TERJEBAK DI SARANG PENYAMUN
Tangan Ibu yang keriput dengan terampil dan gesit mewiru kain batik yang ada di pangkuannya. Setumpuk kain yang lain ada di samping Ibu, menunggu untuk diwiru juga. Ibu memang suka memakai kain wiron, kain batik yang dilipat-lipat seperti kipas pada ujung yang jatuh di bagian depan, sehingga kalau dipakai berjalan akan terbuka dan tertutup seperti kipas. Rapi dan cantik. Orang biasanya hanya memakai kain wiron pada saat menghadiri resepsi atau acara resmi, tetapi Ibu memakainya juga ke arisan atau pertemuan biasa. Ini menunjukkan kalau kita wanita yang rajin dan memperhatikan penampilan, kata Ibu.
“Ini kain apa namanya, Bu?” tanyaku sambil menggelar sehelai kain berwarna cokelat soga.
“Itu kain Sidomukti. Kalau yang warnanya putih, dengan corak sama seperti itu, namanya Sidoluhur. Ini Wirasat, Truntum Lar, Wahyu Tumurun, Parang Rusak, Klithik, Buntal, Tirtotejo …. ” Ibu menunjuk kain-kain itu sambil menyebutkan namanya masing-masing.
Wah, kalau Ibu sudah bicara tentang kain batik, sama seperti Prof Laksmi, dosen Anatomi kami, ketika menjelaskan organ-organ tubuh. Lancar dan fasih …
“Ini yang dipakai Ibu waktu nikahnya Mbak Indri dulu, kan?” aku mengambil kain bercorak Truntum Lar.
“Iya. Kalau pihak perempuan yang mantu, biasanya orang tua dan besan memakai kain Truntum Lar. Lha, kalau yang mantu pihak laki-laki, kainnya Wirasat. Sudah ada aturannya begitu. Di kalangan bangsawan, aturannya lebih rumit lagi. Kain Cinde misalnya, hanya boleh dipakai oleh raja.”
Kuambil sehelai kain bercorak Parangrusak, lalu kuikuti cara Ibu mewiru kain.
“Jangan besar-besar lipatannya, dua jari saja. Lipatan yang besar-besar itu untuk bebed, buat laki-laki. Nah, itu terbalik. Kain Yogya lerengnya turun, dan pinggir kain yang berwarna putih tampak di depan. Kalau kain Solo, lerengnya naik, dan pinggir putihnya dilipat ke dalam”
Olala … rumit betul aturannya. Yogya dan Solo punya hukum sendiri-sendiri. Kain Yogya dan kain Solo memang berbeda. Kain Yogya berlatar warna putih, kain Solo didominasi warna cokelat soga. Blangkon, tutup kepala pria juga berbeda. Bagian belakang blangkon Yogya memiliki mondolan — kain yang dibentuk bulat sebesar telur ayam — sedangkan bagian belakang blangkon Solo rata. Beskap Yogya dan Solo juga berbeda. Sejak dahulu kala, Hamengku Buwono dan Paku Buwono memang selalu memilih jalan hidup mereka masing-masing. Hamengku Buwono memilih ‘memangku bumi’, sedangkan Paku Buwono lebih suka ‘memaku bumi’ ….
“Kemarin Warni menawariku kain, minta agar kubeli. Masih baru, tapi cuma kain kasaran. Katanya untuk bayar sekolah Topo. Aku bilang simpan saja kainmu, biar uang sekolah Topo aku yang bayar.” Ibu berkata lagi.
Warni! Seketika ingatanku dipenuhi pertengkaran Warni dan Marsudi kemarin malam, juga suara-suara orang yag datang ke rumah mereka di malam buta.
“Menurut Ibu, sebenarnya Marsudi itu bagaimana?” aku bertanya hati-hati.
“Maksudmu?” Ibu bertanya, penuh rasa ingin tahu. Ada sedikit nada menyelidik pada suara Ibu. Juga aroma pembelaan.
“Ibu masih percaya, dia kerja di bengkel?”
“Jadi kamu mulai mencurigai dia juga?” suara Ibu terdengar kurang berkenan. Nah, betul kan. Ibu selalu defensif bila ada orang mempertanyakan latar belakang kehidupan Marsudi.
