Jika pergi ke suatu kota, di mana Anda lebih suka tinggal? Di hotel, atau di rumah saudara/teman?
Bagi saya ini pilihan yang relatif, artinya ‘tergantung pada’ : tergantung pada kedekatan hubungan saya dengan saudara/teman yang diinapi, dan pada tujuan kepergian saya ke kota tersebut. Tetapi pada umumnya, pilihan pertama saya adalah tinggal di hotel. Mungkin saya sudah terpapar virus ‘orang kota’ yang menginginkan privacy. Tinggal di hotel jelas memberikan privacy yang lebih leluasa dari pada menginap di rumah orang. Fasilitas pun — pada umumnya — lebih baik. Minimal ada room service 24 jam (bayangkan kalau kita menginap di rumah orang, dan tengah malam kelaparan, masak mau gerilya di dapur atau di meja makan? 😛 ), taksi selalu tersedia, kamar dengan AC, televisi dan air panas, bahkan sekarang banyak hotel yang menyediakan internet gratis di kamar. Dan, ini yang paling penting bagi saya, kita bisa datang dan pergi semau kita, kalau capek bisa tidur sesuka kita, tanpa perlu merasa telah menjadi tamu yang tidak beradab … 😀
Menu breakfast yang lengkap di Hotel Atlet Century Jakarta termasuk yang saya sukai 🙂
Di hotel Atlet Century ada larangan untuk breakfast dengan mengenakan kaos singlet, celana pendek, dan sendal. Mematikan selera makan tamu yang lain 😦
Tetapi, tinggal di rumah kerabat atau teman yang memiliki hubungan baik juga merupakan hal yang sangat menyenangkan. Merasakan suasana kehidupan sehari-hari, melihat setiap sudut dan pernik rumah seseorang, dan mengenal seluruh anggota keluarganya, adalah hal-hal positif yang tak ternilai bagi hubungan persahabatan dan persaudaraan. Untuk kehangatan hubungan seperti ini, kenyamanan fasilitas bolehlah dinomorduakan.
Ada cerita nih … 🙂
Beberapa tahun yang lalu, saya bermaksud mengunjungi sebuah kota di Sumatera. Karena belum pernah datang ke kota tersebut, dan belum tahu situasinya, saya mengontak seorang teman yang tinggal di sana. Saya tanya hotel apa yang bagus, dan dimana bisa menyewa mobil. Teman ini dengan antusias mengatakan “Beres, nggak usah khawatir. Percayakan semua padaku”. Begitulah, ketika saya datang, teman ini bersama istrinya (kebetulan teman saya juga) menjemput saya di bandara. Saya belum tahu dimana akan menginap, karena dia selalu bilang “beres” saja. Saya bahkan sempat mengira, dia akan menginapkan saya di rumahnya.
Setelah diajak makan siang dan putar-putar kota sebentar, apa yang terjadi? Ternyata saya diantarkan ke sebuah hotel yang sudah dia booking untuk saya. Saya cukup kaget. Reaksi pertama saya adalah pergi ke resepsionis untuk membereskan pembayaran, karena saya tidak mau merepotkan teman saya dengan membayari kamar hotel saya. Tapi resepsionis dengan senyum manis mengatakan, “Sudah dibereskan oleh Bapak X, ibu …” . Huwaaa …. 😦
Saya merasa sangat tidak enak. Pertama, karena dibayari. Kedua, hotel itu kurang memenuhi selera saya. Kamarnya cukup bagus dan bersih, tapi sangat sempit dan tidak berjendela 😦 . Penerangan seratus persen dari lampu, tidak ada cahaya matahari dan udara segar. Benar-benar hanya untuk tidur. Padahal saya lebih suka kamar yang lega, yang berjendela, lebih bagus lagi kalau ada sofa sehingga saya bisa membaca dengan santai. Pindah hotel? Waduh, saya merasa lebih tidak enak pada teman saya.
Hotel Duta Garden Surabaya, tidak mewah, yang penting kamarnya lega dan ada jendela lebar dengan view terbuka … 🙂
Lebih ‘repot’ lagi, dia memaksa untuk mengantarkan saya selama saya berada di kota tersebut. Akibatnya saya jadi tergantung pada jemputannya. Ketika saya ingin berangkat jam 8 pagi, ternyata dia baru bisa menjemput jam 10. Menyewa mobil sendiri? Lagi-lagi saya merasa tidak enak, karena dia telah menobatkan dirinya menjadi ‘tuan rumah’ saya, yang bertanggungjawab atas segala urusan dan kesejahteraan saya …. 🙂
Tentu saja saya sangat berterimakasih pada antusiasme teman tersebut menjadi tuan rumah bagi saya, meskipun semangatnya yang menggebu malahan membuat saya ‘tercekik’ … 😉
Dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa jika mengunjungi sebuah kota dimana di kota tersebut ada kerabat atau teman yang ingin kita temui, diperlukan kejelasan rencana. Jika kita berniat menginap di hotel, perlu kita sampaikan di awal (lebih baik lagi kalau hotel sudah kita booking). Ini untuk menghindari kekecewaan teman, siapa tahu dia sudah mempersiapkan rumahnya untuk kita inapi. Sebaliknya, kalau kita ingin menginap di rumahnya, tentu saja kita harus bertanya apakah dia tidak keberatan. Kita juga perlu memberi tahu kapan akan bertemu dengan dia, sehingga dia tidak perlu selamanya menyediakan waktu untuk kita.
