SALAH KAPRAH YANG MEWABAH
Pagi tanggal 22 Desember kemarin, suami saya mencium pipi saya sambil mengucapkan “Selamat Hari Ibu ya …”. Saya, meskipun agak heran (karena biasanya dia tak pernah ingat Hari Ibu), tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Kemarin, di sebuah pertemuan dengan sekelompok ibu-ibu teman saya, salah seorang teman bercerita, bahwa pada tanggal 22 Desember di kantornya para karyawan wanita saling mengucapkan “Selamat Hari Ibu” (beberapa sambil cipika-cipiki tentunya, budaya impor yang semakin lama semakin terasa ‘lokal’ … ). Ia menolak ucapan itu, dan dengan sedikit masygul mengatakan bahwa ia bukan seorang ‘ibu’, karena ia tidak pernah melahirkan anak.
Setiap tanggal 22 Desember, ketika sebagian masyarakat Indonesia (karena banyak juga yang tidak ‘ngeh’, terutama di kampung-kampung) merayakan Hari Ibu, saya merasa nyesek. Bukan karena saya tidak punya anak, sehingga seperti teman di atas, merasa tidak berkepentingan dengan Hari Ibu, tapi karena kecewa atas salah kaprah yang tak kunjung usai tentang pemaknaan Hari Ibu. Sebagaimana pernah saya tulis setahun yang lalu di Selamat Hari Ibu , peringatan Hari Ibu di Indonesia berbeda secara substansial dengan Mother’s Day di Amerika.
Hari Ibu di Indonesia adalah untuk memperingati Konggres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, yang diikuti oleh organisasi-organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Konggres ini mengusung semangat kebangsaan, anti-kolonialisme, kemanusiaan, dan perjuangan harkat serta peran perempuan dalam kehidupan bernegara serta bermasyarakat. Sungguh merupakan kebangkitan semangat perempuan Indonesia yang visioner dan memiliki perspektif luas.
Namun sejak zaman Orde Baru, visi dan perjuangan peran perempuan yang luas tersebut direkduksi menjadi peran domestik sebagai ‘ibu rumah tangga’ saja. Melalui Dharma Wanita, peran perempuan ditarik ke belakang sekedar sebagai ‘pendamping suami’. Peringatan Hari Ibu lalu disamakan dengan Mother’s Day di Amerika, yang memang merupakan hari untuk memberikan penghargaan kepada perempuan sebagai ibu yang telah melahirkan anak-anak.
Rangkaian bunga dan bingkisan yang biasa diberikan kepada seorang ibu pada Mother’s Day (foto : Wikipedia)
Tak kurang dari Tika Bisono, psikolog yang juga pernah menjadi penyanyi, dan tentu saja sangat educated, memandang Hari Ibu tak lebih dari Mother’s Day, dalam sebuah acara di Metroteve pada tanggal 22 Desember. Ketika seorang penelepon wanita bertanya, apa yang harus dilakukannya pada Hari Ibu ini, Tika menjawab, “Ibu nggak harus ngapa-ngapain. Anak-anak dan suamilah yang seharusnya ngerti. Ingetin aja pada mereka : sekarang Hari Ibu lho, pada mau ngapain nih sama mama …”Β Hiks …!
Bisa jadi, peringatan Hari Ibu yang di’selewengkan’ menjadi Mother’s Day ini, selain akibat ‘dosa’ Orde Baru juga karena semakin berkuasanya kapitalisme global, yang menciptakan konsumerisme bagi perempuan dan anak-anak. Maka di televisi, di mall, dan di iklan-iklan di mass media, peringatan Hari Ibu disponsori oleh produsen barang-barang konsumsi yang berkaitan dengan ibu dan anak, seperti susu bayi, makanan untuk ibu hamil, alat-alat rumah tangga, produk kecantikan, dan sebagainya.
Padahal saat ini, permasalahan yang dihadapi perempuan masih sangat banyak, yang seharusnya menjadi concern seluruh masyarakat — khususnya wanita — ketika memperingati Hari Ibu. Poligami yang mengabaikan hak-hak perempuan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus terjadi, nasib TKW di luar negri yang tidak terlindungi, hak-hak buruh perempuan yang belum diberikan, Peraturan Daerah yang merugikan (mendiskriminasikan) perempuan, angka kematian Ibu dan Bayi yang tinggi, dan masih banyak lagi. Itulah yang seharusnya menjadi issue ketika memperingati Hari Ibu.
Demo yang dilakukan Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 2009 di depan Gedung Agung. Jika dibaca dari kanan, pamflet-pamflet di atas berbunyi “Perempuan Bukan Konco Wingking” (konco wingking = isteri yang ditempatkan di belakang). Foto : Wawan Prabowo/Kompas
Berkaitan dengan peringatan Hari Ibu, apa kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Linda Amalia Sari Gumelar? Bu Menteri menyampaikan beberapa agenda kementerian yang dipimpinnya, antara lain memperjuangkan kesetaraan gender, keterlibatan perempuan dalam politik, serta perlindungan hak-hak perempuan di berbagai bidang. Syukurlah Kementerian Negara memaknai Hari Ibu dengan ‘benar’.
