Catatan :
Setelah terputus selama hampir empat bulan, akhirnya ‘tiba waktunya’ bagi saya untuk melanjutkan cerber ini. Sebagaimana pernah saya sampaikan, cerber ini dimuat sebanyak lima kali di majalah Femina yang terbit pada bulan Juni – Juli 1985. Kelima majalah tersebut sudah saya jilid, dan masih tersimpan dengan baik hingga saat ini. Sesudah dijilid, saya tak pernah membukanya lagi, dan alangkah kagetnya saya ketika menjumpai bahwa ternyata Femina yang memuat bagian ke tiga dari cerber tersebut tertukar dengan Femina lain yang tidak memuat cerber saya. Femina yang memuat cerber bagian ke tiga itu sendiri sudah raib entah kemana, maklum sudah lewat 23 tahun.
Bingung juga saya. Arsip naskah aslinya sudah tidak ada lagi. Cerber itu saya tulis tahun 1983, sudah lewat 25 tahun, dan saya sendiri sudah lupa detil ceritanya. Bagian yang hilang pada satu nomor Femina itu panjangnya kira-kira 20 halaman ketik 1,5 spasi (dengan mesin ketik manual Brother, maklum zaman doeloe …). Agak susah bagi saya untuk menemukan kembali ‘the missing link’ itu.
Alhamdulillah, setelah membongkar arsip-arsip lama (sampai terbersin-bersin karena bau debu) saya menemukan naskah “Diburu Bayang-Bayang” dalam bentuk skenario televisi. Tahun 1986 saya pernah mengikuti pelatihan penulisan naskah skenario televisi di Stasiun TVRI Yogyakarta. Tentornya adalah Dedi Setiadi, sutradara teve yang pada waktu itu sedang naik daun. Nah, sebagai ‘tugas akhir’, saya memindahkan naskah “Diburu Bayang-Bayang” ke dalam format skenario teve. Begitulah, akhirnya saya menemukan kembali bagian-bagian yang hilang dari cerber ini.
Bagi teman-teman yang belum membaca “Diburu Bayang-Bayang” Bagian 1 s/d 8, silahkan membukanya di category ‘Buah Pena’.
Akhirul kata, selamat menikmati cerita ‘jadul’ ini. Mudah-mudahan bisa menjadi selingan ….
PERGI MENINGGALKAN LUKA
Aku dan Mbak Rini terbangun dari kebekuan ketika mendengar suara banyak orang bercakap-cakap di halaman rumah. Para tetangga! Ah, pasti mereka melihat ketika dua orang polisi datang ke rumah kami, dan kemudian ibu beserta Warni dan Mbak Tika pergi beriringan dengan dikawal polisi. Peristiwa luar biasa itu pastilah telah mendorong mereka datang berkumpul untuk memuaskan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.
“Kita harus keluar menemui tetangga” Mbak Rini berkata.
Memang. Kami pun berdiri, dan keluar ke halaman rumah. Para tetangga terdiam ketika melihat aku dan Mbak Rini muncul.
“Ada apa Jeng Tuning? Kemana Bu Satrio pergi?” Pak Handi, tetangga yang tinggal di depan rumah kami, bertanya mewakili warga yang menunggu penuh ingin tahu.
Aku mencoba menjawab dengan tenang.
“Polisi mengatakan Marsudi tertembak waktu sedang merampok toko emas di Jalan Ketandan. Ibu bersama Mbak Tika dan Yu Warni sedang ke rumah sakit Sarjito untuk melihat apa betul itu jenazah Marsudi atau bukan”
Orang-orang berseru kaget. Aku ikut kaget, menyadari kebodohanku terlalu cepat mengatakan hal yang semestinya bisa kami simpan dulu. Mengapa aku tidak mengatakan saja bahwa Marsudi mengalami kecelakaan? Mati tertembak polisi ketika merampok! Aduh! Horor yang sungguh mengerikan! Seharusnya aku tak mengatakan seperti itu. Apa boleh buat, dalam keadaan galau, aku tak sempat lagi berpikir taktis.
(lebih…)
Read Full Post »