Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Buah Pena’ Category

Gelas Tanah Liat

Salam Sahabat …

Ada kalanya kita membaca sebuah cerpen, atau novel, yang begitu menghanyutkan perasaan kita, membius pikiran kita, membuat kita terhenyak dan dalam waktu lama terbenam dalam emosi yang pekat. Begitulah yang saya rasakan ketika membaca cerpen mini “Gelas Tanah Liat”.

“Gelas Tanah Liat” ditulis Eva dengan bahasa yang indah, namun bernuansa sendu. Penggambarannya yang sedikit kabur tentang tokoh-tokoh dalam cerpen ini — tak ada satu nama pun disebut — membuat kita seakan menonton sebuah film dalam tirai kabut. Kesenduan dan bobot emosi yang kental dalam setiap kalimatnya membuat kita tak bisa mengelak dari keterlibatan emosi yang sama kentalnya.

Eva Budiastuti, sahabat saya ini memiliki hobi menulis cerita dan puisi. Ia ikut serta dalam komunitas Cafesastra Musikalisasi Puisi di Facebook. Cerpennya tersebar di berbagai mass media. Salah satu cerpennya ikut pula menyemarakkan antologi cerpen dan puisi “24 Sauh”. Arsitek lulusan Trisakti ini memutuskan untuk resign dari sebuah bank asing agar bisa sepenuhnya mengasuh putra tunggalnya yang kini berusia 9 tahun.



Eva, lantunkan kisahmu, dan biarkan kami terbenam hanyut dalam rindu bersamamu ….

*melipat tangan dengan rapi, memusatkan perhatian ke alunan tutur kata Eva yang menoreh hati*

…………………………….

(lebih…)

Read Full Post »

Catatan :

Setelah terputus selama hampir empat bulan, akhirnya ‘tiba waktunya’ bagi saya untuk melanjutkan cerber ini. Sebagaimana pernah saya sampaikan, cerber ini dimuat sebanyak lima kali di majalah Femina yang terbit pada bulan Juni – Juli 1985. Kelima majalah tersebut sudah saya jilid, dan masih tersimpan dengan baik hingga saat ini. Sesudah dijilid, saya tak pernah membukanya lagi, dan alangkah kagetnya saya ketika menjumpai bahwa ternyata Femina yang memuat bagian ke tiga dari cerber tersebut tertukar dengan Femina lain yang tidak memuat cerber saya. Femina yang memuat cerber bagian ke tiga itu sendiri sudah raib entah kemana, maklum sudah lewat 23 tahun.

Bingung juga saya. Arsip naskah aslinya sudah tidak ada lagi. Cerber itu saya tulis tahun 1983, sudah lewat 25 tahun, dan saya sendiri sudah lupa detil ceritanya. Bagian yang hilang pada satu nomor Femina itu panjangnya kira-kira 20 halaman ketik 1,5 spasi (dengan mesin ketik manual Brother, maklum zaman doeloe …). Agak susah bagi saya untuk menemukan kembali ‘the missing link’ itu.

Alhamdulillah, setelah membongkar arsip-arsip lama (sampai terbersin-bersin karena bau debu) saya menemukan naskah “Diburu Bayang-Bayang” dalam bentuk skenario televisi. Tahun 1986 saya pernah mengikuti pelatihan penulisan naskah skenario televisi di Stasiun TVRI Yogyakarta. Tentornya adalah Dedi Setiadi, sutradara teve yang pada waktu itu sedang naik daun. Nah, sebagai ‘tugas akhir’, saya memindahkan naskah “Diburu Bayang-Bayang” ke dalam format skenario teve. Begitulah, akhirnya saya menemukan kembali bagian-bagian yang hilang dari cerber ini.

Bagi teman-teman yang belum membaca “Diburu Bayang-Bayang” Bagian 1 s/d 8, silahkan membukanya di category ‘Buah Pena’.

Akhirul kata, selamat menikmati cerita ‘jadul’ ini. Mudah-mudahan bisa menjadi selingan ….



