Catatan :
Tulisan ini pernah saya posting pada bulan Maret 2008, oleh karena itu referensi yang saya pakai pun adalah data pada saat itu. Tulisan ini saya re-posting sekedar untuk mengisi kekosongan karena saya belum sempat membuat tulisan baru. Bagi teman-teman yang sudah pernah membaca, silahkan dilewatkan saja.
PEMAKAN GANDUM YANG TAK PERNAH MENANAM GANDUM
Bisakah anda menyebutkan lima macam merk mie instan yang ada di pasaran? Ah, itu mah gampang. I… mie, S… mie, K…mie, P… mie, Mie S… (titik-titik harap diisi sendiri). Apakah anda sudah pernah makan mie instan? Oh, pastiii. Lezat? Yaa, lumayan lah, terutama kalau lagi kelaparan. Tahukah anda dari bahan apa mie dibuat? Tahu dong, dari terigu. Dan dari apakah terigu diproduksi? Jelas dari gandum coy, emang loe pikir dari lempung?
Pernah makan roti? Halaah, pertanyaan apa ini, ya jelas sering dong. Itu kan menu sehat, lezat, dan bermartabat. Apalagi yang dijual di bakery-bakery, dengan merk-merk terkenal, dan tampilan yang membuat lidah menjulur-njulur (kadal ‘kali). Donat, pastry, apple pie, black forrest, cheese cake …. mmm …. mama mia! Dari bahan apakah kudapan-kudapan lezzaat itu dibuat? Gandum juga, dear.
It’s absolutely right. Everything delicious is made of wheat flour. Ngomong-ngomong, pernahkah anda melihat tanaman gandum? Eh, …. apa ? Tanaman gandum? Ng .. ng … tanaman gandum …??? Kayak pohon beringin ‘kali ya? He he he ….
Bangsa Indonesia adalah pemakan mie terbesar kedua setelah Cina. Menurut AC Nielsen, produksi mie instan Indonesia pada 2007 adalah sebesar 15-17 miliar bungkus! Pada 2007, penjualan tepung terigu di Indonesia mencapai 2,5 juta ton. Diharapkan, pada tahun 2008 ini produksi akan meningkat sebesar 6 persen.
Kita memang bangsa dengan pola makan yang aneh. Kita sangat suka menyantap makanan dari terigu, bukan hanya dalam bentuk mie instan dan roti, tapi juga dalam berbagai variasi makanan lain. Padahal kita tidak pernah menanam gandum. Gandum yang kita konsumsi seratus persen diimpor dari negara lain. Sekarang ini harga gandum di pasar internasional naik sekitar 7,5 – 10 persen. Tidak heran harga mie instan dan roti pun semakin merambat naik.
Hidangan lezzaat seharga Rp. 1.000,-
Mie instan sudah menjajah pola makan kita. Dari kota metropolitan sampai pelosok desa, orang bersahabat baik dengan mie instan. Habis, enak dan murah sih. Dengan uang Rp. 1.000,- kita sudah bisa memperoleh sepiring mie yang mak nyuss (padahal parkir saja Rp. 2.000,- … ). Uang Rp. 1.000,- itu kalau kita belikan beras bisa memperoleh sekitar 2 ons, dan kalau dimasak menjadi nasi bisa menjadi 2 piring. Tapi nasi kan tidak bisa dimakan sendirian, harus ditemani lauk pauk dan harganya jauh lebih mahal dari harga nasinya. Akhirnya, harga sepiring nasi plus lauk akan tiga atau empat kali lebih mahal daripada harga sepiring mie instan.
Kita pernah mencapai swasembada beras pada era 1980-an, tetapi masa-masa indah itu sudah lama berlalu. Menurut Federasi Serikat Petani Indonesia, sejak tahun 1988 kita selalu mengimpor ratusan ribu ton beras setiap tahun. Pada periode 1988 – 2002, kita mengimpor 3,3 juta ton beras. Kita adalah pengimpor 50% stok beras dunia. Celakanya, harga beras sekarang semakin mahal. Di pasar internasional, harga beras mencapai 700 dolar AS per ton (sekitar Rp. 6.500 per kilogram), lebih tinggi dari harga beras di Indonesia, sekitar Rp. 5.000 – Rp. 6.000. Bustanul Arifin (Kompas, 31 Maret 2008 ) bahkan mengatakan bahwa harga beras sudah mencapai 745 dolar AS per ton.
Data terbaru memprediksi tahun 2008 produksi beras Indonesia akan surplus 2 juta ton (sungguh kondisi yang sangat menggembirakan). Namun demikian, banyak ‘ahli perberasan’ meragukan prediksi ini, karena cara perhitungannya dianggap kurang valid dan kurang reliable. Surplus beras nasional yang masih prediksi ini belum-belum sudah menggoda berbagai pihak untuk melakukan ekspor, mumpung harga beras dunia sedang tinggi. Tetapi para ‘ahli perberasan’ menyarankan agar pemerintah lebih dulu mengamankan stok nasional, karena jika ternyata surplus itu tidak tercapai, maka Indonesia akan kekurangan beras, dan harus mengimpor dengan harga yang pasti lebih mahal. Yang diuntungkan pada akhirnya hanya para eksportir beras, sementara rakyat yang akan menanggung akibatnya karena harus membeli beras dengan harga tinggi.