Terkait keterlibatan perempuan dalam bidang politik, pada pemilihan anggota legislatif baru lalu telah dikeluarkan peraturan untuk memberikan porsi 30% kepada perempuan. Peraturan ini mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Dari kalangan perempuan sendiri, masih sangat banyak yang menilai bahwa dunia politik adalah dunia para lelaki, perempuan tidak cocok terjun di dunia yang penuh intrik itu. Padahal sesungguhnya, keseimbangan suara perempuan di DPR sangat penting. Lembaga legislatif inilah yang membuat Undang-Undang serta berbagai kebijakan publik, sehingga sebagai bagian dari rakyat Indonesia jumlahnya lebih dari 50%, perempuan harus didengar aspirasinya. Sudah barang tentu, perempuan yang duduk di kursi DPR haruslah perempuan yang memang memiliki kapasitas untuk itu.
Meskipun demikian, peran perempuan di ranah publik tidak serta-merta melupakan perannya di ranah domestik. Hanya saja perlu ada paradigma baru dalam konstelasi hubungan suami-isteri atau peran ayah dan ibu di dalam rumah tangga. Mendidik anak dan mengurus rumah tangga tidak seharusnya menjadi beban ibu sepenuhnya, tetapi ayah pun bisa ikut berperan. Dengan demikian ibu memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya, memperluas wawasan, menambah ketrampilan, dan berprestasi di bidang-bidang yang sesuai dengan potensinya. Pada zaman yang bergerak maju dengan cepat ini, seorang ibu yang tidak terus belajar akan ketinggalan dan ditinggalkan zaman.
Tidak gaptek dan bisa berdiskusi dengan anak akan membuat seorang ibu mampu menjadi pembimbing sekaligus sahabat yang baik bagi anak-anaknya (foto : advertorial Kompas)
Di tengah hingar-bingar Hari Ibu ala Mother’s Day yang digelar masyarakat, saya cukup bergembira membaca berita di koran tentang berbagai aktivitas yang secara substansial memperjuangkan perempuan. Badan Kesejahteraan Keluarga (BKK) Kabupaten Bantul, Yogyakarta, memperingati Hari Ibu dengan mendorong perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk berani melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya ke pihak yang berwajib. Sepanjang tahun 2009, ada 39 kasus yang dilaporkan. Sayangnya, dari ke 39 kasus itu hanya 1 yang diajukan sampai ke pengadilan, sementara yang lain ditarik kembali, sehingga para pria pelaku KDRT dapat melenggang bebas (dan menyiksa istrinya lagi!).
Di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, Muspida bersama Tim Penggerak PKK dan organisasi-organisasi wanita mengadakan workshop “Manajemen Stres”. Pak Bupati yang juga hadir pada acara itu menyampaikan bahwa “Perempuan sebagai penerus nilai dan norma-norma dalam keluarga dan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat harus mampu berperan sebagai pelaku pembaharuan (agent of change) untuk mewujudkan perbaikan kualitas hidup bangsa”
Di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, peringatan Hari Ibu dilaksanakan dengan pelantikan Gabungan Organisasi Wanita (GOW). Pak Bupati menyampaikan, “Peringatan Hari Ibu hendaknya dijadikan tonggak untuk semakin meningkatkan peran dan partisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tanpa melupakan peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga”.
Lho, kok cuma berita dari kabupaten-kabupaten di DIY saja yang saya kutip? Ma’af, ini bukan diskriminasi, tapi karena saya hanya berlangganan koran daerah yang mencakup DIY dan Jawa Tengah selatan, dan selama menyimak kegiatan Hari Ibu tanggal 22 dan 23, hanya berita dari tiga kabupaten itulah yang muncul. Dari koran nasional yang saya langgan, saya memperoleh berita tentang unjuk rasa yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banten, yang menuntut peran Pemprov Banten dalam pemberdayaan Perempuan.
Saya lebih suka memaknai tanggal 22 Desember sebagai Hari Perempuan Indonesia, bukan Hari Ibu. Secara historis dan substansial, Konggres Perempuan Indonesia adalah hari kebangkitan perempuan, bukan hari ibu dimanja di rumah.
(Kalau untuk dimanja di rumah, saya maunya setiap hari, bukan cuma tanggal 22 Desember saja … haha! Tapi saya suka juga dengan Mother’s Day yang diperingati pada tanggal 10 Mei, karena bersamaan dengan hari ultah saya …. ehehe!)
(Sumber bacaan : harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat)
hmm..
di tempat saya malah hari ibu diperingati dengan upacara…hehe..capeee dehh π
Tuti :
Upacara bagus juga kan, Mas Wahyu? Nah, Inspektur Upacara bisa memberikan pemahaman tentang makna Hari Ibu, dan mengajak para wanita untuk meneruskan perjuangan yang sudah dimulai para ibu lebih dari 100 tahun yang lalu
Wah, masih mending Mbak Tuti dapat cium pipi dari suami yang mengucap selamat hari ibu. Saya? Nggak ada suami yang ngucap met hari ibu, apalagi nyium pipi. Nggak apa deh. Sulung saya yang menyalami saya ketika bangun tidur. Itupun karena dia pas buka FB di HP-nya dan ada temannya yang memberi ucapan itu pada ibunya. Bagi saya, nggak ada yang istimewa di hari itu. Sami mawon. Hanya saja saya mendapat banyak puisi lewat FB maupun lewat sms. Salah satunya ditulis oleh Bunda SCS (salah satu tokoh yang namanya sempat kita sebut sore itu Mbak). Puisinya bagus.
