Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Musik & Lagu’ Category

Ngejazz Bareng Ireng

IRENG MAULANA DAN BINTANG-BINTANGNYA

Ireng itu bahasa Jawa, yang artinya hitam. Kalau ada orang bernama Ireng, pasti kita membayangkan sosoknya berkulit hitam legam, bahasa Jawanya jelitheng. Mungkin tambah rambut keriting kriwil dan mata melolo (kalau itu mah orang habis kesetrum listrik …. hihihi 😀 ).

Nah, Ireng yang saya kagumi ini (iya deh, saya sayangi juga … musiknya maksud saya 🙂 ) tidak berkulit gelap. Memang sembarangan saja orang tua angkat yang memberi panggilan ‘Ireng’ kepada Eugene Lodewijk Willem Maulana ini. Adik pemusik jazz Kiboud Maulana ini semasa kecilnya bandel bukan buatan (jadi beneran gitu loh …), sehingga oleh orangtuanya dititipkan kepada tetangganya. Nah, tetangga yang baik hati inilah yang memberi nama Ireng. Jangan tanya kenapa Ireng, kenapa bukan Biru atau Belang, saya juga gak tau … 😉



Eugene Lodewijk Willem (Ireng) Maulana (foto : Kapanlagi.com)

Saya bukan pakar musik jazz, nggak paham merah-ijonya jazz. Saya pecinta musik yang dimainkan Ireng Maulana dan teman-temannya, yang tergabung dalam Ireng Maulana All Stars, itu saja. Bahwa musik mereka digolongkan sebagai musik jazz, ya monggo sajalah. No problemo.

Saya kenal Ireng sudah lama (meski nggak pernah satu kelas, nggak pernah satu kota, nggak pernah saling bersapa). Sumpah, Ireng bahkan nggak tahu apakah Tuti Nonka itu nama seorang wanita yang manis dan baik hati, sejenis es krim, atau merk pompa air. Saya aja yang sok kenal dan sok dekat. Lha gimana saya nggak kenal baik Ireng, wong saya penggemar acara “Berpacu Dalam Melodi” yang disiarkan TVRI antara tahun 1989 – 1998. Dalam acara yang disiarkan seminggu sekali itu Ireng Maulana All Stars berlaku  sebagai musik pengiring, dan mereka selalu menampilkan permainan musik yang membuat saya bersyukur dikaruniai telinga bolong.

Oke, bagi teman-teman yang belum pernah mendengarkan musik Ireng Maulana, silahkan cari di toko musik, di Youtube atau di mana saja (asal jangan di lapak CD bajakan ya!). Ini lho CDnya …

(lebih…)

Read Full Post »

KONSER WORLD PEACE UNTUK KOMODO

Tanggal 17 Oktober kemarin saya dihadapkan pada dua pilihan yang benar-benar sulit, rumit, dan menjepit (lebay buuk … !). Pilihan pertama adalah nonton Jogja Java Carnival, dalam rangka ulang tahun kota Jogja, yang memang sudah saya tunggu-tunggu. Pilihan kedua adalah nonton konser World Peace Orchestra pimpinan Dwiki Dharmawan yang digelar dalam rangka dies natalis UGM yang ke-60. Dua-duanya menarik dan ingin saya tonton.

Coba, bingung kan?

Setelah mempertimbangkan masak-masak (masaknya 7 hari 7 malam, sampai kering kayak rendang), dengan berat hati saya memilih nonton Dwiki. Pertimbangan saya, belum tentu ada kesempatan lain nonton konser Dwiki. Apalagi konser ini didukung bintang-bintang yang cukup menyilaukan seperti Kris Dayanti, Dewa Budjana, Steve Thornton (Amerika), Anggito Abimanyu, Butet Kertaradjasa, Singgih Sanjaya, Paduan Suara UGM, dan bintang-bintang lain yang belum begitu dikenal (tapi setelah saya tonton penampilannya, ternyata tak kalah cemerlang sinarnya).