Perut Indonesia masih menginginkan makan nasi dengan lauk pauk lengkap
Jika beras semakin mahal, dan banyak rakyat miskin yang tidak mampu membelinya, mengapa kita tidak mendiversifikasi makanan kita dengan bahan makanan yang lain?
Makan mie instan memang murah dan lezat, tetapi jangan lupa bahwa mengimpor gandum dalam jumlah besar itu menguras devisa kita. Mie instan juga mengandung bahan pengawet yang tidak baik jika dimakan dalam jumlah banyak, apalagi untuk anak-anak.
Mari kita lihat, apa yang bisa kita tanam di tanah air yang subur makmur ini? Banyak. Selain padi, bumi kita ramah dan sangat murah hati menumbuhkan singkong, ubi, kentang, jagung, dan berbagai sumber karbohidrat lain yang bisa dijadikan bahan makanan pokok. Mitos bahwa makan singkong mencerminkan kemiskinan bangsa adalah salah kaprah yang harus diluruskan. Gengsi jagung kalah dibanding beras karena tidak pernah disajikan di tempat-tempat terhormat. Ubi terpinggirkan oleh gandum karena tidak diberi kesempatan untuk bersolek dengan aneka olahan rasa dan ditampikan dengan cantik di bakery.
Ketika beberapa tahun yang lalu terjadi kelaparan di sebuah desa pedalaman di Papua, pemerintah (dan juga pihak swasta) mengirimkan bantuan berupa beras dan mie instan. Padahal penduduk di pedalaman Papua yang masih banyak mengenakan koteka itu biasa makan ubi jalar. Apa yang terjadi? Mereka tidak bisa memasak beras itu menjadi nasi, karena mereka tidak punya panci dan peralatan lain untuk memasak! Mereka biasa membakar ubi jalar ke dalam bara api dan langsung memakannya begitu saja, tanpa perlu piring-sendok-garpu dan segala macam table manner.
Pola makan kita tidak hanya ditentukan oleh lidah, tapi juga oleh budaya, serta kebijakan ekonomi dan politik. Ketika negara kita dipimpin oleh penguasa yang berasal dari Jawa, maka seluruh rakyat disarankan makan nasi, yang merupakan makanan pokok orang Jawa. Perdagangan dunia yang dikendalikan oleh WTO juga mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memberikan subsidi saprodi (sarana produksi padi) bagi petani.
Di berbagai mass media, beberapa waktu yang lalu muncul gambar salah seorang tokoh, yang akan mencalonkan diri menjadi presiden pada pemilu 2009, makan nasi aking bersama penduduk miskin. Tapi ini mah bukan dalam rangka sosialisasi diversifikasi makanan atau solidaritas murni pada rakyat miskin, melainkan kampanye politik dan tebar pesona doang ….
Quote:
Pola makan kita tidak hanya ditentukan oleh lidah, tapi juga oleh budaya, serta kebijakan ekonomi dan politik. Ketika negara kita dipimpin oleh penguasa yang berasal dari Jawa, maka seluruh rakyat disarankan makan nasi, yang merupakan makanan pokok orang Jawa.
Iya bener ya mbak, makanya di sini juga sudah makan mie atau pasta masih nyari nasi, soalnya katanya perut Jawa. Untung saya masih lebih suka “produk gandum” daripada “produk beras” hehehe(untung saya tinggal di Jepang juga sih) Dan tambahan saya juga suka tuh produk sejenis gandum (malt) yang cair alias bir hehehhe.
Mari kita nyanyi mbak,
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei, wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij.
Tuti :
Sudah bertahun-tahun di Jepang, ternyata perut Mbak Imelda masih tetap perut Indonesia ya … hehe. Tapi kalau suka produk-produk gandum, berarti campur perut Barat dong.
Wahaha …. murid manis, alim dan pintar yang dulu sering disangka mau jadi biarawati, ternyata suka minum bir? Suster Albertine (eh, siapa?) mungkin akan nangis tersedu-sedu ya … qiqiqiqi.
Laaah ….. iku lagune piye Mbak? Boso Londo sisan. Matek aku 😦 😦
Tapi kira-kira artinya “Beri aku sepiring nasi goreng dengan sambel dan kerupuk, dan segelas bir. Kasihan Tuan, sudah tiga hari nggak makan …” Gitu ya …. 😀 😀 😀
Mie ?? Roti ?? Mau mau…. nyam nyam.
Sudahlah beras mahal, terkadang malah ada yang tega buang-buang nasi.
