisata di malang berubah dari yang dulu wisata alam menjadi wisata permainan… Di malang sebenarnya banyak wisata lainnya seperti air terjun dan pantai .. Kalo mau ke Pantai Balekambang kira-2 1 s/d 1,5 jam dari malang.. trus ada wisata pulau sempu kira-kira 2 jam…
Saya soalnya 7 taun kuliah disana, jadi agak-agak tahu kondisinya..
wah baca ceritanya ibu jadi pengen main lagi kesana…. nunggu si kecil agak gede dulu.. masih 3 tahun lagi.. hihihi…
Tuti :
6 tahun yang lalu di Batu sudah ada JTP 1, tapi JTP 2 dan BNS memang belum ada …
Wah, iya tuh … kasihan nasib rakyat yang terkena luberan lumpur Lapindo. Sampai sekarang ganti ruginya belum beres juga ya? Saya pernah ke sana, tapi agak ngeri juga karena menjelang masuk ke kawasan lumpur banyak orang mencegat minta uang, menjual cd lumpur dengan paksa … Lapindo jadi wista yang tidak mengenakkan, mosok nonton musibah sih … 😦
Iya, semua orang merekomendasikan bakso president (kecuali staf hotel yang saya tanyai 😀 ). Yo wis, lain kali kalau diberi umur panjang dan bisa ke Malang lagi, saya akan mencicip bakso presiden dan wakil presiden sekalian … 😀
Wisata pantai? Kalau lihat peta, perasaan Malang jauh dari pantai … 🙄
Nunggu 3 tahun lagi ke Batu-Malang, berarti sampai si kecil umur 9 tahun? Wah, kayaknya umur 7 tahun pun sudah bisa diajak piknik lho Mas … 🙂
Tempe Kripik ???
Aaarrrggghhh …
Hanya tempe kripik dari purwokerto dan malang lah … yang bisa saya makan …
Why ?
Aaahhh pake ditanya lagi …
Ini masalah gigi tentu saja …
(huahahaha)
Salam saya
Tuti :
Om, menurut saya, tempe kripik Sanan ini lebih empuk dari tempe kripik Purwokerto. Lebih eksotik juga rasanya (hiyaah … 😛 ). Bener, soalnya dibumbui aneka rasa …
Masalah gigi? Owgh … gigi Om musuhan sama tempe kripik ya? Apa diulek saja ya Om, tempenya … *kabuur*
salam saya juga Om
hahaha..masih aja soal “Cindera gigi” yang berkesan itu ya, Om? hihihi….
Tuti :
Hm … topiknya ‘unjuk gigi’ nih … 😛
Ibuuu….mupeng sama si baksonya ituh, ihiks…mana bacanya lg laper pula huhuhu…
Tuti :
bakso … baksoooo ….
siapa mau baksooo …. ting ting ting *mukul mangkok pake sendok* 😀
sama, Rin… Mupeng bakso..hiks… Ayo kita kejar tukang bakso yang cantik itu… 😀
Tuti :
Ada tukang bakso cantik ya? Mana … mana? *celingukan*
Ikut ngejar aah …. 😀
Baksonya…hmmm…bikin ngiler.
Mbak, jalur Blitar-Ponorogo-Imogiri? Pasti asyik, dan serem ya….lha ke Blitar aja kan jalannya meliuk-liuk, walaupun dari Malang ke Kandangan jalannya juga meliuk-liuk.
Ke Malang memang senang melihat jalan Ijen, yang teduh dengan pepohonan di kiri kanan jalan…nggak sempat mampir Unbraw? Banyak pepohonan juga lho mbak…dan juga indah.
Tuti :
Wah … Mbak Enny bisa juga ngiler ya kalau lihat bakso? 😛
Bukan Imogiri Mbak, tapi Wonogiri. Iya, dari Malang ke Blitar jalannya meliuk-liuk, tapi masih ramai jadi nggak serem. Lha yang dari Wonogiri ke Yogya ini jalannya serem karena rusak dan sepiii …. 😦
Aduh … nggak sempat mampir Unibraw Mbak, nggak ada waktu 😦
wow….begitu lihat photo bakso malang langsung tergoda….duh…ikutan ngiler nih mbak…meski di seputar sini juga ada bakso cak man, tapi tetap aja jadi pengen, hihihi….
