Kapankah hidup dikatakan sempurna? Jika kita memiliki pernikahan yang hebat, anak-anak yang sukses, karier yang melejit, kesehatan yang prima, dan materi berlimpah? Siapapun pasti akan setuju, setiap orang mengidamkan kehidupan seperti itu. Dan bahwa itu adalah hidup yang sempurna, yes indeed. Tetapi apakah hidup yang sempurna harus memiliki semua hal di atas? Jika ya, berapa banyak manusia di muka bumi ini yang beruntung memilikinya?
Kesempurnaan hidup bisa berbeda ukurannya bagi setiap orang. Kehidupan yang di mata orang lain terlihat menyedihkan, bisa jadi oke-oke saja bagi yang menjalaninya. Sebaliknya, seseorang yang tampak memiliki segalanya, belum tentu merasa hidupnya sempurna.
Jadi, dimanakah letak kesempurnaan itu?
Barangkali, ada di dalam keikhlasan hati. Ketika seseorang ikhlas menerima dan menjalani hidupnya, disitulah ia merasakan kesempurnaan hidup. Maka, kesempurnaan hidup bisa dimiliki oleh siapapun juga, dalam kondisi seperti apapun juga ….

Hari Sabtu yang lalu, saya berkumpul dengan tiga orang teman wanita. Usia kami sebaya, tetapi dengan latar belakang yang aneka rupa. Satu orang memiliki pernikahan yang bahagia, satu orang menikah tapi acap merasa kecewa dengan pernikahannya, satu orang dalam proses divorce setelah menikah selama 22 tahun, dan satu orang lagi belum menikah. Satu orang berprofesi financial consultant, satu orang wartawan senior, satu orang manager perusahaan bahan kimia, dan yang satu orang lagi adalah dosen. Komposisi yang hebat, bukan? Bak empat wanita dalam serial “Se* And The City” … haha! 😀

Jika empat perempuan matang (mangga ‘kali … 🙂 ) berkumpul dan bicara dari jam tujuh malam sampai jam satu dini hari, apa yang dibicarakan? Sudah pasti tentang hidup dan aneka permasalahannya. Dari pembicaraan itulah muncul perenungan saya tentang kesempurnaan hidup.
Orang dengan mudah ‘menuduh’ wanita yang tidak menikah pasti hidupnya sedih, kesepian, sengsara. Demikian juga wanita yang bercerai pantas ‘dicurigai’ hidupnya amburadul, berantakan, dan penuh penderitaan. Pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Teman saya yang tidak menikah menjalani hidupnya dengan happy, santai, dan penuh kebahagiaan. Teman saya yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya merasa hari-harinya ringan, penuh harapan, dan lega luar biasa.
Pada umumnya, perempuan lebih tough menghadapi permasalahan hidup. Perempuan lebih tangguh menghadapi gempuran persoalan. Perempuan juga lebih siap untuk menjalani hidup sendirian. Mengapa? Mungkin karena perempuan suka menjalin kebersamaan dengan orang lain, perempuan suka berbagi dan saling mendukung. Perempuan mudah berbagi perasaan dan beban hati dengan berbicara kepada sesama perempuan, hal yang jarang dilakukan oleh pria.
Perempuan memiliki perasaan yang lebih lembut. Perempuan gampang menangis. Tetapi kelembutan hati dan air mata itu bukan berarti perempuan lemah.

Hidup memang beraneka ragam. Tak selalu sempurna. Lagipula, apakah hidup memang harus sempurna?
Read Full Post »