PRITA
Prita hampir selalu kulihat sendirian. Dari teman-teman kuliah seangkatan kami, memang dia satu-satunya cewek. Dan fakultas Kehutanan bukan tempat yang cocok untuk seorang gadis. Apalagi semanis dan semungil Prita. Toh sebenarnya itu bukan alasan final. Arsinta, kakak kelas kami dua tahun, juga tidak punya teman cewek. Tapi dia selalu berteman, selalu ada orang lain bersamanya.
Prita gadis yang manis dan mungil. Kurasa setiap pemuda senang melihatnya, kecuali seleranya selera Afrika. Tapi Prita begitu kalem dan pendiam, hampir-hampir menutup diri. Dia lebih banyak tersenyum dari pada buka mulut. Dan pembawaannya begitu rupa sehingga Johny, berandalan yang seringkali sukar membedakan cewek dengan bola basket pun jadi pemuda santun di depannya.
Berani taruhan (asal jangan mahal-mahal), tak kurang dari dua belas ‘anak hutan’ yang kepengin memagari Prita dengan lingkaran lengannya. Semua bukan dari kelas kunyuk. Dan semua luput. Prita sudah punya pacar. Konon, pacarnya anak Sospol, tiga tahun lebih tua. Tapi hanya segelintir orang yang pernah melihat Prita bersama pacarnya. Prita selalu sendiri, kemana-mana.
Gedung Balairung UGM, tempat aku dan Prita pertama bertemu pada saat plonco mahasiswa baru