Tuti :
Sama Irna, saya juga suka mie dan roti. Makanya, yuk belajar nanam gandum, biar nggak usah impor dari Ostrali …. 🙂
Iya ya … kalau kita lihat di resto dan hotel-hotel, begitu banyak makanan dibuang-buang, padahal begitu banyak juga orang kelaparan 😦 😦
hoorookk mbak…cabe yang menemani mie goreng itu..yang bener aja ukurane..saya khan hobi nyeplus lombok tapi kaluk mbak tut nyepaki ukuran segitu…ini si pembunuhan berencana..
aku suka pare mbak..juga oseng godhong kates..
Tuti :
Wakakakaka ….. celaka, saya lupa kalau ada mbak Ernut yang biang lombok ceplus. Tahu aja kalo itu lombok bukan untuk diceplus.
Ceritanya, waktu artikel ini saya posting pertama kali (Maret 2008) belum ada fotonya. Nah, supaya cantik dan menarik, saya buatkan foto-foto untuk illustrasi. Semua makanan yang saya foto di atas saya ambil dari yang ada di rumah saja. Lha sudah jam 24.00 malam lewat, mosok mau hunting foto keluar.
Karena artikel ini membahas tentang mie, saya pun lalu bikin mie goreng instan (bayangkan …. lewat tengah malam bikin mie goreng hanya untuk difoto). Naaah …… supaya kelihatan cantik, saya hiaslah dengan tomat, sledri, dan lombok. Cari punya cari, di kulkas nggak ada lombok rawit. Ya udah, lombok guede-guede itu saya pasang aja. Hehehe ….. ternyata ada yang protes 😀 😀
Btw, siapa yang akhirnya menyantap mie itu? Untung ada ‘relawan paksa’ (lho?) yang bersedia menghabiskannya, yaitu suami saya ….
DI JAMBI AJA MBAK…PENGANANNYA TRADISIONALNYA BANYAK YANG TERBUAT DARI GANDUM…TP APA YANG TERJADI??? TANAH JAMBI YANG SUBUR ITU MALAH DIPENUHI SAWIT DAN KARET…..MENYEDIHKAN…KPN YA KITA MENANAM GANDUM?
Tuti :
Iya ya … makanan tradisional kok dari gandum? Sejak kapan makanan itu dibuat orang? Mungkin sejak zaman nenek moyang kita dulu gandum memang sudah bukan bahan makanan asing di negeri kita ya? Dibawa bangsa Belanda yang lama menjajah kita ‘kali ya.
Sawit pernah mengalami masa keemasan, tapi sekarang harganya sedang jatuh ya? Saya nggak tahu, apakah nilai ekspor sawit dan karet kita lebih besar dari impor gandum, atau lebih kecil? Kalau lebih besar, ya nggak apapalah … berarti kita kan mendapatkan kelebihan devisa. Tapi kalau lebih besar nilai impor gandumnya …. berarti kita bodoh 😦 😦
Bener, bener…
Kita makan memang karena terbiasa, bukan karena kebutuhan karbohidrat, protein, dan mineral-mineral serta gizinya.
Padahal banyak diversifikasinya, bisa diganti anu ini, tapi tetap saja, nasi dan mie jadi pilihan utama.
Ah, Mbak Tuti..
melu isin aku..
Soalnya saya juga masih doyan banget sama yang namanya roti dan mie.. 😦
Tuti :
Kalau saya penggemar segala : ya nasi, ya mie, ya roti 😀 😀 *rakus.com*
Asal bukan penggemar nasi, mie dan roti milik orang lain, kayaknya masih bisa dimaafkan kok, Jeung Lala. Tapi akan lebih bagus kalau kita mau mencoba makan bahan makanan lain yang banyak tumbuh di kebun kita (kebun para petani kita, maksudnya …. )
Lha sekarang, malah bukan gandum saja yang kita impor. Buah-buahan pun kita impor. Piye coba? Padahal tanah kita subur, bisa ditumbuhi apa saja … 😦
kalo nggak salah sudah banyak juga resep kue2 yang terbuat dari tepung gaplek,singkong dll sebagai pengganti terigu…
cuma sayangnya, promosinya kurang gencar kali’ ya…
pengen coba resepnya, tapi nggak tau beli tepung singkongnya dimana? coba kalo dijual di indomart…hehe..
Tuti :
Betul Rani, sudah cukup banyak sebenarnya resep-resep makanan dari bahan lokal. Sayangnya, ya itu tadi … bakery-bakery masih menjual roti dari terigu melulu, sehingga gaplek, singkong, tepung beras, dll belum bisa tampil dan menyaingi kecantikan ‘ratu terigu’.
Kalau mau cari tepung-tepungan itu, di pasar tradisional ato di supermarket besar biasanya ada juga lho … Ntar kalau sudah nyoba resepnya, saya bersedia kok jadi tukang icip gratis 😀 😀
Bener mbak,…beberapa hari yang lalu kita/PKK Kota coba bikin lomba olahan non Terigu, non beras. Hasilnya…cantik cantik..bagus bagus…dan lumayan enak…
Setelah kita bagikan ke anak2 SD dan TK yang sengaja kita undang dan makan bersama…eh, mereka klomat klamit….Ini ubi ya Bu ??/ini bukan roti ya Bu ???