Hari ibu di negara kita memang bukan hari khusus bagi seorang yang menjadi ibu saja. Hari tersebut lebih ditekankan sebagai hari untuk memperingati kesadaran wanita Indonesia untuk berjuang bagi negara dan bangsanya. Dan bagi saya, semua wanita adalah juga seorang ibu. Semua wanita dapat berperan bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Begitu mungkin?
Tuti :
Buhan, meskipun suami sedang nun jauh di sana, tapi pastinya beliau selalu ingat (dan merindukan) Buhan lho. Lagipula, Januari nanti bakal ketemu di Jepang kan? Selamat kangen-kangenan ya … π
Memang betul, bahwa hari ibu adalah hari kebangkitan kesadaran wanita untuk berjuang bagi bangsanya. Dan betul juga, pengertian ‘ibu’ dalam arti luas bukanlah sekedar ‘ibunya anak-anak’ tapi ‘ibu bangsa’. Dengan demikian, tidak masalah apakah ‘ibu bangsa’ tersebut adalah seorang ibu dari sekian anak atau nenek dari sekian cucu, atau perempuan yang tidak memiliki anak.
Oh ya, ibu SCS itu dosen Buhan di FIB UGM Jurusan Bahasa Indonesia itu ya?
* Mungkin saya keliru pada ingatan masa lalu, ketika masih SD kelas 3 th`69an, tanggal 22 Desember itu juga Hari Lahirnya IBU DEWI SARTIKA, ada hubungannya tidak ya….
* Kemarin di kantor juga ada upacara tgl 22 Des`….Hari Ibu atau Hari Perempuan??? wah mestinya kembali ke sejarahnya saja (JAS MERAH—>Jangan sekali2 melupakan sejarah, kata Bung Karno).
Tuti :
* Saya tidak tahu, apakah tanggal 22 Desember adalah hari lahir Ibu Dewi Sartika (untung Mas Karma sudah meralatnya sendiri di komen berikut … π )
* Kalau dikembalikan kepada JAS MERAH, Konggres Perempuan Indonesia I tanggal 22 Desember 1928 itu memang lebih cocok diberi nama Hari Perempuan ya? Supaya tidak kacau dengan pemahaman antara ‘perempuan’ dan ‘ibu’
* Ralat tanggal lahirnya DEWI SARTIKA mbak, ternyata dilahirkan tgl 4 Desember 1884…..beliau juga pejuang emansipasi wanita & sekaliber R.A. KARTINI (itu pelajaran yg diberikan guru waktu saya SD dulu).
Tuti :
* Terimakasih ralatnya, Mas Karma (jadi saya tidak perlu kasak-kusuk lagi mencari data … π ) . Betul, Dewi Sartika juga seorang pejuang perempuan yang sangat besar jasanya bagi kemajuan kaumnya.
Ooooooh! baru tau, baru tau.. *sambil manggut-manggut dan ngelus jenggot..*
Berarti buanyak buanget yang salah kaprah niy! Emang lebih afdol “Hari Perempuan Indonesia” ya Bu!… lebih gagah dan global! Tapi 22 Desember kemaren, henny gak dimanja lho..*ngadu niii…*
Tuti :
Ya ampuuuun …. baru tahu ya? Ck .. ck .. ck … *geleng-geleng kepala dengan takjub*
Itulah yang saya herankan, salah kaprah kok bisa massal satu negara gitu lho … π¦
Wah, tanggal 22 Desember kemarin Henny nggak dimanja suami di rumah? Protes dong! Demo! Bikin poster dan pamflet! Bakar ban! Hiyaah …! π
hmmm… gitu ya, Mbak..
*sambil ngebayangin reaksi suami Mbak Tuti waktu ngebaca postingan ini*
π
Tuti :
Memang gitu, Dewi …
*ikut ngebayangin suami saya waktu baca postingan ini* π π
Mother’s Day di Amerika tampaknya dirayakan untuk mengingatkan para wanita tentang peran domestik mereka yang selama ini kerap ditinggalkan. Sebaliknya, mestinya, sesuai latar belakang sejarahnya yang diungkapkan Bu Tuti, Hari Ibu di Indonesia dirayakan untuk mengingatkan peran sosial wanita yang masih kerap diabaikan. Dengan latar belakang yang berbeda itu, mestinya tak terjadi salah kaprah.
Tuti :
Tentang Mother’s Day di Amerika (dan negara-negara Barat umumnya), saya tidak tahu pasti, apakah dirayakan untuk mengingatkan wanita akan peran domestiknya yang terlupakan, atau justru untuk mengingatkan orang akan jasa para ibu yang selama ini mengabdikan dirinya di ranah domestik (ini dua hal yang beda banget kan?).
Begitulah, para perempuan seratus tahun yang lalu, dengan pendidikan yang belum setinggi perempuan jaman sekarang saja sudah memiliki visi kebangsaan dan kemasyarakatan yang demikian maju, masak perempuan jaman sekarang yang sudah memiliki kesempatan lebih luas, malah hanya berkutat di wilayah yang lebih sempit?
setuju, mbak tuti. mustinya diluruskan kembali bahwa tanggal 22 desember itu adalah untuk mengingatkan kembali para wanita akan peran mereka, tak hanya sebatas di rumah tangga, juga di dalam masyarakat. ini untuk menghindari diskriminasi bagi para wanita yang bukan ibu.
untuk hari ibu sendiri, sebaiknya kita ikut yang internasional saja, yakni setiap tanggal 10 mei. dengan demikian para bapak tidak akan iri karena secara internasional kita juga ikut memperingatinya setiap bulan juni.
