SAMPAI DIMANAKAH TINGKAT KEBUTUHAN KITA?
Jika anda bertanya pada seekor ayam, apakah ia ingin dicintai oleh pemiliknya, atau apakah ia ingin mainan, dijamin ayam tersebut akan bengong (dan lebih bengong lagi orang yang melihat anda mewawancarai ayam … ).
Ya, ayam tidak peduli apakah pemiliknya memberi ia nama kesayangan, atau menyediakan kandang yang wangi untuk tinggal. Tapi seekor anjing, atau kucing, selalu tahu kalau ia dicintai tuannya, selalu senang diajak bermain atau diberi mainan. Seekor gajah akan sedih dan menderita jika diusir dari kelompoknya. Meskipun bisa mencari makanan sendiri, gajah adalah binatang yang hidup secara komunal, dan ia membutuhkan lingkungan sosial untuk merasa bahagia.
Wajah bahagia anjing dan kucing yang merasa dicintai tuannya
Binatang dengan kecerdasan tinggi tidak hanya memiliki kebutuhan fisik-biologis, tetapi juga kebutuhan mental-psikhis. Nah, bagaimana dengan manusia, yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling cerdas?
Apa sih kebutuhan hidup kita?
Bernafas, makan, tidur. Dengan tiga hal itu, kita sudah bisa hidup. Cukupkah? Oh, tidak! Kita juga butuh pakaian, rumah, dan ‘berhubungan’ dengan lawan jenis. Memang, tanpa tiga yang disebut terakhir ini manusia masih bisa hidup, tetapi tentu hidup yang ‘mengerikan’ …
Mau hidup seperti nenek moyang kita di zaman batu ini?
Abraham Maslow, seorang psikolog, memperkenalkan A Theory of Human Motivation pada tahun 1943. Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat paling dasar adalah kebutuhan fisik, sebagaimana sudah disebutkan di atas : bernafas, makan, tidur, seks, pakaian, dan rumah.
Jika kebutuhan fisik sudah terpenuhi, maka orang memiliki kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu rasa aman. Sejumlah tabungan yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, pensiun yang menjamin kehidupan di hari tua, rumah yang aman dari banjir, lingkungan yang aman dari kejahatan, negara yang aman dari penindasan.
Cukup? Oh, beluum …
Sesudah perut kenyang, tinggal di rumah bagus, punya simpanan emas segudang, orang akan mencari teman. Tanpa memiliki kehidupan sosial, orang akan kesepian dan menderita. Lingkungan sosial dalam lingkup kecil adalah keluarga, dan dalam lingkup luas adalah masyarakat. Bukan sekedar hidup dalam lingkungan sosial tertentu, orang juga butuh diterima kehadirannya, dicintai dan mencintai. Cinta adalah sumber energi yang luar biasa. Tak hanya cinta sepasang kekasih, cinta antara orang tua dengan anak, tetapi juga cinta dalam persahabatan. Sahabat dan teman adalah kebutuhan manusia yang tak bisa digantikan oleh harta maupun jabatan. Tak heran, facebook menjadi jaringan sosial yang begitu fenomenal. Facebooker berlomba-lomba meng-add teman, berhai-hai, ngobrol dengan teman-teman dari seluruh penjuru jagad maya …
Cinta kasih keluarga dan sahabat adalah sumber kebahagiaan yang tiada tara
Menurut Maslow, level kebutuhan keempat sesudah kebutuhan fisik, rasa aman, dan lingkungan sosial, adalah rasa dihargai (esteem). Rasa diri berharga ini bisa muncul dari dalam diri sendiri, bisa juga datang karena pengakuan orang lain. Sebagian orang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tahu betul kemampuannya, dan mereka menaruh penghargaan pada diri mereka sendiri. Sebagian yang lain inferior, tidak percaya diri, dan memandang diri mereka rendah.
Tak sedikit orang yang berupaya mati-matian untuk memperoleh popularitas dan kemewahan, karena keinginan yang besar untuk dihargai oleh orang lain. Itulah sebabnya segala kontes ‘Idol’ selalu laku keras dan menimbulkan histeria. Demikian juga, orang mau melakukan apa saja untuk menjadi artis terkenal …
Level tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri.