“Tapi kecurigaanku ada dasarnya, Bu. Kemarin malam aku mendengar dia dan Warni bertengkar. Waktu Ibu pulang dari pengajian dan ketemu aku di halaman itu lho. Pada pokoknya Warni minta agar Marsudi jangan melakukan kerja yang buruk lagi. Tapi Marsudi keras kepala. Ibu tahu tidak, akhir-akhir ini Marsudi sering tidak pulang malam hari? Kemarin malam aku malahan mendengar dia pulang dini hari bersama beberapa orang. Apa yang mereka kerjakan malam-malam buta begitu?”
Ibu tercekat. Tangannya berhenti mewiru kain, dan pandangannya melayang ke rumah Warni yang tampak dari jendela. Ibu tak berkata sepatahpun, tapi wajahnya tampak suram dan tegang. Menyesal juga aku telah mengganggu pikiran dan perasaan Ibu, tetapi aku merasa harus menceritakan apa yang kuketahui, agar Ibu tidak terlena dengan prasangka baiknya dan menjadi kurang waspada.
* * *
Hobi selalu membawa kesenangan, tapi sekaligus juga beban. Munel, kucing betina berbulu telon (tiga warna : putih, kuning, hitam) itu selalu bisa menghapus kesedihanku, menyembuhkan sakitku, menghalau kelelahanku, dan memancing tawaku, tetapi juga membebaniku dengan bulunya yang tertinggal dimana-mana. Sudah hampir satu jam aku membersihkan jok kursi tamu dari bulu-bulu Munel dengan sapu lidi kecil. Jok dari kain beledu menelan bulu-bulu Munel, sehingga aku harus sabar mengangkat bulu-bulu halus itu agar betul-betul bersih. Si empunya bulu sendiri enak-enakan berjemur di jendela sambil terkantuk-kantuk.
“Ning! Tuning!” terdengar Ibu memanggil dari dapur, “Pinjamkan kukusan sebentar ke rumah Warni.”
Hari ini Ibu membikin nagasari, dan untuk mengukusnya Ibu lebih suka memakai kukusan dari bambu. Kalau dikukus dengan soblok, yang biasa dipakai untuk memasak nasi, aromanya kurang enak, kata ibu.
“Nggih, Bu!” aku balas berteriak.
Kutinggalkan sapu lidi, jok kursi, dan bulu-bulu Munel. Aku keluar dan pergi ke rumah Warni. Rumah itu terlihat sepi. Beberapa kali Warni kupanggil, tapi tidak ada sahutan. Karena kukusan itu ditunggu Ibu, aku mencoba membuka pintu dapur. Ternyata tidak dikunci.
Dapur itu sempit dan kotor. Peralatannya pun serba sederhana. Kompor minyak tanah yang sudah karatan, panci yang sudah hitam, ceret, rak piring buruk yang hanya berisi beberapa peralatan makan. Kukusan yang diinginkan Ibu tergantung di dinding bambu, di atas rak piring. Aku melongok ke ruang dalam. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah meja kayu dan dua buah kursi, yang kelihatannya berfungsi sebagai meja makan. Di atas meja yang tidak bertaplak itu terdapat sebuah teko dan tiga cangkir seng. Terdapat juga sebuah piring yang ditutupi daun pisang. Di sisi kanan meja diletakkan sebuah dipan kecil dengan bantal yang sudah lusuh sarungnya, hanya dialasi tikar, tanpa kasur. Aku menduga itu tempat tidur Topo.
Rasa ingin tahu tiba-tiba mengusik hatiku. Perlahan aku masuk ke ruangan itu. Kubuka daun pisang yang menutup piring. Di atas piring terdapat tiga potong singkong goreng, kelihatannya dibeli Warni dari warung. Di samping bantal lusuh di atas dipan kecil itu kulihat sebuah ketapel dan beberapa butir kelereng. Pastilah itu mainan Topo.