Tuti :
Siip Uni! Setujuuuu !!
Kita harus meletakkan segala sesuatu secara proporsional, dan tidak melenceng dari semangat awal yang mendasarinya. Bagus banget kalau Hari Ibu diperingati tanggal 10 Mei, jadi nanti khusus untuk saya, judulnya adalah “Hari Ibu Tuti” … wakakaka! π
Nah, untuk hari Bapak, sudah ada juga ya di bulan Juni? Baguslah. Supaya seimbang antara peran ibu dan bapak dalam keluarga. Tanggal berapa Uni, Hari Bapak ini diperingati?
paradigmanya memang sudah berubah, dari peringatan kongres wanita hingga refleksi pemuliaan ibu. tapi menurut saya, hari-hari yang berkaitan dengan perempuan di negara kita sudah berlebihan; ada hari ibu, ada hari kartini. mestinya hari kartini dieliminasi saja, karena terkesan pengkultusan kepada pribadi tertentu.
sejujurnya, saya melihat peran perempuan di negara kita sudah terbuka lebar. nyaris tidak ada lagi peran yang tidak bisa dimasuki perempuan, bahkan saking terbukanya, laki-lakipun kehilangan kesempatan. ada banyak posisi yang hanya diisi perempuan.
memang benar, hari ibu seharusnya dijadikan momentum untuk mengembalikan perhatian seorang perempuan akan hakikat keibuan mereka. jangan sampai salah kaprah… π
bu tuti, selamat hari ibu ya… hehehe…
Tuti :
Karena Uda Vizon berlatar belakang budaya Minangkabau yang mengutamakan perempuan, nampaknya Uda sudah capek meliaht perempuan terlalu banyak diberi diberi kesempatan ya Da? π …. Piss Da π
Kalimat Uda yang berbunyi : nyaris tidak ada lagi peran yang tidak bisa dimasuki perempuan, bahkan saking terbukanya, laki-lakipun kehilangan kesempatan. ada banyak posisi yang hanya diisi perempuan. … kok menyiratkan bahwa dulu laki-laki memiliki SEMUA kesempatan yang ada, dan sekarang mengeluh karena SEBAGIAN kesempatan itu diberikan kepada perempuan? Begitu atau bukan, Da? π
Tentang mengembalikan hakikat peran keibuan pada diri perempuan, menurut saya itu sudah naluriah. Dan itu memang BETUL, tapi lalu tidak pas kalau dilekatkan pada peringatan Konggres Perempuan Indonesia.
Terimakasih ucapan selamatnya Da … setiap hari adalah hari ibu kok bagi saya π
wah mantap yang di bantul, jogja.
sangat setuju dengan kalimat
“Perempuan sebagai penerus nilai dan norma-norma dalam keluarga dan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat harus mampu berperan sebagai pelaku pembaharuan (agent of change) untuk mewujudkan perbaikan kualitas hidup bangsaβ
Salut buat kaum perempuan
Tuti :
Terimakasih, Mas Alfa
(anda penduduk Bantul ya? π π )
hari ibu nggak hari ibu saya tetep ibu yang manis…
( ini status narsis saya di FB pada hari ibu 22 desember yang lalu)
Tuti :
Iya iya … semua orang juga percaya kok Mbak … hihihi …. π
Mbak Tuti … sebetulnya yang memperingati hari ibu kan hanya yang berpendidikan saja, yang mengerti, walau sekedar salah kaparah. Namun menurut saya, biarkan saja, yang penting di saat seperti ini makin banyak kaum terdidik menyadari peran ibu, dalam arti para perempuan juga berperan bagaimana membantu kesenjangan pengetahuan, pemahaman, serta mengapa perlu hari ibu.
Dan bukankah kaum terdidik ini yang akan terus menyuarakan perubahan…walau banyak ibu-ibu yang bekerja keras tanpa memikirkan hari ibu.
Saya sebetulnya tak terlalu berharap dengan 30% perempuan di parlemen, biarkan perempuan dan kaum ibu berkembang sesuai kemampuan dan pengetahuannya….ini yang penting. Di kantor saya tak ada bedanya laki-laki dan perempuan, kalau anak sakitpun bisa dibiayai dari kantor tempat ibu bekerja (saat si sulung di rawat di RS), namun juga kaum perempuan harus menunjukkan kemampuannya. Memang disadari, tak semua perusahaan melakukan kesetaraan seperti ini.
Tuti :
Inilah asyiknya bertukar pikiran dengan teman-teman di blog, kita jadi bisa melihat suatu permasalahan dari berbagai sisi. Setiap orang tentu memandang suatu permasalahan berdasarkan latar belakang kehidupannya dalam keluarga, lingkungan, pendidikan, dan juga pengalamannya.
