Setelah umat Islam di Indonesia ‘tersenyum’ dengan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1431 H (2010 M) pada tanggal yang sama, Hari Raya Idul Adha tahun ini kembali dirayakan pada tanggal yang berbeda. Sebagian sudah sholat Ied pada tanggal 16 November, sebagian lagi baru pergi ke masjid pada tanggal 17. Penyebab perbedaan ini, sebagaimana pernah saya ulas di “Minggu Atau Senin” adalah perbedaan cara penentuan tanggal, yaitu dengan cara hisab dan rukyah.
Ada satu artikel menarik yang saya baca di harian Kompas (16 November), yang membuka wawasan baru bagi saya, sehingga ingin saya share di sini. Bagi teman-teman yang sudah sempat membacanya juga, mungkin bisa ikut urun pendapat.
Selama ini, ternyata banyak dari kita (khususnya saya … 🙂 ) yang mencampur adukkan antara sistem kalender Masehi yang berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari, dengan sistem kalender Hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Tanggal (dan perbedaan waktu) pada sistem kalender Masehi ditentukan berdasarkan garis bujur, yaitu garis yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan, dengan titik nolnya di Greenwich (Inggris). Indonesia terletak di Bujur Timur, sehingga kita melihat matahari lebih dahulu daripada orang Inggris. Waktu Indonesia (untuk WIB) lebih cepat 7 jam dari Greenwich, dan lebih cepat 4 jam dari Makkah (Arab Saudi).
Nah, jika dihitung dengan sistem kalender Hijriyah, perbedaan waktu itu tidak mengikuti garis bujur, melainkan mengikuti garis ketinggian hilal 0 derajad. Ohya … hilal adalah kenampakan bulat sabit pertama, yang menandakan awal bulan baru. Menurut logika kalender Masehi, waktu di Indonesia selalu lebih dulu 4 jam dari waktu di Makkah, sehingga kalau Arab Saudi sudah merayakan Idul Adha, maka Indonesia seharusnya juga sudah. Tetapi berdasarkan garis ketinggian hilal yang dipakai sebagai dasar pada kalender Hijriyah, waktu Arab Saudi dan waktu Indonesia bisa sama, lebih cepat, atau lebih lambat.
Garis bujur (vertikal bengkok-bengkok) yang memisahkan tanggal 6 November 2010 dan 5 November 2010, dan garis ketinggian hilal 0 derajad yang melintang di atas Indonesia, Asia selatan dan Afrika utara (foto : Kompas)
Dari gambar di atas terlihat bahwa dua tempat yang terletak di garis bujur yang sama, yang menurut sistem kalender Masehi memiliki waktu sama, dalam sistem kalender Hijriyah bisa memiliki waktu yang berbeda. Garis kalender Hijriyah memiliki 235 variasi yang berbeda setiap bulannya. Garis penanggalan bulan ini akan kembali ke tempat yang sama dalam kurun sekitar 19 tahun. Satu lagi yang berbeda, kalender Masehi dimulai sesudah tengah malam (jam 00.00), sedangkan kalender Hijriyah dimulai sesudah matahari tenggelam.
Rumit? Sebenarnya menarik, bagi yang suka Astronomi (seperti saya … 😀 ). Tapi supaya teman-teman tidak keburu hengkang dari posting ini karena bosan, iya deh … saya sudahi saja penjelasan tentang sistem kalender Masehi dan Hijriyah (yang sebetulnya baru sekelumit).
Orbit bumi, bulan, dan matahari (foto : dipinjam dari sini)
Bulan sabit di atas ufuk (foto : dipinjam dari sini)
Hari Raya Idul Adha berkaitan erat dengan ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban. Haji adalah ritual ibadah bagi umat Islam yang dilaksanakan di Makkah, Saudi Arabia, pada tanggal tertentu. Adapun penyembelihan hewan qurban dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia, juga pada waktu tertentu, yang beriringan dengan pelaksanaan ibadah haji.
Jika dirunut dari sejarahnya, qurban pertama kali dilakukan oleh dua putra Adam, yaitu Habil dan Kabil. Habil memberikan qurban berupa hasil bumi, sedangkan Kabil berupa hewan ternak. Selanjutnya, qurban yang hingga sekarang dijadikan acuan, adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Perintah ini adalah untuk menguji keimanan Ibrahim, dimana setelah Ibrahim menunjukkan kepatuhannya kepada perintah Allah, penyembelihan Ismail diganti dengan domba. Qurban yang sudah diganti wujudnya dengan hewan ternak ini diikuti oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan perintah Allah dalam Al Qur’an, yang diteladani oleh umat Islam hingga sekarang.