Oalaaah….sudah terlanjur kebiasaan kalau roti itu dari terigu….Rupanya mereka sangat asing dengan makanan berbahan ketela pohon dan ubi jalar….
Tuti :
Nah, ini cocok banget untuk Rani, yang pengin mencoba resep-resep dari singkong.
Memang kita ini terbiasakan makan roti dari terigu, malah sampai-sampai ‘tela’ dan ‘tempe’ itu dijadikan sebagai simbol sesuatu yang rendah/hina. Ada pepatah ‘mental tempe’ atau ‘otak telo’ yang suka diucapkan bangsa kita untuk menggambarkan mental rendah dan otak bodoh. Piye horo Mbak?
Btw, saya kok nggak diundang jadi tukang icip masakan ibu-ibu PKK? *ngarep.com* 😀 😀
soal makan memakan ini
negara kita memang hebat
makanya ada joke yg menyatakan
warga Jepang berkeringat karena kerja
warga Indonesia keringat pas lagi makan…
soalnya semangat buangett…smpe nambuh2
untungnya Mbak Tuti berpola makan
sehat….sehingga tetap langsing dan awet 😆
btw, postingan ini ‘berat’ dan
berkualitas…layak terbit di Kompas 😀
thanks sista
Tuti :
Iyo, bener Bang. Kita ini kalao makan kok sampe keringatan gitu ya? Apalagi masakan Sumatera yang pedas-pedas itu … huah … huah …. sampai berdesis-desis kepanasan dan kepedasan. Tapi kalau orang Jawa kayaknya makannya nggak sampai keringatan lho Bang, soalnya yang dimakan tempe, gethuk (makanan dari singkong), gudeg …. semua empuk-empuk dan nggak pedes. Lagian ngunyahnya pelan-pelannnn …. dengan anggun gitu (halah!), jadi ya nggak keringatan 😀 😀 😀
Saya langsing? Huwa huwa …. padahal kalau beli baju selalu cari ukuran XXL 😀
Terimakasih, Bang. Tulisan ini saya buat waktu masih punya banyak waktu, jadi masih sempat cari referensi banyak bacaan. Harapan saya memang agar dapat memberikan tambahan informasi bagi teman-teman.
ah, mbak tuti tauuuuu…… aja, makan siang saya barusan mie instan…. kalo mbak mau, saya masih punya sebungkus tuh, di laci…..hehehe…
Tuti :
Mau dong, mau dong mie instannya. Anterin ya, dimasakin sekalian …. (huhuhu, enak aja!)
duh, berlawanan dengan Mba Imelda, saya justru pecinta mie, apapun itu mie aceh, mie jowo, mie baso, mie yamin, mie goreng tukang nasi goreng, ifu mie, lomie, spagetti, dst dst. termasuk mie instan yang menurut saya enak banget, karena MSG nya yang banyak, makanan kebangsaan anak kosan, enaknya gak usah mikir, kalo istilah saya, tentunya karena penyedap rasa yang berlebihan. tapi saya stop makan mie karena mulai pusing2 gara2 terus2an makan mie instan di kos baru.
memang sulit kalau ternyata sudah membudaya, membudayakan kembali makan ubi yang jelas2 tidak dijual di warung sebelah selayaknya mie instan dan roti tawar tentu membutuhkan strategi besar, hehehe.
tapi dengan membaca tulisan ini saya semakin mantap untuk say no to mie instan. tapi mie mie yang lainnya tetep makan. hehehe :p apa harus dicari cara membuat mie dari ubi atau singkong ya? :p
salam
-japs-
Tuti :
Wahaha … sama Japs, saya juga pemakan mie. Mie apa pun. Sampai-sampai kalau makan di resto yang sebesar apa pun, yang nyediain menu macem apa pun, jatuh-jatuhnya milih mie juga. Payah deh. Sampai saya sering diomelin, ‘percuma ngajak ke resto macem-macem, pasti uumm — ujung-ujungnya milih mie — 😀
Lah, katanya Japs suka makan enak, ternyata kok santapan wajib dan top menunya mie instan. Jadi yang dimaksud makanan enak itu mie instan to Japs? Hihihi …. saya pikir sirloin steak, kaviar, sirip ikan hiu, atau kepala ikan paus, gitu … 😀 😀
Memang terlalu banyak makan mie instan nggak bagus. Tapi apa bedanya mie instan dengan mie kering biasa yang masih harus dimasak itu? Kalau mie basah, bahan pengawetnya borax, sama saja lah Japs.