Mbak Enny, yang memiliki latar belakang keluarga berpendidikan, yang ayah-bundanya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak perempuan untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya, kemudian setelah lulus bekerja di bank milik pemerintah yang mapan, menikah dengan suami yang memberikan kebebasan kepada istri untuk berkarier, sudah tentu akan memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang yang berasal dari keluarga kolot, yang masih membatasi gerak anak perempuan, yang setelah menikah tidak diperbolehkan bekerja oleh suaminya, yang mendapatkan berbagai perlakuan tidak adil karena keperempuanannya, dst.
Saya kurang setuju dengan Mbak Enny, bahwa yang memperingati Hari Ibu hanya para wanita dari kalangan berpendidikan. Ibu-ibu PKK di kampung-kampung pun tahu Hari Ibu lho. Yang nggak paham mungkin para petani di desa-desa, atau para mbok bakul di pasar yang memang sangat terbatas wawasannya.
Nah, merujuk pada pendapat Mbak Enny, bahwa hanya wanita yang berpendidikan yang tahu adanya Hari Ibu, bukankah justru semestinya mereka yang menyebarkan pemahaman yang benar? Lha kalau wanita berpendidikan saja salah kaprah, siapa lagi yang akan memberikan pemahaman kepada para wanita di dusun-dusun dan mbok-mbok bakul itu?
Tentang keikutsertaan perempuan di bidang kebijakan negara, menurut saya penting. Sudah tentu perempuan yang duduk di DPR dan di Pemerintahan haruslah perempuan-perempuan yang berkualitas. Mengapa penting? Kita ambil satu contoh : sangat banyak TKW kita yang disiksa dan mengalami perlakuan buruk di luar negri, dan seolah-olah tidak ada perlindungan dari Pemerintah. Mengapa? KARENA TIDAK ADA YANG MENYUARAKAN KEPENTINGAN PEREMPUAN DI PARLEMEN MAUPUN DI PEMERINTAH.
…
Wah saya suka banget tulisan bu Tuti yg ini..
Banyak nambah pengetahuan baru..
Matur suwun sanget, jadi ngerti makna hari ibu sesungguhnya..
π
…
Tuti :
…..
Sama-sama, Ata π
Jadi kalau kelak Ata punya istri, doronglah ia untuk mengembangkan perannya tidak hanya di rumah, tapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Dan tentang menghormati ibu, itu tetap wajib dilakukan lho … π
…..
laaah saya ini hari ibu ato ngga ya tetep aja nyapu rumah dan masak sendiri……(hiks saya hanya “ibu” nya mas Jonkheer yg kakinya empat dan beratnya 14 kilo….)
Jadi klo mas Jonkheer nawarin..Mom..mau dibawain tikus ga hari ibu ini…..tentu saya bilang….nooooo……Jonkheer…noooo tengkiuuuu
hihihihi….pokoknya everyday is mother day….abisss selalu nyapu, ngepel, masak nyuci
Pokoknya mandiri ngga tergantung sama hubby….
nyambung ga yah?
Tuti :
Mbak Wied, pengin deh kenalan sama Mas Jonkheer …. π tapi bukan minta dibawain tikus lho! Hiiii! Mas Jonkheer itu meong apa guk-guk? Kalau meong kok gede banget (14 kg) tapi kalau guk-guk kok suka bawa tikus?
Wah, kalau dari komen Mbak Wied, kayaknya ibu itu identik dengan nyapu, ngepel, masak, dan nyuci ya? Keringatan terus dong? Hiks! π¦
mas Jonkheer itu kitty cat jenisnya maine coon tabby…jadi emang jenis gede……
iyaaa bagiku tuh ibu identik dengan nyapu ngepel, masak dan nyuci..soalnya aku tuh harus menjalankan itu semua sendiri….(jadi disesuaikan dengan keadaan diri sendiri…klo pas pulang ke Indonesia ya selonjor aku…dipijit sampai ter kantuk2 dan ngorok..hihihi)
Tuti :
Wuaah, pengin banget meluk Mas Jonkheer! Aku penggemar kucing Mbak, pokoknya lihat kucing jelek pun seneng (idih … !) apalagi lihat kucing yang guemuk gitu. Tapi sekarang nggak punya kucing hidup. Yang ada cuma boneka sama patung-patung kucing π¦
Kasihan ya para ibu ini, citranya kok lusuh dan kemringet gitu … hiks! Tapi di saat yang lain pasti juga wangi dan cantik kan? π
Aku nggak mau ah, ketemu Mbak Wied di Indonesia, nanti cuma disuguhin suara orang ngorok …. weks! π¦
Masyarakat kita latah Bunda. Tapi saya sudah curiga dari awal, sebab peringatan Hari Ibu di negara lain kok beda-beda tanggalnya. Mestinya kita ke sekretariat Kowani dan potong tumpeng disana π
Tuti :
Peringatan Hari Ibu di negara lain beda-beda tanggalnya? Memang itu kesepakatan saja kok, Na. Kita di Indonesia mau bikin Hari Ibu tanggal 17 Agustus ya boleh-boleh saja (jadi yang mimpin upacara 17-an nanti ibu-ibu semua π )
Kalau saya justru kebalikan! Walaupun hari ibu di Indonesia sejarahnya adalah Kongres Perempuan Indonesia, tetapi saya setuju kalau hari ibu “direduksi” menjadi hari mengenai peran ibu dalam rumah tangga! Kenapa? Pertama, untuk menghargai perempuan yang bertekad untuk maju, kita sudah punya hari Kartini (21 April). Kedua, ini untuk mengingatkan kita semua bahwa peran domestik sama pentingnya dengan peran karier seseorang terutama kaum wanita, tidak peduli dia punya anak atau tidak.