Hotel Blue Point di Bali. Setiap kamar dilengkapi dengan kolam renang pribadi yang menghadap ke laut. Kami cuma numpang foto aja loh, nggak nginep di sana. Tarif per malam sekitar 5 juta … 😦
Hal yang sama juga berlaku jika kita menjadi tuan/nyonya rumah.
Suatu ketika, seorang sahabat dari dunia maya mengatakan bahwa ia akan datang ke Yogya, dan ingin bertemu saya. Dengan bersemangat saya mengosongkan jadwal pada hari-hari keberadaannya di Yogya, menyiapkan souvenir untuknya, memikirkan tempat-tempat kemana saya akan ajak dia. Pada hari-hari kedatangannya, saya menunggu-nunggu kabar darinya, tetapi tidak ada kontak apapun dari dia. Saya tidak bisa mengontak dia, karena dia tinggal di luar negri dan baru akan memberikan nomor ponselnya jika sudah tiba di Indonesia (tentunya dengan nomor Indonesia). Email dan blognya tidak pernah dibuka.
Nah, karena dia pernah menyebutkan nama hotel tempat dia akan menginap, saya cek ke hotel tersebut. Ternyata benar dia dan keluarganya menginap di situ. Semula saya berniat menitipkan souvenir yang sudah saya siapkan untuknya ke hotel tersebut, tetapi niat itu saya urungkan. Kalau dia tidak mengontak saya, berarti dia memang tidak berniat bertemu saya, jadi mengapa saya harus memberikan souvenir untuknya? Beberapa minggu kemudian, setelah kembali ke negaranya, baru dia menulis di blognya, menyatakan penyesalan dan minta maaf tidak jadi bertemu dengan saya karena acaranya yang terlalu padat selama di Indonesia …
Kecewakah saya? Pasti. Bukan karena tidak jadi bertemu dengannya, tetapi karena merasa diabaikan, merasa waktu, energi dan hati saya terbuang sia-sia. Mestinya dia memberi tahu kalau tidak bisa menyediakan waktu untuk bertemu saya …
Halaman belakang Novotel (The Hills) Bukittinggi. Luas dan hijau … Breakfast dilakukan di serambi yang menghadap ke halaman ini 🙂
Selain kenyataan bahwa saya cukup sibuk, saya selalu merencanakan aktivitas yang akan saya lakukan setiap hari. Implikasinya, saya tidak mengharapkan ada acara dadakan di luar rencana. Misalnya, tamu yang tiba-tiba datang tanpa memberitahu sebelumnya. Apalagi kalau tamu tersebut datang dari jauh! Aduh …. Ini akan membuat saya serba salah. Tidak menerima tamu yang datang, pastilah tidak sopan. Tapi menerima tamu, agenda saya bisa berantakan. Kalau agenda itu hanya urusan pribadi mungkin masih bisa digagalkan, tapi kalau sudah terikat komitmen dengan orang lain, akan merugikan orang lain bukan? Dalam situasi seperti itu, kalaupun saya menerima tamu yang datang, pasti hati saya tidak terkondisi dalam suasana gembira … 😦
Konfirmasi sangat perlu, terutama bagi orang-orang yang sibuk. Bahkan untuk menelepon pun, khususnya kepada orang-orang yang sibuk, saya akan konfirmasi lebih dulu lewat sms. Kapan dia/beliau punya waktu luang untuk menerima telepon saya? Karena telepon yang datang pada saat yang tidak tepat bisa mengganggu orang yang menerima telepon, bukan?
Ada orang yang tidak mau memberitahu terlebih dahulu jika akan datang bertamu, dengan alasan takut merepotkan. Takut tuan rumah repot menyediakan makanan atau ini-itu. Padahal kalau ada tamu datang, sementara tuan/nyonya rumah tidak siap, bukankah lebih merepotkan? Nyonya rumah pasti menyesal kalau ada tamu datang dan di rumah kebetulan tidak ada makanan apapun yang pantas disuguhkan. Saya bahkan pernah kesal ketika suatu saat ada tamu datang pagi-pagi, padahal si mbak pas libur sehingga rumah belum rapi dan saya masih repot di dapur. Dalam kondisi berpeluh, belum mandi, rumah belum beres, tiba-tiba ada tamu, sebel nggak sih?
Ada juga orang yang ingin memberi surprise dengan datang tiba-tiba, tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Ehm …. kalau ingin memberi surprise kepada saya, kayaknya saya milih dibawain oleh-oleh Ferrari saja, atau sekotak lasagna, tapi konfirm dulu kapan mau datang … 😀
Bagaimana dengan Anda?
He he he, menyelamatkan yang pertamax. 🙂
Tuti :
Owgh … Tim SAR pertamax to? 😀
Hahaha….ternyata saya juga seperti mbak Tuti….
Tapi sueer lho, saat saya menawarkan rumah pada mbak Tuti…benar-benar dari hati….walau rumahnya kurang dingin yo mbak. Tapi kali ini, saya tak berani menawarkan ke mbak Tuti, soalnya ada adikku yang lagi jadi pasien, ditambah suami sedang ada acara di Jakarta (aneh ya….hahaha).