Emang bener, kalau jam dua belas malam perut meronta, paling gampang ya ditenangkan dengan mie goreng instan. Cukup dengan Rp. 1000,- , dalam 5 menit …. adakadabra! Hidangan ‘santap malam banget’ terhidang …
Kalau saya sih yang namanya sarapan atau makan itu ya makan nasi. Kalau belum makan nasi rasanya belum bisa dianggap sebagai makan. Jenis yang lain-lain hanya sekedar selingan atau pengganjal perut untuk sementara saja. Entah itu karena perasaan saja atau memang perut ini mantepnya ya diisi nasi komplit plus lauk pauknya baru bisa tenang.
Tuti :
Siip, perut nasi tulen, mas Mufti. Terbukti kan, bahwa makan itu bukan hanya soal mengisi perut dengan bahan makanan, tapi soal budaya. Budaya nasi ya nggak bisa diganti dengan budaya sagu atau budaya spaghetti. Monggo mas, silahkan pilih nasi dari beras rojolele, C4, pandanwangi, menthik, atau beras Jepang yang menul-menul itu …
Tut, ninggalin kantor empat hari, kerjaan jadi numpuk segunung. Yang mau jumpa juga agaknya sebaris. Belum sempat mikir Kesan Penang, maka kerjain yang gampang…. koment di re-posting nya Tuti aja.
Memang, gandum memang lebih bergizi dibanding beras. Jadi nggak apapa, kita makan gandum. (Kata orang dulu, yang namanya makan ya makan nasi).
Tentang beras……ekspor-impor adalah transaksi, dan bangsa kita paling getol dengan namanya komisi. Tanpa transaksi, tak ada komisi. Bila perlu barang yang diimpor itu diekspor kembali. Lucu ya !!
Tentang politik Tebar Pesonaaaaa, ya namanya juga USAHA !!
Tuti :
Percaya Bang, namanya juga pejabat eselon IV, ninggal kantor 4 hari pasti membuat banyak orang antri mau menghadap. Tapi kantor beres-beres aja toh Bang? Nggak ada kudeta gitu 😀 😀
Eh, apa bener gandum lebih bergizi dari beras, Bang? Pantes aja lah, orang Barat yang makannya gandum dan keju mampu menjajah kita sampai berabad-abad …
Tentang ekspor yang diimpor kembali, saya pernah baca juga. Banyak itu, Bang. Kita ekspor minyak mentah, impor minyak siap konsumsi. Ekspor karet mentah, impor barang sintetik dari karet. Sama seperti kalau kita pergi ke luar negeri, beli oleh-oleh yang ternyata bikinan bangsa kita sendiri 😦
Politik tebar pesona? Kalau Bang Sis tebar uang saja ya, ntar saya yang mungutin … 😀 😀
Tuti :
Ada juga ‘kali. Susu bubuk kita kayaknya masih impor juga …
apa aja dimakan yang penting kenyang
apa aja dimakan yang penting ga lapar
apa aja dimakan yang penting ga salah makan
apa aja dimakan yang penting halal…
halah heheheheeee
Tuti :
Enaak …. cemplungin aja beras, daging, telur, ikan, sayur, dan bumbu-bumbu, aduuuuk jadi satu, langsung disantap. Kayak apa rasanya? Mbuh gak eruh … 😀 😀
kalau kata ernut saya abdul buthun alias hamba perut alias pemakan segala, artinya saya tidak akan menolak apapun makanan yang disajikan…qiqiqi…kebangeten tenan ya ?
asal tidak bikin perut senep kemudian menghadirkan sakit ndangdut alias mansyur S alias diare…
asal yang ‘maringi’ maem ikhlas wal afiat…
apapun makanannya….minumnya….
Jadi, kalau besok saya jadi mampir ke rumah Mbak Tuti(k), jangan sungkan2 bila di dapur cuma ada mie instant…bahkan saya tak sungkan disuguhi mentahannya, saya masak sendiri toh…gampang kok…(tamuyangnekat)
Tuti :
Syukur …. enak bener kalau tamunya kayak Mbak Ayik. Silahkan kuras dan korek-korek isi kulkas dan semua yang ada di atas meja makan saya, semua boleh disantap. Kalau masih kurang, saya borongkan makanan di warung sebelah … (tapi tagihan harap dibayar sendiri …. 😀 )
Kalau lihat blog Mbak Ayik dan Mbak Ernut, memang isinya makanan segala macam, dari sirsat (yang ilang), mie godog sampe kentang ireng … Hidup makan!!
Rupanya makan itu memang tidak sekedar memenuhi tuntutan perut karena lapar yah.. banyak unsur yang mempengaruhi pola makan seseorang atau sekelompok orang.
Btw, makanan favorit mbak Tuti apa?
mie juga?
‘perut nasi’?
atau seperti saya, pemakan segala? 🙂
Tuti :
Favorit saya mie, tapi saya omnivora, pemakan segala yang bisa dimakan (tapi tidak termasuk ‘makan hati’ …. soalnya itu bikin kurus dan cepat tua … hehehe ).