Sahabat saya, seorang wanita yang cantik, cerdas-brilian, multi talented, memiliki keluarga sempurna dengan suami yang sangat baik dan anak-anak yang sehat-lucu, dan secara ekonomi berlimpah, diam-diam menyimpan kegelisahan yang mendalam. Karena situasi dan kondisi, ia menjalani hidup sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Sudah pasti ia sangat mencintai suami dan anak-anaknya, ia juga bahagia mengurus keluarganya, tetapi ia merasa tidak puas dengan hidupnya. Ia tidak bisa mengaktualisasikan dirinya secara penuh. Sebenarnya dia bekerja part time, tetapi energinya yang demikian besar tidak cukup tersalurkan hanya dengan bekerja paruh waktu. Ia memiliki potensi yang besar dan beragam, ia yakin bisa mencapai prestasi tinggi di berbagai bidang, tetapi ia tidak dapat mengaktualisasikannya, karena ia memiliki beberapa anak balita yang harus ia urus dengan tangannya sendiri.
Maka, barangkali bisa dimengerti jika ada seorang wanita umur 49, yang sebenarnya sudah memiliki hidup dan pekerjaan mapan, tiba-tiba bimbang dan gelisah karena memiliki keinginan yang aneh bin ajaib : belajar menari, belajar menyanyi, belajar melukis, belajar musik, bahkan belajar menerbangkan pesawat terbang …
Mungkin teori Maslow sedang berlaku bagi dirinya …
Manusia memang tidak pernah puas ya, mbak…
Aku juga mungkin sedang dalam tahap aktualisasi diri… akan kemanakah aku ini.
Tapi yang pasti kenyataan harus dijalani…. dan tanggal 17 nanti aku harus menyongsong kenyataan itu, dan menjalaninya. Sampai bertemu satu tahun lagi ya mbak.
EM
Tuti :
Manusia tidak pernah puas …. hmmm …. bisa ‘ya’ bisa ‘tidak’. Mungkin tergantung pada ‘siapa’ dia. Ada orang-orang sederhana yang memang tidak banyak memiliki keinginan, dan cukup puas dengan kesederhanaan mereka. Kita, mungkin termasuk orang-orang yang ‘tidak sederhana’, sehingga selalu ingin mencapai sesuatu yang lebih. Nggak apa-apa, ingin mencapai sesuatu yang lebih syah-syah saja kok …. 🙂
‘Tapi yang pasti kenyataan harus dijalani’ …. aduh, bacanya kok sedih Mbak … ihiks 😦
Ayo Mbak, kita sama-sama melangkah ke depan, dengan senyum dan semangat 🙂 🙂
Ya, kita baru bisa ketemu setahun lagi ya. Menyesal sekali pada mudik Mbak Imel kali ini saya nggak bisa ketemu. Apalagi baca di blog Mbak Imel, Mbak kopdar dengan banyak teman-teman, sementara saya nggak bisa ikut … 😥
Hahaha, judul tulisan mbak Tuti kali ini langsung mengingatkan saya pada kedua putra saya. Saya sering menanyakan hal tsb, terutama bila melihat wajah mrk mulai ditekuk. Hahaha…tapi permintaan mrk selama ini Alhamdullillah masih bisa dikabulkan, krn masih sebatas permintaan bocah.
Tapi sayangnya bila pertanyaan itu dilemparkan kpd diri saya, wow…jawabannya mbak, pasti tidak akan habis tiga hari tiga malam mbak saking banyaknya….Gile bener….Tapi banyak yg masih sebatas mimpi / cita-cita, meski terkadang muncul juga obsesi utk meraihnya…hahaha
Iyach itulah mbak manusia memang benar seperti mbak Imelda bilang, tidak pernah puas. Jadi teringat juga sebuah buku yang mengupas masalah rasa puas & kapan manusia ini mencapai rasa puas itu sendiri, kalau ndak salah judul bukunya “When enough is enough ?”. Pengarang nya lupa.
Yach mungkin suatu sa’at, pada masa yang sudah tepat kita bisa mewujudkan mimpi / cita-cita kita yach mbak, kalau saya jalani aza dan berusaha untuk tetap enjoy dan senantiasa bersyukur.
