MENGENDALIKAN DIRI KETIKA MARAH MEMBARA
Suatu ketika Mira dan Arman menghadiri pesta pernikahan seorang kerabat. Mira bertemu dengan sanak saudaranya, dan bergabung dalam perbincangan seru. Salah seorang saudaranya kemudian mengajak untuk mengambil makanan. Maka mereka pun kemudian pergi ke meja-meja hidangan yang telah ramai dikelilingi para tamu. Dalam hiruk pikuk pesta, dan di antara sekian banyak orang, Mira lupa untuk mengajak Arman, suaminya, makan bersama. Ketika sedang mulai menikmati hidangan, tiba-tiba Arman muncul, dan seketika Mira sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Arman sangat marah melihat Mira mengambil makan tanpa mengajak dirinya. Seharusnya Mira menawari dan melayaninya, sebagaimana layaknya seorang isteri melayani seorang suami. Maka kata-kata pedas pun dia lontarkan, sebagaimana biasa jika ia sedang marah.
“Kamu memang tidak pernah menghargai aku. Sebagai suami, aku tidak ada nilainya di matamu. Tapi kalau aku cari isteri lagi, kamu tidak terima!” demikian antara lain kalimat yang diucapkan Arman. Masih panjang lagi kata-kata yang diucapkan Arman, yang semuanya berisi kecaman atas ketidakpantasan perilaku Mira, dan membandingkan Mira dengan isteri-isteri lain yang ideal di mata Arman.
Mira terpana. Tubuhnya terasa kaku. Dadanya sesak. Tangisnya nyaris meledak. Tetapi ia berusaha keras untuk menguasai diri. Ia berusaha meredakan kemarahan suaminya dengan berkali-kali meminta maaf. Tetapi Arman bukannya mereda, bahkan semakin membara. Pengakuan bersalah dan permintaan maaf isterinya semakin membuatnya merasa diri benar, dan ‘berhak’ untuk menghukum sang isteri dengan kata-kata apa pun untuk memuaskan nafsu amarahnya.
Sepanjang sisa pesta, Mira tetap menampilkan senyum di hadapan sanak keluarganya, meskipun ia tak bisa lagi menelan makanan barang sesuap pun. Namun setiba di rumah, Mira langsung masuk ke kamar mandi, menutup wajahnya dengan handuk, dan menangis sejadi-jadinya. Kata-kata Arman sangat melukai hatinya. Ia sadar telah melakukan kesalahan yang membuat Arman marah, dan ia sangat menyesal. Tetapi kata-kata Arman yang pedas, dan kemarahan yang dilontarkan Arman kepadanya di tengah orang banyak, membuat hatinya sangat pedih.
Luka itu menjadi sangat dalam, karena ucapan “kalau aku cari isteri lagi, kamu tidak terima” itu sudah berkali-kali diucapkan Arman. Kalimat itu adalah kecaman, ancaman, dan intimidasi yang menghancurkan harga dirinya. Kalimat yang tidak ingin didengar oleh isteri manapun di seluruh dunia. Kalimat yang setiap kali diucapkan Arman, mengikis selapis rasa cinta dari hatinya terhadap suaminya.
(lebih…)
Read Full Post »