Jika dulu Ismail diganti dengan domba, maka sekarang hewan kurban boleh berupa kambing, sapi, kerbau, atau unta. Itulah jenis binatang ternak yang boleh dijadikan qurban. Ayam, itik, kelinci, atau ikan, meskipun ternak juga, tidak boleh diqurbankan. Meskipun harga seratus ekor ayam mungkin sama dengan satu ekor kambing, atau sekolam ikan sama dengan seekor sapi 🙂
Ibadah qurban memiliki dimensi vertikal (hablum min Allah/ hubungan dengan Tuhan) dan dimensi horisontal (hablum min al nas/ hubungan dengan manusia). Dimensi vertikal adalah keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah, sedangkan dimensi horisontal adalah menyantuni fakir miskin.
Kambing-kambing yang siap diqurbankan (foto : dipinjam dari sini)
Di negara-negara miskin, banyak orang hanya bisa makan daging setahun sekali, yaitu pada Hari Raya Idul Adha. Kenyataan ini mungkin jarang terpikirkan oleh kita, para blogger dan penjelajah dunia maya ini, yang pasti tak lagi bermasalah dengan urusan perut. Harga daging yang berkisar antara 50 – 70 ribu per kilogram memang mustahil terbeli oleh orang yang penghasilannya hanya 25 ribu per hari. Dan sangat banyak orang yang penghasilannya bahkan kurang dari itu. Gambar-gambar di tayangan televisi yang memperlihatkan betapa ribuan orang berdesak-desakan, berebut, bahkan sampai terinjak-injak untuk mendapatkan uang zakat beberapa puluh ribu rupiah dan daging qurban, merupakan potret telanjang dari kemiskinan rakyat kita. Saya benar-benar menitikkan air mata ketika menyaksikan tayangan televisi, dimana orang sampai pingsan bahkan patah tulang hanya untuk mendapatkan daging kurban seberat 2 ons! Apakah para pejabat koruptor, para penilep milyaran bahkan trilyunan uang negara itu (yang notabene adalah uang rakyat), tidak terketuk hati nuraninya melihat kemiskinan rakyat yang sedemikian?
Astaghfirullah …
Sewaktu saya kecil, saya pernah mendengar ajaran, bahwa hewan yang kita qurbankan itu akan menjadi kendaraan bagi kita kelak di Padang Ma’syar, yaitu setelah dunia kiamat dan kita dibangkitkan dari kubur untuk ditimbang amal baik dan amal buruk kita, lalu ditentukan apakah kita akan masuk surga atau masuk neraka. Kambing adalah qurban untuk satu orang, sedangkan sapi adalah untuk tujuh orang. Pada waktu itu saya memutuskan (kelak kalau sudah dewasa) akan qurban kambing saja, sebab saya tidak mau berdesak-desakan bersama tujuh orang untuk naik satu sapi. Nanti kalau saya terdorong dan jatuh gimana … hahaha 😀 . Sungguh logika berpikir yang naif (maklum masih anak-anak). Tentu saja kata ‘kendaraan’ itu harus dimaknai secara filosofis, bukan secara harfiah …
Meskipun sapi berbadan besar, kalau dinaiki bertujuh kan desek-desekan juga … hahaha 😀 (foto dipinjam dari sini)
Sewaktu saya kecil (lagi-lagi ‘sewaktu saya kecil’ … habis asyik sih nyeritain masa kecil 😀 ), Hari Raya Idul Adha adalah hari ‘penggemukan diri’, karena pada hari itu akan tersedia gulai kambing yang lezat dan kami bisa makan sepuas-puasnya. Maksud ‘makan sepuas-puasnya’ adalah makan nasi sebanyak-banyaknya, dengan kuah gulai sebanjir-banjirnya, tapi hanya dengan beberapa potong daging saja. Maklum, pada waktu itu kondisi ekonomi rakyat Indonesia masih rendah, sehingga jumlah orang yang mampu berkurban kambing atau sapi masih terbatas. Daging yang terbatas itu dibagikan kepada masyarakat yang sangat banyak jumlahnya, sehingga setiap keluarga hanya memperoleh jatah sedikit.