Mbak, terkadang kangen juga pengen cerita panjang lebar sama mbak Tuti dlm banyak hal. Sayang krn jarak & kesibukkan masing2 terkadang jadi kendalanya. Hem, mungkin suatu hari kita bisa saling curhat….Olalala….
Ok, mbak Tuti sekian dulu obrolan pagi kita, selamat beraktivitas kembali, semoga sinar mentari yang hangat selalu menghangatkan hati & memudahkan langkah kita sepanjang hari ini, see you 🙂
Best regard,
Bintang
Tuti :
Wah, syukurlah kalau Mbak Elinda selalu bisa memenuhi keinginan kedua putra Mbak. Saya rasa, keinginan yang paling mendasar dari anak-anak adalah kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Jika waktu terbatas, maka kualitas tentunya harus dimaksimalkan ya. Saya yakin di antara kesibukan kerja Mbak Elinda yang begitu padat, pasti kualitas hubungan dengan kedua putra dapat selalu dijaga 🙂
Butuh tiga hari tiga malam untuk membicarakan keinginan-keinginan Mbak Elinda? Waduh, lalu untuk mewujudkan keinginan-keinginan itu, butuh berapa lama ya … 🙂
Suatu saat kita pasti bisa bertemu untuk ngobrol bareng Mbak, entah Mbak Elinda pas ke Yogya atau saya pas ke Jakarta.
Saya belum baca buku “When enough is enough”. Besok coba saya cari deh …
Oke, terimakasih obrolan paginya Mbak, selamat melanjutkan bersibuk-ria. Sukses ya!
salam hangat 🙂 🙂
Hhmmm …
Ya level maslow yang tertinggi adalah Aktualisasi diri ..
Proses untuk meng-aku-kan … seorang aku …
dan saya pikir setiap orang pasti berbeda cara mengaktualisasikan dirinya …
ada yang harus berkarya … menghasilkan sesuatu yang tanjibel dan diakui orang …
ada pula yang cukup dengan menulis sesuatu di blog pribadinya …
but apapun itu …
adalah sah-sah saja untuk mengaktualisasikan dirinya selama itu sejalan dengan norma dan nilai yang berlaku
Salam saya ibu
Tuti :
Setuju Om. Menulis di blog pun adalah bentuk aktualisasi diri. Dan menulis di blog adalah suatu karya yang tidak semua orang bisa lho Om. Apalagi seperti Om, yang bisa setiap hari melahirkan tulisan (melahirkan? kapan hamilnya? 😀 )
salam saya juga Om …
wow…..saya koq jadi merasa sangat “egois” yah?
he he he…tapi sah2 saja koq berapa juga umur seseorang untuk mempelajari sesuatu yg baru….apalagi untuk self esteem……
Tuti :
‘Egois’? Loh … kok?
Ya, jangan menjadikan umur sebagai hambatan untuk mulai belajar. Never ending learning … 🙂
Ah, mbaca tulisan ini tiba2 terbesit ingatan soal tulisannya Paulo Coelho bahwa cinta kasih adalah jembatan untuk hal-hal yang tak mungkin (dijembatani).
Selamat berakhir pekan, Bu Tuti..
Peluk Jogja untuk saya ya 🙂
Tuti :
Don, pinjami dong buku Paulo Coelho itu …
Selamat berakhir pekan juga (eh, di Ostrali akhir pekannya Sabtu Minggu juga kan … *gebleg* 😀 )
Peluk Jogja untukmu? Hwadooh … meluki satu-satu dari gunung Merapi sampai Parangtritis? Mati aku Don … 😥
wah, tulisan Bu Tuti memang selalu menarik…
“Cinta adalah sumber energi yang luar biasa”
saya terkesan dengan kalimat ini…benar-benar mendalam, Bu…
salam,
nana
Tuti :
Terimakasih Na … (perlu ukur kepala nih, kayaknya tambah gede … 😀 )
Memang cinta adalah sumber energi, kalau nggak, mana sanggup seorang wanita hamil dan melahirkan …
salam juga, Na.