PERGI MENINGGALKAN LUKA

Aku dan Mbak Rini terbangun dari kebekuan ketika mendengar suara banyak orang bercakap-cakap di halaman rumah. Para tetangga! Ah, pasti mereka melihat ketika dua orang polisi datang ke rumah kami, dan kemudian ibu beserta Warni dan Mbak Tika pergi beriringan dengan dikawal polisi. Peristiwa luar biasa itu pastilah telah mendorong mereka datang berkumpul untuk memuaskan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.

“Kita harus keluar menemui tetangga” Mbak Rini berkata.

Memang. Kami pun berdiri, dan keluar ke halaman rumah. Para tetangga terdiam ketika melihat aku dan Mbak Rini muncul.

“Ada apa Jeng Tuning? Kemana Bu Satrio pergi?” Pak Handi, tetangga yang tinggal di depan rumah kami, bertanya mewakili warga yang menunggu penuh ingin tahu.

Aku mencoba menjawab dengan tenang.

“Polisi mengatakan Marsudi tertembak waktu sedang merampok toko emas di Jalan Ketandan. Ibu bersama Mbak Tika dan Yu Warni sedang ke rumah sakit Sarjito untuk melihat apa betul itu jenazah Marsudi atau bukan”

Orang-orang berseru kaget. Aku ikut kaget, menyadari kebodohanku terlalu cepat mengatakan hal yang semestinya bisa kami simpan dulu. Mengapa aku tidak mengatakan saja bahwa Marsudi mengalami kecelakaan? Mati tertembak polisi ketika merampok! Aduh! Horor yang sungguh mengerikan! Seharusnya aku tak mengatakan seperti itu. Apa boleh buat, dalam keadaan galau, aku tak sempat lagi berpikir taktis.

(lebih…)

Read Full Post »

BERITA MALAM YANG TAK TERDUGA


Bergegas aku keluar dari kamar Warni, langsung menerobos dapur. Ketika keluar dari pintu dapur, oppss!! Aku nyaris bertubrukan dengan sesosok tubuh anak lelaki. Topo! Kami sama-sama terkejut. Topo memandangku dengan heran dan penuh pertanyaan. Aku benar-benar tak tahu harus berubah wujud menjadi apa, untuk mengingkari kehadiranku disitu. Sungguh aku berharap saat itu menjadi jin yang bisa merubah diri menjadi kucing atau ayam. Tapi aku tetap saja masih manusia, dan jantungku yang belum lekat benar ke tangkainya sekarang meloncat-loncat hampir copot.

Aku meninggalkan Topo tanpa mengucapkan sepatah kata pun, bergegas ke rumah seperti dikejar hantu. Masuk melalui pintu samping, Ibu mencegatku di depan dapur.

“Mana kukusannya?” Ibu bertanya.

Whaatt?? Kukusan? Ku-ku-san …? Apaan sih?

“Mana kukusannya? Kok lama sekali to kamu ini? Aku sudah selesai membungkus nagasarinya, tinggal dikukus.” Ibu kelihatan agak kesal.

Astaghfirullah. Kukusan itu masih tergantung di dinding gedek dapur Warni. Sama sekali sudah lenyap dari ingatanku.

“Eee … Warni nggak ada, Bu. Rumahnya sepi …” aku menjawab sekenanya.

“Kalau begitu pinjam saja ke rumah Bu Prapto.”

Bu Prapto adalah tetangga sebelah rumah. Ibu rupanya benar-benar sudah terobsesi oleh kukusan. Mati hidup beliau sudah diabdikan untuk benda sepele dari anyaman bambu itu.

“Aku mau pergi, Bu.” sahutku sambil meloloskan diri pergi ke kamar.

“Hei, Ning! Hei …. ! Woalah, bocah ki piye to … “

Aku tak mendengarkan omelan Ibu, bergegas pergi ke kamar. Ada sesuatu yang harus segera kulakukan …..