Sesudah ekonomi lebih baik, orang tua saya mampu berkurban kambing. Biasanya ayah saya akan membeli kambing di Pasar Kuncen, pasar hewan di Yogya, lalu kambing itu dibawa pulang dengan diboncengkan sepeda. Tentu saja kambing itu harus diikat erat-erat, dan Ayah harus sangat berhati-hati mengendarai sepeda dengan beban berat di boncengannya. Kalau kambing itu meronta, ayah harus bekerja ekstra keras menstabilkan sepeda yang oleng. Sesudah ayah wafat, ibu sayalah yang membeli kambing, dan ibu membawa pulang kambing itu dengan naik becak. Selama naik becak berdua dengan kambing, sudah tentu ibu saya harus menahan napas karena bau kambing yang lama tak mandi, apalagi jika si kambing dengan tak sopan membuang kotoran. Hiks, dasar kambing …
Kambing diboncengkan, anak disuruh ndorong … 😀 (foto dipinjam dari sini)
Di rumah, saya dan teman-teman sepanjang hari akan menunggui kambing yang diikat di pohon, bergantian memberi makan daun nangka yang masih muda. Kambing itu harus selalu dijaga, supaya tidak dinaiki oleh anak-anak lelaki yang nakal (anak perempuan mah nggak pernah ada yang mau naik kambing … 😀 ). Malam harinya, kadang saya tidak bisa tidur kalau kambing itu terus-menerus mengembik … mbeeek … !
Kini, rakyat Indonesia relatif sudah lebih makmur. Jumlah orang yang mampu berqurban sudah semakin banyak. Di RW tempat tinggal saya, warga yang berqurban lebih banyak dari warga yang berhak menerima daging qurban. Kambing yang disembelih mencapai puluhan ekor, belum sapinya. Daging berlimpah, hingga tak habis dibagi dan tak habis dimakan.
Tapi kondisi berlimpah daging ini tidak merata di segenap pelosok tanah air. Bahkan di Yogya saja, masih ada daerah-daerah minus yang sangat kekurangan binatang qurban. Tidak sedikit desa yang hanya menyembelih satu atau dua ekor kambing, bahkan tidak ada binatang qurban sama sekali. Kita yang tinggal di kota sering kali tidak tahu dimana tempat-tempat yang masih kekurangan seperti ini. Untungnya sekarang sudah banyak badan amal yang bukan hanya menyalurkan zakat uang, tetapi juga menyalurkan penyembelihan hewan qurban. Mereka punya data desa mana saja yang masih membutuhkan bantuan, dan hewan qurban akan dibawa kesana.
Mario Teguh dan Rumah Zakat dalam baliho. Agar awet dan bisa didistribusikan lebih merata, daging qurban dikalengkan.
PKPU, sebarkan qurban ke seluruh pelosok nusantara
Sudah beberapa tahun ini saya selalu menyalurkan qurban saya ke PKPU. Badan amal ini dikelola dengan bagus, manajemennya rapi dan transparan. Mudhohy (orang yang berqurban) akan dikirimi laporan tertulis, di desa mana qurban mereka diberikan, lengkap dengan foto kambing beserta nama mudhohy (tapi nama mudhohy tidak digantungkan di leher kambing lho … 😀 ), panitia setempat yang menerima qurban, dan daftar nama warga yang menerima pembagian daging qurban, lengkap dengan stempel kelurahan. Bagus kan?
wah iya bagusnya kalo berkurban lewat lembaga2 begitu ya bu, biar lebih bisa tersalurkan ke daerah2 yang minus.
lha kalo 1 daerah malah banyakan yang ngasih kurban, sayang juga kalo sampe berlebihan gitu sementara di daerah lain kekurangan ya..
Tuti :
Betul sekali, Arman. Memang berqurban melalui lembaga-lembaga semacam ini lebih tepat sasaran, khususnya bagi masyarakat yang hidup di tempat yang sudah berlebihan qurbannya. Di Arab Saudi, setiap musim Haji (bertepatan dengan saat penyembelihan qurban) ada jutaan kambing dan unta yang disembelih, karena setiap orang yang haji berqurban 1 kambing, padahal ada sekitar 3 juta jamaah haji. Belum penduduk Arab Saudi sendiri. Dagingnya dikalengkan, lalu dikirim ke negara-negara Afrika yang miskin.
eh iya.. selamat Idul Adha ya bu!
Tuti :
Makasih Man …. mau nyicipi satenya? 😀
Bu, kalau melihat berita pembagian korban di Jakarta utamanya di Istiqlal pada rebutan. Secara sepintas tampaknya orang miskin makin banyak. Namun ketika dilihat lebih dalam, saya ragu mereka orang miskin. Bahkan saya pernah punya niat mau ke Istiqlal untuk rebutan daging korban. Maklum anak kos. Ternyata disekitar masjid sudah ada beberapa penadah daging kurban untuk dijual kembali. Jadinya tujuan utama kurban jadi melenceng. Bahkan jadi ajang bisnis. Mungkin hal ini sudah lama terjadi.