Cerita singkatnya adalah, mohon maklumi diriku yang memiliki banyak keinginan aneh-aneh bagi orang seusiaku. Saya memakluminya bu Tuti. Monggo kalau mau belajar lain-lain. Mungkin perlu ditambah satu keinginan lagi, membuat komik Manga dengan cerita suka duka kehidupan mahasiswa. Ha ha ha. Maklum ada pengalaman panjuang menjadi mahasiswa. Piss bu. 🙂
Tuti :
Wakakak ….. ! 😀 you got the point, Sir!
Tentang komik, waktu SMP saya pernah bikin lho Pak. Dulu bikinnya di kertas manila putih, gambar tangan pakai pen dan tinta OI. Ceritanya roman cinta. Gambar saya bagus lho Pak (ck, ck, ck …), nggak kalah sama komik Rizaldy dan Yan Mintaraga. Sumpe! Sayang komiknya nggak saya simpen, jadi sekarang nggak bisa pamer …. 😀
Kadang manusia tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, apalagi sampai pada taraf aktualisasi diri.
Namun paling tidak kebutuhan minimal untuk hidup bisa terpenuhi dan juga sudah harus disyukuri.
Saya dah punya rumah baru lho nduk, kok pernah nongol tho, padahal dimana-mana saya lihat ada komentarnya.
Salam hangat dari pakde di Surabaya.
Tuti :
Betul, Pakde. Kalau kita lihat di sekitar kita, masih banyak saudara dan tetangga yang untuk mencukupi kebutuhan fisik saja masih susah. Ee … lha kok ada juga yang petingkrikan nggak tahu diri punya keinginan macem-macem (ihiks … jadi merasa berdosa nih … 😥 )
Wah, sugeng nglenggahi dalem enggal, Pakde 😀 … nyuwun gunging samodra pangaksami dalem dereng sowan. Sangunipun tasih cupet Pakde … 🙂
Inggih, meniko kulo lajeng mbladhat mriko … cepak-cepak suguhan njih Pakde 😀
Betul, mbak. Itulah yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat. Setelah kebutuhan tingkat bawah dipenuhi, ia akan melirik tingkat diatasnya. Begitu seterusnya. Dan menurutku, justru itulah yang membuat hidup ini makin seru. Kalau kita hanya puas dengan rumah bagus, makan enak dan keluarga yg mencintai, kita tentu akan berhenti sampai di situ, dan mungkin di masa tua kita akan bosan.
Tuti :
Fanda, memang betul kebutuhan manusia (jika dituruti) tak ada batasnya. Kita sendiri yang harus bisa menentukan, sampai dimana kita ‘pantas’ mengejar pemenuhan kebutuhan itu. Dan jangan lupa untuk selalu bersyukur sampai di tahap apa pun kebutuhan itu bisa terpenuhi. Setuju?
Tentang segitiga (atau piramida?) Maslow ya..
Nice, tante! Hihihi. Saya dari tadi mengangguk2, menyetujui..
Btw kayanya cuma tante Tuti deh yang punya pikiran mo ngewawancara ayam..
Klo saya, mending dimakan aja dehh..
Tuti :
quote : Klo saya, mending dimakan aja deh..
Ha? Dimakan ayam? Kalau saya nggak deh, mosok manusia dimakan ayam …. (*Narpen garuk-garuk kepala : kok tante ini bego banget sih*) 😀
Eh tante, baru baca jawaban komen yang di atas..
Saya juga dulu (pas SMP) pernah bikin komik lho tan.. tapi gak selesai, susahh, hahaha.. bikin komik itu butuh skill menggambar di atas rata2 (karena dituntut bs gambar berbagai gaya -yg mana saya angkat deh). Saya jadi tergoda melihat karya tante nih 🙂
Bikin lagi tann…
Tuti :
Komik saya dulu juga nggak tebal kok, cuma sekitar 20-an halaman. Capek nggambarnya. Sekarang kalau disuruh bikin lagi, tangan saya sudah kaku, nggak bisa nggambar bagus lagi (halah, alasan … 😀 ). Lagipula jaman sekarang bikin komik kan sudah pake komputer, lha saya jelas k.o …
Narpen aja yang bikin lagi, kan komputernya jago.
Yang namanya belajar memang tidak kenal usia ataupun waktu. Selagi kita punya kesempatan yang masih terbuka untuk belajar, rasanya tak ada salahnya mengambil kesempatan itu. Pelajaran yang berharga bisa kita dapatkan dimana saja.