Saya seperti mbak Tuti,
Jika pergi ke suatu kota, lebih suka nginep di hotel atau guest house kantor, paling-paling pinjam kendaraan plus driver. Menyewa kendaraan sendiri bisa, tapi kalau driver kantor, karena biasa mengantar tamu, dia tahu makanan khas daerah tsb, juga tempat wisata…plus bisa cerita budaya setempat. Tentu saja driver juga senang karena kita juga akan memberi tip seperti menyewa mobil.
Kecuali di kota tsb tinggal kerabat dekat, seperti adik kandung..kalau nggak nginep dirumahnya, saya bisa dimusuhi..hehehe
Mbak sebenarnya saya pengin banget datang ke acara pak Eko ..apa daya kok acaraku jadi belibet ya…..masih menunggu konfirmasi audience, kemudian ada teman si bungsu yang hanya punya waktu beberapa hari (sebelum balik ke Jepang) ingin ketemu di Gandaria City…..saya sendiri juga pengin ketemu. Di tambah, entah kenapa kok akhir tahun, orang pensiunan satu ini jadi sibuk nggak karuwan.
Tuti :
Iya Mbak, saya terimakasih sekali lho sudah diundang menginap di rumah Mbak Enny. Keramahan dan ketulusan Mbak Enny membuat rumah Mbak Enny jauh lebih nyaman dari kamar hotel yang paling nyaman sekalipun … 🙂
Iya Mbak, nggak papa, saya juga tahu kok Mbak Enny sedang repot merawat dua pria yang paling dekat dalam hidup Mbak Enny. Saya memang berniat tinggal di hotel, karena ada janji juga dengan seorang teman.
Memang betul Mbak, kalau ada kerabat dekat di kota yang kita kunjungi, dan kedekatan itu diwujudkan antara lain dengan ‘kewajiban menginap’, memang lebih baik menginap di rumah kerabat (ya itu tadi, daripada dimusuhi, kan berat tuh … 😀 )
Yah, semoga saja pas hari H dan jam J besok Mbak Enny tiba-tiba diberi kemudahan untuk bisa hadir pada acara Pak Eko. Pak Eko pasti akan senang sekali. Tapi kalaupun tidak, ya tidak apa-apa Mbak … 🙂
Sayang bu Eny ndak bisa ke acara saya. Padahal saya mengharapkan lho bu. Tapi saya bisa mengerti kalau memang pas hari Rabu banyak kesibukan yang harus dijalani. Doanya saja ya agar lancar acaranya.
Kalau begitu saya mau surprise datang ke tempat bu Tuti bawa Ferari, walau hanya fotonya saja. He he he.
Bu Tuti ini tipikal cah modern yang gak mau repot dengan basa-basi. Banyak teman saya yang berpandangan demikian. Namun, untuk orang-orang yang masih menjunjung tinggi kekeluargaan, hal itu tidak berlaku. Mereka lebih suka datang ke keluarga untuk menjaga tali silaturahmi. Bagi yang dikunjungi juga senang karena bisa dapat kabar tentang kerabat lainnya dari sang tamu. Yang saya tahu, persaudaraan orang Bugis luar biasa kuatnya. Kalau ketahuan sampai tidak datang ke rumah kerabat di kota yang dikunjungi bisa dijothak (apa bhs Indonesianya?). Mereka tidak keberatan cuma tidur ditikar rumah dan makan seadanya. Kalaupun mau datang sak sukanya karena urusan bisnis ya tuan rumah tidak keberatan.
Orang tua saya juga termasuk wong jowo yang kental kekerabatannya. Lebih suka menginap di rumah saudara dekat. Di kalangan keluarga besar saya, nama bapak dan ibu saya sudah dikenal banget. Makanya, agak mudah bagi saya memperkenalkan diri dengan menyebut anaknya bapak atau ibu. Mereka pasti kenal.
Saya jadinya hidup di dua dunia kalau urusan tamu bertamu. Dari pengaruh bapak-ibu, saya tidak keberatan menerima kerabat untuk menginap di rumah dengan segala kekurangannya. Entah berantakan ataupun makanan seadanya. Tapi dari pihak isteri, pandangannya persis seperti bu Tuti. Kalau ada yang mau bertamu harus memberitahu dulu. Rumah akan dibersihkan dan mulai dipersiapkan makanan. Kalau perlu dientertain keluar rumah untuk melihat obyek wisata di Jogja, nek tamunya jarang ke Jogja.
Cara ini juga efektif menangkal mahasiswa2 yang bermasalah mau minta “kebijaksanaan” nilai. Karena mereka sudah mengerti cara bertamu di rumah saya seperti itu, lama-lama para mahasiswa maklum kalau kedatangannya tidak diterima.
Oleh sebab itu, kalau kami pergi ke luar kota dan menginap, pasti akan surfing dulu di internet untuk tahu hotel-hotel di suatu kota, meskipun kota kecil seperti Kraksaan (timur Probolinggo).