Ketika saya kos di Kauman Jogja, teman-teman pada usul ke panitia kurban untuk sekalian memasakkan daging tersebut. Agar orang miskin tidak perlu repot keluar uang lainnya. Mungkin karena usul tak biasa jadi ditolak. Saya pikir untuk menghalangi fenomena bisnis, sebaiknya usul remaja dahulu diperhatikan kembali. Memang repot sih, tapi kan niatnya baik, mesti Allah akan memberikan jalannya.
Namun kalau memang yakin daging tersebut disalurkan kepada yang berhak ya tidak apa-apa. Kalau kurban di Arab Saudi yang luar biasa banyaknya, dagingnya dikemanakan ya? Kan orang-orang Saudi banyak yang kaya2. Mungkin sedikit yang dapat di berikan. Seandainya dapat disalurkan ke daerah kelaparan misalnya di Afrika, alangkah indahnya.
Tuti :
Saya pikir panjenengan bakal tertarik dengan bahasan astronomisnya je Pak, jebul malah tertarik untuk ikut rebutan daging qurban … weleh weleeeh …. 😀
Kalau saya melihatnya begini : apakah orang yang berdesak-desakan untuk berebut daging korban itu untuk dimakan sendiri, ataupun dijual kembali, hakekatnya sama saja : itu adalah cermin kemiskinan yang nyata. Kalau orang nggak miskin-miskin amat, mana mau sih bertaruh nyawa memperebutkan nilai uang yang cuma beberapa puluh ribu rupiah? Ataukah histeria massa itu mencerminkan keserakahan masyarakat Indonesia dalam berebut materi? Aduh … kita layak untuk menangis, jika memang demikian. Karena ternyata, baik di kalangan pejabat maupun di kalangan jelata, semua sudah terjerembab dalam keserakahan materi tanpa harga diri … 😥
Ide anak-anak muda Kauman untuk memasakkan daging korban sebelum dibagikan itu bagus Pak. tapi kalau jumlah hewan kurbannya mencapai beberapa puluh kambing dan belasan sapi, siapa yang sanggup masak? Lagipula, kalau sudah dimasak, daging harus segera dibagikan sebelum basi.
Saya pernah membaca, daging qurban di Arab Saudi dulu memang banyak terbuang membusuk. Tapi sekarang sudah dikalengkan dan dikirim ke negara-negara miskin di Afrika. Jadi keinginan Pak Eko itu sudah terwujud kok Pak … 🙂
Untuk mengatasi rebutan daging, dulu saat tinggal di kompleks, panitia sudah survey dulu ke rumah penduduk yang miskin (benar-benar miskin)..mereka diberi kartu…jadi nantinya pembagian daging hanya pada orang yang mempunyai kartu…ini lebih tepat sasaran.
Tuti :
Iya Mbak, kalau di pemukiman-pemukiman, memang nggak sampai terjadi rebutan seperti itu. Nah, yang datang ke Masjid Istiqlal itu misalnya, kan tidak diteliti, apakah mereka benar-benar miskin atau tidak, wong mereka datang dari jauh-jauh dan panitia tidak bisa ngecek …
saya rasa usul pak Eko memikirkan pembagian bentuk daging masak itu bagus. Kan bisa dibagi perwilayah. Jadi merata bisa merasakan masakan dapur umum. Toh di Indonesia tidak ketat soal hygienis masakan spt di Jepang (harus ada ahli masak bersertifikat shg jika terjadi keracunan bisa dituntut). Soalnya saya baca tuh tulisannya yusha tt, dia cari gas 3 kg untuk masak daging pembagian, tapi ngga ada (akhirnya dapat sih). Coba kita pikirkan kaum miskin yang memang tidak bisa membeli gas, bumbu, bahkan tidak punya lemari es untuk menyimpan daging tsb?
Kadang kita tidak mau memikirkan kembali hanya karena sudah tradisi, padahal tradisi bisa diubah, asal mau dan asal tujuannya sama.
Sama saja kan spt kita menyumbang beras pada penduduk yang biasanya makan ketela. Mereka tidak tahu gimana masaknya. Nah kaum miskin yang ngga biasa masak daging juga sama…eh tapi jangan-jangan malah jadi alergi makan daging ya? Kalau sudah jadi vegetarian gimana? Nah loh, kebanyakan mikirnya deh hehehe.