Saya nggak ‘perut nasi’ amat. Kalau sudah makan kue atau camilan yang lain, nggak makan nasi juga nggak apa-apa. Gampang, pokoknya. Jadi jangan khawatir kalau mau mentraktir saya … 😀
Saya denger ada penelitian yg akan di-implementasikan dalam skala nyata mengenai substitusi bahan gandum dari singkong. Mudah-mudahan jadi kenyataan dan sukses ya Bu, supaya kita tidak terlalu tergantung pada impor.
Salam.
Tuti :
Wah, baguslah itu Pak. Mudah-mudahan sukses. Ya iyalah, mosok kita impor segitu banyak gandum setiap tahun. Kalau dolar naik kayak sekarang ini, kan kita mbayarnya klepek-klepek …. (*kayak ayam disembelih*)
Terimakasih Pak
Wah….. yang ‘hidangan lezzaat seharga Rp. 1000,-‘ sebenarnya rasanya asik loh, tapi kayaknya sayang proteinnya masih kurang tuh, kecuali kalau sudah dicampur sama telur, atau mungkin mie-nya kali yang udah dicampur telur sebagai bahannya?
Tuti :
Iya Mas Yari, lupa nggak diceplokin telur. Habis itu masaknya sudah lewat tengah malam, jadi sudah terkantuk-kantuk 😦 .
Ngomong-ngomong, sudah pernah makan ceplok telur asin? Enak loh. Biasanya telur asin kan sudah direbus.
wahhh murah yah mbak seribu perak aja tuh hihhi
pengen deh
Tuti :
Memang murah. Apalagi kalu beli sama saya, ada bonus senyum manis … wakakaka
sy paling nggak suka dengan mie instan, banyak zat pengawet yg mengancam kesehatan tubuh masalahnya. lebih baik juga makan nasi tanpa lauk pauk jika kondisi ekonomi memang lagi seret…hihi
Tuti :
Asal nasinya putih, pulen dan wangi, dimakan dengan kecap atau parutan kelapa dicampur garam sudah uenaak sekali Uda. Pokoknya pasti bahagia deh (kayak motto hidupnya Uda Alex).
Ada beras pulen yang terkenal dari Sumbar, apa tuh, saya lupa nama daerahnya
Wah, tulisannya komprehensif sekali, Bu Tuti. Dan datanya itu, wuih, padat. Enak baca tulisan seperti ini. Dapat banyak hal.
Rupanya ini mentalitet makan yang kadung salah kaprah ya, Bu. Bangsa ini memakan sesuatu yang bahan dasarnya justru tak ada di dalam negeri. Seperti halnya tempe dan kedelai.
Tampaknya bukan persoalan mudah untuk “merevolusi” kebiasaan makan seperti ini. Hanya merasa ironis saja.
Masalah beras, apa boleh buat, makin kemari lahan pertanian makin sempit toh. Apalagi bakal ada jalan tol trans Jawa.
Tuti :
Betul, Mas Daniel. Kalo nggak salah, kebijakan impor gandum besar-besaran ini dulu dikeluarkan oleh almarhum Pak Harto, dan ijin impornya diberikan secara monopoli kepada Liem Sioe Liong, yang membuat taipan ini jadi kaya raya dengan Bogasari. Nah kalau kedele, awal-awalnya dulu kita nggak impor, tapi lalu konsumsi meningkat sementara produksi nggak meningkat, jadinya tempe pun sekarang bahannya impor. Ironis. Padahal dulu kita sering merendahkan tempe sebagai makanan rakyat kelas bawah …
Isue terbaru memang tentang ancaman ketersediaan pangan akibat menyempitnya lahan pertanian di Jawa dengan dibangunnya jalan tol trans Jawa. Tulis tentang itu dong, Mas Daniel.
Bangsa Kambing lebih aneh lagi Mbak…enggak nanam rumput malah tiap makan rumput he he…
Tuti :
Wakakakaka …… betul tuh. Lebih aneh lagi macan : nggak ngelahirin kambing tapi makan kambing … 😀 😀
Ha ha ha … asal jadi jangan pemakan segala. Sekalipun pola makan kita lebih kepada rasa, memang sebaiknya lebih dirasionalkan, dan … diadoni politik, nggak seru deh. Sebaiknya ditumbuhkembangkan dari akar lingkungan kali ya, dengan catatan memperhitungkan kemanfaatan bagi perkembangan manusianya. Kali aja.
Tuti :
Quote :
“Sebaiknya ditumbuhkembangkan dari akar lingkungan kali ya, dengan catatan memperhitungkan kemanfaatan bagi perkembangan manusianya.”
(*garuk-garuk kepala sambil celingukan* ….. maksudnya apa yak?)