IMG_2017


Maka, pada hari Jum’at siang, sehari sebelum konser digelar, saya pergi ke radio Swaragama, salah satu ticket box konser, untuk mencari (eh, membeli ding …) tiket.  Yaaah … karena sudah hari terakhir, tiket yang tersisa tinggal VIP B, seharga Rp. 100.000,-. Dengan memecah celengan saya masih bisa sih bayar tiketnya, tapi posisi duduknya itu lho! VIP B ini ada di belakang dan di samping. Masih lebih nyaman duduk di kelas festival yang tiketnya cuma Rp. 40.000,- karena tempatnya di tribun yang tinggi, sehingga pandangan ke panggung lebih leluasa.

Apa hendak dikata. Itulah risikonya terlalu lambat mengambil keputusan. Cepat dan tepat, harusnya kan begitu …


IMG_2024

Tiket yang diperoleh pada saat-saat terakhir …

Bagaimana jalannya konser yang telah berhasil merebut saya (haiyah!) dari Jogja Java Carnival ini? Yuuuk ….

(lebih…)

Read Full Post »

BUKAN SATRIA BERGITAR, TAPI PENDEKAR GITAR

Anda kenal Jubing Kristianto? Kenal? Ah, baguslah. Bingung? Nggak apa-apa, nggak kenal Jubing juga nggak bakal masuk penjara kok …

Semula, saya juga cuma pernah baca entah dimana, bahwa Jubing adalah salah satu gitaris terbaik di Indonesia selain Balawan dan Tohpati. Yang kemudian membuat saya ‘agak kenal’ Jubing adalah teman baik saya, Mr. Dhum (hallo Mr. Dhum, how are you today?). Teman baik saya ini adalah mantan pemain band (yang kemudian tersesat menjadi aktivis masjid … ). Ia pengagum Jubing, dan mengatakan bahwa Jubing adalah gitaris nomer satu di Indonesia.

Karena penasaran, saya membeli CD pertama Jubing, “Becak Fantasy”. Yah, memang bagus. Tapi selama ini saya lebih terpesona pada piano, karena menurut saya piano lebih elegan, lebih anggun, sekaligus kaya variasi nada, dan bisa dimainkan untuk musik berirama apa saja. Mendengar saya menilai Jubing “bagus” (tapi dengan nada yang ‘sederhana’ saja) sohib saya itu rupanya kurang terima. Dia bilang, karena saya nggak tahu soal gitar, nggak pernah belajar main gitar, maka saya nggak bisa menangkap keindahan dan kehebatan permainan gitar Jubing.

Woooh … dibilang ‘nggak tahu soal gitar’, ganti saya yang nggak terima. Oke, saya akan belajar memahami permainan gitar, akan menyimak Jubing dengan lebih cermat, dengan menggunakan segenap kekuatan indera, ketajaman rasa, kepekaan musik, serta intelektualitas saya (holoh, holoh … lebay!) supaya saya bisa menangkap keindahannya, supaya saya nggak dibilang ‘nggak tahu’ lagi …

And … yes! I got it! The fantastic of Jubing.


IMG_1720

“Becak Fantasy”, album fantasi pertama Jubing

(lebih…)

Read Full Post »

MOZART, DARI ELVIRA MADIGAN HINGGA BAYI CERDAS

Jika anda penggemar musik, mungkin anda pernah mendengarkan, dan menyukai komposisi musik Mozart, meskipun mungkin anda tidak tahu bahwa musik itu adalah karya Mozart. Saya sendiri baru tahu bahwa musik yang saya dengar dari RRI melalui radio di rumah, ketika saya kanak-kanak dulu, adalah musik Mozart. Lama kemudian, setelah saya dewasa dan memiliki kasetnya (waktu itu CD belum kocap), baru saya ngeh kalau musik yang saya dengar itu adalah Elvira Madigan, atau Eine Kleine Nachtmusik, atau Symphony No. 40 in G Minor, atau Piano Sonata in A Major

Cara paling sempurna untuk menikmati musik Mozart adalah pada malam yang hening, di ruangan besar berjendela lebar, sambil duduk menyandarkan kepala di sofa empuk, boleh juga sambil memejamkan mata. Setelah mendengarkan satu CD Mozart, biasanya lengan saya akan pegal-pegal. Lho, apa hubungannya? Soalnya, sambil mendengarkan, saya suka menggerakkan tangan bak dirijen, mengikuti irama musik (penyakit gila nomor 27 … hehe!)