Wah sepertinya petualangan mbak Tuti selalu seru dan mengasyikkan yah…Jadi kepengen kapan bisa jalan2 ke Malang juga hahaha….maklum mbak…waktunya selalu sibuk…pengen refreshing…tapi belum boleh ambil cuti lagi….yuk kapan2 kita jalan2 bareng…hahaha….
Nice day for you, mbak Tuti 🙂
Best regard,
Bintang
Tuti :
Ternyata bakso selalu bisa membuat ngiler siapa saja ya 😀
Sebenarnya seru atau tidaknya sebuah perjalanan itu tergantung bagaimana kita ‘melihat’ apa yang kita jumpai dalam perjalanan. Satu hal yang sederhana di mata seseorang, atau bahkan tidak ada artinya, bisa jadi sangat mengesankan bagi orang lain.
Iya, Mbak Linda sibuk terus dengan pekerjaan ya. Kalau ada waktu untuk liburan, tentu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk keluarga tercinta.
salam sukses ya Mbak 🙂
duuh…dari tulisan & foto2 ibu ini…terlihat betapa asrinya malang! jadi pengen ke sana juga ah…. hotelnya juga apik ya bu…oya, jadinya ga ada yg ‘menyapa’ malam2 kan? hehe…
Tuti :
Hehe … yang difoto memang tempat-tempat yang indah Mbak. Kalau Malang secara keseluruhan ya seperti kota-kota lainnya. Lebih cantik sedikit lah … 🙂
Alhamdulillah malam saya di Mandala Puri aman-aman saja, nggak ada yang njawil malam-malam … 🙂
Good Job menikmati Malang. Frankly, bagi saya, bakso Malang ternyata tidak lebih enak daripada bakwan Suroboyo. He he he.
Soal bangunan heritage, Malang memang yahud. Tak ada kota yang seserius Malang dalam menjaga bangunan tua.
Tuti :
Kemarin sebetulnya belum tuntas menjelajahi Malang, Pak. Banyak tempat menarik yang belum sempat dikunjungi 😦
Owgh … bakso Malang tidak lebih enak dibanding bakwan Suroboyo? Tapi yang lebih populer tetap bakso Malang ya Pak 😛
Kebijakan untuk memelihara dan mempertahankan bangunan tua memang sangat terkait dengan visi pejabatnya ya Pak …
ya ampun..pagi-pagi main kesini, liat bakso..bikin ngiler deh bu.. 😀
Tuti :
Fitri korban ngiler bakso yang ke sekian … hihihi …
Mba Tuti, apa kabar? Malang buat saya seperti wujud Kota Bandung di Jawa Timur. Mungkin karena arsiteknya sama2 Om Karsten ya Mba? Tapi mungkin benar juga kalau ada yang bilang karena sama2 ada di dataran tinggi. Banyak sekali hal2 yang mengingatkan saya sama Bandung waktu ke Malang dua tahun lalu. Kalau Bandung punya Jl. Dago bwt perumahan tipe vila-nya. Malang punya Jl. Ijen. Kalo Bandung punya Lembang, Malang punya Batu. Ke Bandung cari baso tahu, di malang makan bakso malang. Dua-duanya sama2 punya byk tempat jajanan asik. Dua-duanya sama2 adem. Mungkin karena itu ya saya jadi suka Kota Malang. Selain kok saya kenalan orang Malang disana hobinya ngebanyol semua. Jadi pengalamannya lengkap menyenangkan sekali disana. Alun-alun bunder. Wah, memang keren sekali goresan Karsten yang satu itu ya Mba. Deretan lingkaran tajuk-tajuk super lebar Trembesi, si pohon dengan sulur-sulur rantingnya yang abstrak nan rupawan. hehehe. Saya suka sekali melihat ke langit dengan bingkai sulur-sulur Ki Hujan alias si Samanea saman ini. Elok nian ya, Mba? Jadi pengen ke alun-alun bunder lagi, lalu makan bakso president pinggir rel, atau eskrim jadul di Toko Oen. Ah, Malang memang mengesankan. Jadi, kapan ke Malangnya Jawa Barat, Mba? 😀 -japs-
Tuti :
Hallo Japs … ini Japs yang dulu ya? 😀
Lama menghilang, ke mana aja? Sibuk dengan kerjaan ya …
Wah, saya baru tahu, jadi arsitek kota Bandung adalah Om Karsten juga ya? Kayaknya Si Om ini banyak berkarya di Indonesia, apakah ada kota lain yang juga dia arsiteki? Sebagai orang Bandung Japs pastinya tahu banget kota Bandung. Aku sudah dua kali ke Bandung, tapi cuma sekilas-sekilas, jadi nggak bisa membandingkan dengan Malang.