Mangkannya saya paling tertawa geli dan mencibir jika ada perempuan yang nggak bisa masak lantas ia menutup2i dengan dalih ia adalah perempuan karier yang modern sehingga dikatakannya nggak ada waktu untuk masak!! Saya geli bukan karena dia nggak bisa masak, tetapi geli karena alasannya yang, maaf, agak o’on itu! Jadi jagan salah loh! Apa hubungannya wanita karir modern dengan bisa masak atau nggak?? π Lha wong, cowok karir aja banyak kok yang bisa masak, saya aja bisa masak, walaupun hobby saya bukan masak, dan masakan saya tentu saja belum seenak masakannya Rudy Choirudin atau si chef Bara siapa tuh nama belakangnya lupa, tetapi diadu sama ibu2 tetangga aja sih berani diadu masakannya!
Sayapun juga nggak ragu untuk mengepel rumah sendiri, menyapu rumah, membantu mencuci piring (sesuatu yang mungkin masih banyak dihindari oleh bapak2 Indonesia yang masih kolot pikirannya!) terutama kalo para bediende lagi pada pulang kampung menjelang lebaran. Pendek kata lha wong bapak2 karir 
yang modernaja zaman sekarang banyak yang bisa masakapalagi “cuma” wanita karirhuehuehue…..Yang jelas, memang harus ada sebuah hari untuk menghargai peran seorang ibu dalam urusan dosmetik atau rumah tangga (kalau perlu juga ada hari bapak untuk menghargai peran bapak dalam urusan domestik…
) untuk mengingatkan kita semua walaupun di zaman modern ini, peran domestik tetap diperlukan tentu saja tanpa mengabaikan penghargaan atau apresiasi terhadap peran wanita di luar rumah tangga.
Ok deh…. ini tentu hanya pendapat seorang bapak yang kurang pendidikannya dibandingkan Bu Tika Bisono yang psikolog itu yang tentu saja sangat berpendidikan dan berwawasasn modern…..
Tuti :
Ehm … !!
Jujur, saya agak ‘nyesek’ baca komen Mas Yari ini. Tapi wong namanya pendapat orang, bolah-boleh saja kan?
*tarik nafas panjang dulu*
………………………………………..
(membayangkan jawaban saya yang akan sepanjang kereta api Argo Lawu, saya sudah capek duluan. Jadi, jawaban untuk Mas Yari kapan-kapan saya tulis jadi posting tersendiri saja deh … π )
Ouw-ouw-ouw… Tiba-tiba aku merasa beruntung sekali, dan sama sekali tidak merasa rugi bisa membaca tulisan ini. Pencerahan betul tulisan di atas. Sangat informatif, Bu. Rupanya ada pergeseran makna di sana. Tapi ya, untuk soal itu rasanya kita mahfum bersama, bahkan tidak hanya pemaknaan hari ibu semata, ada begitu banyak pergeseran makna ketika hal itu terjadi di zaman Orde Baru.
Bu Tuti, minggu lalu aku menghadiri acara peringatan Roehana Koedoes, perempuan Minang yang dianggap sebagai “Ibu Pers dan Pendidikan Indonesia” di Newseum Indonesia, Jakarta.
Satu hal yang menarik adalah: kenapa dalam beberapa dekade ke belakang di Indonesia terdapat apa yang disebut Hari Kartini (yang bukan kebetulan Jawa), yang diperingati setiap 21 April. Sementara Kartini bukanlah satu-satunya, juga bukan perempuan pertama yang membuka mata serta menggerakan kaum perempuan.
Aku tidak sedang hendak menafikan peran Kartini. Namun nyatanya ada begitu banyak sosok perempuan di Indonesia ini yang bisa disejajarkan dengan Kartini. Alhasil yang menjadi soal, peringatan Kartini dalam dekade-dekade ke belakang tak lebih dari sekadar sanggul dan kebaya. Kosong makna.
Terima kasih, Bu Tuti. Senang bisa membaca tulisan di atas. Mencerahkan sekali…
Tuti :
Wahaha … DM, suatu kehormatan bagiku, tulisanku dibaca seorang DM!
Betul, di zaman Orde Baru yang sekian lama, banyak pemaknaan yang bergeser (atau digeserkan), sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa. dan karena penguasa pada waktu itu adalah orang Jawa, sudah pasti ‘sentimen ke-Jawa-annya’ tak bisa dihilangkan.
Roehana Kudus, ya, aku pernah mengunjungi bekas kediamannya di Koto Gadang, Sumatera Barat. Memang betul, Kartini bukan satu-satunya perempuan yang berjasa memajukan pendidikan bagi kaumnya. Ada Dewi Sartika di JawaBarat, ada pahlawan pejuang Martha Christina Tiahahu di Ambon, Cut Nyak Dien di Aceh, dan banyak lagi. Mengapa hanya Kartini di Jawa yang ditempatkan di puncak sejarah, itulah subyektivitas sejarah. Tak bisa lepas dari ‘selera’ dan ‘kepentingan’ penguasa pada zamannya. Bisa jadi, karena Kartini memiliki hubungan dekat dengan orang Belanda. Dan karena pada waktu itu bangsa Belanda menguasai Indonesia, maka yang mereka munculkan ya orang yang mereka kenal. Ini analisis ngawurku saja … hehe …
Nah, betul DM. Aku juga paling sebal kalau peringatan Hari Kartini hanya diisi dengan sanggul dan kebaya saja. Ini juga mereduksi secara semena-mena substansi perjuangan Kartini.