Dari ruangan itu terdapat dua buah pintu. Satu menuju ke kamar tamu, satu lagi menuju ke kamar Warni. Kubuka pintu kamar Warni dengan perlahan, siapa tahu dia tidur di dalam. Kamar itu kosong, tidak ada orang disana. Di dalam kamar terdapat tempat tidur yang agak besar, dengan kasur tipis dan seprei yang sudah pudar warna birunya. Di samping tempat tidur berdiri doyong sebuah lemari kayu kecil. Di atas lemari kecil itu diletakkan sebuah cermin kusam, sisir, dan beberapa botol yang kelihatannya sudah bertahun-tahun sejak keluar dari toko. Di seberang lemari terdapat sebuah gawangan tempat menyampirkan tikar dan baju-baju kotor.
Kubuka lemari kecil yang tak berkunci itu. Isinya baju-baju Warni dan Marsudi. Tidak banyak dan campur aduk dengan segala macam kain dan handuk. Ketika hendak meraih sebuah foto berukuran kartu pos yang memuat gambar Warni, Marsudi, dan Topo dari dinding bambu di atas lemari, tanpa sengaja tanganku menyenggol uang logam yang biasa dipakai untuk kerokan. Uang itu jatuh dan menggelinding ke bawah lemari. Aku berjongkok dan merogohkan tanganku ke bawah lemari yang sempit. Bukannya menemukan uang logam yang jatuh menggelinding, tanganku terasa menyentuh sebuah benda tajam. Kupegang benda itu dengan hati-hati, dan kutarik keluar. Sebuah belati! Tajam berkilat-kilat. Aku begitu kaget hingga belati itu hampir saja terlepas dari tanganku. Jantungku berdegup keras. Dengan perlahan kuletakkan belati itu di lantai semen, dan kembali kuselusupkan tanganku ke bawah lemari. Kali ini aku memperoleh sebuah celurit yang tak kalah tajamnya. Dengan nafas tertahan sekali lagi aku merogoh ke bawah lemari, dan kali ini di tanganku terpegang sebuah senjata api!
Kupandangi berbagai senjata itu dengan ngeri. Aku masih tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mendadak terdengar langkah kaki beberapa orang memasuki rumah. Astaga, astaga! Ada orang datang! Terdengar suara orang berbicara, lalu bagaikan geledek pecah di gendang telingaku, Marsudi berteriak memanggil Warni.
“Ni! Warni!!”
Jantungku serasa melompat dan jatuh menggelepar di lantai. Aku sedemikian gugup hingga tanganku gemetar dan lututku lunglai.
“Warni!” suara Marsudi makin keras.
Kurasakan nyawaku siap-siap melayang. Dengan panik aku menoleh ke kanan kiri, mencari tempat persembunyian. Ah, itu dia! Dengan tergopoh-gopoh aku menyelusup ke balik gawangan, menimbuni tubuhku dengan tikar dan baju-baju kotor.
“Aku tahu persis kapan saat terbaik untuk menggasak toko itu. Jam empat sore, tepat sebelum mereka menutup toko. Pada jam segitu sudah tidak banyak orang di sekitar sana. Kita bisa melarikan diri dengan cepat.” terdengar seseorang berbicara dengan suara lirih tertahan.
“Toko yang mana?” Marsudi bertanya
“Toko Merpati Mas. Letaknya persis di ujung jalan. Kalau kita sudah berhasil menggasak perhiasan di etalase dan uang di laci kasir, kita langsung lari ke Jalan Wates. Karena itu kau dan Dirman harus sudah siapa menunggu dengan mesin motor hidup.” jawab suara yang pertama.
Perampokan! Astaga, mereka merencanakan perampokan!
“Di, mana senjata kita? Lebih baik kita bagi sekarang, biar dibawa sendiri-sendiri.” suara yang lain menyambung.
“Kusimpan di kamarku.” itu suara Marsudi.
“Ambil cepat. Kita tidak boleh lama-lama di sini, nanti ketahuan orang!” terdengar suara yang pertama.
Senjata! Aduh! Matilah aku! Belati, clurit dan pistol itu masih di luar, belum sempat kukembalikan. Ya Allah, tolonglah aku! Selamatkan nyawaku. Berikan kesempatan aku hidup. Terdengar langkah orang menuju ke kamar. Dengan tubuh gemetar ketakutan aku merosot keluar dari balik tikar, secepat kilat mendorong senjata-senjata itu ke bawah lemari, dan kembali membenamkan diri dibalik tikar. Gerakanku demikian kacau, sehingga hampir saja gawangan itu roboh.