Sekarang ini, apakah ada arsitek yang merancang lansekap kota-kota di Indonesia?
jadi kangen Malang…. baksonya.
Tuti :
Bakso Malang memang uenaaks … 😀
Malang oh Malang
sekian lama cuma teronggok di top list kota yang ngin dikunjungi huhuhu
tapi harus segera terwujud
apalagi sudah dikompori dengan sukses sama Mba Tuti
informasinya juga lengkap
yap!Baso cak man emang kudu wajib dicobai, apakah rasanya sama dengan yang disajikan di Jakarta? Hehehe
hmm cuma agak bingung klo belanja oleh2 nih nanti, klo ke sana naik kereta, bisa2 pas balik ke Jakarta bawaannya udah melebihi orang mudik ya Mba xixixi …. abis kalap belanja gitu pasti nanti, secara doyan keripik2an gitu lhooo 😀
Tuti :
Yap! Malang memang pantas dan wajib dikunjungi, terutama ke Batu nggak boleh dilewatkan. Sip markosip, top markotop 😀
Syukurlah saya sukses jadi tukang kompor … hehe …
Soal oleh-oleh kripik-kripikan, gampang. Bisa sewa truk kok, nanti sebagian diampirkan ke Yogya 😛
saya akan schedulekan untuk bisa berwisata di malang kayaknya nih…surabaya, semarang, solo dan kota lainnya sudah disinggahi hanya malang yang belon…
Tuti :
Betul Mas, Malang dan Batu harus disinggahi juga lho. Nggak rugi deh … 🙂
wah 😀 seru bu jalan-jalannya. di malang kamar hotel bersih dan enggga bau apek murah banget yah. beda dengan di bandung kemarin. mana mahal eh … mengecewakan … mentang-mentang lagi liburan kali yah 😆 … ditunggu cerita sambungannya…
Tuti ;
Ya, hotel di Malang memang lumayan bagus dan murah. Pilih hotel memang harus pinter-pinter 🙂
Wah, ini sudah cerita episode ke 5 loh. Sambungannya tinggal 1 episode lagi 🙂
Siang bolong, liat bakso… Ngences!
Mbak, oleh-olehnya dikirim ke Bintan juga boleh…hihi..
Tuti :
Hwadah … gimana kalo mangkoknya aja yang dikirim? Takut baksonya tumpah … hihi …
Mbak, gak sengaja komennya double. Dihapus ya, Mba…
Maap..
Tuti :
Udah kok, dihapus pake tissue 😛
kog lukisan di hotel itu kayanya gambar burung cendrawasih ya? 😀
bener Bu, kolamnya serem.. ada ikannya ga sih Bu?
Tuti :
Lukisannya macem-macem, banyak gambar orang juga …
Kata Ata, kolamnya kelihatan hitam karena dasarnya lumpur, sebagai lahan tumbuhnya teratai. Nggak tahu juga ada ikannya nggak, aku belum pernah nyemplung sih 😛
Iya hotelnya terkesan serem…. ini karena propertynya kali ya…. jadi kesannya serem hehe..
Tuti :
Ada yang menganggap serem (seperti saya), tapi ada juga lho yang sangat suka (tentunya pecinta barang antik) 🙂
thank you up date foto hotelnya…..,memang sudah saatmya hotel itu direnovasi lagi..kelihatan serem dan gelap….karena daya dulu kerja di hotel itu…
terima kasih bu,
saya dari penang malaysia akan kesana 27 november 2012. Banyak informasi yang dapat diaplikasikan semasa saya disana. tq very much.