Terimakasih sudah berkunjung, DM …
Maaf mbak kalau terkesan sinis,
saya rasa hari Kartini sudah “selesai” dengan sanggul dan kebaya kok.
Karena wanita Indonesia sudah tidak bisa memakai sanggul dan kebaya di atas jilbabnya bukan?
Lain dengan ketika saya masih di Indonesia dulu, wanita merasa anggun dengan memakai sanggul dan kebaya.
Tapi dengan semakin banyaknya wanita berjilbab, saya rasa kita juga harus siap mengucapkan selamat tinggal pada Sanggul dan Kebaya. Ini fakta loh mbak.
EM
Tuti :
Memang faktanya begitu, Mbak. Bagi wanita yang berjilbab, sanggul memang sudah menjadi ‘kenangan masa lalu’. Bagi banyak wanita, ini justru dirasakan sebagai ‘kebebasan’, sebab bersanggul itu ribet, terutama proses nyasak dan membuka sasak rambutnya. Saya sendiri tidak suka sanggul tradisional, sebab rambut harus ditarik ke belakang, dan karena dahi saya selebar lapangan bola, jadi kelihatan jelek … hihihi … π
Tapi untuk kebaya dan kain panjang, tetap bisa dipakai wanita berjilbab kok, asalkan kebayanya tidak memperlihatkan ‘belahan lembah di dada’, tidak tipis, dan tidak terlalu ketat memperlihatkan bentuk tubuh. Maka, sekarang sudah jamak jika kebaya berbahan tule (brokat) diberi lapisan penuh.
Budaya adalah hasil cipta dan karsa manusia, sehingga ia akan berubah seiring dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat pendukungnya. Budaya pakaian tradisional dengan rambut disanggul mungkin akan hilang di kalangan wanita berjilbab, akan berganti dengan budaya baru yaitu berkebaya dengan jilbab. Apakah ini merusak budaya? Nggak juga. Kebudayaan akan bertahan di masyarakat jika kebudayaan itu mampu beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Budaya juga bukan warisan sakral yang tidak boleh diubah. Bukankah budaya itu dulu ciptaan nenek moyang kita, yang adalah manusia (bukan dewa apalagi tuhan?). Nah, kita yang hidup di jaman sekarang juga manusia, sama seperti nenek moyang kita, jadi kita juga punya hak untuk menciptakan budaya kita, bukan?
Tapi Mbak Imel nggak usah khawatir. Kan tidak semua wanita Indonesia berjilbab. Mbak Imel dan sekian juta wanita lain tetap bisa bersanggul dengan anggun, kan? Maka, jangan berjilbab ya Mbak, supaya masih tetap ada sanggul di kepala wanita Indonesia … π π
Ohya, hari Kartini dengan kebaya dan sanggul itu memang sebaiknya dilupakan saja. Kartini juga pasti nggak suka kok kalau yang ditiru dari dirinya cuma kebaya dan sanggulnya … π¦
Wah saya baru tau Bu kalau ternyata begitulah sejarah kenapa tanggal 22 Desember adalah hari ibu.
Tuti :
Kalau gitu bilang terimakasih dong sama aku … π
ibuku tidak tahu kalau ada hari ibu
Tuti :
Nggak apa-apa Mas, yang penting beliau tahu kalau Mas Narno adalah putranya, kan? π
kutu juga baru tahu sejarah itu kemarin waktu hadir di Apresiasi Sastra Reboan … mungkin kalau tidak hadir di acara itu, kutu akan selamanya tidak tahu asal-muasal hari ibu 22 desember. Mungkin banyak yang menutup-nutupi atau tidak mau mengekspos fakta ini, entah mengapa.
Yang jelas, menurut kutu kita harus mengembalikan esensi hari ibu ke asal muasalnya, yaitu peringatan kebangkitan wanita Indonesia, untuk memerangi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan terhadap mereka. apa kabar mbak tuti? baik2 kan ?
Tuti :
Saya juga tidak tahu, mengapa terjadi salah kaprah massal demikian.
Setuju Adit, menurut saya makna Hari Ibu semestinya dikembalikan pada konsep/semangat awal para perempuan yang berkonggres pada tanggal 22 Desember 1928 dulu. Bukan berarti saya menentang penghormatan terhadap seorang ibu, sudah pasti bukan begitu (saya kan juga perempuan), tapi mendudukkan segala sesuatu secara benar. Penghormatan kepada seorang ibu, jika mau dibuat peringatan juga, bisa dipilih tanggal lain …
*Peluk Ibu Tuti kuat-kuat*
Walaupun kita punya kesamaan visi tentang ‘Hari Ibu’ ini, tapi memang hanya Bu Tuti yang bisa menulis detail seperti ini.