Mozart hidup sekitar 250 tahun yang lalu (tapi bukan berarti saya juga sudah hidup sejak 250 tahun yang lalu … saya bukan mummy yang hidup lagi!). Ia lahir di Salzburg, Austria, pada 27 Januari 1756. Nama lengkapnya adalah Wolfgang Amadeus Mozart. Amadeus berasal dari bahasa Latin yang artinya ‘kesayangan Tuhan’. Oleh orang tuanya, ia sering dipanggil dengan sebutan ‘Woferl’. Ayah Mozart, Leopold, adalah seorang pemusik. Mozart memiliki seorang kakak perempuan yang juga pandai bermain musik, bernama Maria Anna dan sering dipanggil ‘Nannerl’.

Pada umur 3 tahun (betul : ti-ga ta-hun!) Mozart sudah bisa memainkan not pada clavier, sejenis piano. Pada umur 4 tahun ia mulai mengalahkan Nannerl dalam memainkan harpsichord. Dan pada umur 5 tahun ia sudah bisa memainkan piano dengan sebuah komposisi lengkap!


Mozart 2

Mozart kecil, dilukis pada tahun 1763 oleh Pietro Antonio Lorenzoni

(lebih…)

Read Full Post »

My Home Land

TANAH AIR KITA TERCINTA

Bagaimana caranya kita mengukur rasa cinta pada tanah air?

Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Physically, mungkin jika kita merasa bahagia menginjak tanah, menghirup udara, menyentuh air, dan berada di bawah lingkupan langit yang menaungi bagian bumi yang menjadi tanah air kita.  Mentally, jika kita tidak ingin melihat apa pun yang berada di tanah air ini : alam, manusia, dan budaya, rusak atau terabaikan.

(Swear, ini definisi saya sendiri, tidak merujuk pada referensi manapun, jadi silahkan didebat, dikritisi, ditambah, atau dikurangi … )

Nah, saya merasa rasa cinta saya pada tanah air ini mengharu-biru hati ketika menemukan (sudah pasti di toko, bukan di tong sampah … ) CD bertajuk “Tanah Airku” (My Home Land). CD ini berisi 12 lagu daerah, dinyayikan oleh paduan suara Tri Ubaya Cakti, dengan iringan Shanghai Philharmonic Orchestra. Lho, kok Shanghai! Itulah dia. Mengapa lagu-lagu yang membangkitkan rasa nasionalisme ini justru diiringi orkestra dari China? Hello, where are you Adie MS, Erwin Gutawa, Widya Kristanti, dan para pemusik Indonesia lainnya?


img_08983

Cover depan yang ‘sangat Indonesia’, menampilkan anak gembala dengan kerbau dan seruling bambu

(lebih…)

Read Full Post »

DEEP PURPLE DI SANA, GOD BLESS DI SINI

Sudah sewajarnya, jika selera kita akan musik (dan lagu) berubah seiring dengan berubahnya usia. Waktu masih bayi, saya tertidur kalau embah yang momong saya uro-uro atau nembang lagu-lagu Jawa seperti Ilir-ilir dan sejenisnya. Ketika TK, sudah pasti lagu saya “bintang kecil di langit yang tinggi …” atau “pelangi-pelangi, alangkah indahmu …”. Nah, ketika remaja (umur 12-an gitu), apa musik yang saya gemari? Musik rock, heavy metal! Wow, keren bow …. !!

Dan siapakah grup band rock favorit saya? Deep Purple dari Inggris dan God Bless dari Indonesia.


god_bless-kapanlagicom deep-purple-wiki-13

God Bless (kiri) dan Deep Purple (kanan). Ini adalah foto mereka tahun 2000-an, 30 tahun sesudah mereka melewati masa jayanya di tahun 70-an. Masih keren dan gaya …  (foto : Wikipedia)

Ketika kuping masih muda, mendengarkan musik yang gedubrak-gedubruk, melengking-lengking, dan menghentak-hentak gitu kok ya happy banget. Jeritan gitar Ritchie Blackmore, gebukan drum Ian Paice, dan teriakan Ian Gillan yang sak pole itu kok ya merdu gitu lho masuk ke telinga saya. Saya kenal pertama Deep Purple lewat lagu “Child in Time” yang sering diputar kakak lelaki saya. Sesudah itu lagu-lagu lain saya kenal lewat radio, seperti “Smoke in The Water”, “Woman From Tokyo”, “Burn”, “Soldier of Fortune”, “Highway Star”, dan lain-lain.

deep-purple-wiki-2

Roger Glover dan Steve Morse in eksyen membawakan “Highway Star”. Roger Glover adalah anggota lama Deep Purple, sedangkan Steve Morse baru masuk pada 1994. Lihat gaya mereka … whokeey!