Apa iya ya, semakin bertambah umur maka akan semakin aneh2 pula keinginannya?? Ah, entahlah. Saya sendiri juga masih belajar kok…
Tuti :
Seharusnya, semakin tua orang jadi semakin arif. Belajar untuk masuk surga, gitu. Kalau ada orang yang semakin tua semakin aneh-aneh keinginannya, pastilah dia memang manusia aneh … 😀
Hmmm…”Aktualisasi diri”….menjadi kebutuhan tertinggi menurut Maslow…?? (Betul, betul … sambil manggut2 setuju)
Mbak…disyukuri ya… kita punya suami yang menghargai potensi kita (…he..he…walau saya cuma bakulan …), sehingga kita bisa terpenuhi kebutuhan tertinggi.
Nah….kalau persoalan mau setinggi apa… itu never ending ya mbak…. asal kita sesuaikan saja.
Dan yang penting …. apa apa yang kita miliki, seberapapun … kita bisa menikmati bersama keluarga …
Tuti :
Setuju Mbak Dyah, kita harus bersyukur punya suami yang membebaskan kita mau ngapain aja (soalnya kita kan juga isteri baik-baik … hehehe 😀 ). Bayangkan kalau kita nggak boleh ke luar rumah, nggak boleh bekerja, nggak boleh ngeblog, waduuh …. apa nggak menderita 😦
Ya, belajar atau upaya mencapai sesuatu yang lebih adalah never ending process. Menurut ajaran kita, belajar kan mulai dari ayunan hingga ke liang lahat …
the world is rotting
Tuti :
Hmm … yes indeed
wawancarai ayam…..?
emang bisa ya….,
Tuti :
Belom tau ya? Bisa kok. Coba aja jadi ayam … 😀
Manusia itu nggak ada puasnya. Setelah berhasil mendapatkan sesuatu, dia ingin mendapatkan yang lebih tinggi lagi.
Tuti :
Sampai manjat naik tangga ya Mas …. 😀
Mbak Tuti, justru karena itulah saya mau menerima tawaran mengajar, yang bisa memberikan sharing kepada adik-adik, siapa tahu pengalaman saya berguna. Kalau dilihat dari capek dan hasilnya sih hanya fifty-fifty, namun kepuasan nya itu lho.
Juga menulis di blog, walau saya akui belum sesuai yang saya inginkan, seharusnya juga bisa menjadikan sharing pengalaman, sharing ilmu pengetahuan …. mungkin kalau seumur saya harus lebih banyak berpikir untuk memberi … memberikan waktu kita untuk kebaikan, atau pengalaman yang bermanfaat.
Tuti :
Mbak Enny, sebenarnya saya juga suka mengajar. Tapi kalau melihat hasil ujian mahasiswa saya, dimana yang lulus dengan nilai maksimal A hanya beberapa orang, dan lebih buanyaak yang C atau D, bahkan E, saya kadang-kadang merasa lelah. Sepertinya saya bukan pengajar yang baik, sepertinya juga segala upaya saya untuk menyampaikan ilmu kok sia-sia, lha wong akhirnya pada nggak menangkap apa yang saya sampaikan. Memang sih, mata kuliah yang saya asuh, yaitu Mathematika Differensial-Integral, cukup sulit difahami apalagi oleh mahasiswa yang basic mathematikanya kurang kuat.
Ya, bagi saya menulis di blog adalah kenikmatan yang tiada tara, karena saya bisa menuangkan apa saja yang ada di hati dan pikiran saya, yang itu hampir tidak mungkin saya sampaikan melalui media lain. Apalagi jika mengetahui dari data statistik bahwa tulisan itu dibaca oleh cukup banyak orang. Berarti misi saya tersampaikan.
MERDEKA !!!
Kemarin kita se Tanah air di bumi Indonesia dan orang2 Indonesia di bumi tetangga lainnya telah merayakannya……
Tidak usah muluk2 kebutuhan tertinggi “aktualisasi diri”… atau mungkin KEBUTUHAN LEVEL ke-4 (RASA DIHARGAI) dapat terpenuhi …..