Aku meringkuk dengan pasrah dibalik tikar dan baju-baju kotor. Ketakutan yang mencekam membuatku sulit bernafas. Otakku buntu dan tubuh terasa kaku. Langkah Marsudi terdengar memasuki kamar, lalu berhenti, sekitar satu meter di depan gawangan. Aku bahkan bisa mendengar dengus nafasnya yang kasar dan mencium bau tubuhnya yang tengik. Oh, selamat tinggal Ibu, ampuni anakmu ini, doakan aku mati dengan mudah, cepat, dan tanpa merasa sakit ….
Kudengar suara benda-benda logam bergeser dengan lantai semen. Marsudi pasti sedang merogoh senjata-senjata itu dari bawah lemari. Tubuhku dingin beku. Lalu terdengar langkahnya yang berat keluar dari kamar. Setiap langkah terasa seperti dentam yang menggoncangkan seluruh isi dadaku.
“Jadi nanti sore kita berangkat?” suara Marsudi terdengar dari ruang tamu.
“Ya. Sekarang kita menunggu di rumah Dirman saja. Disana lebih aman. Ayo berangkat”
“Lihat dulu, di luar ada orang tidak.”
Sejenak sepi. Mereka nampaknya baru memeriksa keadaan di sekitar rumah.
“Sepi. Ayo cepat.”
Terdengar langkah Marsudi dan teman-temannya keluar dari rumah. Pintu ditutup dan keadaan sunyi kembali.
Aku terkulai dibalik tumpukan tikar. Segenap persendian tubuhku seperti terlepas. Oh, betapa aku mengkhayalkan saat itu berada di tempat tidurku yang aman dan damai, sehingga aku bisa langsung berbaring dan tidak usah bangun-bangun lagi. Tapi aku masih ada disini, di balik gawangan dan tumpukan baju kotor di kamar Warni. Aku harus pergi sebelum Warni atau Topo datang.
Kukumpulkan sisa-sisa kekuatanku, lalu merangkak keluar dari balik gawangan. Sebuah baju melorot dan jatuh menimpa wajahku. Baunya membuat bulu-bulu hidungku bereaksi keras. Haaattsyiii …… !!
(bersambung)
Duhh…semakin deg2an ini.
Tuti : He he he …. jantungnya dipegangin Mbak, nanti kalau copot susah masangnya lagi … 😀
Bu Tuti…buruan sambungan ceritanya diupload lagi. Bagus buangeeet…saya dan pembaca lain mungkin udah gak sabar pengen baca lagi.
Tuti :
Terimakasih Mbak Dewi …
Novelet ini dulu dimuat di 5 nomor majalah Femina sebagai cerita bersambung. Ternyata, salah satu nomor majalah itu hilang. Akibatnya, saya harus menggali ingatan lagi, bagaimana sih jalan ceritanya dulu, agar bisa saya tulis ulang. Saya sendiri sudah lupa, lha wong cerita ini saya tulis tahun 83 (hwalaah …. seperempat abad yang lalu!). Perlu waktu untuk menulis ulang. Jadi harap sabar ya …
Oh ya, sekedar informasi, ilustrasi yang saya muat pada novelet ini adalah ilustrasi pada majalah Femina yang dibuat oleh Yan Mintaraga (komikus tempo doeloe).
Diskripsi cerita mbak Tuti, bikin aku bayangin keadaan Tuning pada saat sembunyi. huh…. dadaku terasa sesak juga pada saat bacanya. thanks
Tuti :
Apalagi kalau ikut sembunyi. Wah … jangan-jangan malah semaput ….. 😀
Ternyata batik dinamai sesuai corak dan warnanya yaa
hihihih…. untung udah pada pergi pas bersin yaa??
Tuti :
Betul, Mbak Rita. Nama batik muacem-muacem. Ada batik wangi, batik lusuh, batik robek, terbatik-batik …. eh, maksudnya terbatuk-batuk … 😀
Kalau pas ‘aku’ bersin belum pada pergi, pasti semua terpental sampai ke Mars …. hihihi ….