Cara bertamu dan menerima tamu di Barat juga seperti bu Tuti dan bu Eny. Mereka tidak akan menerima tamu menginap kalau kamar tidak ada. Soal makanan, tidak akan menyediakan yang istimewa karena makanan sehari-hari mereka sudah standar hotel. Tapi, mereka hanya menerima saudara dekat dan sahabat dekat saja.
Tuti :
Kalau konfirmnya bawa Ferrari, dan ternyata yang dibawa cuma fotonya, itu surprise juga lho Pak … tapi surprise negatif 😦
Hyah …. saya dibilang ‘cah’? Sudah bangkotan gini lho Pak … hihi 😀
Tradisi orang tua saya juga masih sama Pak, biasa menginapkan kerabat di rumah. Apalagi jaman dulu kan hotel belum banyak, dan belum biasa orang menginap di hotel. Sampai sekarang pun, rumah orang tua saya (yang ditinggali kakak saya sesudah bapak dan ibu wafat) tetap menjadi ‘rumah terbuka’ yang biasa diinapi keluarga dan teman keluarga. Sekarang ini, selain rumah tinggal biasanya kecil (kecuali yang cukup kaya), budaya sudah berubah, orang tidak lagi seterbuka dulu. Hotel sudah banyak, dan taraf ekonomi orang juga sudah meningkat sehingga mampu membayar kamar hotel yang relatif mahal.
Saya sejatinya senang menerima tamu menginap lho Pak, cuma ya itu … konfirmasi dulu, sehingga saya bisa menyiapkan segalanya. Jadwal saya kosongkan, rumah saya bersihkan, makanan saya siapkan. Kan sama-sama enak kalau seperti itu. Tapi kalau Pak Eko mau menginap di rumah saya kayaknya aneh deh, lha wong sama-sama tinggal di Yogya … hehehe … 😀
Haa!! Didatangi mahasiswa untuk minta ‘kebijaksanaan’ nilai …. itu saya paling gak mau. Dan untungnya di rumah saya ada satpam, jadi screeningnya ketat. Kalau ada tamu, satpam akan bertanya dulu dengan
sangarramah, apakah sudah punya janji. Kalau belum, ditanyakan dulu ke kami, bisa diterima tidak. Kalau belum, dan saya tidak kenal tamunya, saya akan bicara lewat interkom, menanyakan keperluannya. Nah, kalau mahasiswa yang datang cuma untuk minta tandatangan atau menyerahkan laporan skripsi, biasanya cukup bicara dengan saya melalui interkom, lalu berkas yang perlu saya tandatangani diantarkan satpam ke rumah. Sehingga saya tidak perlu menemui, tapi kepentingan mahasiswa terlayani. Kayak pejabat penting aja ya … hihihi …. 😀 . Yang penting praktis to?Hehehe…doakan tahu-tahu saya bisa nongol ya pak Eko…katanya kan nggak harus pake undangan. Lokasinya kan dekat Komputer UI ya..dulu saya sering ke sana karena si sulung kuliah di Komputer UI.
Justru karena sifat saya, yang beda dengan suami (dia seperti pak Eko), maka kalau ada teman yang dekat saya, apalagi sampai nginep…wahh suami ikutan seneng, karena pasti mereka udah saya anggap dekat di hati.
Dan saat suami ada tugas ke Medan, teman saya dan suaminya, memaksa suami boyongan ke rumahnya….begitu balik lagi ke Jakarta, suami bilang..”Kamu tuh zakelijk (bener nggak tulisannya), tapi kalau udah bersahabat dekat sekali, seperti saudara”
Bu Eny, lokasinya bukan dekat Komputer UI. Sudah pindah dalam setahun ini ke kampus FEUI. Oleh FISIP, Paska Ekonomi ditendang balik ke kampusnya sendiri 🙂
Salah satu rasa yang paling nggak enak buat saya adalah “merasa merepotkan orang lain”, meskipun orang tersebut sebenarnya nggak ada masalah dan nggak apa2…
Dan paling enak memang nggak terikat dan nggak terbebani.