Beginilah kalau penulis menulis komentar. Bahasanya tinggi (lebih tinggi dari Monas) 😀 😀
Terimakasih Bang EWA
“Kita memang bangsa dengan pola makan yang aneh. Kita sangat suka menyantap makanan dari terigu, bukan hanya dalam bentuk mie instan dan roti, tapi juga dalam berbagai variasi makanan lain. Padahal kita tidak pernah menanam gandum. Gandum yang kita konsumsi seratus persen diimpor dari negara lain.”
nuwunsewu Bu Tuti, ada juga kok petani kita yang menanam gandum, setahu saya ada di kec. Losari-kab. pasuruan, jawa timur. (sekitar 7° 53′ 43″ LS, 112° 53′ 56″). Lokasinya bagus dekat lereng tengger, bromo. Walaupun produksinya tidak banyak, tapi kan tidak 100% import :). Kapan2 bu tuti hrs ke sini biar reportasenya tambah lengkap.
Salam kenal, saya adik kelas ibu di ugm, tapi selisihnya jauuuuh sekali (12 tahun). Maturnuwun
Tuti :
Wah, maturnuwun informasinya, Mas Masykur. Saya baru tahu kalau di Pasuruan ada petani yang menanam gandum. Apakah hasilnya bagus dan menguntungkan secara finansial bagi petani? Kalau begitu, perlu disosialisasikan ke masyarakat luas ya, supaya lebih banyak lagi petani yang menanam gandum.
Salam kenal juga, senang sekali mengetahui ada adik kelas saya dari Pasuruan (meskipun mungkin tidak kenal langsung).
Kalau saya pemakan segalanya mbak dan kebetulan kalau makan nasi dan noodle bisa sebakul. Setelah saya tinggal di north america sebenarnya mie itu sangat bervariasi sekali, ada sticky rice noodle, atau rice noodle. Dan rasanya juga enak banget tuh. Sayang sekali jika Indoenesia yang negara agraris itu harus menghabiskan devisa untuk membeli gandum atau beras dari LN. Setidaknya kedepan kita bisa memanfaatkan hasil bumi indonesia untuk menjadi makanan pokok di negeri sendiri. Thanks
Tuti :
Makan nasi dan mie bisa sebakul? Hahaha …. hebat sekali Mbak. Tapi sebakul itu habis dalam sekali makan atau seminggu? 😀
Memang betul, sekarang sudah mulai digalakkan promosi diversifikasi bahan makanan. Tapi mengubah budaya makan yang sudah berlangsung berabad-abad itu juga bukan hal yang mudah. Ini menjadi tantangan bagi para ahli gizi dan pengolah bahan makanan, bagaimana caranya membuat menu makanan dari bahan alternatif yang mampu menarik selera masyarakat. Lebih penting lagi, mengubah mind-set masyarakat bahwa makan singkong, ketela rambat, ganyong, kimpul, dan sebagainya itu tidak menurunkan gengsi …
Apakah hasilnya bagus dan menguntungkan secara finansial bagi petani?
saya belum tahu bu…., lha wong saya bukan orang pasuruan, apalagi orang tosari … he.he.he
kebetulan saja pas lewat lihat tanaman gandum.
info lebih lanjut monggo bisa di search di google dgn keyword gandum tosari
tempat tinggal saya di sidoarjo bu, sering juga kontak dgn angkatan 79 (bpk. Sidik/surabaya dan bpk. Agus/jakarta).
Tuti :
Wah, ide petani Tosari menanam gandum itu sungguh brilian lho Pak. Darimana ya mereka mendapatkan bibitnya, mengetahui cara menanamnya, menggiling gandum menjadi terigu, dan seterusnya? Sungguh menarik untuk dilihat …
Oh ya, salam untuk Sidik dan Agus, kalau pas ketemu …
Kalau orang Thai sepertinya suka makan ketan, makan durian, mangga pakai ketan, sate dengan ketan, ayam goreng juga dengan ketan. Pisang goreng dibalut tepung ketan.. pokoknya jajanan pasar yang kalau di Indonesia menggunakan tepung gandum, beras, atau parutan ubi-ubian di sini menggunakan ketan… tapi tape ketan jarang ditemui.
Tuti :
Di Pekanbaru, orang makan durian juga pakai ketan. Tapi kalau makan mangga, sate, dll juga pakai ketan, saya baru tahu ada di Thailand. Konon, ketan kurang baik untuk penderita maag, apa betul?
Btw, bagaimana situasi keamanan di Thailand sekarang? Semoga pelajar dan mahasiswa Indonesia yang ada di Thailand tidak terganggu oleh situasi politik di sana ya …
lah pie sih mbak…masa dah laper suruh nanem gandum dulu…trus nanemnya di mana, di pekarangan tetangga aja kali ya…
trus bener juga tuh mbak, mie ntu palik asyiiik (di gado bisa, di rebus bisa, di goreng bisa… tambahan lagi kalo ada orang yang ngeselin, sebungkus mie juga bisa di pake buat ngelempar tuh orang biar kapokkk).
mbak saya gak sombong nie ya…saya klo makan cukup nasi sepiring terus lauknya soto, besoknya lauknya rendang, besok laginya lauknya sate (tapi semuanya rasa mie..he he) udah cinta mati sama mie kali ya…
Tuti :
Udah cinta mati sama mie? Iya tuh, keliatan kok …. sampe rambutnya keriting kayak mie …
Bagi mahasiswa (Jabrik mahasiswa bukan?) mie instan memang makanan paling praktis. Murah, enak. Tapi nggak boleh terlalu banyak lho, soalnya ada bahan pengawetnya yang nggak bagus untuk tubuh.