Saya senang sekali mbak menyalurkan sumbangan ke badan-badan spt PKKU (hampir salah baca jadi KPU hihihi). Biar merata ke seluruh Indonesia.
loh maaf saya sekalian komentarnya di tempat Pak Eko (padahal emang mau nebeng nomor 3 nih hehehe)
EM
Tuti :
Selama ini, memang ada sebagian dari daging qurban yang dimasak bersama dan dimakan bersama, biasanya bersamaan dengan pengajian. Tapi kalau seluruh daging dimasak sekaligus, saya masih agak sulit membayangkan. Karena daging itu betul-betul buanyaak. Butuh peralatan masak dengan kapasitas buesaar, dan tenaga pemasak yang sangat banyak. Sedangkan kalau dibagi mentah, orang bisa memasaknya di rumah masing-masing, dengan peralatan masak mereka sendiri (yang ukurannya kecil).
Tentang penyimpanan, bagi orang miskin rasanya memang nggak butuh kulkas kok Mbak, lha wong daging pembagian itu langsung dimasak dan habis dimakan sekeluarga. Kalaupun ada lebih, biasanya cukup direbus saja supaya tidak basi. Tentang cara memasak daging, saya kira semua orang bisa. Pada musim qurban begini di pasar banyak kok yang menjual bumbu gulai, sate, tongseng, dll. Tinggal beli secukupnya, masukin ke panci, ditambah santan, jadi deh … 🙂
Begitupun, ide membagi daging dalam bentuk matang ini adalah ide yang bagus, tentunya disesuaikan dengan jumlah yang sanggup ditangani … 🙂
Maunya juga komentar tentang per-falaq-an. Tapi apa daya ilmu belum sampai. Harus riset dulu biar tampak ahli meskipun tidak. Lain kali kalau sudah tutug risetnya saya samperin lagi bu.
Tuti :
)
Owgh … harus tampak ahli ya 😀
Lain kali, tantangannya juga sudah lain lagi, Pak. Posting Senin depan tentang lokomotif uap, siap-siap riset dari sekarang ya … 😀 (orang mau ujian doktor malah disuruh riset ilmu falaq dan loko uap … dasar tidak tahu diri tukang sapu TV ini
(Maaf) izin mengamankan KEEMPAX dulu. Boleh, kan?!
Sangat bagus berkurban melalui lembaga-lembaga seperti itu sehingga daging kurban dapat terdistribrusikan ke daerah2 yang lebih membutuhkan.
Tuti :
Betul Mas Alam, kita memang sebaiknya berqurban dengan cara yang efektif, sehingga bisa sampai ke sasaran yang lebih tepat.
Sepupu saya dulu disuruh papanya menggembalakan sapi tiap hari.. sapi itu selalu berganti setiap Idul Adha tiba, xixixi.. (terjual, dengan keuntungan yang lumayan)
Sayang ayah saya tidak punya anak laki2 jadi tidak bisa meniru :p
Jadi ingat dulu suka ngasi makan kambing tetangga.. hmm.. mereka suka makan daun apa saja, dan buang kotoran dimana saja.. dasar kambing..
Tuti :
Hikmah lain dari Qurban adalah memberi penghasilan bagi peternak sapi … 🙂 . Memangnya anak perempuan nggak bisa menggembala sapi ya?
Yang jelas, ada beberapa jenis daun yang tidak disukai kambing, antara lain daun pintu dan daun jendela … 😀
* Terimakasih info Astronominya mbak, suer saya makin DHONG perbedaan MASEHI dengan HIJRIYAH …Untuk hewan kurban, Ada benarnya juga bahwa jatah daging kurban yang diterima masih ada yg menganggap sebagai BLT (bahkan sudah tidak malu2 lagi menyatakan sekeluarga adalah miskin), krn daging tsb bisa diuangkan, dan ada penampung di sekitarnya….
* Mungkin ide pak Mario dgn daging kurban yg dikalengkan perlu juga dibudayakan (tentunya ulama sudah mengijinkan), disamping secara instan bisa langsung diproses, juga bisa tersalurkan merata sampai ke pelosok2.
* Betapa indahnya bisa berkurban setiap tahun ya mbak….kalau yg saya dengar waktu kecil mah bahwa kelak hewan kurban tersebut akan menunggu kita untuk siap dinaiki melewati “Jembatan Sirotol Mustaqim”.