(lebih…)

Read Full Post »

TERJEBAK DI SARANG PENYAMUN

Tangan Ibu yang keriput dengan terampil dan gesit mewiru kain batik yang ada di pangkuannya. Setumpuk kain yang lain ada di samping Ibu, menunggu untuk diwiru juga. Ibu memang suka memakai kain wiron, kain batik yang dilipat-lipat seperti kipas pada ujung yang jatuh di bagian depan, sehingga kalau dipakai berjalan akan terbuka dan tertutup seperti kipas. Rapi dan cantik. Orang biasanya hanya memakai kain wiron pada saat menghadiri resepsi atau acara resmi, tetapi Ibu memakainya juga ke arisan atau pertemuan biasa. Ini menunjukkan kalau kita wanita yang rajin dan memperhatikan penampilan, kata Ibu.

“Ini kain apa namanya, Bu?” tanyaku sambil menggelar sehelai kain berwarna cokelat soga.

“Itu kain Sidomukti. Kalau yang warnanya putih, dengan corak sama seperti itu, namanya Sidoluhur. Ini Wirasat, Truntum Lar, Wahyu Tumurun, Parang Rusak, Klithik, Buntal, Tirtotejo …. ” Ibu menunjuk kain-kain itu sambil menyebutkan namanya masing-masing.

Wah, kalau Ibu sudah bicara tentang kain batik, sama seperti Prof Laksmi, dosen Anatomi kami, ketika menjelaskan organ-organ tubuh. Lancar dan fasih …

(lebih…)

Read Full Post »

PERTENGKARAN DI SUATU MALAM

Aku tahu pasti dia ada di dalam laci itu. Foto lelaki yang selalu memenuhi hatiku. Membubungkan harapanku. Membakar semangatku. Meneduhkan jiwaku. Membuat mimpiku bertabur sejuta mawar merah.

Aku rindu melihatnya lagi. Kubuka laci meja belajarku, kuambil foto dalam pigura kecil itu. Kubelai dengan seluruh mata hatiku. Aku suka matanya yang tajam dan selalu menyalakan semangat. Aku senang melihat senyum tipisnya yang ramah namun penuh kharisma. Dan kalau ia bicara, ya …. kalau ia bicara, suaranya mantap penuh percaya diri, kalimatnya tertata rapi, intonasinya berirama. Siapa pun akan terpesona bila mendengar Zulian berbicara. Kecuali Ibu.

Sungguh memilukan hatiku. Ibu tidak suka aku berencana hidup bersama Zulian. Penyebabnya sangat klasik, dan terasa menyesakkan dada karena ternyata sulit dicari jalan tembusnya. Bagaimana bisa dipercaya, bahwa aku menghadapi persoalan yang sama dengan kisah cinta zaman Siti Nurbaya : jurang adat yang dalam dan tak terseberangi.

Zulian hadir ke dunia dari ranah yang masih memegang kukuh adat Minangkabau. Lingkungannya, keluarganya, segenap langkah dan tarikan nafasnya, semua dalam pagar adat ninik-mamak yang ketat. Delapan belas tahun ia menghirup udara dan meminum air dari perut bumi Bukittinggi, dan baru merasakan hangat matahari Yogya ketika kuliah di Teknik Sipil UGM. Ia benar-benar masih ‘orang Sumatra’, yang seringkali membuat kening ibu mengernyit.

Ibu adalah perempuan Jawa yang sangat asing dengan tradisi matrilineat Minangkabau. Ibu tidak bisa menerima adat menjemput pengantin pria dengan sejumlah uang, adat yang dijunjung tinggi ninik-mamak Zulian. Bagi beliau, ini adalah soal harga diri. Soal njogo projo.

“Wong wedok kok tuku bojo” begitu beliau berkata. Perempuan kok membeli suami …

(lebih…)

Read Full Post »