Kita kok sering sepaham sih, Bu? Emang Bu Tuti zodiaknya apa? *ngawur.com*
Tuti :
*tersengal-sengal, habis dipeluk Reva kuat-kuat … hihihi …. tapi seneng banget kok* π
Terimakasih Lee, seneng sekali ketemu orang yang sepaham (meskipun pikiran kita mungkin ‘nyleneh’ dan beda dari perempuan-perempuan pada umumnya). Bintang saya Taurus. Simbolnya banteng ya? Wahaha … mungkin itu sebabnya saya suka warna merah, langsung nyeruduk … π
wah, telat nih saya komennya. maklum, liburan baru buka internet lagi.
ternyata saya masuk dalam golongan yang ‘salah kaprah’ itu. selama ini saya memaknai hari ibu hanya dengan harinya para ibu dan ngucapin ke mama ‘ma, selamat hari ibu ya’. hanya sekedar itu aja. tapi ternyata makna hari ibu sangat besar ya bu tuti. baca tulisannya bu tuti, menambah wawasan saya tentang makna hari ibu yang sebenernya. semoga ke’salah kaprah’an ini tidak terus berlanjut ya.
makasih ya bu udah meluruskan ke’salah kaprah’an saya selama ini tentang hari ibu.
sukses bu!
Tuti :
Saya juga heran, kok salah kaprahnya bisa sedemikian meluas. Padahal di dalam pelajaran sejarah ada lho (atau mungkin para guru lupa menyampaikannya kepada murid-murid ya?). Di Museum Vredeburg, Yogyakarta, ada diorama yang menggambarkan Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 itu, ditempatkan sama penting dengan peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Nah, kalau mengucapkan ‘selamat Hari Ibu’ kepada mama, nggak usah nunggu tanggal 22 Desember, tiap hari bagus lho diucapkan.
Terimakasih juga, Yasmin. Semoga pelurusan salah kaprah ini bisa semakin disosialisasikan kepada seluruh masyaraka kita, agar sejarah tidak terbelokkan.
Saya setuju dengan mbak Tuti, dan saya tidak pernah antusias merayakan hari Ibu Indonesia. (Baca saja postingan saya tahun lalu, http://imelda.coutrier.com/2008/12/23/hari-ibu-sebuah-pemikiran/ )
Saya selalu memberikan selamat hari ibu pada Mama, justru kalau mothers day di LN. Alasannya sebetulnya dekat dengan alasan Bu Tuti yaitu karena ibu saya berulang tahun tanggal 12.
Tapi saya perlu membenarkan informasi tanggal Mothers Day di LN…. yaitu hari minggu, minggu kedua. Tidak pasti tanggalnya. Kalau kebetulan tanggal 10 ya itu hanya kebetulan saja. Setiap tahun berubah.
Demikian juga dengan Fathers Day, yaitu hari Minggu, minggu ketiga bulan Juni, yang tanggalnya tidak pasti setiap tahun.
Yang hebat adalah Jepang mbak… mereka mempunyai peringatan Hari IBU (Mei minggu ke dua), Hari Wanita, Hari Istri , Hari Office Lady , dan juga hari pasutri. Heboh kan!
EM
Tuti :
Terimakasih koreksinya untuk Mother’s Day, Mbak. Wah, nggak jadi sama dong dengan hari ultah saya … π¦
Jepang memang hebat dan heboh, punya peringatan begitu banyak untuk hari-hari tertentu. Ssst … kalau Uda Vizon tinggal di Jepang, kayaknya dia bakal menderita dengan begitu banyaknya hari untuk memanjakan wanita. Lha wong di Minang wanita sudah ditempatkan pada posisi nomor satu, di Jepang masih ditambah segitu banyaknya penghormatan, huuu …. capek deeeh!! π π
Wow komentarnya rame & beragam yach mbak. Kali ini nggak ngasih koment dulu…masih ngantuk, hihihi….
Best regard,
Bintang
Tuti :
Nggak ngasih komen nggak apa-apa kok Mbak, pasti masih capek sekali ya. Selamat istirahat, mengembalikan tenaga untuk mulai beraktivitas kembali di tahun 2010.
salam hangat π π
Mbak Tuti….lamaa sekali nggak ketemu dan blogwalking.
Eee…ternyata saya tidak tahu kalau mbak Tuti menulis hal senada dengan saya…walau saya tulis ketika dalam perjalanan dari Amrik ke Indonesia…dan baru sempat publish beberapa waktu yang lalu.
Tapi…ada hal yang sama yang kita pikirkan tentang perempuan…
Bedanya tulisan mbak Tuti …. luar biasa lengkap, bernilai tinggi, tulisan saya …cuma pengalaman dan keadaan yang saya alami…
Tuti :
Mbak Dyah, betul …. sejak di Rakosa Female itu, kita belum ketemu dan kontak-kontak lagi. Saya tengok blog Mbak Dyah beberapa kali, posting terakhir masih “Pak Wali Kok Nggak Pede” … π Jadi saya pikir, pastilah panjenengan sedang sibuk sekali.
Tentang Hari Ibu, begitulah … pemikiran kita memang sering sama dalam hal isu-isu tentang perempuan. Bedanya, saya cuma bisa ngomong (nulis). kalau Mbak Dyah langsung berbuat dengan tindakan nyata. Walah, tulisan saya juga cuma hasil membaca sana-sini, lebih mantap tulisan Mbak Dyah yang berdasarkan pengalaman to … π