Maksud baik dari seseorang ternyata belum tentu membuat kita nyaman. Yang ada justru rasa “pakewuh” yang bisa berkembang dan mencekik kenyamanan…
Jadi menurut saya…
1. Perlu milah2 siapa yang menawari kita. Kalau itu sahabat dekat atau saudara yang sudah sangat2 kita kenal dan kita merasa nyaman dan lepas dari rasa pakewuh ya sebaiknya kita terima tawarannya
2. Kalau ragu, paling aman ya nginep di hotel saja…
Tuti :
Setujuuu …. 🙂
Diundang menginap di rumah orang adalah kehormatan bagi kita, tetapi memang perlu dipertimbangkan plus-minusnya. Pertimbangan terpenting memang menjaga tali silaturahmi, apalagi dengan kerabat dan sahabat dekat. Untuk hal seperti ini, kenyamanan fasilitas bisa dilupakan, karena lebih penting silaturahmi daripada kenyamanan pribadi …
Kalau saya nih Bu …
Tanpa bermaksud untuk tidak menghargai Sodara atau Teman …
tetapi saya lebih cenderung untuk menginap di Hotel …
lebih bebas dan tidak merepotkan yang lain …
Mau sendawa keras … cuek aja
Mau sendawa “yang satu lagi” itu pun santai-santai saja …
Dan persis seperti kata Ibu Tuti … kita bisa memilih preferensi kita …
Setelah menginap …
Baruuuuu berkunjung ke Sodara atau Teman …
itu lebih enak keknya …
salam saya Bu Tuti
Tuti :
Saya percaya Om lebih senang tinggal di hotel, apalagi hotelnya Om selalu five star gitu … 🙂 Meskipun malam pertama sering susah tidur ya Om (Om pernah nulis ini kan … 🙂 )
Nah, kalau urusan sendawa, di hotel pun gak bisa keras-keras lho Om, bisa mengganggu tamu lain di kamar sebelah. Bisa-bisa sang tamu lapor ke sekuriti hotel, ada tamu pembawa bom angin di sebelah kamarnya …. hihi 😀
Betul Om, meskipun tinggal di hotel, silaturahmi ke kerabat tetap bisa dilakukan dengan baik. Bisa saja kan, sepanjang hari dihabiskan bersama kerabat, tapi untuk istirahat kita balik ke hotel. Dengan demikian ada waktu jeda untuk ‘menarik nafas’ …. (emang waktu bersama kerabat nggak bernafas? 😮 )
salam saya juga Om
Aku sudah pasti sama dengan mbak Tuti deh… lebih senang urus semuanya sendiri. Apalagi sekarang semua sudah bisa pesan online. Dengan situs Trip Advisory aku memesan hotel di Serang. Villa Hanis pun aku pesan lewat email :D.
Waktu aku ke Jerman th 2002 waktu masih jarang bisa booking online (hanya per email), aku malah sempat cari penginapan di dekat rumah adikku, karena aku tahu rumahnya cilik banget. Tapi dia bilang, dia sudah siapkan bed khusus utk aku (aku harus pakai spring bed/kasur keras krn ada masalah punggung), jadi uang hotelnya aku pakai utk konsumsi satu keluarga selama berada di situ. Meskipun keluarga dekat pun kita harus tahu diri dong, Jerman kan muahal! Yang berhasil aku pesan via email adalah mobil carter dgn supir yg bisa berbahasa Inggris utk jemput di airport dan kendaraan selama di sana. Untung saja karena sulit sekali cari mobil/taxi dan untuk bergerak kemana2 dalam salju ber- 7 orang cukup sulit.
Tapi bener loh mbak …aku malu banget waktu ngajak mbak ke rumah ortu di jkt waktu itu hihi, abis benar-benar berantakan (abis bukan rumah saya juga sih) hehehe. Sampai musti lewati jemuran pakaian lagi. Saya dan keluarga saya di jkt sih sudah biasa menerima tamu mendadak. Jangan heran kalau malam itu bapak saya ngundang nginep di rumah hihihi. Kadang menurut saya berantakan = tanpa make-up dan itu berarti benar-benar dari hati.
Dan kalau dipikir dari dunia maya, cukup banyak orang yang sudah pernah mampir rumah ortu saya di jkt bahkan nginap bersama. Mbak Tuti, Bu Enny, Yoga, Lala, Ria, Yessy, Eka, Wita, Riris dan alm suaminya, bahkan DM.
Nanti mbak, aku bangun rumah di jkt, kita bikin pajama party yuk hihihi.**mimpi dulu**
EM
Tuti :
Trip Advisory ya Mbak? Iya deh, besok-besok lagi saya akan coba booking lewat situs itu. Saya biasanya lewat Travelpass, via telepon. Tapi repotnya, kalau belum tahu kondisi hotelnya, bisa salah pilih. Seperti pengalaman tempo hari, saya salah memilih hotel ‘lampu merah’ di daeah Mangga Besar … 😦 . Untung dikasih tahu sopir taksi yang mengantar saya, sehingga saya urung menginap di hotel itu …
Suatu ketika di Singapore, saya berempat pernah diminta menginap di rumah salah seorang auntie. Mau menolak nggak enak, takut dibilang sombong. Nah, waktu kami datang, ternyata kamar yang disediakan untuk kami belum dibersihkan. Masih ada baju-baju kotor bertebaran di tempat tidur. Kayaknya itu kamar anaknya, yang tidak begitu suka kamarnya dipakai untuk tamu. Kebayang kan mbak, bagaimana perasaan kami? Batin saya, siapa juga yang pengin nginap disini?
Hehe … nggak papa kok Mbak. Waktu diajak ke rumah Mbak Imel, saya justru terkesan pada keramahan Papa-Mama Mbak Imel yang begitu tulus.
Iya deh Mbak, saya tunggu kapan rumahnya yang di Jakarta jadi … 😀
wah saya paham banget dah perasaannya bu tuti…
dari yang temennya mau jadi host yang baik… ya emang sih berterima kasih ya kalo ada teman yang seperti itu, karena emang sebenernya niat nya baik, sampe ngebayarin hotel dan nganterin kemana2. tapi kadang malah bikin kita jadi gak enak hati ya bu… yang ada, kita malah jadi dilema. mau ngikutin terus, tapi hati gak puas dan perjalanan jadi gak sreg… tapi kalo mau gak diikuti juga gak enak ati sama si temen… serba salah. hehe.