(lebih…)

Read Full Post »

DARI  KOESWOYO HINGGA ERWIN GUTAWA

Anda lahir tahun berapa?

Hah, ada sensus penduduk nih? Yep, sensus penduduk generasi Koes Plus. Jika pada tahun 1972 – 1976 anda sudah berusia di atas 10 tahun, dan penggemar musik, maka sungguh keterlaluan jika anda tidak mengenal Koes Plus. Barangkali waktu itu anda tinggal di puncak gunung Jayawijaya, atau di rimba belantara Kalimantan. Jika anda tinggal di kota kecamatan saja, yang sudah bisa menangkap siaran radio, insyaallah anda tahu siapa itu Tony, Yok, Yon, dan Murry.

Saya tinggal di Yogya (kota yang jelas cukup maju, kota pelajar gitu loh …), punya radio di rumah, dan penggemar musik. Tahun 1973, saya kelas 1 SMP (Oh God … ! How old I am!), dan saya hafal hampir semua lagu-lagu Koes Plus. Begitu mabuknya saya pada lagu-lagu tiga pemuda ganteng anak Pak Koeswoyo itu, sehingga saya menuliskan lirik lagu-lagu Koes Plus di sebuah buku tulis, dan membuat gambar yang sesuai di bawahnya. Suatu ketika, saya membawa buku itu ke sekolah, dan menunjukkannya pada guru seni suara saya (ya ampun, cari perhatian banget deh!!). Pak Guru saya takjub (halah!) melihat buku itu, dan memamerkannya kepada seluruh anak di kelas. Sayang, sekolah saya adalah sekolah khusus putri, sehingga ‘karya hebat’ saya itu tidak mengakibatkan ada seorang murid lelakipun jatuh cinta kepada saya …. wahaha!

Koes Plus memang pantas disebut sebagai legenda musik pop Indonesia. Mereka telah menelurkan 89 album rekaman, terdiri atas 953 lagu yang semuanya mereka ciptakan sendiri! Saya ulang : 89 album dengan 953 lagu ciptaan mereka sendiri. Manakah ada grup musik yang bisa menyamai rekor mereka hingga saat ini?


img_0674

Tonny Koeswoyo, Murry, Yon Koeswoyo (berdiri) dan Yok Koeswoyo (duduk). Alamak, celana Tony itu hasil merobek bendera ya …

(lebih…)

Read Full Post »

BIARKAN MUSIK MENGHIDUPKAN JIWA KITA

Tiba-tiba saja saya bertemu kembali dengan seorang sahabat baik, yang sudah lama sekali tak saya ketahui kabar beritanya. Dia sudah menjadi manajer senior di sebuah perusahaan asing, setiap tahun beberapa kali melakukan perjalanan ke luar negri untuk meeting mewakili perusahaannya, dan setiap akhir minggu menghabiskan waktu di lapangan golf. Dia ke kantor mengendarai mobil buatan Jerman yang paling top, dan rumahnya megah seperti foto-foto di buku interior. Dia insinyur Teknik Kimia yang cemerlang, dan aktivis organisasi yang selalu menjadi leader dimana pun dia berada. Pokoknya, he’s great!

Karena saya suka berbagi hal-hal yang menurut saya bagus kepada teman-teman, saya emailkan beberapa lirik lagu indah kepada beliau ini, seperti “Bridge Over Troubled Water”nya Simon & Garfunkel dan “The Greatest Love of All” yang dinyanyikan George Benson (Whitney Houston juga menyanyikan lagu ini). Herannya, dear friend ini tak merespon kiriman lagu saya. Ketika saya tanya kenapa dia tak berkomentar tentang lirik-lirik indah yang saya kirimkan, teman ini mengaku bahwa he knows nothing about song. Baginya nyanyi, musik, dan segala ‘anak cucu’ ekspresi seni adalah dunia antah berantah yang gelap …

simon-garfunkel

Simon & Garfunkel, pelantun lagu indah “Bridge Over Troubled Water”

Saya berandai-andai. Andai teman saya ini mengaktifkan juga otak kanannya, yang berkaitan dengan intelegensia seni dan kreativitas, maka sekarang ini dia tidak akan menjadi manajer senior. Dia akan menjadi Presiden Direktur !! I believe so.