Tuti :
* Artikel di Kompas itu berdasarkan wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Juga berdasarkan pendapat Moedji Raharto, ahli kalender di Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung. Keduanya adalah anggota Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI. melihat kepakaran mereka, nampaknya endapat beliau berdua layak dipercaya.
* Memang ada perubahan nilai-nilai di masyarakat, dimana saat ini orang tidak malu lagi mengaku miskin (bahkan yang sebenarnya tidak miskin). Sungguh ini kemerosotan harga diri yang menyedihkan … 😦
* Tentunya Rumah Zakat sudah berkonsultasi dengan para ulama mengenai pengawetan daging qurban. Bukankah tidak ada ketentuan bahwa daging qurban harus dibagikan dalam keadaan segar?
* Jembatan “Syirotol Mustakim” itukan ada di ujung Padang Ma’syar, jadi ya masih deket-deketlah antara ajaran yang diterima Mas Karma dengan yang saya terima. Tetapi makna ‘kendaraan’ dalam ajaran ini kan bukan seperti mobil atau becak, melainkan sarana yang memudahkan kita menuju ke surga, yaitu amal kebaikan.
Iyah, ini adalah sa’at tepat untuk saling berbagi 🙂
Bukankah jika kita semakin bersyukur dan sering berbagi maka ALLAH akan semakin melipatgandakan rejeki yang kita terima 🙂 (Hahaha…kalau ini ngutip omongan ustaz saya kecil dulu mbak, hahahaha)
Gimana mbak apakah aktivitas kampus, dll sudah normal lagi ?
Best regard,
Bintang
Tuti :
Betul Mbak Linda, memang apa yang Mbak tulis itu benaradanya. Saya juga mendapatkan ajaran seperti itu dari pengajian-pengajian.
Aktivitas sehari-harisudah pulih seperti sedia kala, aktivitas kampus mulai dilaksanakan hari Senin minggu depan, tetapi di kampus-kampus yang ada di kota Yogya, karena kampus di Jl. Kaliurang masih ditutup. Semoga saja semua bisa segera pulih kembali seperti semula …
Salam hangat Mbak, selamat menyambut weekend ya … 🙂
makasih Bun, info tentang penanggalannya..
Sy kemarin sempat nanya juga sama teman ttg perbedaan tgl tsbt. Beliau menjelaskan panjang lebar dan di sini sy dapat penjelasan lebih lengkap lagi.
Tentang PKPU, sy jg baru tahu kemarin Bun, wkt teman juga ‘berkorban’ melalui PKPU. Ternyata lebih efektif begitu ya Bun karna disalurkan pada tempat yang tepat. Lha kemarin kost sy dapat juga daging korban dari masjid 1 plastik besar. Sy bawa pulang separo, dimasak jadi 1 wajan. Banyak sekali bukan? Sedang di daerah lain masih banyak yg harus berdesak-desakan untuk daging 2 ons.. 😦 Miris Bun…
Tuti :
Sama-sama Tik, senang bisa berbagi informasi, meskipun hanya melalui tulisan yang sederhana ini … 🙂
Ya, dan selain PKPU masih banyak kok lembaga lain yang melaksanakan qurban dengan cara disebarkan ke berbagai tempat yang masih membutuhkan. Lebih bagus lagi, mereka membeli hewan qurban dari para pengungsi yang sedang menderita, dengan harga yang pantas (bukan justru dibeli murah seperti para tengkulak).
Wah … Titik dapet daging satu wajan juga? Asyiik … tambah endhut dong … hihihi 😀
iya…tengkulak kok ya tega ya…cari untung aja gk perhatikan kondisi mereka…
wah, amin Bun doanya..