nah kalo yang cerita bu tuti tadinya mau ketemu ama salah satu blogger yang dateng ke jogja itu, duh saya ikutan ngerasain deh betapa kecewanya bu tuti ya. saya juga kalo digituin pasti kecewa banget. harusnya ya ngasih tau ya, at least nelpon kek untuk ngobrol2 sebentar walaupun gak bisa bertemu…
Tuti :
Memang begitu, Man. Serba salah. Makanya, saya sekarang lebih baik menjelaskan di awal, supaya nggak terkaget-kaget kayak gitu …
Pernah juga, saudaranya saudara (jadi sebenernya sudah nggak ada sangkut-pautnya), bilang mau ke Yogya. Saya nggak bisa menerima mereka tinggal di rumah, karena nggak ada tempat (ia akan datang dengan 3 orang), lagipula kami sebenarnya tidak begitu akrab. Nah, saya khawatirnya, tiba-tiba saja dia datang dan nurunin koper di rumah saya, kan repot tuh? Masak mau diusir? Akhirnya saya tanyakan ke dia, apakah mau saya booking-kan hotel? Soalnya pas musim liburan biasanya hotel2 di Yogya penuh. Eh, dia nggak bales-bales. Baru sebulan kemudian bilang kalau nggak jadi ke Yogya … yeah … 😦
Ntar kalo saya udah ada dana untuk jalan-jalan ke Yogya dan pengen mampir ke tempat Mbak Tuti, saya akan kasih tau jauh-jauh hari. Biar Mbak Tuti punya banyak waktu banyak tuk nyiapin souvenir sebuah ferrari untuk saya.. heqq!
🙂
*mantabbb*
Tapi saya setuju dengan Om NH, kalo nginep di tempat sodara trus tiba-tiba mesti sendawa “yang satu itu” kan nggak enak. Mesti ditahan-tahan, jadinya perut kembung. Nggak lucu kan? Hotel is the best lah… Nggak ngerepotin sapa-sapa dan bebas bersendawa. Horee…!
Tuti :
Oke, oke … sip dah. Kapan Dewi mau ke Yogya? Ferarrinya mau berapa? Selusin, atau dua lusin? Warnany apa aja? Hihi … 😀
Nggak lucu lagi kalau sendawanya sudah ditahan-tahan, ternyata jebol juga dengan suara kejepit … hahaha … 😀 . Bisa merah padam tuh muka …
Hmm.. saya lebih senang ada konfirmasi dulu Bu.. supaya tidak merepotkan teman yang akan saya kunjungi.. kalo teman mau menginap di tempat saya, saya malah sering minta agar bilang dari jauh hari, karena Jakarta macet dan kadang mesti lembur di kantor, jadi kalo mendadak saya agak repot.. tapi biasanya yang paling malas konfirm itu kalo dari pihak keluarga sendiri,, tiba2 minta dijemput di bandara saat itu juga, padahal kan kalo ke bandara jauhnya ampun2 dan kadang saat saya masih di kantor.. fiuuhh.. repot deh
Tuti :
Hehe … padahal kalau yang datang keluarga, mau nolak kan nggak bisa ya? Mungkin perlu diberi maklumat, bahwa Clara kerja, dan nggak bisa sewaktu-waktu ninggalin kantor. Padahal sebenernya dari bandara kan bisa juga naik taksi, nggak usah nunggu dijemput … (hm, tapi jangan-jangan nanti dibilang anak atau keponakan tak tahu adat … 😦 )
Aihhh… Bunda Tuti bisa baca pikiran saya, ya? *ge-er* 😀
Soalnya saya insya Allah mau ke Jogja bulan depan dan dari kemarin udah menimbang-nimbang (emang terigu :P), kapan waktu yang tepat buat ngasih tau Bunda…
Soalnya, ya itu, kalo dari jauh-jauh hari, waktunya belum pasti… Kalo dadakan takut Bunda udah banyak acara jadi ga bisa ketemu.
Tapi saya udah siapin suvenir buat Bunda lho! (cuma bukan ferrari, soalnya gagang pintunya aja ga kebeli, apa tah lagi mobilnya :D)
Nanti saya kontak Bunda via bang japri ya! ^_^
Tuti :
Pasti. Aku bisa baca pikiran Mida kok. Itu ada di Bab 2 halaman 64, alinea kedua dari bawah kan? 😀
Okeee …. Jadi Mida sudah ada rencana ke Yogya ya? Moga-moga aja waktunya pas ‘bagus’ ya (maksudnya cocok dengan jadwal saya), sehingga kita bisa punya cukup waktu untuk berkenalan 🙂
*deg-degan nebak souvenir Mida*
Kalau sedang kegiatan dinas saya sih biasanya lebih memilih tidak menginap di rumah teman/saudara karena alasan privacy itu, dan juga tidak ingin menggangu. Kalau urusannya keluarga baru menyempatkan menginap di rumah kerabat atau saudara, tapi itu pun menimbang2 terlebih dahulu; apakah nanti akan merepotkan atau tidak.
Tuti :
Betul sekali, Mas Indra. Paling baik adalah menimbang kondisi tuan rumah yang akan kita datangi, selain kondisi kita juga. Kalau kedua belah pihak sama-sama senang, acara bertamu pun pasti akan membuahkan hasil yang positif.