Diluar semua TEORI tersebut, ternyata banyak diantara qta yg masih melupakan hal2 remeh temeh (sbg bagian dari kebutuhan Qta dan Orang lain???) yaitu…….
UCAPAN TULUS ” TOLONG – TERIMA KASIH – MAAF” (TTM)
Pengabaian atas “TTM” dapat membuat konflik, baik dalam skala kecil atau besar.
Pertanyaan ini berat bunda…
Keinginan itu tiada batas, tapi memuaskan hati dengan cinta Sang Penguasa biasanya menyadarkan saya kembali, apa yang sebenernya saya kehendaki. Back to track.. focus again 😉
Tuti :
Memuaskan hati dengan cinta Sang Penguasa
Back to track … focus again
Wow … top markotop Ka. Boleh nyontek kan? 😀
kegalauan hati….
kelihatannya tak mengenal
usia dan status….,
tiba-tiba saja kita
bisa begitu mellow…,
kadang bertingkah sprt
anak-anak…….
btw, keinginan jg
sering fluktuatif
dan cinta pd pasangan pun
bisa tiba-tiba luntur……..
Tuti :
Cinta pada pasangan bisa luntur? Kayak sarung tenun ya Bang, bukan “dijamin tidak luntur” tapi “luntur tidak dijamin” …
Memang tidak mudah mempertahankan cinta pada pasangan, apalagi kalau banyak godaan dan iman tidak kuat. Makanya, cinta harus selalu dipupuk, agar terus tumbuh dan berbunga. Setuju, Bang? 🙂
Bulik Tuti yang baik, saya punya kawan di fk uns, Prof Dr Bambang Suprapto, MSi, ia “pengikut” Maslow. Ia ahli ilmu Gizi, lulusan Inggris. Secara pribadi ia orang baik. Jika etnis Jawa, ia pasti dapat jadi Rektor uns! Ia etnis Cina, maka jadi Dekan pun sulit.
****
Dalam konteks kebutuhan manusia, saya lebih setuju dengan Ralph Linkton, dari pada dengan Maslow.
Linkton mengajarkan bahwa ada tiga kebutuhan pokok setiap individu; yaitu (1) respons emosional dari lingkungan. Kebutuhan ini tak boleh ditawar: “bayi yang fak dicintai akan mati”, (2) jaminan akan masa depan. Banyak orang yang tahan hidup dalam kesulitan, tapi tetap berani hidup dan berjoang sampai kemungkinan terakhir; yaitu selama mereka masih punya harapan. Muhammad Rum menukil pepatah Belanda: siapa yang masih punya harapan, masih punya segalanya (lihat Kompas, 1980-an awal), dan (3) kebutuhan akan pengetahuan baru. Maka, banyak orang yang memilih membeli buku, koran, majalah berita, internet, pesawat radio dan tv; meskipun harus mengurangi jatah makan dan pakaiannya. Yaitu, karena pengetahuan baru adalah kebutuhan pokok.
****
Saya baca buku Linton itu pada 1970-an awal: Latarbelakang Kebudayaan dari Kepribadian (penerjemah Fuad Hassan). Fuad adalah satu dari guru-guru saya jarak jauh; 1970-an awal sampai 1980-an akhir. Hampir semua buku yang ia tulis, saya pelajari serius: khususnya Apologi Sokrates (1970-an).
Saat Pakdhe dikirim ke Kuwait sebagai dubes RI di sana; ada pesta di cendana (1980-an); dan saya di rumah Klaten, mendapat kiriman dari Pakdhe, dua bungkus rokok yang ada capnya “Istana” (tanpa bandrol dari dinas pajak). Itu maksudnya, mungkin, saya boleh “lari” ke Kuwait.
Fuad sebagai menteri p dan k, berkomentar di Kompas: “Rokok itu mengandung racun, yang dapat menyebabkan kanker paru-paru”. Saya tahu, apa arti implisit alarm dari Fuad itu (“Istana” adalah “racun”). Mungkin hanya kebetulan, Fuad akhirnya sakit kanker paru-paru dan meninggal. Ia perokok 234 klas berat.
Maaf nggladrah, Bulik! Nuwun
For the sake of my responsibility
I have written the truth, so hear me
Assalamualaikuna
ruwihadi
Perumnas Majasanga, indpnesia
revolution
v