mmg lagi pengen menambah berat badan ni… 😀
Tuti :
Hehehe … cuma bercanda Tik. Tapi kalo pengin ndhut beneran, aku dukung (biar sama ndhut … 😀 )
Anis juga baca tulisan di Kompas itu bun, memang mencerahkan 🙂
Jadi semakin sepakat bahwa ada hikmah di balik perbedaan: membuat kita semakin tergerak untuk belajar, karena dengan banyak belajar kita akan semakin saling memahami…
SuperQurban inovasi yang keren ya bun, he3. Tapi kalo kantong Anis belum sampe ini 😦 semoga di kesempatan berikutnya bisa lebih dari cukup, amiiinnn
Tuti :
Ah, Anis baca juga ya? Penjelasan di Kompas itulebih komplit, tapi kan tidak bisa semuanya saya kutip karena akan jadi terlalu panjang …
Betul Anis, membaca tulisan yang baik itu sama saja dengan belajar. Dan semakin banyak belajar kita akan semakin menyadari, betapa sedikit yang kita tahu …
Insya’allah Nis, tahun-tahun mendatang Anis bisa naik kambing atau sapi … 😀
Saya sih ga suka makan daging yang binatangnya saya liat waktu hidupnya, Bunda… Suka ga tega, kebayang-bayang waktu dia bertingkah lucu 😀
Alhamdulillah karena di rumah tinggal ortu aja, jatah daging jadi berlebih… dan Mama saya biasa membagikannya kembali sesudah dimasak pake presto sampe agak empuk, jadi yang menerima tinggal mengolah dengan bumbu sesuai selera ^_^
Lembaga-lembaga penyalur daging kurban seperti yang Bunda sebutkan memang perlu diacungi jempol. Saya sempat mengenal orang-orang yang komit di organisasi seperti ini rela menyisir kota Bandung hingga larut malam, memasuki tempat-tempat kumuh untuk menemukan dan mendata orang-orang yang benar-benar membutuhkan jatah daging agar tidak ada yang merasa terlupakan.
Btw, ulasan astronominya sebenarnya menarik, Bunda, kapan-kapan diterusin ya… ^_^
Tuti :
Kalau kambing atau sapi, emang lucu juga ya? 😀 . Aku gak pernah lihat hewan qurban waktu hidupnya, lha wong cuma nyerahin uang ke panitia, mereka yang beliin kambing atau sapinya. Diantar ke rumah sudah jadi daging … 🙂
Dulu waktu kecil memang lihat kambingnya semasih hidup, malah nonton juga waktu disembelih, tapi sekarang aku gak mau lihat pemotongan hewan qurban. Gak tega … 😦
Betul, lembaga-lembaga seperti itu sangat bagus. Tapi ada juga lho orang yang nggak ‘puas’ berqurban lewat lembaga seperti itu, soalnya tetangga gak tahu kalau mereka berqurban, juga gak dapet jatah sohibul qurbannya … (wah, kalau ini beda soal ya… 😉 )
Iya, ulasan astronomisnya sebenarnya menarik. Mida baca aja di posting “Minggu Atau Senin” yang aku link, disitu ada penjelasan komplit tentang perbedaan hisab dan rukyah … 🙂
iyah bagus 🙂
*absen dulu ajah bunda, belum mikir neeh…
Tuti :
absen? bukannya absen itu artinya ‘tidak hadir’? 🙄
Terimakasih absennya, Wiend 😀
buLan sabit nya kereeennn *kaguum sangad!
Tuti :
iyah, kereen ….
sayang bukan hasil jepretanku sendiri 😦
Wah, pikiran masa kecilnya kok sama bu… kasian sapinya klo dinaiki 7 org…gemuk2 lagi! hehe…
Oya, sy blom baca artikel itu, jd sgt beruntung bs dpt informasi disini… Thx lagiii….
Tuti :
Tapi kalau kita kurban berkali-kali, kan sapi kita jadi banyak. Kalau 7 tahun kompanyon korban sapi dengan orang yang sama, akhirnya masing-masing bisa naik sapi sendiri-sendiri … 😀
Kalau baca artikelnya langsung, lebih detail Mbak. Tidak bisa saya kutip semua, kepanjangan …
Alhamdulillah, selalu saja aku dpt ilmu yg baru tiap kali berkunjung kesini 🙂
aku suka sekali dgn tulisan2 Mbak Tuti yg selalu informatif dgn dukungan data2 yg jelas , seperti biasanya 🙂
yah, memang sekaranglah saatnya kita berbagi ya Mbak.
Semoga qurban tahun ini, bisa benar2 merata dibagikan pd yang seharusnya mendapatkan ,amin
salam
Tuti :
Ah, terimakasih Bunda … saya juga selalu mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat dari tulisan-tulisan di blog Bunda …
Saya belajar dari salah seorang senior saya di kampus, yang mengatakan : “Jangan mengatakan atau menulis sesuatu tanpa dukungan data/referensi yang valid”. Untuk itu kadang-kadang saya harus berburu kesana-kemari untuk mendapatkan referensi sebuah tulisan. Tetapi justru di situlah asyiknya. Menulis memaksa saya untuk belajar juga … 🙂
Iya Bunda, semoga qurban kita tahun ini, dan tahun-tahun mendatang, selalu ada peningkatan dalam iman dan pelaksanaan.
sudah saya baca bolak balik.. dan tetep aja ga mudeng.. haha
bukan koq.. emang saya aj yg rada bego
Tuti :
ngaku juga to … hihihi 😀
di Jogja harga hewan kurban melambung tinggi, mungkin ada kaitannya dengan erupsi Merapi Bu. Ini menyulitkan saya yang berusaha menabung untuk berkurban, namun tak jelas berapa jumlah uang yang harus saya tabung untuk menebus hewan kurban 😦
Tuti :
Kalau kita berkurban melalui badan amal, harga hewan kurban masih tetap sama seperti tahun kemarin kok. Di PKPU, kambing Rp. 955.000,- , sapi (1/7 bagian) Rp. 1.080.000,-
sELAMAT PAgi Bu…..