Waduh, syaratnya berat ya bu, harus bawain ferrari dulu, hehehe.. padahal niatnya saya pengen datang tiba-tiba kerumah bu Tuti dengan hanya membawa sedikit risoles hangat hasil kreasi sendiri lho.. ditambah saus sambal, wow,, manstabbb,,, heheheh…
Memang, jika tamu yang mau datang tidak konfirmasi, sangat menyebalkan, pernah satu kali teman suami saya cuekkin gara2 tiba2 datang padahal kita sudah siap mau jalan2, hehehe… 🙂
semoga besok2 kalo saya ke Jogja, bisa jadi tamu yang baik, yang gak repotin dan bisa menyenangkan tuan rumah yang baik seperti bu Tuti.. 🙂
salam sayang bu
Tuti :
Ferarri nggak berat kok Mbak Iyha, yang diserahin cukup kuncinya saja, mobilnya bisa saya ambil sendiri … hihihi 😀
Hmmm …. risol Mbak Iyha pasti mak nyuusss dan manstaabb bangett … *nelan ludah sambil merem melek*
Kalau ada tamu yang seperti teman suami itu, bilang saja terus terang, tapi tetap dengan sopan dan senyum ramah, “Eh, kebetulan kita mau ke anu nih, mau ikut sekalian?” . Atau pura-pura saja menerima telepon dari seseorang, yang isinya seolah kita sudah ditunggu-tunggu … 🙂
Saya menunggu Mbak Iyha ke Yogya dengan senang hati. Kabarin saya kalau beneran mau datang ya?
salam sayang juga, Iyha 🙂
* Setiap orang mempunyai kebijakan masing-masing untuk bertamu dan bermalam….. kadang maksud kita adalah baik dan tidak ingin merepotkan keluarga yg akan dikunjungi dgn bermalam di hotel, tetapi ternyata disalahartikan bahwa kita sudah sombong, mentang-mentang….dan ungkapan yg sejenisnya.
* Kadangkala kita menganggap perasaan orang lain adalah sama seperti perasaan kita….kita menyiapkan dengan maksimal untuk menghargai orang lain, tetapi orang yang kita hargai malah tidak memikirkan kita (seperti pengalaman mbak Tuti thdp sahabat maya yg diam2 saja itu).
* Menjadi tamu yg baik dan menjadi tuan rumah yang baik memang gampang-gampang susah ya mbak……
Tuti :
* Betul Mas, jadi memang perlu juga kita melihat-lihat karakter orang yang didatangi, dan kualitas hubungan kita. Kalau beliau orang yang kita segani, dan akan kecewa kalau kita tidak menginap, ya sebaiknya kita menginap. Tapi kalau benar-benar tidak ingin menginap, tidak usah memberitahu kalau kita berada di kota tersebut …
* Iya, begitulah. Orang memang macam-macam tabiatnya. Kita harus banyak-banyak memberi permakluman saja …
* Bertamu adalah masalah budaya, jadi memang bisa beda-beda untuk setiap suku dan tempat. Juga bisa beda untuk setiap orang. Memang harus pandai-pandai menempatkan diri ya 🙂
Kl saya sih tetap pilih hotel, krn kalau ikut orang mau jalan2nya repot. Sy punya selera jalan2 yg nggak sama dgn kebanyakan orang sih, he..he.., tp sama mbak Tuti sepertinya cocok kok.. Tapi kalau saudara bersikeras, ya diinapin juga sehari pas udah mau pulang.
Tuti :
Iya Mbak Monda. Mbak suka jalan-jalan ke museum ya? Saya juga suka. Moga-moga suatu saat kalau saya pas ke Jakarta kita bisa jalan-jalan bareng ya. Masalahnya, kadang saya ke Jakarta pas hari kerja, padahal Mbak kan ngantor … 🙂
ikutan menjawab bu:) Meski masih jarang berpergian, tapi tetap lebih memilih tinggal di hotel. Ada privasi dan bebas dari rasa tidak enak 🙂
Tuti :
Setuju … setuju … toss dulu yuk 🙂
Saya juga begitu Bu, kemana-kemana lebih nyaman kalau nginap di hotel. Karena saya akan merasa merepotkan saudara/teman yang ditempati. Pernah suatu kali saya ngajak anak ke daerah adik saya (tantenya), tapi ternyata anak saya merasa kurang nyaman. Akhirya hari berikutnya, dengan beberapa alasan kami nginap di mess kantor.
Kalau untuk berkunjung ke rumah saudara/teman saya cenderung memilih datang dengan diam-diam (tanpa memberi tahu), supaya tuan rumah tidak direpotkan. Tapi benar juga kata Ibu, kalau kita datang tanpa pemberitahuan jangan2 tuan rumah merasa ga siap dengan kedatangan kita.
Selamat Tahun Baru 2011, Bu….
Tuti :
Mungkin kita perlu melihat karakter orang yang akan kita datangi ya. Ada orang yang tidak masalah menerima tamu kapan saja, ada yang meminta konfirmasi dulu. Paling baik adalah bertamu pada saat tuan rumah dalam kondisi lega, nyaman, dan siap, sehingga mereka menerima kita dengan hati gembira, dan silaturahmi kita pun menjadi bermanfaat bagi semua pihak 🙂
Selamat tahun baru juga, Ded 🙂
Sip setuju banget mbak Tuti, saya juga termsk org yang setipe dgn mbak Tuti, krn bbrp kesibukan waktu mmg hrs diatur.