(lebih…)

Read Full Post »

The Greatest Love of All

CINTA YANG MEMBERI KEKUATAN

Lagu “The Greatest Love of All” ini menginspirasi saya tentang arti kekuatan cinta. Cinta kepada diri sendiri bukan dalam arti egoistik atau narsistik, tetapi mencintai diri sendiri untuk menemukan kekuatan diri, kemampuan berdiri di atas kaki sendiri, keberanian memutuskan apa yang terbaik bagi diri sendiri, menghargai diri sendiri, dan kemampuan memberikan cinta yang tak terbatas kepada orang lain karena kita sendiri adalah sumber cinta.

Mencintai diri sendiri berarti kita tidak melakukan sesuatu yang berakibat buruk bagi diri kita, tidak membiarkan diri kita menjadi jahat bagi orang lain. Menjadi sumber cinta berarti kita tidak menuntut cinta dari orang lain, tetapi selalu mencintai orang lain.

Banyak penyanyi tenar yang sudah membawakan lagu ini, antara lain George Benson dan Whitney Houston. Meskipun kedua penyanyi ini membawakannya dengan cara yang berbeda, masing-masing mampu membuat “The Greatest Love of All” begitu indah dan menyentuh.

THE GREATEST LOVE OF ALL

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children’s laughter remind us how we used to be

Everybody searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone who fulfill my needs
A lonely place to be
So I learned to depend on me

Chorus:
I decided long ago, never to walk in anyone’s shadows
If I fail, if I succeed
At least I’ll live as I believe
No matter what they take from me
They can’t take away my dignity
Because the greatest love of all
Is happening to me
I found the greatest love of all
Inside of me
The greatest love of all
Is easy to achieve
Learning to love yourself
It is the greatest love of all

Chorus :
And if by chance, that special place
That you’ve been dreaming of
Leads you to a lonely place
Find your strength in love


George Benson


Whitney Houston

Find your strengt in love, friends …. it’s never end

Read Full Post »

TERBANG BERSAMA JOHANN STRAUSS

Ketika kita merasa demikian rindu kepada orang yang kita cintai, namun tak tahu kapan dan bagaimana bisa bertemu dengannya, bagaimana rasanya? Ketika kita tak tahu apakah orang yang kita cintai memiliki perasaan yang sama dengan kita, seperti apakah resahnya? Dan ketika cinta yang meresap ke segenap pembuluh darah kita itu hancur berkeping-keping, adakah lagi alasan untuk tetap hidup?

Itu yang saya rasakan dahulu kala, ketika masih muda belia (sekarang sih masih muda juga … kalau dibandingkan ibu saya …).

Saya tak mau mati menderita, jadi saya harus mencari cara untuk menyembuhkan kepedihan hati saya. Tak seorang pun bisa menghibur. Tak ada tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri. Tak ada cara untuk menipu diri dan pura-pura bahagia. Tapi ada sesuatu yang bisa membuat semua kesedihan saya tidak ada artinya. Musik.

Maka saya memasang kaset di tape recorder (jaman doeloe belum ada CD dan MP3 bo’ …) duduk di sofa dan menyandarkan kepala ke belakang, memejamkan mata, dan membiarkan musik Johann Strauss menyelusup dan merasuk ke segenap pori-pori dan relung kalbu saya yang paling dalam. Keindahan musik waltz Johann Strauss membawa saya terbang, melayang ke angkasa biru yang luas tak bertepi dan indah tak bercela. Dunia dengan segala permasalahannya jauh tertinggal di bawah, menjadi sesuatu yang kecil dan tak berarti. So, saya lalu bisa berkata, “If you want to leave me, just go. It doesn’t matter at all”. Saya tidak akan mati.

Johann Strauss I

(lebih…)

Read Full Post »