RUMAH KECIL DI SUDUT HALAMAN

Halaman rumah kami memang luas. Di sertifikat tanah, tercantum luasnya 1.100 meter persegi. Pohon nangka, jambu air, mangga, pepaya, pisang, belimbing, jeruk nipis, jeruk peras, srikaya, sawo dan beberapa tanaman hias menyejukkan halaman rumah kami dari sengatan matahari bahkan di musim kemarau yang paling terik. Bila sedang musim buah, anak-anak tetangga akan menyerbu untuk meminta jambu air atau mangga. Biasanya kami suruh mereka memanjat sendiri, sekalian memetik untuk kami. Tetapi lama kelamaan mereka datang setiap hari, dan ribut bukan main sehingga istirahat siang kami terganggu. Akhirnya setelah satu-dua kali memberi kesempatan kepada anak-anak untuk memanjat, Ibu menjual buah-buah itu kepada tukang ‘tebas’ yang biasa berkelilling kampung. Dengan demikian keributan anak-anak berakhir, dan Ibu mendapatkan tambahan uang belanja. Selain jambu air dan mangga, tidak ada pohon buah lain yang menarik perhatian anak-anak, sehingga lami dapat mengurusinya dengan tenang.

Bangunan rumah kami terletak di tengah, dengan halaman di kanan, kiri, dan depan rumah. Di belakang ada juga halaman sempit yang dipergunakan Ibu untuk memelihara ayam dan bebek. Setelah berusia dua puluh lima tahun, rumah kami masih kelihatan tegar dan kokoh, bahkan dibandingkan dengan rumah-rumah baru yang muncul di sekitar rumah kami. Tinggi puncak atap tujuh meter dari tanah, lancip dan di’kerpus’. Temboknya setebal satu baru. Semua rangka atap, jendela serta pintu-pintu terbuat dari kayu jati berlapis dua yang tebal. Bahkan cat jendela dan pintu yang sudah setua usiaku masih utuh dan berkilat seperti sedia kala. Ayah dan Ibu bukan orang kaya, tetapi mereka membangun rumah dengan bersungguh-sungguh. Lebih dari segala ketegaran bentuknya, rumah ini adalah kecintaan kami sekeluarga.

Kami pindah ke rumah ini beberapa saat sebelum aku lahir. Rumah ini adalah sahabatku, pelindungku, tempatku bermain, belajar, melewatkan tangis dan tawa …

(lebih…)

Read Full Post »

WARNI, MENGAPA BERAKHIR DISINI?

Rambut diikat satu, baju biru bergaris putih, sandal jepit kuning, cincin imitasi dengan mata jantung hati warna merah ….

Hadir dengan nyata dalam ingatanku bagaimana Warni mengenakan semua itu pada saat pamit dari rumah kami. Tak mungkin aku melupakannya, sebab cincin imitasi dengan mata berbentuk jantunghati merah itu pemberian Mbak Rini, dan baju biru bergaris putih itu adalah bekas milikku yang kuberikan padanya …

Warni ditemukan meninggal pada tanggal 26 Agustus 1983, hanya sehari setelah meninggalkan rumah kami.

Apakah ia sedemikian putus asa dengan hidupnya, sehingga sampai pada keputusan untuk mengakhiri hidupnya yang sarat dengan kesengsaraan? Ataukah ia dibunuh? Apa sebabnya, dan siapa yang membunuhnya? Dimana Topo? Apakah anak itu tidak tahu ketika ibuya jatuh dari kereta api? Atau justru dia sendiri yang mendorong ibunya hingga menemui ajalnya? Dimana tas pakaian dan bekal uang yang diberikan ibu kepada Warni? Dan dimana Topo sekarang?

Ya Allah, mengapa semua berakhir begitu tragis?

(lebih…)

Read Full Post »

MAYAT NOMOR 1251

Sepeninggal ibu kembali pikiranku dipenui oleh Warni, suami dan anaknya.Tidak lama mereka hadir di antara keluarga kami, tetapi apa yang terjadi selama waktu itu sungguh sukar terhapus dari kenanganku, terutama karena aku ikut terlibat dalam sebab-sebab kemalangan mereka.

Sudah setahun lewat Warni dan Topo, anaknya, pergi dari rumah kami. Tapi saat terakhir kali aku melihat mereka pamit rasanya baru terjadi kemarin. Masih segar dalam ingatanku wajah Warni yang sedih dan kuyu, juga mata Topo yang menyala oleh dendam dan sakit hati. Bahkan masih kuingat baju warna biru bergaris putih yang dipakai Warni pada saat itu, ikat rambutnya, pucat pipinya, suram matanya …

Mata itu! Ya Allah, mata itu! Aku melihatnya! Belum lama! Sudah berubah menjadi kelereng yang hampa dan mati, tetapi mata itu adalah mata yang dulu, yang selalu menatap hidupnya dengan suram dan putus asa ….