Eh, kalao ada orang ngeselin, terus kita lempar pake sebungkus mie, jangan-jangan malah ditangkap ya mienya …. tambah kesel dong kita ….
Setiap makhluk hidup butuh makan untuk mendapatkan sumber tenaga, mengobati berbagai macam penyakit, mempertahankan kondisi tubuh terhadap serangan penyakit, dan sebagai energi pertumbuhan. Kalau kurang memperhatikan pola makan, berbagai penyakit dapat menyerang tubuh. Untuk itu perlu mengatur pola makan yang sehat, agar tubuh selalu kuat, stamina terjaga, dan terhindar dari penyakit.
Pola makan yang sehat sebenarnya terletak pada perencanaan makan yang memenuhi kriteria tiga J (jumlah, jenis, dan jadwal makan).
1.Jumlah
Saat makan, jumlah kalori harus sesuai dengan kebutuhan. ”Sesuaikan jumlah kalori antara energi yang keluar, baik saat berolahraga atau beraktivitas, dengan energi yang masuk,”
2.Jenis
Yang harus dikonsumsi meliputi karbohidrat, protein, lemak seimbang, dan nutrien spesifik yang terpenuhi.
Karbohidrat kompleks terdapat pada beras, gandum, terigu, buah-buahan dan sayuran. ”Pilihlah karbohidrat dengan serat tinggi, dan kurangi karbohidrat simpleks yaitu gula, sirup dan makanan yang manis. Paling banyak mengonsumsi makan yang manis adalah 3-5 sendok makan per hari,
Kebutuhan serat per hari sebanyak lebih dari 25 gram atau 14 gram per 1000 kalori. Untuk menambah serat dianjurkan mengonsumsi buah dan sayuran minimal lima porsi sehari. ”Satu buah apel plus kulitnya sama dengan lima gram. Untuk memenuhi 25 gram per hari, sedikitnya mengonsumsi buah apel sebanyak lima biji,
Protein harus lengkap antara protein hewani dan nabati. Sumber protein hewani berasal dari ikan, ayam, daging sapi, kerbau, dan kambing. Susu merupakan sumber protein yang baik. Namun demikian, pilihlah susu yang tidak mengandung lemak (non fat) atau low fat. Sumber protein nabati terdapat pada kedelai, tempe, dan tahu.
Tubuh manusia juga membutuhkan lemak. Disarankan agar orang menghindari makanan yang berlemak dan goreng-gorengan. Memang, pengurangan lemak makanan mengakibatkan berkurangnya rasa enak pada makanan.
Jenis lemak yang dibutuhkan tubuh adalah asam lemak jenuh dan asam lemak trans kurang dari 10 persen, asam lemak tidak jenuh sebanyak 10 persen, dan asam lemak tidak jenuh ganda sebanyak 10 persen. Menghindari lemak jenuh sangatlah mudah. ”Ubahlah cara memasak. Dari menggoreng menjadi mengukus atau merebus,karena akan lebih sehat dan baik bagi tubuh kita
lemak mengandung kolesterol yang sangat tinggi. Sumber kolesterol terdapat pada sea food (makanan laut) selain ikan, jerohan, dan kuning telur. Konsumsi telur per hari seharusnya tidak lebih dari 300 miligram.
Sementara itu, sumber vitamin dan mineral terdapat pada vitamin A (hati, susu, wortel, dan sayuran), vitamin D (ikan, susu, dan kuning telur), vitamin E (minyak, kacang-kacangan, dan kedelai), vitamin K (brokoli, bayam dan wortel), vitamin B (gandum, ikan, susu, dan telur), serta kalsium (susu, ikan, dan kedelai).
3.Jadwal
Jadwal makan harus teratur dengan baik dan tepat waktu.Jangan membiasakan diri dengan menu mie instant,karena sekali anda makan mie instant diperlukan puasa 3hari untujk menetralisir racun yang sudah terserap oleh tubuh kita
Mungkin itu saja tips and trik dari saya semoga bisa memberikan mannfaat buat kita semua
Andrean El-Fachri
http://andreanelfachri.wordpress.com
[…] rice importer in the world, we imported around 50% of the world rice stock. (Info taken from Tuti Nonka’s Veranda). I Hope the government can solve this problem […]
saya juga suka pare,
ayo gabung sama penggemar pare lainnya di fan page Pare:
https://www.facebook.com/AkuSukaPare
ditunggu yaa 😀