Sharing mbak : saya juga pernah punya pengalaman agak sebel, “setengah terpaksa dititpin keponakan abg 3 org dari luar kota, pdhal kondisi saya lg sibuk banget dan anak ada yang sedang ulangan semester, si kecil pengasuhnya lagi ada problem” eh tanpa pemberitahuan hrs menerima tamu dadakan selama 10 hari di rmh dan ternyata mmg merepotkan saya sbg kryw kantor. Masya Allah, sebel sekali rasanya saat itu !
Mau nolak tamunya udah sampai dirmh scr dadakan !
Nah belajar dari pengalaman pribadi itu, saya sll konfirmasi rencana2 saya jika bepergian ke luar kota, apalagi jika bawa anak2, meski dgn kel terdekat, krn khawatir merepotkan org lain hehehe 🙂
Ok mbak sekian sharingnya, met thn baru, smg dithn ini kita semua senantiasa diber kemudahan, kesehatan, kesuksesan. Amien.
Best regard,
Bintang
Tuti :
Saya bisa membayangkan bagaimana repotnya Mbak Linda waktu kedatangan 3 keponakan dari luar kota tersebut. Kalau tamu membuat kita dongkol, akhirnya yang didapat kan bukan silaturahmi, tapi malah keburukan ya? Tapi memang masih cukup banyak masyarakat yang tidak berfikir tentang kepentingan orang lain. Apalagi kalau saudara, sepertinya ‘syah-syah saja’ untuk datang setiap waktu, tanpa konfirmasi pula. Kalau jaman dulu, waktu komunikasi masih agak susah, mungkin bisa dipahami orang tidak konfirmasi. Tapi di jaman sekarang, ketika semua orang punya ponsel, apa susahnya mengirim sms, misalnya?
Bahkan, untuk sekedar bertemu sebentar pun saya memerlukan konfirmasi. Sebab jika kita datang ke sebuah tempat/kota, waktu kita kan terbatas. Kita harus bisa mengatur dengan sebaik-baiknya. Jika teman/saudara yang ingin kita temui ternyata tidak bisa, maka kita bisa mengontak teman/saudara yang lain. Nah, kalau konfirmasinya lambat, kita kan repot. Sudah meluangkan waktu, ternyata dia/mereka tidak bisa. Padahal sebenarnya waktu yang berharga itu kan bisa kita manfaatkan untuk menemui teman yang lain …
Oke Mbak, selamat beraktivitas ya. Semoga di tahun 2011 kita bisa menjadi tamu dan tuan rumah yang lebih baik lagi 🙂
salam hangat
Saya juga kesal bu kalau ada orang yang membatalkan pertemuan tanpa konfirmasi apapun
salam kenal bu Tuti
Tuti :
Yah, orang yang suka membatalkan pertemuan tanpa konfirmasi, tentunya tidak memiliki integritas kepribadian yang baik ya …
salam kenal juga Mas/Mbak 🙄
..
meski bisa di bilang saya ini orang hotel, tapi saya milih nginep tempat sodara pastinya..
gakpapa dah kurang nyaman, gak tinggal selamanya juga’.. 🙂
pernah lho saya musti tidur di sofa karena gak ada kamar kosong, akhirnya bentol2 deh di gigit nyamuk nakal.. 🙂
‘orang kota’ gak semuanya mementingkan privacy kok..
dulu manager saya ‘orang kota london’ mau tuh diajak nginep di kost-kostan..
trus pas saya ke bali dengan terbuka dia ngajak saya nginep dirumahnya, malah bebas disuruh masak-masak sendiri, bikin minum sendiri, mau bakar dapurnya juga boleh tuh.. hihi..
..
soal temen yang bersemangat itu, wah pastinya saya bakal ikut semangat juga tuh..hihihi..
asal tuan rumah seneng, sebagai tamu sih nurut ajah..
..
kalo saya maen ke rumah Bu Tuti gak perlu disiapin makanan, cukup di isi aja kulkasnya..
ntar saya yang masak sendiri.. he..he.. 🙂
..
Tuti :
Hehehe … iya, Ata memang ramah dan gampang akrab dengan siapa saja, jadi menginap di tempat siapapun pasti selalu saja nyaman 🙂
Nah, kalau soal digigitin nyamuk, kayaknya itu nggak ada hubungannya dengan tidur di sofa, karena tidur di tempat tidurpun kalau memang banyak nyamuk ya tetap saja jadi korban binatang vampir itu … 🙂
Iya juga, tidak semua ‘orang kota’ mementingkan privacy. Ini lebih berkaitan dengan kepribadian seseorang. Dan kedekatan dengan teman yang diinapi atau diajak menginap tentunya ….
….
Hmmm …. Ata memang tamu yang baik. Nggak rewel, nggak macem-macem, nurut sama tuan rumah yang ngundang. apalagi kalau disuruh makan dan tidur, pasti nurut banget ya … hahaha 😀
…
Iya deh, besok kalau Ata ke rumah saya, kulkas saya penuhin dengan paku, kawat, cat, sekrup dan minyak rem. Hmm …. pasti hasil masakan Ata yummy …. 😀