(lebih…)

Read Full Post »

WAJAH COKELAT ANEH

Mereka menari-nari di depanku. Manusia-manusia kate dengan kepala yang sangat besar dan wajah seperti terbuat dari karet itu. Lalu samar-samar kurasakan tanganku digerak-gerakkan ke atas dan ke bawah. Keningku diusap. Bau minyak gosok menyeruak melonggarkan dada. Manusia-manusia kate itu pun mundur, kabur dan lenyap.

Kubuka mataku perlahan-lahan. Mula-mula semuanya tampak remang dan memusingkan. Lalu seseorang memanggil namaku. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Dan ketika kubuka kembali, aku telah dapat melihat wajah-wajah yang ada di sekelilingku. Wajah Rita ada di samping kanan kepalaku. Di sebelahnya tampak wajah Mbak Esti, satu-satunya asisten wanita praktikum Anatomi. Lalu di sebelah kiriku terlihat kumis tebal dan mata jenaka Pak Raji, pegawai lab Anatomi.

“Sudah sadar, Ning?” kudengar suara Rita.

Kugoyang-goyangkan kepalaku, lalu perlahan-lahan aku duduk. Kutatap sekelilingku. Rupanya aku terbaring di meja panjang Pak Raji, di kantor lab Anatomi. Berapa lama sudah? Siapa yang mengangkatku kemari? Tiba-tiba aku merasa sangat malu. Ah, kemana saja aku melayang beberapa saat tadi?

(lebih…)

Read Full Post »

Catatan :

Novelet ini terpaksa saya upload menjadi cerita bersambung, karena cukup panjang. “Diburu Bayang-Bayang” adalah salah satu novelet yang saya sukai, terinspirasi oleh tragedi kehidupan keluarga yang tinggal di depan rumah ibu saya. Novelet ini adalah Pemenang III Sayembara Novelet Femina 1984. Ilustrasi yang ada pada cerber ini saya ambil dari ilustrasi yang ada di majalah Femina, garapan ilustrator Yan Mintaraga.

Selamat menikmati.

DIBURU BAYANG-BAYANG

Pintu Laboratorium Anatomi terkuak. Puluhan mahasiswa yang selesai praktikum pagi menghambur seperti laron keluar dari liangnya setelah hujan lebat reda. Tetapi berbeda dengan laron-laron yang keluar dari sarangnya dengan mengepakkan sayap penuh gairah hidup, laron-laron yang keluar dari Laboratorium Anatomi itu kusut dan tampak mengerikan wajahnya. Dan … astaga! Apa pula ini? Aroma mereka! Angin yang timbul oleh desir tubuh mereka terasa mencekik nafas dengan bau formalin yang menusuk hidung. Bau mayat yang diawetkan!

Bulu kudukku meremang, dan nyaliku mengkerut tinggal sebesar biji kedelai. Betapa tidak. Sebentar lagi aku harus masuk ke ruang jagal itu dan meneruskan apa yang sudah mereka kerjakan : membedah mayat. Sosok jasad yang pernah hidup tak beda dengan diriku itu akan kusayat wajahnya, kukuliti tubuhnya, kucongkel matanya, kubelah dadanya, kuiris jantungnya, kurobek perutnya, serta kupotong kaki tangannya. Aku, manusia, akan merajam manusia lain yang telah kehilangan dzat hidupnya, yang semestinya lebih dihormati justru karena ia telah tidak berdaya lagi. Makhluk itu telah diambil kembali oleh Sang Khalik, tetapi kami dengan kepongahan ilmiah telah menahannya di dunia untuk dijadikan obyek pemuas rasa ingin tahu kami. Astaghfirullah, apakah ini bukan suatu kelancangan yang sungguh luar biasa pada kehendak Dia Yang Maha Mulia?

(lebih…)

Read Full Post »

Older Posts »