Tetik Present dah >_<
Tuti :
Selamat pagi, Tetik …
Tandatangan kehadiran dulu ya 🙂
Selamat Idul Adha, Bu.. maaf telat
Tuti :
Makasih Don. Iya, telat …. jadi satenya sudah habis 😀
Meskipun banyak orang mengatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmad, aya tetp tidak mengerti mengapa ada perbedaan diantara muslim Indonesia saat menentukan sholat Idul Fitri dan Idul Adha.
Demikian pula soal tempat menunaikan ibadah sholat Id, ada yang mengatakan sholat Id sebaiknya dilapangan dan ada pula yang sholat Id di masjid.
Jika sholat Id sebaiknya dilapangan, mengapa para pemuka agama dan pejabat negara banyak yang sholat Id di Istiqlal.
Lalu soal bid’ah, ada yang mengatakan ini-itu bid’ah tetapi yang lain terus saja melakukannya padahal mereka juga tokoh-tokoh agama. Lha mana nich yang harus dianut.
Memang kita harus merujuk ke Al-Qur’an dan As-sunnah, tetapi apakah orang2 yang dituduh melakukan bid’ah itu juga tidak merujuk ke Al-Qur’an dan As-sunnah ?
Kata mereka perbedaan adalah rahmad tetapi perbedaan-perbedaan ini sungguh bisa membuat muslim awam kadang menjadi bingung, apalag jika tuduhan itu dikaitkan dengan dosa dan neraka. Wah….
Terima kasih artikelnya yang bermanfaat.
salam hangat dari Surabaya
Tuti :
Perbedaan itu memang rahmat Pakde, kalau disikapi dengan saling menghargai, syukur-syukur saling mempelajari apa dasar dari perbedaan itu tanpa pretensi untuk saling menyerang. Kalau tidak ada perbedaan, kita jadi nggak banyak belajar, bukan? 🙂
Tuhan sendiri menciptakan alam semesta seisinya ini berbeda-beda. Ada manusia hitam keriting, ada yang putih blonde. Ada tumbuhan yang hidup di air, ada yang hidup di gurun pasir. Ada hewan yang terbang. ada yang hidup di dalam tanah. Semuanya membentuk lingkungan kehidupan yang harmonis kalau masing-masing menjalankan perannya sesuai dengan fitrahnya, dan tidak melampaui batas.
Tentang perbedaan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an, tidak ada yang berhak mengklaim bahwa dirinya adalah yang paling benar. Masing-masing hanya berusaha dengan segenap daya yang dimiliki. Mana yang benar, hanya Allah SWT yang tahu. Mungkin juga masing-masing mengandung kebenaran, tetapi tidak ada yang benar mutlak. Wallahu a’lam …
Mau ikut yang mana? Terserah pada keyakinan kita, Pakde. Nah, untuk bisa yakin seyain-yakinnya, kita harus membuka pikiran dan hati kita terhadap pandangan dan pendapat orang/kelompok yang berbeda.
Cara beragama kan tidak seperti kehidupan militer yang semua bisa diseragamkan dan harus persis sama 🙂
*mohon ma’af Pakde, kok jadi panjang nih, sok ceramah lagi …. hahaha 😀 *
Yang terpikir oleh saya hanya dua yaitu Cina sangatlah jauh untuk ditempuh pada saat itu dan bidang ilmu yang berkembang di Cina sangat maju dan rumit. Perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh sistem astronomi barat melalui dan sistem kalender Masehi yang kita kenal sekarang . Beberapa aturan perhitungan yang ditetapkan tahun 104SM masih berlaku hingga sekarang seperti bulan adalah bulan lunar awal hari dihitung mulai saat tengah malam pukul 00 00 dan winter solstice selalu pada bulan ke 11 memasuki zodiak Capricorn serta beberapa aturan dasar lainnya.
saya mau tanya bagaimana kalu pengwetaanya dalam daging kurban sebelum idul adha……………